Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

The Bad Liar Part 25

"Aku pesan dua kamar."

"Maaf, kami hanya memiliki satu kamar tersisa."

"Kalau begitu tidak jadi. Ayo kita pergi."

"Aku pesan satu kamar itu."

"Apa-apaan kau ini?" Yoona menatap tajam ke arah Aiden yang sedang melakukan transaksi pada si petugas motel. Dengan gusar dijejalkannya kedua tangannya ke dalam saku celana, lalu menatap ke arah si petugas motel yang kebetulan adalah seorang wanita berkacamata dengan tatapan galak.

"Hanya ini yang tersisa, kau tidak bisa memaksakan kehendakmu, Yoong."

"Kita cari motel lain!" ucap Yoona keras kepala.

"Motel berikutnya berjarak lima belas kilometer dari sini."

Secepat kilat Yoona melemparkan tatapan tajam ke arah wanita itu yang menyiratkan jika ia tidak meminta wanita itu untuk berbicara, jadi untuk apa wanita itu berbicara. Merasa ditatap dengan sangat galak, wanita itu menjadi takut dan segera menyibukan dirinya dengan buku tamu yang coba ia buka-buka untuk mengisi kekosongan waktunya.

"Kau dengar itu? Lima belas kilo! Aku tidak yakin kita akan tiba di sana dalam keadaan utuh tanpa tersentuh badai. Atau jika kau nekat ingin pergi ke sana, mungkin saja hanya kepalamu atau tubuhmu yang sampai di sana. Sebagian tubuhmu lagi masih terjebak di dalam badai pasir dahsyat yang sudah diramalkan oleh petugas pengamat cuaca."

"Baiklah, kami pesan satu kamar itu, tapi dengan dua bed." ucap Yoona kesal tanpa menatap sang petugas motel. Matanya kini masih bertatapan tajam dengan mata sayu Aiden yang terlihat lelah. Dalam hati Yoona sadar jika ia sama saja akan membahayakan mereka jika memaksa Aiden untuk menyetir sejauh lima belas kilometer hanya untuk sebuah motel dengan dua kamar terpisah. Ketakutannya saat ini yang lebih mendominasi akal sehatnya. Bagaimanapun ia takut berada di satu ruangan bersama Aiden setelah apa yang dilakukan pria itu padanya kemarin.

"Maaf, hanya ada satu bed berukuran besar untuk...."

"Menyebalkan!" potong Yoona cepat sambil menghentakan kaki. Sekarang Aiden pasti sedang tersenyum penuh kemenangan karena berhasil mencari keuntungan dalam perjalanan mereka yang dari awal sudah dirasakan Yoona sebagai sesuatu yang salah.

"Maaf, apa anda jadi memesan kamarnya? Ada tamu yang ingin memesan..."

"Ya, kami ambil kamar itu. Tolong berikan kunci kamarnya segera. Kepalaku sakit!" seru Aiden ketus sambil melirik ke arah Yoona. Rasanya seluruh tubuhnya akan remuk karena perjalanan panjang yang jarang ia lakukan. Fisiknya mungkin sedang tidak bagus saat ini, sehingga ia mudah sekali lelah hanya dengan menempuh empat jam perjalanan dari LA. Sangat disayangkan pembawa acara di radio tadi siang memberitahu jika akan terjadi badai pasir di sebelah timur dekat Phoenix. Hal itu membuat Aiden mengkhawatirkan keselamatannya dan Yoona selama di perjalanan menuju Desert Botanical Garden, sehingga ia memutuskan untuk berhenti sejenak di sebuah motel. Tapi ternyata saat ia tiba di motel, ada banyak pengendara yang juga memutuskan bermalam di motel karena takut dengan badai yang bisa datang kapan saja. Jadi Aiden merasa jika keputusannya untuk berhenti di motel ini sudah tepat. Terlepas dari berbagai prasangka yang dilayangkan Yoona padanya. Sungguh ia tidak peduli!

"Kamar yang bagus." ucap Yoona dengan nada ketus. Saat mereka memasuki kamar, mereka langsung disambut dengan aroma wangi khas pewangi laundry yang menguar dengan begitu kuat di setiap penjuru kamar. Sebuah ranjang berukuran besar, seperti yang dikatakan oleh petugas motel tadi, terlihat membentang di tengah-tengah kamar berukuran sedang yang disewa Aiden untuk malam ini. Ada kamar mandi dengan pancuran tanpa bathube di sudut kamar. Kemudian televisi tabung yang terlihat cukup tua terpasang di dekat jendela dengan antena yang terpasang di atas televisi. Sebuah lemari besar di letakan bersebelahan dengan sebuah meja kayu kecil yang diatasnya terdapat sabun dan sikat gigi murahan sebagai salah satu fasilitas yang disediakan motel. Secara keseluruhan motel itu mengagumkan. Sangat pas dengan harga murah yang ditawarkan.

Aiden yang masuk pertama kali langsung tergoda untuk merebahkan dirinya di atas ranjang. Ia tidak berbohong soal sakit kepala yang dideritanya saat ini. Dengan langkah yang cukup lemah, ia segera berjalan ke arah ranjang, melepas sepatunya, dan segera tidur dengan posisi telentang di atas ranjang besar itu. Sama sekali tak ia hiraukan Yoona yang saat ini sedang duduk di sebuah kursi kayu yang letaknya bersebelahan dengan meja kayu. Tidak ada sofa di dalam kamar itu. Hanya ada satu bed berukuran besar dan karpet tipis yang terhampar di bawah bed. Dalam hati Yoona meruntuki kesialannya karena ia sama sekali tidak bisa merealisasikan keinginannya. Ia pikir kali ini ia akan mengalah pada Aiden, menerima motel itu dengan penuh keterpaksaan, lalu tidur di sofa untuk malam ini sebagai antisipasi dari hal-hal yang tidak diinginkan. Namun begitu ia masuk ke dalam kamar ini, ia langsung mendesah kecewa karena tidak ada satupun sofa yang diletakan di kamar ini. Tidak mungkin ia tidur di sofa tamu di dekat meja recepsionist utuk malam ini. Bisa-bisa seorang pria mabuk justru menggerayanginya saat ia sedang terlelap tidur.

"Hooaamm..." Yoona menguap lebar dan merasakan air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia tahu ia lelah dan ingin tidur juga seperti Aiden. Tapi apakah ia bisa berbaring di sebelah pria itu lalu tidur? Jelas pikirannya pasti akan pergi kemana-mana dan membuatnya resah selama memutuskan untuk berbaring di sebelah Aiden. Mungkin pria itu memang tidak normal. Maksudnya kehilangan fungsinya sebagai seorang pria yang dapat berhubungan intim dengan seorang wanita. Tapi ketidaksempurnaannya itu tidak menjamin sikap Aiden akan tetap sopan selama di dekatnya. Bisa saja pria itu menggerayanginya ketika ia tidur. Atau yang paling parah mencuri beberapa ciuman ketika ia sedang terlelap.

"Aku tahu kau mengantuk. Jika kau mau, kau bisa tidur di sebelahku."

"Jangan harap!" balas Yoona ketus. Enak saja pria itu menawarkan sisi ranjangnya yang kosong. Aiden pasti sudah merencanakan banyak rencana buruk di otaknya.

Saat melihat Aiden sudah bisa tertidur nyenyak dua puluh menit kemudian, Yoona rasanya kesal dan ingin mengumpati pria itu. Seenaknya saja ia tidur, sedangkan dirinya harus tersiksa dengan kantuk yang saat ini harus ia tahan karena ia tidak bisa tidur di atas kursi kayu berukuran mungil ini.

"Arrggh, terserah!"

Dengan kesal Yoona berjalan menghampiri ranjang king size itu. Sedikit mengendap-endap, Yoona mencoba mengecek Aiden untuk memastikan jika pria itu benar-benar sudah tertidur. Setidaknya jika Aiden sudah tidur, ia bisa memejamkan matanya sebentar di sebelah pria itu. Dan jika Aiden sudah bangun nanti, ia akan langsung melompat pergi dari ranjang nyaman itu dan kembali ke tempatnya di kursi kecil di sebelah meja kayu.

"Sepertinya dia sudah tidur." gumam Yoona pada dirinya sendiri. Dengan sehati-hati mungkin, Yoona naik ke atas ranjang yang berderit-derit itu. Ia langsung menahan napasnya gugup saat melihat Aiden sedikit bergerak untuk memindahkan tangan kananya. Untuk beberapa saat Yoona hanya diam seperti patung untuk menunggu reaksi Aiden selanjutnya. Tak akan ia biarkan Aiden mengejeknya karena ia telah melanggar kata-katanya sendiri. Tapi masa bodohlah. Yoona sudah tidak lagi peduli pada harga dirinya. Ia terlalu lelah dan juga mengantuk saat ini. Jika ia tidak membiarkan tubuhnya beristirahat, ia tidak akan memiliki tenaga untuk membalas setiap serangan yang dilontarkan Aiden padanya.

"Awas jika kau macam-macam!"

Seperti orang gila, Yoona berbicara sendiri pada punggung Aiden dengan wajah bersungut-sungut yang menahan kesal. Saat ia melihat guling di bawah kakinya, cepat-cepat Yoona meraihnya dan diletakannya guling itu sebagai pembatas antara dirinya dan juga Aiden.

"Yeah, ini lebih baik." bisik Yoona sambil menatap sekat yang ia buat. Setelah itu ia segera memiringkan kepalanya ke kiri dan mulai hanyut ke dalam mimpinya. Dalam hati Yoona mengerang tertahan saat merasakan nikmat kasur dan juga bantal yang menyangga tubuhnya. Apalagi sekarang ia bisa tidur sambil meluruskan kakinya dengan nyaman. Sungguh ini adalah sesuatu yang ia inginkan sejak tadi. Sayangnya ia selalu terlalu naif untuk mengakuinya di hadapan Aiden. Yeah, untuk sesaat ia akan mengendurkan pengawasannya. Ia akan tidur dengan nyaman di sini sambil menikmati belaian yang begitu lembut di rambutnya.

"Mimpi indah, Yoong."

-00-

Aiden tersenyum kecil saat merasakan tubuh Yoona di sebelahnya. Wanita naif itu nyatanya tidak setangguh yang ia kira. Tetap saja ia akan mengalah pada egonya dan memutuskan untuk tidur di sebelahnya karena wanita itu juga pasti sama lelahnya dengan dirinya. Tapi lucu juga saat memikirkan Yoona yang kini telah berada di sebelahnya. Apa dulu ia pernah berpikir jika ia akan melakukan hal ini bersama Yoona saat Donghae masih ada? Tentu saja jawabannya tidak! Bahkan ia tidak pernah mau repot-repot untuk berurusan dengan Yoona yang galak. Perlahan-lahan Aiden bergerak mendekati Yoona, mengikis jarak diantara mereka dan menyingkirkan pembatas konyol yang dibuat Yoona. Pikir Aiden pembatas seperti itu hanya dibuat untuk anak balita, bukan pria dewasa dengan keinginan menggebu untuk menyentuh wanita. Konyol sekali Im Yoona ini.

Dalam sekejap Aiden sudah sangat dekat dengan Yoona. Ujung-ujung rambut Yoona yang bergelombang terasa begitu menggelitik di wajah Aiden yang begitu mendamba sentuhan wanita. Sudah berapa lama ia tidak sedekat ini dengan seorang wanita? Aiden mengerang dalam diam saat merasakan hangat tubuh Yoona ada di dalam telapak tangannya. Pikirnya, ini menyenangkan. Perasaan rendah dirinyalah yang membuat ia takut untuk menyentuh wanita. Tapi sekarang ia merasa lebih baik setelah dapat mengakui semuanya pada Yoona. Mungkin karena ia benci pada fakta jika Yoona takut padanya, maka ia mengambil tindakan gegabah untuk mengakui semuanya pada Yoona.

Perlahan-lahan tangan Aiden merambat ke pundak Yoona, mengelus pundak halus itu perlahan dengan penuh perasaan. Ia telah berjanji pada wanita itu untuk tidak melakukan apapun. Dan ini hanya sebatas menyentuh, bukan melakukan tindakan asusila yang dapat membuat Yoona lari terbirit-birit darinya.

"Apa yang kau lakukan, Aiden?" Suara pelan bernada tajam itu membuyarkan fantasi Aiden seketika.

"Ahh... aku tertangkap basah rupanya."

Dengan santai Aiden membiarkan tangannya terus dicengkeram Yoona dalam posisi yang sedikit tidak enak untuknya. Tangan kanan yang terjulur itu seperti sedang dijepit menggunakan penjepit baja yang begitu keras. Pasti Yoona melakukannya dengan sepenuh hati dan dengan seluruh kekuatan yang ia miliki. Rasanya Aiden ingin sekali melihat wajah Yoona yang tersembunyi dibalik punggung kaku itu sekarang. Apakah Yoona takut, terkejut, atau marah?

"Kau melanggar batas yang kubuat." dengus Yoona muak. Ia langsung saja melemparkan tangan Aiden ke belakang, namun ia sedikitpun tidak ingin berbalik untuk berhadapan dengan wajah Aiden. Biar saja pria itu berbicara dengan punggungnya.

"Pembatas guling ini yang kau maksud?" tunjuk Aiden mencemooh. "Yang seperti ini hanya bisa kau gunakan untuk menahan seorang balita, bukan seorang pria dewasa sepertiku. Idemu ini sungguh konyol"

"Itu lebih baik daripada tidak ada pembatas sama sekali. Kembali ke tempatmu." usir Yoona tajam. Tanpa perlawanan Aiden segera menggeser tubuhnya ke kanan dan memberikan jarak untuk pembatas yang dimaksudkan oleh Yoona.

"Sudah." beritahu Aiden datar. Sekarang ia memilih berbaring telentang menghadap ke arah langit-langit kamar motel yang membosankan. Motel itu bisa dikatakan motel tua yang telah mendapatkan sedikit perubahan dari renovasi yang dilakukan oleh pemilik motel sekarang. Namun tetap saja pemilik motel itu lupa pada langit-langit kamar motel yang masih menggunakan warna cat lama yang terlihat lebih kusam dari warna cat di sekitar dinding yang mengelilingi kamar motel ini. Ada beberapa cat yang terkelupas di langit-langit motel. Cat yang terkelupas itu melambai-lambai tertiup angin dari kipas yang dinyalakan oleh Yoona di sudut dinding.

"Kau belum menjawab pertanyaanku." Masih dengan memiringkan tubuhnya membelakangi Aiden, Yoona mencoba memulai percakapan dengan Aiden.

"Bagian mana yang belum kujawab?"

"Apa Hill anakmu?"

"Kenapa kau sangat ingin tahu?" balas Aiden gusar. Sejak dulu ia tidak suka jika masa lalunya dicampuri oleh orang lain.

"Jika Hill anakmu, kau seharusnya memperlakukannya dengan antusias. Kasihan anak itu, ia begitu mendambakan sosok ayah. Jika bukan..."

"Kenapa kau peduli pada nasib Hill? Dia bukan apa-apa bagimu."

Tanpa sadar Yoona meremas kuat ujung seprai di sisi kanannya. "Tumbuh besar tanpa ayah itu sulit."

"Kalau begitu terimakasih karena telah berempati pada Hill."

"Sama-sama. Jadi Hill ada sebelum kecelakaan itu terjadi?"

Aiden melirik kesal ke arah Yoona yang masih memunggunginya. Ia sendiri tidak tahu apa maksud wanita itu memancing-mancingnya untuk membicarakan Hill. "Apa kau pikir begitu?"

"Jika dia anakmu, maka ya. Berapa usianya?"

"Tanyakan saja pada ibunya." jawab Aiden acuh tak acuh. "Tidak penting Hill ada dulu atau sekarang."

"Kau terdengar kasar." komentar Yoona sinis. Ia sendiri merasa sulit untuk memahami jalan pikiran Aiden dan perubahan sikap yang selalu ditunjukan pria itu. Terkadang Aiden bisa bersikap bersahabat, lembut, dan melemparkan beberapa candaan yang berhasil membuat suasana diantara mereka menjadi lebih menyenangkan. Tapi Aiden yang sinis seperti ini, ia sama sekali tak terduga.

"Kau lebih kasar. Huh, jika kau ingin tahu apakah Hill anakku atau bukan, kau buktikan saja sendiri." ucap Aiden sambil menghentak pundak Yoona. Seketika wanita itu menjadi berbaring telentang dan terlihat kaget saat Aiden tiba-tiba sudah berada di atasnya.

"Lepaskan aku, Aiden!"

"Jadi seperti ini wajahmu saat ditatap dari atas? Cantik." bisik Aiden main-main. Ia sengaja menjumput sedikit rambut coklat Yoona, lalu mendekatkannya ke arah hidungnya. "Pantas Laiv rela melanggar sumpah setianya pada sang istri demi mendapatkan wanita muda yang lebih menggairahkan sepertimu. Andai saja aku normal..." Aiden tersenyum miring menikmati ekspresi wajah Yoona yang terlihat sedikit takut. "Aku pasti akan menikmatimu lebih daripada ini." bisik Aiden parau di depan bibir bergetar Yoona. Dan setelah itu ia segera berguling ke samping, merapikan pakaiannya yang sedikit kusut, lalu segera bangkit berdiri dengan ekspresi wajah dingin.

"Jangan pernah bermain-main dengan menanyakan masa laluku, Yoong. Aku bisa saja bersikap jahat."

Setelah berhasil membuat Yoona bungkam sekaligus bergetar, Aiden segera berjalan pergi meninggalkan kamar motelnya sambil membanting pintu reyot itu keras hingga dinding-dinding di sekitarnya bergetar.

"Ya Tuhan..." desah Yoona ketakutan. Rasanya ia ingin pingsan saat ditatap Aiden setajam itu tepat di atas wajahnya. Padahal Laiv sendiri tidak pernah melakukan hal itu. Mata hijau Laiv selalu memancarkan kelembutan yang berhasil membuat Yoona tenang. Tapi mata hijau Aiden justru membuat Yoona setengah mati ketakutan hingga seluruh tubuhnya bergetar seperti ini.

Dengan perasaan sedih, Yoona memiringkan tubuhnya ke kiri. Ia meratapi nasibnya yang harus terjebak di motel ini bersama Aiden tanpa kepastian. Tidak ada yang tahu kapan badai pasir itu akan datang. Hanya perkiraan yang diberitahukan oleh pembawa acara itu. Tapi dimana tepatnya, kapan, dan apakah badai itu benar-benar akan datang, tidak ada yang tahu sama sekali. Jika ia beruntung, badai itu hanya akan datang di sisi lain dari wilayah Arizona. Tapi jika tidak, mungkin saja badai itu akan datang melewati area motel ini dan membuat seluruh sudut motel dan jalan-jalan menjadi berpasir coklat yang berdebu.

"Laiv..." bisik Yoona pada udara kosong. "Tolong maafkan aku."

-00-

Baru satu jam kemudian Yoona bangun dari tidurnya yang terasa tidak nyaman karena ia tertidur dalam keadaan telungkup. Sisa air mata yang tadi menetes di atas seprai putih di ranjangnya, kini terlihat sudah mengering dan tidak ada lagi yang tersisa di sana dari air matanya. Hanya saja kedua mata Yoona kini terlihat bengkak seperti mata monster yang berwarna suram. Dalam kesendirian ia memeluk tubuhnya sendiri merana. Aiden yang keluar sejak tadi sepertinya belum kembali. Tidak ada yang berubah dari kamar itu semenjak Aiden keluar. Hiasan dinding di dekat pintu masih saja terlihat miring karena bantingan pintu yang dilakukan Aiden satu jam yang lalu. Sungguh buruk ternyata terjebak di sebuah motel terpencil bersama Aiden.

Drrt drrt

Yoona melirik sekilas ponselnya yang tergletak di atas nakas. Ia sepertinya telah menerima banyak telepon saat sedang menangis tadi. Tapi ia terlalu malas untuk mengangkatnya karena ia takut tidak akan bisa bersuara dengan jelas karena teredam oleh suara tangisannya yang kekanakan.

"Yoona? Sayang, ada apa denganmu?"

"Laiv?" Yoona semakin berderai saat mendengar suara Laiv di seberang sana yang terdengar lelah, namun pria itu masih begitu sabar dalam menghadapi sikap kekanakannya. Untuk beberapa saat Yoona masih menangis sesenggukan tanpa bisa mengatakan apapun. Ia terlalu sakit saat memikirkan Laiv yang telah ia khianati. Meskipun bukan suatu pengkhianatan yang fatal, tapi itu tetap saja tak mengubah fakta yang ada jika sekarang ia sedang berbagi tempat tidur bersama Aiden. Setidaknya itu tadi, dan mungkin juga nanti malam. Mengingat ini masih pukul sembilan. Mereka masih memiliki banyak waktu hingga esok pagi.

"Kau dimana sayang? Ada yang menyakitimu? Aku menelpon Magda, dan katanya kau belum pulang."

"Lla Laiv..." ucap Yoona terbata-bata. Tangis yang menyesakkan membuatnya tidak bisa berkata dengan benar pada Laiv yang masih setia menunggu di sana. "Aku di Arizona." Yoona mencoba menarik napasnya panjang-panjang sambil menggenggam seprai putih di bawahnya untuk menguatkan dirinya yang akan menangis lagi.

"Sendirian?"

"Iya. Tidak, maksudku..." Yoona cukup bingung untuk menjelaskan pada Laiv. "Tadi aku pergi bersama Aiden. Dan kami sekarang sedang berhenti di sebuah motel untuk beristirahat karena badai diramalkan akan datang di arah menuju Phoenix. Maaf karena belum memberitahumu Laiv. Pemotretan ini mendadak."

Akhirnya ia bisa juga mengatakan semua hal yang ingin ia katakan pada Laiv dengan lancar. Walaupun dalam hati ia cukup meruntuki mulutnya yang merasa ingin meneriakan kebenaran di hadapan suaminya. Ingin sekali ia mengadu pada Laiv jika ia tidur sekamar bersama Aiden, lalu pria itu terus menggodanya sepanjang malam hingga akhirnya mereka bertengkar hebat seperti ini. Bukankah itu cerita yang hebat? Dalam kurun beberapa hari, mungkin surat cerai akan dikirimkan tepat di depan wajahnya dengan tuduhan perselingkuhan. Oke! Itu hanya sedikit pikiran buruk yang menari-nari di benak Yoona karena ia terlalu takut akan mengalami kesalahan yang sama di masa lalu. Padahal kenyataanya tidak seperti itu. Sekarang Laiv terdengar cukup tenang di seberang sana.

"Semestinya kau mengatakan padaku sejak awal. Aku bisa mengantarmu menggunakan jet pribadi."

Huh! Tidak terpikirkan sedikitpun di benak Yoona untuk memberitahu Laiv. Ia pikir pemotretan kali ini akan cepat dan tidak sampai harus menginap di motel seperti ini. Jadi mana mungkin ia akan memberitahu Laiv agar disediakan jet pribadi menuju Phoenix.

"Aku tidak berpikir akan terjebak di motel ini dengan ancaman badai yang menghantui. Aku takut, Laiv." rengek Yoona seperti anak kecil. Ia tahu tingkahnya itu kekanakan dan terlalu berlebihan. Tapi daripada Laiv mengintrogasinya tentang mengapa ia menangis seperti itu, lebih baik ia mengutarakan kebohongannya lebih dulu.

"Tidak apa-apa. Menurut ramalan cuaca, badai itu bergerak ke arah barat daya. Kau jauh dari badai itu, tapi terpaan angin yang kencang tetap cukup berbahaya untuk melanjutkan perjalanan. Jangan menangis sayang. Aku mengkhawatirkanmu." ucap Laiv lembut. Justru kata-kata Laiv yang kelewat lembut itu yang membuat Yoona ingin menangis lagi. Bisa-bisanya ia melakukan tindakan picik di belakang seorang pria baik hati seperti Laiv. Kutuk saja ia ke neraka.

"Aku merindukanmu."

"Kalau begitu aku menunggumu di rumah. Sudah malam, Yoong. Lebih baik kau tidur lagi. Selamat malam."

Laiv mengakhiri sambungan teleponnya dengan sangat sopan, dan Yoona tertegun. Terkadang ia merasa pernikahannya bersama Laiv aneh. Ada banyak sekat yang masih membatasinya dengan Laiv. Termasuk bagaimana cara pria itu memperlakukannya yang terlalu hati-hati. Sejauh ini Yoona belum pernah melihat Laiv menunjukan tubuhnya di depannya. Walaupun ia tidak mengharapkan sesuatu yang mesum, tapi tindakan kecil seperti itu sudah membuat Yoona berpikir jika Laiv memang belum sepenuhnya membuka diri padanya. Masih ada Sarah di hati pria itu, dan ia juga masih menyimpan Donghae di lubuk hatinya yang paling dalam.

Cklek

Suara kenop pintu yang dubuka keras membuat Yoona menegakan tubuhnya seketika. Tak lama kemudian sosok Aiden muncul sambil membawa satu cup kopi yang masih mengepulkan asap tipis dan sebuah bungkusan yang entah berisi apa. Setelah pria itu menutup pintu di belakangnya rapat dan menguncinya, ia langsung bertatapan dengan mata sayu Yoona yang tampak kacau. Ia tahu jika wanita itu menangis beberapa jam yang lalu karena sikapnya. Oleh karena itu ia lebih memilih untuk berdiam di kafe kecil yang disediakan motel ini demi memberikan Yoona privasi.

"Kopi?" tanya Aiden berusaha tenang. Ingin rasanya ia menyerbu wanita itu, lalu menenggelamkan kepalanya di atas dadanya untuk membuat Yoona setidaknya lebih nyaman. Tapi apakah wanita itu mau melakukannya? Ia bahkan membenci sikapnya yang kelewat kasar.

"Kau darimana?"

Suara Yoona terdengar masih serak. Meskipun hatinya sejauh ini sudah merasa lebih baik setelah berbicara dengan Laiv. Sedikit beban yang ia rasakan karena belum memberitahu Laiv mengenai perjalanannya ke Phoenix sudah terangkat dari hatinya. Tinggal rasa bersalah karena berada di satu kamar yang sama dengan Aiden yang masih membuat Yoona merasa buruk.

"Kau belum makan sejak tadi. Aku membelikanmu burger keju, kentang goreng, dan jus. Kuharap kau suka, Yoong."

Aiden menata makanan yang dibawanya ke atas meja kayu yang terletak di seberang ranjang. Sambil memunggungi Yoona, ia sengaja berlama-lama di tempatnya untuk menunggu Yoona mengatakan sesuatu. Kebisuan yang ditunjukan Yoona saat ini membuat rasa bersalahnya pada wanita itu semakin besar. Setelah sekian lama ia tidak pernah terlibat pertengkaran dengan wanita, sekarang ia justru memulainya lagi bersama Yoona.

"Oke, aku salah. Maafkan aku." ucap Aiden tiba-tiba saat membalikan tubuhnya ke arah Yoona. Dilihatnya wanita itu sedang melamun ke arah pintu kamar mereka yang saat ini sedang tertutup rapat sambil memegang ponselnya erat di kedua tangannya yang mengepal.

"Aku terlalu emosi karena kelelahan. Kuharap kau bisa mengerti keadaanku dan memaafkanku. Malam ini kau bisa tidur di sana." tunjuk Aiden pada ranjang besar menggunakan dagunya. Ia lalu berjalan ke arah jasnya yang tersampir di kursi dan berjalan menuju pintu. "Jangan pikirkan aku. Aku akan tidur di mobil. Jangan lupa kunci pintunya malam ini karena di luar ada banyak orang yang tidak terlalu terlihat baik." ucap Aiden cepat dan segera berbalik untuk membuka kunci pintu. Tapi sebuah suara lirih tiba-tiba menghentikan gerakan tangan Aiden yang hampir memutar kenop pintu di depannya.

"Di luar dingin dan berangin."

Aiden masih menunggu tanpa mengatakan apapun. Takut ia justru akan salah bicara dan membuat wanita itu semakin muak padanya.

"Tidak apa-apa kau ada di sini, asalkan kau tidur di sisi yang berjauhan dariku." ucap Yoona lirih. Wanita itu sudah menjatuhkan ponselnya ke atas seprai, lalu berjalan ke arah Aiden yang masih berdiri di depan pintu seperti patung penjaga.

"Apa aku harus mengulanginya lagi? Menyebalkan!" dengus Yoona pura-pura marah. Saat ini harga dirinya sebagai wanita sedang dipertaruhan. Ia sendiri bahkan harus berpikir puluhan kali sebelum akhirnya memutuskan hal ini. Membiarkan Aiden tidur di sebelahnya memang bukan pilihan yang tepat. Tapi membiarkan pria itu tidur dalam ruang sempit di mobilnya juga tidak manusiawi. Jadi untuk malam ini biarlah ia mengalah pada idealismenya dan juga egonya yang payah.

"Hey, kembalilah ke sini. Temani aku makan kentang dan burger. Aku tidak bisa menghabiskannya sendiri. Porsinya terlalu banyak."

Saat berbalik, Aiden terkekeh ke arah Yoona yang sedang memasukan sepotong kentang goreng ke dalam mulutnya. Dengan gemas, diacaknya rambut kusut Yoona perlahan lalu menarik kursi kayu yang tidak digunakan Yoona untuk duduk. "Dasar model." cibir Aiden dengan senyuman lebar yang terlihat jauh lebih manis daripada wajah marahnya yang menakutkan. Kebersamaan ini tak pelak membuat Aiden teringat pada acara makan mereka di Balboa yang selalu berakhir seperti ini. Yoona tidak bisa makan banyak makanan karena harus menjaga bentuk tubuhnya. Dan Aiden harus selalu menjadi tempat pembuangan akhir untuk seluruh makanan yang dipesan Yoona.

"Aku juga minta maaf soal yang tadi."

"Soal apa? Aku lupa."

Sikap jahil Aiden kini sudah mulai muncul, dan hal itu diakui Yoona sebagai sesuatu yang melegakan untuknya. "Lupa? Apa perlu aku menghantam kepalamu dengan pemukul baseball supaya ingatanmu kembali? Awas, kemejamu bisa kotor terkena saus." Yoona refleks mengelap tetesan saus yang menempel di bibir bawah Aiden yang hampir menetes mengenai kerah kemejanya.

"Refleks yang mengagumkan. Aku yakin baju-baju Laiv pasti sangat bersih selama kau menjadi istrinya." canda Aiden ringan. Ia segera melahap potongan terakhir burger yang disisakan Yoona untuknya, dan setelah itu meneguk kopinya nikmat dengan desah kepuasan yang berhasil membuat Yoona takjub. Wajah pria itu terdongak ke atas, lehernya yang jenjang dengan jakun seksi terlihat naik turun seiring dengan cairan kopi yang mengalir turun ke dalam pencernaannya. Pria itu sudah persis seperti model di iklan-iklan minuman yang sering dilihat Yoona di televisi. Gerakan yang dihasilkan Aiden sungguh natural dan tanpa kesan dibuat-buat sedikitpun.

"Sudah kenyang. Mau naik ke tempat tidur sekarang?"

"Wajahmu kotor dan kusam, kau persis seperti tunawisma yang sering berkeliaran di jalanan."

"Benarkah? Ah ya, tapi kurasa itu sama sekali tidak mengurangi ketampananku. Coba tebak, sejujurnya jika aku tidak tidur di sini malam ini, ada banyak wanita yang menawariku tidur di kamar mereka. Jadi seharusnya kau tidak perlu mengkhawatirkanku seperti tadi." ucap Aiden jahil sambil mengerlingkan matanya nakal. Sedetik kemudian suara teriakan Yoona yang menggelegar langsung memenuhi setiap sudut kamar itu disertai dengan suara tawa Aiden yang begitu renyah karena berhasil membuat Yoona bersungut-sungut kesal padanya.

"Sialan kau Aiden! Kau menipuku!"

-00-

Pemotretan yang dilakukan di Desert Botanical Garden berjalan begitu saja tanpa hambatan keesokan harinya. Setelah melewati malam tanpa ada pertengkaran karena Aiden bersikap koorporatif dengan aturan yang dibuat Yoona, keesokan paginya mereka dapat melanjutkan perjalanan dengan hati yang lebih ceria. Sepanjang perjalanan menuju Phoenix, Yoona terlihat lebih hidup karena terus menyanyi dengan keras mengikuti lagu yang diputar keras-keras dari radio canggih di mobil mahal Aiden. Selain itu Yoona juga sengaja membuka atap mobil Aiden lebar-lebar agar ia dapat berdiri di atas kursinya dan menikmati udara pagi Arizona yang begitu hangat saat baru disinari matahari terbit yang menakjubkan. Semua hal yang terjadi hari itu terasa lebih menyenangkan untuk Yoona. Kegiatan pemotretan yang ia lakukan juga berjalan sangat cepat. Pukul dua siang ia telah menyelesaikan pemotretan menggunakan lima gaun pernikahan sambil memakai berbagai perhiasan keluaran terbaru Cartier. Dan kini Aiden dan Yoona telah duduk tenang di dalam pesawat dalam perjalanan mereka untuk kembali ke LA.

"Apa kau senang hari ini?" tanya Aiden di tengah suasana tenang di dalam cabin first class yang dipesan Aiden. Yeah, ini sungguh berlebihan untuk Yoona sebenarnya karena pria itu bersikeras membawanya untuk duduk di cabin first class, sedangkan para staff yang lain berada di cabin biasa. Sebenarnya ia tidak masalah duduk di cabin biasa. Sama sekali tidak ada kendala baginya karena sebelum menjadi model, ia bahkan telah melewati kehidupan yang lebih berat dari ini. Pulang pergi ke sekolah menggunakan bus. Kadang jika ia terlambat pulang, ia harus berjalan kaki beberapa blok untuk menaiki bus lain yang tidak berhenti di halte di dekat sekolahnya.

"Yaahh... ini tidak buruk. Pemandangan di Desert Botanical Garden sangat cantik. Aku jadi tidak sabar untuk melihat hasilnya besok di kantor."

"Syukurlah jika kau senang. Yoong..." panggil Aiden pelan dengan suara dalam. Wanita itu cepat-cepat menolehkan kepalanya ke arah Aiden dan langsung bertatapan dengan mata hijau Aiden yang mengagumkan.

"Aku sungguh minta maaf soal kemarin."

"Tidak perlu dipikirkan." Yoona mengibaskan tangannya dengan santai di hadapan Aiden lalu menoleh ke arah pemandangan langit senja yang menakjubkan. Guratan-guratan orange itu tampak membias menembus awan. Burung-burung berwarna putih terihat terbang rendah di bawah sayap pesawat dan terlihat sangat teratur membentuk sebuah kelompok besar.

"Lagipula aku juga salah karena memaksamu membicarakan masalah Hill. Entah dia anakmu atau bukan, itu bukan urusanku."

"Ya... Hill lahir sebelum kecelakaan itu menimpaku. Bisa dibilang Hill satu-satunya pewaris yang menjadi harapanku."

"Apa kau meninggalkan Letha saat dia sedang mengandung?"

Aiden mengendikan bahunya acuh. "Kebrengsekan di masa muda. Kau tak akan percaya bahwa saat itu aku bisa membawa sepuluh wanita ke ranjangku dalam seminggu."

"Pantas kau dikutuk Tuhan." cibir Yoona sambil menunjuk ke arah kakinya yang tertutup jeans berwarna biru gelap.

"Aku pantas menerimanya. Sudah kukatakan jika kau tidak perlu takut lagi padaku karena aku sudah tidak seganas dulu."

"Tapi tidak ada salahnya untuk waspada." jawab Yoona ringan sambil mengendikan bahu. Dimana-mina pria itu sama saja, pikir Yoona dalam diam. Normal atau tidak, mereka selalu memiliki cara untuk menjerat wanita manapun yang ia inginkan. Dan sekarang Yoona merasa bingung pada Aiden. Ia takut membuat Letha terluka karena Aiden dengan terang-terangan seperti menunjukan gelagat ketertarikan padanya. Wajah Letha kemarin saat bertemu dengannya di minimarket juga sarat akan keputusasaan yang dalam. Mungkin Aiden pernah menjanjikan sesuatu pada Letha hingga membuat wanita itu berharap lebih. Dan setelah Letha melihat Aiden bersama Yoona, hati wanita itu langsung hancur karena mengetahui kesempatannya untuk bersama Aiden hilang.

"Kenapa kau tidak menikah saja dengan Letha dan menjadi keluarga yang sempurna untuk Hill? Anak itu sepertinya sangat menginginkan kehadiranmu di sisinya."

"Terkadang aku memikirkan hal itu. Tapi sekarang aku memiliki sesuatu yang lain yang harus kuperjuangkan?"

"Apa itu?"

"Kenormalanku. Aku merasa normal saat berada di dekatmu."

-00-

Laiv memejamkan matanya, membuka matanya, lalu memejamkannya lagi dengan dahi berkerut-kerut lelah. Seharian ini ia memiliki banyak pekerjaan yang perlu diselesaikan. Dan tiga jam yang lalu ia baru saja menjemput Yoona di bandara sesuai janjinya pada wanita itu. Sayangnya ia tidak sempat bertemu dengan Aiden karena kata Yoona pria itu langsung pergi meninggalkannya di loby karena memiliki urusan mendadak dengan Letha. Sekarang ia merasa lega karena Yoona sudah kembali dan terlihat baik-baik saja tanpa air mata. Andai saja hal seperti itu bisa terjadi selamanya. Tapi Laiv mendadak goyah dan merasa frustrasi saat memikirkan berbagai kemungkinan yang ada.

Sebuah amplop coklat besar tergletak begitu saja di atas meja Laiv. Isinya beberapa lembar foto yang kini telah bercecer di atas meja. Sedangkan di sisi kanan meja, terdapat sebuah map lusuh berwarna biru yang isinya kebanyakan dokumen lama yang baru tadi siang ia dapatkan. Jim Carter secara tiba-tiba datang ke kantor dan meletakan map itu di atas mejanya. Seketika ingatannya mengenai malam itu kembali terbuka. Ia pikir Jim bohong mengenai keadaan bayinya dan juga Sarah yang sebelum kritis menitipkan beberapa pesan pada Jim. Mengingat itu membuat kepala Laiv tiba-tiba dihantam rasa pening yang luar biasa. Bagaimana mungkin hal seperti ini bisa terjadi? desah Laiv frustrasi sambil menelungkupkan kepalanya ke atas meja.

Malam itu tidak ada yang spesial. Semuanya berjalan dengan teramat membosankan untuk Laiv yang baru saja keluar dari rumah sakit karena penyakit jantungnya kambuh. Tiga hari dirawat di rumah sakit membuat Laiv kini merasa lebih hidup, namun tetap hampa. Tidak ada yang menjadi penyemangatnya untuk hidup. Semua orang-orang yang disayanginya telah pergi meninggalkannya sendiri di sini.

"Syukurlah kau masih terjaga." Laiv melirik ke arah datangnya suara setelah bunyi derit kenop pintu yang diputar perlahan membangkitkan kewaspadaannya. Wajah Jim yang kemudian muncul dibalik pintu membuat Laiv berangsur-angsur tenang dan kembali bersandar pada sandaran blangkarnya.

"Bagaimana kabarmu?"

Jim memulai percakapan itu dengan sapaan basa-basi yang terkesan memuakan untuk Laiv. Hubungannya dengan Jim sedikit memburuk pasca kematian Sarah dan juga putrinya. Meskipun semua kejadian itu tidak disebabkan oleh Jim, tapi terkadang Laiv menyalahkan Jim juga sebagai penyebab kematian istri dan anaknya. Bagaimanapun ia tidak ingin disalahkan sendiri atas tuduhan tidak memperhatikan sang istri selama mengandung. Padahal menurut sudut pandangnya, saat itu ia bekerja keras agar ia dapat memberikan yang terbaik untuk kedua orang yang ia cintai. Tapi sudahlah, nasi sudah menjadi bubur. Untuk apa ia memperdebatkan masa lalunya yang tak akan pernah bisa diulang kembali.

"Lebih baik, tapi tetap menyedihkan." balas Laiv muram. Dengan sorot matanya ia mengisyaratkan Jim untuk duduk di kursi kosong yang beberapa saat yang lalu digunakan oleh sekretarisnya untuk melaporkan perkembangan kegiatan kantor hari ini.

"Aku yakin kau bisa sembuh jika kau rutin meminum obatmu. BYoongr bilang kau sering melupakan jadwal meminum obatmu dan membiarkan penyakit itu semakin parah menggerogoti tubuhmu."

"Untuk apa aku sembuh." ucap Laiv hambar. Pandangannya terlihat kosong ke arah televisi hitam yang menempel di permukaan dinding. Semua fasilitas yang ia dapatkan di kamar itu rasanya percuma. Televisi besar yang canggih, kulkas besar dengan berbagai macam buah-buahan, pantry kecil, pemandangan Kota LA yang menakjubkan, semuanya menjadi sia-sia saat Laiv sama sekali tidak bisa menikmati semua fasilitas itu. Termasuk fasilitas dokter pribadi yang bisa ia mintai pendapat setiap waktu untuk kebaikan tubuhnya, mereka semua benar-benar terasa tidak berguna untuk Laiv yang telah lama kehilangan gairah hidup.

"Sarah tidak menginginkan hal ini."

Jim merasa ikut prihatin saat melihat kondisi teman baiknya yang kini terlihat semakin buruk. Penyakit jantung itu seperti senjata yang digunakan Laiv untuk merusak tubuhnya. Pria itu sengaja merusak dirinya sendiri agar dapat segera menyusul istrinya. "Istrimu berharap kau mendapatkan kehidupan yang lebih baik, Laiv."

"Tahu apa kau soal istriku." maki Laiv kasar. Ia tidak suka jika hidupnya diatur-atur oleh orang lain. Apalagi sampai membawa nama istrinya yang telah meninggal.

"Dengar Laiv, kau telah melakukan sebuah kebodohan besar dengan menyia-nyiakan hidupmu seperti ini. Padahal seharusnya kau bisa bangkit dari keterpurukan supaya kau dapat membuktikan pada istrimu jika kau pria yang layak untuk membesarkan anakmu. Tapi nyatanya istrimu terlalu mengenalmu sehingga ia langsung tahu akan menjadi seperti apa nasib anaknya jika kau dibiarkan untuk membesarkannya." jelas Jim dengan nada sinis. Jelas ia telah menahan diri bertahun-tahun yang lalu. Lebih dari dua puluh tahun sebenarnya. Istri Laiv meninggal sejak dua puluh enam tahun yang lalu, namun terkadang Laiv lupa kapan tepatnya istrinya meninggal dan hanya menganggapnya kematian istri dan anaknya itu baru terjadi kemarin.

"Lebih baik kau pergi, Jim. Aku tidak butuh belas kasihanmu di sini, bahkan olok-olok kejam disertai sarkasme seperti itu."

"Sayang sekali kau salah jika mengira aku ke sini hanya ingin mengolok-olokmu, Laiv." balas Jim muram. Ia sendiri sebenarnya juga sama menderitanya dengan Laiv. Bedanya ia menderita karena menyimpan rahasia terlalu lama di bawah kepalanya yang sekarang nyaris botak.

"Lalu apa? Kau ingin memaki-makiku juga? Silahkan. Aku tidak akan marah." ucap Laiv acuh tak acuh.

"Anakmu masih hidup."

Laiv yang sebelumnya bersumpah tidak akan mendengarkan kata-kata Jim, mendadak menjadi melanggar sumpahnya sambil menatap Jim tajam. "Apa maksudmu?"

"Bayi yang meninggal..." Jim mendesah berat sambil memandang Laiv sendu. "Bukan bayimu."

"Sialan kau!"

Laiv mendorong Jim keras hingga terjengkang dari kursinya. Kursi itu juga ikut terjatuh di belakang tubuh Jim dan membuat ruang perawatan Laiv yang semula sunyi, tiba-tiba menjadi lebih berisik. "Kau pikir aku akan percaya pada omong kosongmu? Hebat sekali, Jim. Kau sengaja mengarang cerita untuk membuatku lebih bersemangat dalam menjalani pengobatanku, bukan? Cih, murahan!"

Jim segera bangkit berdiri dari lantai, mengabaikan kursi besi yang tergletak di belakang tubuhnya dengan posisi terbalik. Ingin sekali ia membalas Laiv, tapi ia tidak boleh melakukannya karena Laiv sedang sakit. "Aku tahu kau pasti tidak akan percaya, tapi percayalah jika apa yang kukatakan ini nyata. Aku bahkan masih menyimpan bukti-buktinya di ruanganku."

"Jika anakku memang masih hidup, lalu dimana ia sekarang?"

"Aku juga tidak tahu."

"Brengsek!" umpat Laiv kasar sambil mendorong tiang infusnya. Beruntung Jim berada di sana untuk menahan tiang infus itu agar tidak bernasib sama seperti kursi besi yang saat ini masih tergolek di atas lantai. Kemarahan yang ditunjukan Laiv jelas merupakan sesuatu yang wajar. Selama bertahun-tahun ia ditipu dan mengira jika seluruh keluarganya telah mati meninggalkannya dengan mengenaskan.

"Anakmu lahir dengan sehat siang itu. Tak ada kelainan apapun, dan ia bayi yang sangat cantik. Hanya Sarah yang kondisinya terus menurun pasca melahirkan. Ia lalu memohon padaku untuk memberikan bayi itu pada pasien lain yang saat itu juga melahirkan di ruangan yang sama dengan istrimu, tapi bayi wanita itu meninggal karena paru-parunya terisi cairan ketuban."

"Jadi bayi yang kau tunjukan padaku itu bukan anakku?"

"Bukan." jawab Jim pelan.

"Sialan kau! Brengsek!" maki Laiv kesal. Sebenarnya masih ada banyak umpatan dan makian yang bisa ia layangkan untuk Jim, tapi ia memilih untuk tidak melakukannya. Fakta mengenai kematian palsu anaknya saja sudah membuat tenaga Laiv seketika tersedot habis. Entah kenapa ia senang, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang meronta. Dadanya... Jantungnya.

"Maafkan aku, Laiv. Itu permintaan Sarah. Ia kecewa padamu yang terlalu gila kerja. Kekhawatirannya yang berlebihan membuatnya terlalu takut jika nantinya kau juga akan menelantarkan anaknya saat ia sudah tidak ada."

"Kke kenapa ia berpikir seperti itu?" Laiv terengah-engah sambil mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. Untuk pertama kalinya dalam dua puluh tahun hidupnya, ia ingin sembuh dan ingin melawan sakit jantungnya. Tapi ternyata bertahan dari semua penderitaan ini jauh lebih berat daripada membiarkan penyakit itu menggerogoti tubuhnya hingga ia mati.

"Kau baik-baik saja, Laiv? Akan kupanggilkan perawat untuk memasangkan fentilator dan alat-alat lain yang kau perlukan."

"Tidak." cegah Laiv cepat. "Aku baik-baik saja. Katakan padaku semua yang tidak kuketahui." bisik Laiv parau. Hatinya hancur saat mengetahui semuanya itu. Ternyata selama ini Sarah menyimpan begitu banyak ketakutan, hingga rasa tidak percaya yang akhirnya justru menjadi kehancuran bagi rumah tangga mereka. Andai saja Sarah memberinya kesempatan untuk membesarkan anaknya, semua penderitaan ini tidak akan pernah terjadi padanya.

"Anakmu masih hidup. Ia hidup di suatu tempat yang aku sendiri juga tidak tahu karena dulu wanita itu bukan berasal dari LA."

Laiv masih ingat dengan jelas setiap kata-kata yang diucapkan Jim. Pengakuan demi pengakuan yang dikatakan pria itu berhasil membuat keadaannya menjadi lebih buruk. Dadanya terasa sesak kala itu. Ia dilanda kemarahan, kekecewaan, dan kesedihan yang teramat besar. Seperti ia baru saja dihantam gelombang badai yang dahsyat, ia langsung hancur dan tak berdaya menghadapi semua itu. Rasa bersalahnya juga justru mencuat semakin besar karena ternyata istrinya telah berubah membencinya sebelum melahirkan putri mereka. Saat itu Laiv hancur. Setelah pulang dari rumah sakitpun, ia sering mengurung dirinya di ruang kerja untuk merenung. Semua hal yang ia sesali selama ini satu persatu bermunculan ke udara dan menjadikan tubuh lemahnya sebagai sasaran empuk untuk menyiksanya secara fisik dan psikis.

Tapi kemudian semua itu sulit dicari kebenarannya. Ia telah menyewa seorang detektif untuk menyelidiki keberadaan anaknya, namun hasilnya selama satu tahun selalu nihil. Akhirnya ia memutuskan untuk tidak lagi mencarinya dan mencoba menganggap semua kata-kata Jim itu adalah kebohongan. Berkali-kali Jim berusaha datang ke kantornya untuk menyerahkan bukti-bukti yang kata pria itu telah ia simpan selama bertahun-tahun di dalam sebuah map yang ia sembunyikan, namun dengan keras ia menolak semua usaha Jim untuk menyerahkan berkas itu padanya. Ia sudah memutuskan untuk menghentikan pencariannya. Dan ia mulai mengira jika hidupnya akan kembali tenang tanpa dihantui rasa bersalah sebelum Yoona muncul dan membuatnya akhir-akhir ini mempertanyakan kemiripan yang terlihat antara antara dirinya dan juga mendiang Sarah. Pencarian yang sudah satu tahun ia hentikan, ia mulai lagi beberapa minggu yang lalu untuk mencari tahu latar belakang Yoona. Tapi dengan bodohnya ia justru mengambil tindakan impulsif dengan menikahi Yoona secara terburu-buru karena ia terlalu takut akan kehilangan kesempatan emas untuk hidup bersama Yoona. Dan sekarang setelah hampir dua minggu pernikahannya dengan Yoona, barulah fakta itu mencuat lagi untuk menghancurkan segalanya.

Laiv meraih selembar foto dari beberapa foto yang berserakan di atas mejanya. Semua foto itu lengkap, foto dari masa kanak-kanak, foto dari masa remaja, dan foto ketika putrinya telah tumbuh dewasa. Semua foto itu diambil dengan sangat jelas dari setiap jenjang sekolah yang dilalui putrinya. Di sisi kanan mejanya, Laiv juga telah mengeluarkan beberapa berkas yang dapat dijadikan bukti pendukung dari penemuan detektifnya hari ini. Sedikitpun tidak ada yang meleset dari penyelidikan detektifnya. Padahal sejak berhari-hari yang lalu ia terus berdoa pada Tuhan agar semua penyelidikan itu salah. Sayangnya, ia tidak bisa mengelak dari semua fakta yang saat ini telah terpapar dengan jelas di depan matanya. Ia senang saat tahu jika anaknya tumbuh dengan sangat sehat dan menjadi wanita yang sangat mengagumkan. Namun ia tidak menyukai satu fakta yang kini terasa seperti menampar wajahnya dengan keras. Anak yang ia cari selama ini adalah Im Yoona, istrinya sendiri.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro