Sweeter Than Coffee Part 7
Bukankah itu buruk, kau berada di sana tapi kau tidak bisa melihat apa-apa, kau buta...
Suatu malam aku pernah mengatakan hal itu pada Donghae. Ketika kami baru saja selesai makan malam romantis di sebuah restoran Itali bergaya klasik. Sejujurnya itu sebuah kejutan yang sangat manis. Meskipun bukan kali pertama aku mendapatkan undangan makan malam, tapi Donghae berhasil mengejutkanku dengan baik. Dimulai dengan sebuah drama pertengkaran konyol karena ia membatalkan janjinya untuk mengantarkanku membeli stroller, lalu tiba-tiba ia mengajakku pergi untuk melihat bintang di sebuah bukit yang sangat sepi. Setelah itu ia mengajakku pergi makan malam di sebuah restoran yang telah ia pesan khusus untuk kami berdua. Di sana kami makan degan nikmat, apalagi aku sudah tidak mengalami morning sickness lagi sejak bulan lalu. Nafsu makanku praktis meningkat drastis semenjak morning sickness itu pergi dari hidupku. Dan setelah makan malam kami sempat berbicara sebentar. Sebuah pembicaraan santai yang hanya membahas kami berdua sebagai tokoh utama. Malam itu Donghae menceritakan beberapa mimpinya, menceritakan rencananya setelah ia menyelesaikan kuliahnya di Universitas Nasional Seoul yang mana itu akan terjadi sekitar tiga tahun lagi dimulai dari sekarang. Ia menceritakan rencananya untuk memperluas jaringan bisnis milik kakeknya, lalu perlahan-lahan ia akan mengambil alih perusahaan milik ayahnya juga untuk mempersipkan masa pensiun ayahnya yang sebenarnya belum akan terjadi dalam waktu dekat. Banyak hal yang kami bicarakan malam itu, tapi tidak sedikitpun kami menyinggung mengenai perasaan. Donghae seperti sedang menghindari topik itu dari pembicaraan kami semenjak bulan lalu. Malam ketika aku mencoba menanyakan mengenai perasaannya, ia justru mengalihkan perhatianku dengan membahas masalah ujian. Dan hari-hari berikutnya ia menjadi semakin tidak bisa diajak berbicara karena ia selalu pulang larut malam setelah melakukan diskusi kelompok untuk ujian semesternya di Universitas. Tapi meskipun begitu, ia masih menyempatkan diri untuk memperhatikanku. Ia masih menyiapkanku susu vanila di pagi hari, mengelus perutku di tengah malam ketika janin ini mulai merindukan belaian lembut ayahnya, dan ia juga masih mengajakku pergi untuk mengusir rasa jenuh yang akhir-akhir ini menyiksaku. Lee Donghae seperti pria buta, menurutku ia tahu dengan pasti bagaimana perkembangan hatinya saat ini, namun ia masih enggan untuk mengakuinya. Untuk apa semua rasa perhatian itu jika ia tidak memiliki sedikitpun rasa untukku? Setidaknya rasa cinta itu ada di hatinya untuk janin kami, lalu mulai berkembang untukku juga.
"Sudah malam, dan kau masih berada di pinggir balkon untuk melamun..."
Dia datang. Setelah beberapa hari ini ia pergi meninggalkanku lagi untuk sebuah perjalanan bisnis. Terkadang aku merasa kesal jika ia mulai meninggalkanku untuk melakukan beberapa ekspansi ke luar negeri, tapi kemudian aku mulai membesarkan hatiku dengan mensugesti diriku sendiri jika semua itu demi masa depan kami.
"Tidak juga, aku di sini untuk melihat bintang, bukan untuk melamun."
"Tanah di bawah masih basah Yoona, kau tidak bisa membohongiku dengan bualan tentang bintang-bintang karena nyatanya malam ini langit sedang mendung."
Aku mendengus gusar dengan argumennya yang sangat tepat sasaran itu, lalu memutuskan untuk masuk kedalam kamar. Kurasa tubuhku tidak bisa lagi menghalau suhu dingin yang mulai merambat masuk menembus tulang-tulangku, dan aku tidak bisa mengelak lagi dari Lee Donghae.
"Jadi bagaimana perjalanan bisnismu?"
"Tidak ada yang spesial, semuanya terjadi seperti biasa. Bagaimana home schooling-mu hari ini?"
"Tidak ada yang spesial, semuanya terjadi seperti biasa." ucapku meniru gaya bicaranya. Sebelum ia beralih menuju lemari pakaian untuk mengambil piyama, ia sempat menoleh kearahku sebentar, terkekeh kecil untuk sikap kekanakanku, lalu pergi masuk ke dalam toilet untuk membersihkan diri. Aku benci keadaan seperti ini, aku mulai bosan dengan kehidupan tanpa kepastian yang kujalani. Aku seperti sedang berjalan di kawat tipis ketidakpastian yang diciptakan oleh Donghae. Di satu sisi aku merasa pria itu begitu baik, memperlakukanku dengan spesial seperti ia memiliki perasaan yang tulus untukku. Namun di sisi lain, ia bisa saja menghempaskanku jatuh dari semua hal-hal manis itu ketika aku telah menyelesaikan tugasku dengan baik, melahirkan anaknya. Aku masih ingat dengan jelas jika Donghae dulu pernah menjanjikan kebebasan untukku setelah aku melahirkan anaknya. Tentu saja janji itu terjadi jauh sebelum ia melamarku secara resmi bersama orangtuanya. Saat itu ia tengah membujukku untuk tidak melakukan aborsi, dan sebagai gantinya ia akan melakukan apapun yang kuinginkan. Lalu saat itu aku memintanya untuk melepaskanku setelah aku berhasil melahirkan anak ini dengan selamat. Tapi... aku tidak lagi mengharapkan itu, aku lebih mengharapkan ia mengakui perasaannya untukku dan tidak membuatku merasa kebingungan dengan segala bentuk perhatiannya.
"Melamun lagi?"
"Tidak!" sangkalku cepat. Ia memberiku tatapan menggoda dari balik kacamata tebalnya, lalu berjalan kearah ranjang untuk bergabung bersamaku meringkuk di bawah selimut. Udara benar-benar dingin malam ini. Akan sangat menyenangkan jika Donghae dengan senang hati akan memelukku. Maksudnya aku akan dengan senang hati meringkuk di bawah tubuh tegapnya yang hangat itu. Oh ayolah, aku tidak akan menjadi munafik lagi. Tidak setelah apa yang telah kami lewatkan selama beberapa bulan ini.
"Kurasa kau memiliki sesuatu untuk dibagi denganku."
"Kenapa kau selalu menebak seperti itu, apa wajahku terlihat begitu tertekan dan dipenuhi aura kesedihan?"
"Ada sedikit guratan di wajahmu yang membuatku khawatir, pasti kau banyak mengalami hal-hal yang sulit selama aku pergi."
"Sebenarnya tadi aku bertemu Kim Gura, kau tahu siswa di kelas sebelas tiga yang dulu sempat memintaku untuk menjadi kekasihnya?"
Donghae terlihat berpikir keras untuk sesaat, lalu menunjukan senyum bodohnya yang berhasil membuatku mendengus kesal. "Eee... tidak, tapi lanjutkan saja ceritamu. Aku tidak pernah terlalu memperhatikan siswa-siswa di sekolah." Ada terlalu banyak siswa di sekolah, dan ia selalu menjadi Lee Donghae yang terasingkan dari semua orang karena ia terlalu aneh di sekolah. Singkat cerita, Kim Gura adalah seorang siswa yang cukup populer. Sebelum aku bersama Siwon oppa dan setelah aku memutuskan untuk tidak bersama Leeteuk oppa, Kim Gura terus saja mendekatiku, menggodaku agar aku dapat menjadi kekasihnya dan dapat dipamerkan pada semua siswa-siswi Kirin High School. Sayangnya aku tidak pernah tertarik padanya karena ia terlalu banyak bicara untuk ukuran seorang pria. Lagipula saat itu aku lebih terarik pada pesona Siwon oppa yang berkharisma, jadi pada akhirnya aku tidak pernah sedikitpun membalas perasaannya. Lalu hari ini aku bertemu dengannya. Dan semuanya berakhir menjadi sangat buruk karena ia mengolok-olokku di depan umum.
"Jadi apa yang terjadi pada Kim Gura?"
"Kami bertemu, lalu ia mengejekku wanita murahan, jalang, dan banyak umpatan lain yang terdengar cukup kasar dari mulutnya. Aku tidak ingin kau mendengar lebih banyak lagi. Dan setelah bertemu dengannya, aku kemudian berpikir, merefleksikan semua kata-katanya pada diriku untuk mengoreksi banyak kesalahan yang selama ini tidak kusadari. Lalu aku menemukan bahwa aku seburuk itu. Semua orang pantas membenciku karena perbutanku selama ini."
"Jangan terlalu memikirkan perkataan orang lain, mereka tidak mengenal dirimu dengan baik."
Donghae berusaha menghiburku dengan membawaku kedalam pelukannya yang hangat. Nafasnya begitu hangat berada di atas kepalaku, dan aku menikmati semua itu sebagai sebuah relaksasi. Sejujurnya sedikit memalukan untuk diakui, tapi aku mulai menyukai berada di bawah kungkungan tubuh Donghae. Ini hangat, sangat hangat hingga aku sering merasa kehilangan ketika ia pergi untuk urusan pekerjaan. Ketika ia melakukan ini, aku merasa seperti mendapatkan begitu banyak atensi dan ketulusan darinya. Namun jika ia mulai menghilang, maksudku pergi untuk urusan pekerjaannya, aku mulai dihantui lagi perasaan ketakutan yang menyiksa. Aku takut karena ia tidak mencintaiku.
"Tidak ada yang mengenal diriku dengan baik, bahkan aku sendiri tidak. Bolehkah aku bertanya?"
"Bertanyalah apapun kecuali masalah hatiku."
"Kenapa?"
"Karena aku tidak pernah memiliki jawaban atas itu."
"Kalau begitu lepaskan aku." Ia melepaskanku dengan mudah setelah aku memintanya, lalu membiarkanku diterpa perasaan dingin yang kosong dan juga menyebalkan. Sebagian hatiku terasa begitu gusar dengan sikapnya, sedangkan sebagian lagi berusaha untuk mempengaruhi hatiku yang lain agar bersikap acuh tak acuh pada sikap Donghae yang mengecewakan. Ck, ada apa dengan diriku? Pertayaan itu sepertinya telah kurapalkan ribuan kali di dalam hatiku semenjak aku menikah dengan Donghae. Ada terlalu banyak perubahan mengejutkan yang terjadi pada hidupku, termasuk menikah dengan si cupu yang tampan ini. Yeah, Kim Gura benar, aku ini adalah wanita munafik. Bagaimana mungkin aku dapat berubah menjadi wanita pengemis cinta setelah dulu selalu mengolok-olok Lee Donghae. Jadi sebenarnya siapa yang tidak mengenal siapa? Jawabannya adalah tentu saja aku yang tidak mengenal diriku sendiri, aku seperti wanita buta setelah menikah dengan Donghae. Semua hal terasa begitu abu-abu dan kabur. Aku tidak bisa membedakan lagi mana prinsip, dan mana khayalan. Prinsipku dulu mengatakan jika aku tidak boleh goyah, aku harus terus berpegang teguh pada idealisme dan terlepas segera dari Lee Donghae. Tapi seiring berjalannya waktu, aku lebih banyak mengabaikan prinsip-prinsipku, menikmati kehidupan yang diciptakan Donghae untukku, lalu perlahan-lahan mulai berdamai dengan egoku.
"Donghae, bagaimana jika aku mencintaimu? Apa kau akan membalas perasaanku juga?"
Kurasakan tanganku gemetar dan napasku terasa lebih pendek saat aku mengucapkan hal itu pada Donghae. Apakah aku baru saja menyatakan perasaanku di hadapan si cupu Lee Donghae? Ya Tuhan... ini adalah karma! Ini sebuah karma untuk seorang gadis sombong sepertiku. Sekarang aku tahu bagaimana perasaan para pria itu saat mencoba untuk menyatakan perasaan mereka di depanku. Sayangnya aku dulu selalu meremehkan mereka, menganggap mereka terlalu lamban dan bodoh hanya untuk sebuah pernyataan cinta. Tapi setelah aku merasakannya sendiri sekarang, aku merasa jantungku baru saja berhenti berdetak saat aku mengucapkan kata-kata itu di hadapan Donghae. Meskipun Donghae tidak bisa melihat wajahku karena aku berbaring memunggunginya, tapi ia tentu saja akan mendengarkan semua pernyataan cintaku padanya.
"Donghae... kau masih di sana?"
Dengkuran halus samar-samar terdengar di belakangku. Secepat kilat aku membalik tubuhku sambil menahan diri untuk tidak mengeluarkan berbagai sumpah serapah di hadapan pria menyebalkan ini. Lihatlah, aku hampir saja mati karena sebuah pernyataan cinta, dan pria ini justru tertidur dengan damai disebelahku. Hmm.. hebat! rasanya aku ingin mengumpat sekarang. Namun kuurungkan segera niat laknatku itu dan berganti dengan menyentuhkan tanganku di atas permukaan wajahnya. Hangat... pipinya sangat hangat dan menyalurkan perasaan menenangkan.
"Hey, aku benar-benar hampir mati saat mengatakannya padamu. Aku baru saja membuang harga diriku untuk menyatakan perasaanku di depanmu, tapi kau... justru tertidur." ucapku seperti wanita idiot di depan Donghae yang sedang tertidur lelap. Napasnya yang naik turun dengan teratur menunjukan bahwa ia memang sedang tidur dan tidak mungkin mendengarkan kata-kataku sedikitpun. Baiklah, tidak apa-apa. Aku masih memiliki banyak waktu, sebelum bulan depan. Aku akan melahirkan bulan depan, karena usia kandunganku telah menginjak delapan bulan sekarang. Terlalu cepat memang, atau aku yang terlalu menikmati kehidupanku hingga semua ini menjadi tidak terasa sama sekali. Kadang aku berpikir tentang hari-hari setelah aku melahirkan. Akankah semuanya akan terasa sama? Tentu saja tidak. Perutku tidak akan sebesar ini dan tidak ada lagi tendangan keras di tengah malam. Aku pasti akan merindukan saat-saat membawa janin ini kemanapun aku pergi. Maaf karena dulu pernah hampir melenyapkanmu, maaf karena pernah berpikir jika kau adalah bencana. Kenyataannya janin ini adalah malikat yang sebenarnya untuk hidupku yang terlalu suram. Ya Tuhan, aku ingin menangis lagi sekarang. Air mataku menjadi tak bisa dikendalikan semenjak kehidupan membingungkan ini memporak-porandakan hatiku.
"Ssshhh... tidurlah Yoona, jangan menangis."
Aku mendongakan wajah berairku cepat kearah Donghae yang masih memejamkan matanya dengan rapat, namun kedua tangannya telah memelukku dengan erat sambil bibirnya terus berdesis untuk menenangkanku. Jadi.. apakah ia sejak tadi belum tidur? Mungkinkah ia mendengar semuanya namun berpura-pura tidak mendengarkannya? Entahlah, aku tidak ingin terlalu berspekulasi tentang hal itu. Tapi jika ia mendengarnya, kuharap ia dapat membalas rasa ini dengan sama besarnya seperti milikku.
-00-
Hari ini tidak banyak yang kulakukan, jadi aku memutuskan untuk bergabung bersama ibu melakukan kegiatan amal di sebuah panti asuhan yang berada di pinggir kota. Sebenarnya sedikit bersyukur karena pagi ini aku terbangun tanpa harus melihat Donghae. Bayangan memalukan pernyataan cintaku semalam membuat nyaliku seakan-akan ciut saat harus berhadapan dengan Donghae, padahal belum tentu juga pria itu mendengarnya, tapi hatiku dilingkupi perasaan malu yang luar biasa akan hal itu. Karma kini berlaku kepadaku. Jika aku dipaksa untuk kembali mengenang semua peristiwa di tujuh bulan yang lalu atau enam bulan yang lalu, ketika aku masih sangat membenci Donghae, itu terasa sangat jahat. Lalu dalam sekejap pria itu berhasil membuat hatiku bergetar tiap kali mendapatkan perlakuan manis darinya. Kuakui jika Donghae adalah seorang lady killer. Ia dapat menaklukanku dengan caranya sendiri, caranya yang unik, penuh kesabaran, dan penuh letupan cinta. Sayangnya ia mungkin melakukan hal-hal manis itu karena didorong oleh rasa iba ketika melihatku hancur karena kehamilan ini. Masa depanku jelas menjadi kacau semenjak ia menyentuhku, lalu semua angan-anganku terbang tanpa sisa. Kini aku hanya memiliki satu tumpuan untuk bertahan dalam hidup ini, yaitu harapan untuk hidup bahagia bersama keluarga kecilku. Tak masalah jika Donghae belum mencintaiku, aku akan bersabar menunggu hingga saat itu tiba.
"Yoona, bisa tolong ambilkan beberapa hadiah yang ibu letakan di meja depan?"
Aku yang sejak tadi melamun tentang keanehan hidupku sambil membuat hiasan pita untuk dinding-dinding aula panti asuhan, segera beranjak berdiri meninggalkan kesibukanku untuk mengambil hadiah yang ditunjuk oleh ibu di meja depan. Demi Tuhan, aku merasa langkahku semakin hari semakin berat karena janin ini. Deru napasku tampak begitu pendek-pendek ketika aku berjalan perlahan sambil menyangga pinggulku yang terasa pegal. Jadi beginilah rasanya menjadi calon ibu, selalu penuh drama dan juga air mata kurasa.
"Permisi, aku ingin mengambil hadiah milik ibu mertuaku."
"Jadi kau adalah menantu Lee Hana? Kau masih terlihat sangat muda, berapa umurmu sekarang?"
Aku menangkap adanya nada meremehkan dari nada bicara seorang wanita setengah baya berambut sebahu di sebelahku. Ia tampak begitu menyebalkan dengan dress berwarna biru norak sebatas lutut, lalu sepatu berhak tingginya yang terlihat sama sekali tidak cocok dengan dress biru noraknya. Ck, haruskah aku bersikap manis, atau sebaliknya?
"Anda benar, aku menantu nyonya Lee Hana. Usiaku... tujuh belas tahun."
Sedikit ragu aku mengucapkan detail umurku pada wanita menyebalkan di sampingku. Seharusnya ia tidak sebodoh itu untuk menafsirkan berapa usiaku saat ini jika ia tidak sedang ingin mengolok-olokku. Memang semua orang akan berpikiran buruk tentangku setiap kali melihat wajahku dan juga perut buncitku yang terisi oleh janin ini. Semua orang seperti mengolok-olokku dibalik tatapan mereka yang serba benar, padahal mereka tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku, cerita dibalik kehamilan ini. Dan seharusnya aku sudah mulai terbiasa dengan hal itu. Sayangnya itu semua selalu terasa tidak mudah bagiku tiap kali melihat pandangan menghakimi dari orang-orang yang kutemui.
"Berapa banyak putra Lee Hana membayarmu untuk tidur bersamanya?"
Jantungku terasa nyeri setelah mendengar kata-kata penuh penghinaan itu. Tolong berikan aku kekuatan, aku tidak ingin terlihat lemah di hadapan wanita norak ini. Aku memiliki harga diri, dan Donghae tidak pernah membayarku untuk apapun. Bahkan setelah kami resmi menikahpun, Donghae belum pernah menyentuhku sedikitpun. Malam itu adalah yang pertama, dan mungkin yang terakhir jika pernikahan kami tidak berjalan sesuai dengan rencana. Yang jelas Donghae begitu menghormatiku setelah semua peristiwa buruk itu terjadi. Namun sebaik apapun sikap Donghae padaku, itu tidak pernah bisa menutupi noda hitam besar di kehidupanku.
"Tidak pernah ada pembayaran diantara kami nyonya."
"Oh.. berarti kau melakukannya dengan suka rela? Ckckck... pemuda zaman sekarang, benar-benar tidak sabaran." ucapnya dengan tawa melolong seperti lolongan serigala. Aku sendiri mendadak pusing dengan suara tawanya yang melengking itu, tapi aku tidak bisa pergi begitu saja dari tempat ini dan meninggalkan ibu. Ada banyak hal yang ingin ibu tunjukan padaku. Bahkan saat pagi tadi aku mengatakan ingin bergabung dalam acara amal ini, ibu sangat antusias untuk mengajakku bergabung dan memperkenalkan satu persatu pada temannya.
"Maaf nyonya, sebaiknya anda tidak mengolok-olok kehidupanku jika anda tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi."
"Tidak tahu bagaimana? Jelas-jelas kau telah tidur bersama putra Hana sebelum kalian resmi menikah. Jangan terlalu angkuh nak, bahkan kau tidak lebih baik dari pengemis."
Kurasakan bibirku mulai bergetar dari sudut mataku mulai dipenuhi oleh air mata. Aku akan menangis.... wanita ini sudah sangat keterlaluan dengan kata-katanya. Sedikit menyesal karena aku harus bertemu dengan wanita semenyabalkan ini, dan aku sepertinya harus pergi dari sini sebelum air mataku tumpah dengan memalukan.
"Lebih baik saya pergi, permisi."
"Ck, dasar! Pergi begitu saja setelah berdiri di hadapanku dengan tidak tahu malunya."
Aku heran, sangat heran! Bagaimana mungkin aku masih dapat mendengar suara cibirannya meskipun aku telah berjalan cukup jauh darinya? Biar kutebak, ia pasti baru saja mengucapkannya dengan suara keras. Itu bahkan suara teriakan yang mampu membuat orang-orang di sini menatap ingin tahu kearahku. Sekarang aku benar-benar telah menjadi pusat perhatian di tempat ini. Semua mata tertuju padaku, lalu wanita norak itu mulai membuat cerita dramatis yang terkesan menyudutkanku. Baiklah, aku tidak apa-apa.. aku baik-baik saja... dan semua ini akan segera berakhir. Tapi... aku akhirnya jatuh terduduk di taman belakang panti asuhan yang kosong sambil menangis tersedu-sedu dengan sangat menyedihkan. Aku gagal mensugesti diriku sendiri jika aku baik-baik saja, karena kenyataannya aku tidak baik-baik saja. Hatiku terluka begitu dalam oleh kata-kata wanita norak itu. Tidak ada Lee Donghae di sini, tidak ada ibu, tidak ada ayah, dan tidak ada siapapun yang akan membelaku. Aku sendiri dengan seluruh rasa sakit yang menggerogoti hatiku. Jadi inilah hidup yang sebenarnya? Hidup ketika aku dihempaskan oleh takdir yang terasa menyakitkan.
-00-
Malam harinya aku meringkuk seperti bayi di dalam kamar tanpa berminat untuk bergabung bersama yang lainnya di ruang makan. Satu jam yang lalu Donghae telah kembali dari entahlah, aku tidak terlalu berminat untuk menanyakan kegiatannya hari ini karena aku masih dilingkupi perasaan marah dan terhina dari wanita norak tadi. Sebelum turun ke ruang makan, Donghae sempat menanyakan kondisiku, tapi aku hanya menjawabnya dengan jawaban seadanya tanpa benar-benar menatap wajahnya. Itu sama saja menghancurkan harga diriku jika aku menemuinya dengan mata bengkak dan sembab seperti ini. Aku sudah menahan sangat lama untuk dapat menangis sepuasnya di rumah sejak berada di panti asuhan. Meskipun awalnya ibu sedikit curiga dengan perubahan sikapku, namun semua itu dapat teralihkan karena ibu terlihat cukup sibuk selama berada di panti asuhan.
"Ibu mengatakan padaku jika sikapmu berubah semenjak kembali dari panti asuhan, apa yang terjadi di sana?"
Sial! Sejak kapan pria itu berada di kamar ini? Bahkan suaranya terdengar sangat dekat di indera pendengaranku. Itu berarti ia telah lama berada di sini tanpa sepengetahuanku. Atau aku mungkin terlalu banyak menangis hingga tidak menyadari kedatangannya di kamar ini?
"Aku tidak apa-apa, hanya sedikit lelah."
"Kalau begitu kenapa tidak berbalik dan menyambut kepulangan suamimu?"
"Aku sedang malas melihat wajahmu?"
Sungguh itu kata-kata paling menggelikan yang pernah kuucapkan di hadapan Donghae. Aku terlihat seperti seorang remaja yang sedang merajuk pada kekasihnya. Ya ampun, sangat menjijikan!
"Seseorang baru saja memberitahuku jika kau telah diolok-olok oleh nyonya Hwang."
"Berhentilah untuk bersikap sok tahu, aku tidak.... apa kau memata-mataiku selama ini?"
Kalimatku terhenti begitu saja saat aku menyadari sesuatu. Dan tanpa sadar aku telah membalikan tubuhku hingga pria itu kini dapat melihat mata sembabku dengan jelas. Aku kemudian mendengus sambil melemparkan tatapan sinis padanya. Lihatlah sang aktor yang menjadi tersangka utama dalam penderitaan hidupku. Ia sekarang hanya berdiri dengan bibir terkatup dan sorot mata datar yang melihat tepat kearah milikku.
"Aku tidak pernah menempatkan mata-mata di sekitarmu. Kau mungkin terlalu marah dengan nyonya Hwang hingga kau tidak menyadari kehadiranku di sana. Bahkan kau hampir menabrakku saat kau sibuk berlari untuk menyembunyikan air matamu."
Otakku kemudian mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi siang ini. Sepertinya aku memang sempat hampir menabrak seseorang saat terburu-buru berjalan menuju taman belakang. Tadi aku juga sempat menyumpahi orang itu karena hampir mencelakai seorang ibu hamil, tapi ternyata orang itu adalah Donghae... sungguh suatu kebetulan yang benar-benar gila!
"Sudah mengingatnya sekarang?"
Aku memutuskan untuk diam tanpa menjawab sedikitpun pertanyaannya lalu kembali menekuni kesedihanku di atas ranjang. Anggap saja aku sedang tidak ingin terlibat lebih banyak konfrontasi dengan Donghae. Aku hanya ingin ketenangan malam ini.
"Nyonya Hwang mencari-carimu dengan panik sore tadi, aku memintanya untuk meminta maaf padamu atau aku akan membatalkan kontrak kerjasama dengan perusahaan milik suaminya."
Aku berbalik, memandang sengit kearahnya, lalu berteriak keras dengan seluruh emosi yang aku miliki. Aku tidak suka jika ia terus menerus menggunakan hartanya untuk membuat orang lain berada di bawah kakinya. "Berhentilah menggunakan kekuasaanmu untuk memaksa orang lain agar terlihat baik di hadapanku, aku tidak suka orang yang munafik." Niatku untuk mendapatkan ketenangan sepertinya sedikit gagal. Donghae sekarang justru memancingku untuk membahas masalah nyonya Hwang yang sebelumnya telah kulupakan.
"Aku mendengar seluruh kata-katanya hari ini, itu bukan kata-kata yang bagus untuk diucapkan pada wanita hamil."
"Tapi itu sudah biasa, semua itu sudah sering terjadi padaku. Nyonya Hwang bukan satu-satunya yang memberiku cemoohan menyakitkan. Beginilah yang terjadi pada wanita hamil sepertiku, keberadaanku selalu dipandang sebelah mata oleh orang lain."
"Mereka tidak seharusnya seperti itu, sikap mereka jelas tidak mencerminkan sikap wanita terhormat."
"Memang begitulah adanya, kau tidak seharusnya terkejut dengan sikap orang-orang terhadapku. Lihatlah, semua kesalahan yang kau lakukan, aku yang harus menanggung hukumannya. Aib ini tidak akan pernah bisa hilang sampai kapanpun, aku akan terus berkubang di dalam noda hitam kelam yang kau ciptakan." bentakku kesal. Donghae tampak tak bereaksi apapun dengan kemarahanku. Ia hanya diam sambil mengatupkan bibirnya rapat-rapat dan menatapku dalam. Aku yang dilungkupi kemarahan, kemudian segera berbaring sambil menutupi seluruh tubuhku dengan selimut. Kurasakan air mata mulai menggenang lagi di pelupuk mataku. Deru napasku perlahan-lahan mulai berubah menjadi lebih pendek-pendek. Akhirnya aku terisak di dalam selimut dengan air mata yang terus saja meleleh tanpa henti. Lalu semua ingatan pahit itu perlahan-lahan muncul satu persati di otakku. Ingatan tentang Kim Gura yang tanpa sengaja bertemu denganku saat aku sedang pergi ke mini market, kemudian tatapan jahatnya yang seakan-akan begitu puas melihatku menderita dengan kata-kata pedasnya. Lalu tatapan mencemooh orang-orang yang selama ini bertemu denganku di jalan, di super market, atau dimanapun ketika aku sedang pergi keluar. Mereka semua seperti memberikanku hukuman berat dengan sikap mereka yang tampak tak bersahabat sedikitpun. Bahkan ibu sendiri sangat menyadari arti tatapan mereka padaku, namun ibu selalu berpura-pura tidak melihat mereka dan hanya fokus mengajakku berbicara agar aku melupakan sikap buruk mereka semua. Dan kurasa hari ini adalah puncaknya karena Donghae turut serta memperparah keadaanku dengan sikap sok berkuasaya yang dari hari ke hari semakin terasa menyebalkan. Seharusnya Donghae bisa bersikap lebih bijak untuk hal-hal tidak menyenangkan yang kualami. Aku sudah muak dengan wajah manis penuh topeng yang orang-orang kenakan karena takut pada kekuasaan Donghae. Dulu aku sering mendapatkannya selama duduk di bangku junior high school maupun senior high school, karena itulah aku tidak bisa mendapatkan teman dengan mudah. Aku selalu terkesan pilih-pilih dan juga angkuh, namun itu semua kulakukan semata-mata karena aku tidak ingin mendapatkan sebuah tipuan.
Tiba-tiba aku merasakan ranjang di sebelahku berderit pelan, disusul dengan goncangan lembut hingga suara tepukan bantal yang dilakukan sebanyak dua kali. Itu jelas-jelas Lee Donghae. Sejak kami menikah aku mulai mengerti tentang kebiasaan anehnya yang gemar menepuk-nepuk bantal sebelum tidur. Tapi pria itu benar-benar jahat jika memutuskan untuk tidur tanpa ingin berusaha menenangkanku atau melakukan sesuatu yang dapat membuat perasaanku membaik. Sial! ia benar-benar mengabaikanku dan memilih untuk tidur dengan suara dengkuran halusnya. Perasaan ini sungguh bodoh, dan aku tidak tahu kapan tepatnya aku mulai mengemis-ngemis cinta pada Lee Donghae. Meskipun tidak kulakukan secara terang-terangan, namun aku akan uring-uringan seperti ini jika Donghae tidak terlihat menunjukan sikap perhatiannya padaku, atau ketika Donghae sudah mulai sibuk dengan pekerjaannya di luar sana, aku selalu merasa cemburu. Dan bahkan akhir-akhir ini aku mulai dihantui perasaan cemas jika di universitas mungkin saja ada beberapa wanita penggoda yang akan berusaha merebut Donghae dariku. Ya Tuhan! Hentikan Yoona! kau benar-benar konyol dengan pikiran bodohmu itu. Terserah jika Donghae akan berkencan dengan teman-teman wanitanya, aku tidak peduli! Itu bukan urusanku, dan aku tidak seharusnya mencampuri urusan Donghae.
"Tidurlah, aku tahu kau masih terjaga."
Aku sedikit berjengit saat tangan-tangan yang kokoh mulai memelukku. Kurasakan rambut-rambut di tengkukku sedikit meremang karena perlakuan Donghae. Baiklah, aku akan tidur suamiku. Tapi jangan harap aku akan melupakan sikap menyebalkanmu hari ini. Mungkin aku akan merajuk padamu beberapa hari, atau membuat masalah hingga kau merasa muak padaku sepanjang hari. Selamat malam Donghae, aku mencintaimu.
-00-
"Selamat pagi, saatnya bangun Yoona..."
Aku menggosok-gosok mataku berkali-kali sambil mengerang kesal, merasakan sinar matahari yang langsung menembus kedalam retina mataku. Donghae... apa yang ingin dilakukan pria itu pagi ini?
"Tolong tutup tirainya, itu sangat silau."
"Kau harus bangun, aku sudah menyiapkan sarapan untukmu. Ayo bangun."
Donghae menarik paksa tubuhku dan membuatku bersandar di kepala ranjang dengan perasaan kesal. Aku masih ingin memejamkan mataku lebih lama. Apalagi sekarang aku merasakan kedua kelopak mataku terasa begitu berat dan mengganjal. Ini pasti efek dari menangis semalaman karena orang-orang menyebalkan di sekitarku.
"Jam berapa sekarang? Kenapa kau tidak pergi kuliah?"
"Hari ini aku libur, ada banyak hal yang ingin kulakukan bersamamu."
"Benarkah? Apa kau sedang mencoba memperbaiki keadaan?"
"Mungkin. Sudahlah, cepat cuci muka dan makan sarapanmu, aku akan segera kembali."
Ia mengecup keningku lembut dan segera beranjak dari ranjang untuk... entahlah, aku tidak tahu apa yang ia rencanakan hari ini. Tapi sepertinya akan menyenangkan mendapatkan sebuah kejutan dari Donghae. Bola mataku kemudian bergulir kearah nampan yang diletakan Donghae di atas meja kecil di samping ranjang. Salad buah dengan topping yoghurt segar, bacon, telur mata sapi setengah matang, sayuran rebus, dan susu ibu hamil.... ini adalah american style. Aku tidak tahu jika Donghae penikmat breakfast american style, atau ia melakukannya hanya untuk mengesankanku? Selalu saja aku memiliki prasangka buruk dibalik sikap baik Donghae, tapi aku juga akan kesal jika Donghae tidak bersikap manis padaku. Demi Tuhan, aku tidak mengerti dengan perasaanku sendiri. Aku merasa buta, aku buta dengan kehidupan percintaanku yang rumit ini.
"Kenapa masih berada di sana? Ayolah, jarum jam terus bergerak Yoona."
Ia memperingatkanku dengan aksen galak sambil menunjuk-nunjuk jam dinding yang jarumnya berdetik berisik. Apa sih yang sebenarnya direncanakan oleh pria itu? Apakah ia ingin membuat kejutan untukku?
"Memangnya apa yang akan kita lakukan hari ini?"
"Tidak ada."
"Lalu untuk apa semua ini?"
"Kau akan tahu nanti, sekarang bersiap-siaplah, aku menunggumu di bawah."
Pria itu! Aku tidak tahu lagi harus bersikap seperti apa padanya. Terkadang ia menunjukan sisi misteriusnya, sisi lemah, sisi berkuasa, dan sisi menyebalkan. Donghae benar-benar seperti seorang pria dengan alterego yang kompleks. Setelah aku selesai dengan kerumitan pikiranku, aku segera menyeret kedua kakiku untuk masuk kedalam kamar mandi. Meskipun saat ini aku sedang berjalan di atas lantai kayu yang hangat, hal itu sama sekali tidak menghilangkan sedikitpun kemalasan yang melekat di tubuhku hari ini. Apalagi dengan beban tubuh yang semakin bertambah, langkahku menjadi semakin lambat dengan cara berjalan yang selalu dalam posisi menyangga pinggul. Ini pegal, tapi aku merasa semakin bahagia saat melihat tanda-tanda kehidupan janinku. Hatiku akhir-akhir entah kenapa selalu dilingkupi perasaan bahagia yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Seperti aku memiliki ribuan kupu-kupu yang memenuhi hatiku, lalu terbang ke otakku dan mengirimkan efek dopamine yang begitu menenangkan.
"Nak, apa kau tahu jika ibumu ini sedang bahagia? Kau harus tahu nak, ibu sangat menyayangimu." ucapku seperti wanita bodoh di depan cermin. Setelah itu aku segera membasuh wajahku dan menyekanya dengan handuk kecil yang selalu berada di sana. Donghae... tentu saja pria itu yang menyiapkannya. Ia tidak pernah melewatkannya sedikitpun. Dan kuharap selamanya ia akan seperti itu. Tapi tunggu... aku tidak tahu kemana ia akan membawaku pergi hari ini. Ck, apa yang harus kugunakan untuk pergi bersamanya? Aku membuka lebar-lebar pintu lemariku, menelusuri satu persatu isinya, dan kembali dilanda kebingungan karena aku tidak menemukan satupun pakaian yang menarik minatku. Justru aku lebih berhasrat untuk menggunakan celana jeans dan crop shirt yang sudah lama tidak kugunakan. Padahal dulu mereka selalu menjadi favoritku dan juga kedua temanku. Huh... tidak, jangan sekarang. Jangan mengeluarkan air mata di hari yang begitu cerah dan indah ini. Aku harus bahagia. Aku harus bersenang-senang bersama Donghae dan membuat sebanyak-banyaknya kenangan indah bersamanya.
"Yoona, kau sudah siap?"
"Tunggu sebentar, sepuluh menit lagi." balasku pada Donghae yang sepertinya sedang menunggu dengan tidak sabar di depan pintu. Pilihan bajuku kemudian jatuh pada terusan panjang berbahan kaos dengan model sederhana, namun kurasa ini akan cocok juga jika digunakan untuk pergi jalan-jalan keluar rumah. Aku akan memadukan pakaian ini dengan slipper shoes hitam untuk mempermanis penampilanku hari ini. Oya, dan sebuah topi baret hitam berbahan beludru akan tampak manis jika dipadukan dengan pakianku. Ini sangat sempurna, dan aku siap untuk pergi kemanapun bersama Donghae.
-00-
"Jadi kemana kita akan pergi?"
Ini sudah lebih dari sepuluh kali aku bertanya pada Donghae hingga pria itu mungkin merasa bosan atau apa, aku tidak peduli! Sejak tadi ia sudah membawaku berputar-putar kesana kemari tanpa tujuan yang jelas hingga membuatku merasa was-was. Tapi sebenarnya kekhawatiranku itu sungguh konyol. Ia tidak harus menunggu selama itu hanya untuk mencelakaiku, jika ia mau, ia bisa saja membubuhkan racun disetiap susu ibu hamil yang ia siapkan untukku atau disetiap menu sarapanku yang selalu tergletak begitu saja tanpa pengawasan yang ketat.
"Kemana kita akan pergi?" tanyaku sekali lagi. Aku janji itu adalah pertanyaanku yang terakhir, selanjutnya aku tidak akan bertanya lagi dan membiarkan Donghae membawaku pergi entah kemana.
"Studio foto."
"Untuk apa?"
"Mengambil gambar."
"Tentu saja aku tidak sebodoh itu Donghae, aku tahu dengan pasti apa yang akan kita lakukan di studio foto, tapi bukan itu yang kumaksud. Aku..." aku mendesah kesal pada diriku sendiri dan juga Donghae, tentu saja. Apa sih yang pria itu pikirkan di dalam kepalanya, mengapa ia mendadak menjadi terlihat idiot seperti itu? "Untuk apa kita pergi ke studio foto dan mengambil gambar di sana?" tanyaku akhirnya dengan intonasi yang terdengar sedikit lebih normal. Tidak boleh ada amarah dan pertengkaran di sini, jadi aku harus bersabar.
"Foto maternity. Teman-teman wanitaku di kelas banyak yang membicarakan tentang hal itu, dan kupikir itu akan bagus jika kau melakukannya juga. Suatu saat nanti kau pasti akan merindukan saat-saat mengandung Leo."
"Leo? Jadi nama itu telah resmi?"
"Sudah."
Jadi apakah ini yang dimaksud dengan kejutan? Sebuah foto maternity dan nama panggilan resmi untuk anak kami? Ya Tuhan, ini sedikit menggelikan, tapi aku menyukainya. Donghae benar-benar memperlakukanku dengan manis, bahkan untuk sebuah hal kecil yang tidak pernah kupikirkan sebelumnya. Kira-kira konsep seperti apa yang akan kugunakan untuk foto maternity? Kurasa Donghae telah memiliki rencananya sendiri dibalik wajah datarnya yang menyimpan banyak kejutan itu.
"Hey cupu, kenapa kau begitu manis hari ini?"
Tentu saja aku tidak serius saat mengatakannya, hanya sedikit merindukan saat-saat ketika berada di Kirin dengan Donghae yang selalu menjadi objek pembullyan.
"Aku merasa sangat bersalah padamu, semalam aku terus memikirkannya, beban mental yang kau rasakan selama ini. Maafkan aku."
"Lupakan, itu bukan masalah besar. Lagipula aku telah belajar banyak hal sejak mengandung, seharusnya sikap orang-orang yang memusuhiku itu bukan lagi menjadi masalah, hanya terkadang aku sedikit terbawa suasana. Kau tahu, mood wanita hamil sungguh sangat mengerikan. Terkadang di satu waktu aku seperti tidak mengenali diriku sendiri karena gangguan mood ini, jadi jangan terlalu dipikirkan jika aku tiba-tiba berubah aneh."
Kulihat Donghae terkekeh geli dengan ucapanku. Sebelah tangannya kemudian terjulur untuk mengacak rambutku yang tidak tertutupi topi. Sial! seharusnya aku tidak melepaskan topi ini untuk menghindari kejahilan Donghae.
"Aku senang dengan perubahan sikapmu akhir-akhir ini, kuharap kau bisa terus tersenyum seperti ini di depanku, setiap hari." tambahnya lembut. Jantungku! Aku merasa jantungku sedang berdetak ribut karena Donghae. Setiap gerak geriknya, sikapnya, senyumnya, dan apapun yang berkaitan dengannya, selalu membuat jantungku berdetak berkali-kali lipat lebih brutal dari biasanya. Sekarang aku seperti tidak peduli lagi dengan Lee Donghae dulu dan sekarang. Terlepas dari ternyata ia adalah seorang pria dewasa dengan harta berlimpah atau apapun itu, aku tidak peduli lagi. Ini adalah perasaanku, dan aku mencintainya.
-00-
"Ini indah..."
Aku tak henti-hentinya berdecak kagum pada beberapa gambar yang berhasil diabadikan oleh sang fotografer dengan sempurna. Di foto-foto itu aku terlihat seperti seorang ratu dengan gaun putih bersih dan juga mahkota yang terbuat dari bunga-bunga. Bahkan saat melihat gambar-gambar itu aku hampir merasa tidak percaya jika itu adalah aku.
"Kau suka?"
"Hmm.. hasilnya luar biasa. Bisakah aku melakukan pengambilan gambar satu kali lagi?"
"Tentu saja, kau beoleh melakukan sebanyak yang kau mau."
"Tapi aku membutuhkanmu di sini."
Aku menarik tangan Donghae agar berdiri tepat di depanku, lalu membuat salah satu tangannya berada di atas perut buncitku. Ia kemudian tersenyum geli saat mengetahui maksud tersembunyi dari menariknya bergabung. Ia tahu jika aku ingin dirinya memiliki sebuah foto denganku. Ini akan menjadi foto pertama dengannya yang diambil tanpa paksaan, tanpa senyuman palsu, atau tanpa sandiwara apapun.
"Terimakasih untuk semuanya."
"Itu sudah menjadi tanggungjawabku." jawabnya lembut. Kedua mata kami saling beratapan dengan kilat-kilat cahaya putih kamera yang mulai menghujani kami. Aku tersihir dengan mata sendunya, dan aku bersyukur karena telah menjadi miliknya. Mata sendu dibalik kacamata tebal itu selamanya akan menjadi sihir dan juga candu untukku. Bila tak melihat sebentar saja mata sendu itu, aku akan merasa hidupku kosong, seperti ada lubang besar yang menganga di hatiku. Dan anehnya itu selalu terjadi setiap Donghae mulai sibuk meninggalkanku untuk melakukan perjalanan bisnis atau menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya hingga larut malam di perpustakaan kampus.
"Donghae..."
"Ya?"
Kurasa aku memang sudah gila. Tubuhku tiba-tiba bergerak maju, dan bibir kami kini telah bertautan satu sama lain dengan tangan kananku yang mengalung di lehernya, lalu tanganku yang lain berada di atas telapak tangan Donghae yang sejak tadi berada di permukaan perutku.
"Aku mencintaimu." bisikku sangat pelan ditengah-tengah ciuman kami. Sedikit tidak yakin bahwa ia akan mendengar kata-kata pernyataan cinta dariku, tapi ternyata ia mendengarnya. Ia membalas ciumanku, lalu kami saling mencium dengan lensa kamera yang terus membidik kami dari berbagai sudut. Kuharap Donghae dapat membalas perasaanku dan tak menghindarinya lagi seperti biasanya. Aku hidup untuk dicintai, bukan dikasihani. Jadi jika Donghae memberiku cinta, maka aku akan bertahan di sisinya. Namun bila tidak, aku akan pergi dari hidupnya untuk mendapatkan kehidupanku kembali.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro