Personality Injury (Three)
New York, Juni 2014
"Hari ini kau memiliki jadwal meeting dengan investor dari Perancis pukul sepuluh. Lalu kau mendapatkan undangan makan siang dari tuan Liam pukul dua belas di Havenly Bursh. Setelah itu kau harus melakukan kunjungan lapangan untuk melihat perkembangan proyek propertimu pukul tiga sore."
"Hmm, aku tahu. Kau boleh istirahat Yoona, wajahmu terlihat pucat sejak tadi pagi."
Yoona meraba sendiri wajahnya sambil merasakan suhu tubuhnya yang tidak terasa panas. Sejak pagi ia memang merasa pusing, namun karena ia merasa baik-baik saja dan juga tidak demam, maka ia memutuskan untuk tetap melakukan rutinitasnya seperti biasa. Lagipula Donghae juga akan kacau jika ia tidak datang ke kantor seperti yang terjadi dua minggu yang lalu.
"Aku merasa baik-baik saja. Setelah ini aku harus menyelesaikan proposal perjanjian kerjasama yang harus segera dikirimkan pada tuan Haneda siang ini."
"Kalau begitu lakukan apapun yang menurutmu baik." Ucap Donghae acuh tak acuh.
Setelah mereka resmi menikah, kehidupan mereka sebenarnya tidak banyak mengalami perubahan. Posisi Yoona sebagai asisten sekaligus sekretaris masih dijalani Yoona seperti biasa. Dan mereka akan terlihat sangat profesional ketika berada di kantor. Meskipun sebenarnya seluruh karyawan di perusahaan Donghae telah mengetahui berita pernikahannya dengan Yoona, namun kedua manusia itu tetap berpegang teguh pada prinsip mereka jika kehidupan pribadi tidak akan pernah bercampur dengan kehidupan pekerjaan yang harus profesional. Namun tetap saja, terkadang ibu Donghae mengomel pada Donghae agar putranya itu tidak perlu mempekerjakan Yoona. Setelah memiliki menantu, nyonya Lee selalu ingin menghabiskan seluruh waktunya bersama Yoona. Namun karena Donghae terus mengikat Yoona dengan alasan pekerjaan, nyonya Lee menjadi tidak pernah leluasa untuk melakukan berbagai hal bersama Yoona. Bahkan hanya karena Yoona pergi selama dua jam bersama nyonya Lee, seluruh pekerjaan Donghae dua minggu yang lalu menjadi kacau dan berantakan.
"Yoona, jika kau merasa sakit, jangan paksakan dirimu untuk bekerja. Aku tidak mau melihat isteriku sakit dan terlihat tidak menarik lagi di ranjang."
Yoona langsung membulatkan matanya sambil melirik ke samping kiri dan kanannya yang masih tampak hening. Pria itu benar-benar tak bisa mengendalikan mulutnya untuk berbicara melalui telepon yang sedang dimode loudspeaker.
"Oppa, ada apa denganmu? Jangan berbicara macam-macam." Bisik Yoona kesal. Ia masih merasa was-was jika salah satu sekretaris dewan direksi yang lain juga mendengar suara Donghae. Meskipun sebenarnya tidak mungkin, karena bilik tempat Yoona bekerja dilengkapi oleh kaca kedap suara yang baru saja dipasang Donghae setelah mereka menikah.
"Maaf, aku selalu tidak bisa mengendalikan diri saat bersamamu." Kekeh Donghae renyah. Hari-harinya kini selalu terasa menyenangkan setelah ia menikah dengan Yoona. Wanita itu selalu bisa membuatnya merasakan kebahagiaan yang meluap-luap dan juga perasaan rindu yang terasa begitu aneh untuknya. Padahal mereka setiap hari hanya dipisahkan oleh tembok penyekat yang membatasi ruangan Yoona dan ruangannya, tapi entah kenapa ia selalu merasa rindu jika dalam dua jam Yoona tak segera masuk kedalam ruangannya untuk melakukan rutinitas membacakan seluruh jadwal-jadwalnya yang telah disusun rapi oleh Yoona.
"Sudahlah oppa, kembalilah bekerja. Dan jangan coba-coba merayuku lagi." Ancam Yoona sebelum mematikan sambungan teleponnya. Ia kemudian kembali menekuni laptopnya dan juga berkas-berkas yang berserakan di atas mejanya. Sungguh ini sangat melelahkan. Namun ia juga tidak bisa meninggalkan Donghae, karena pria itu terlalu payah untuk mengurus dirinya sendiri.
Sebenarnya akhir-akhir ini ia merasa lebih mudah lelah. Tenaganya seperti telah banyak berkurang setelah ia menikah dengan Donghae. Padahal sekarang ia sudah tak sesibuk dulu. Sekarang ia tidak perlu lagi pergi dari satu tempat ke tempat lain dengan jarak yang cukup jauh, karena sekarang ia tinggal bersama Donghae. Kemanapun ia ingin pergi, Donghae selalu siap mengantarnya seperti seorang tuan puteri. Bahkan pria itu juga tidak lagi melimpahkan banyak tugas seperti dulu. Sebagian besar pekerjaanya telah diambil alih oleh beberapa sekretaris dewan direksi. Tapi entahlah, Yoona merasa tubuhnya sekarang lebih mudah lelah dan biasanya ia akan jatuh tertidur lebih cepat saat mereka telah pulang dari kantor.
"Permisi nona Yoona, ini teh hangat pesanan anda."
James meletakan secangkir teh hangat yang masih mengepulkan asap tipis itu dengan hati-hati sambil melirik Yoona yang saat ini juga sedang mengamati gerak-geriknya.
"Aku lama tidak melihatmu di sini, padahal dulu kau sering mengunjungiku dan mengobrol bersamaku, ada apa?"
Sebenarnya Yoona tahu apa yang terjadi pada James. Pria itu menyukainya, lalu ia menikah dengan Donghae. Sederhana! Tentu saja pria itu sakit hati, dan pada akhirnya memutuskan untuk mundur. Tapi bukan itu yang ia inginkan. Ia tetap ingin menjalin persahabatan dengan James seperti dulu, karena sesungguhnya hanya James yang bisa menjadi teman bercerita yang asik. Selama ini orang-orang yang selalu mendekatinya adalah orang-orang munafik yang hanya ingin mendapatkan keuntungan dari jabatannya sebagai asisten Donghae. Dan kebanyakan dari orang-orang munafik itu adalah wanita-wanita pesolek yang selama ini selalu berlomba-lomba untuk mendapatkan hati Donghae. Karena itulah ia tidak pernah cocok dengan mereka, ia lebih memilih James sebagai satu-satunya teman yang dapat mengisi hari-harinya yang membosankan.
"Tidak apa-apa. Aku hanya sedang sibuk." Jawab James beralasan. Pria itu hampir saja melangkah pergi dari kubikel Yoona, namun Yoona segera menahannya dengan menarik tangan James agar pria itu duduk.
"Kita perlu bicara James, ada sesuatu yang harus kita selesaikan."
James terlihat ingin pergi, namun melihat wajah memelas Yoona yang sarat akan permohonan, membuat ia tidak tega dan akhirnya menyetujui permintaan wanita itu.
"Apa yang ingin kau bicarakan Yoona? Oya, selamat atas pernikahanmu dan tuan Lee, maaf aku tidak datang saat itu."
"Terimakasih James. Aku sebelumnya ingin meminta maaf padamu, karena aku tidak bisa menjadi apa yang kau harapkan selama ini. Aku tahu kau menyukaiku, tapi maaf karena aku tidak bisa menjadi kekasihmu."
"Kau tahu?" Tanya James terdengar terkejut. Ia tidak menyangka jika Yoona akan menyadari perasaanya yang menurutnya selama ini tidak terlalu kentara karena ia pikir ia berhasil menyembunyikan perasaanya dengan baik.
"Awalnya tidak, tapi Donghae oppa memberitahuku."
"Jadi tuan Lee tahu? Ahh, itu sungguh memalukan. Ia pasti akan memecatku setelah ini karena berani menyukai isterinya." Ucap James sedikit terkekeh, namun di sisi lain ia juga tampak sungguh-sungguh dengan ucapannya.
"Kau tenang saja, ia tidak akan melakukan apapun padamu. Hanya saja aku ingin kau bersikap seperti dulu. Jadilah James yang selalu menemani hari-hariku yang membosankan disini. Aku merasa hidupku hampa saat kau perlahan-lahan mulai menjauhiku."
James lagi-lagi merasa terkejut karena ternyata pikirannya selama ini salah. Ia pikir Yoona yang tidak mau bertemu dengannya setelah menikah dengan atasannya, tapi ternyata... ia salah. Sejak awal ia tahu jika Yoona memang berbeda. Ia tidak seperti kebanyakan wanita yang memuja kemewahan dan kekayaan. Yoona adalah Yoona, wanita sederhana yang hidup apa adanya tanpa kepura-puraan. Pantas saja jika pada akhirnya bosnya menjadikan Yoona sebagai isterinya, karena Yoona memang pantas mendapatkan hal itu.
"Tidak apa-apa Yoona, kau berhak menentukan pilihanmu sendiri. Kau jangan memikirkan perasaanku. Sekarang aku sudah lebih baik, dan tidak merasa kecewa seperti sebelumnya. Eee.. mengenai tawaranmu untuk menjadi teman, aku akan menjadi temanmu. Sama seperti dulu."
Yoona langsung tersenyum lega pada James sambil memeluk pria itu sebentar. Rasanya ia benar-benar lega setelah membicarakan hal ini pada James dan membuat kesalahpahaman diantara mereka segera mereda.
"Terimakasih James, kalau begitu aku pergi dulu."
James mengangguk pelan sambil memandangi siluet tubuh Yoona yang telah menghilang dibalik pintu coklat milik atasannya. Hmm, bukankah cinta memang tidak harus memiliki? Asalkan wanita yang ia suka bahagia, maka tidak ada salahnya ia membiarkan wanita itu hidup bersama pria yang dicintainya.
"Baiklah James, ayo lanjutkan hidupmu yang membosankan ini."
-00-
Cklek
Yoona membuka pintu coklat di depannya pelan sambil melongokan kepalanya kedalam ruangan Donghae yang tenang. Pria itu sepertinya tidak menyadari kehadirannya yang cukup berisik, dan terlihat sedang sibuk berkutat dengan seluruh berkas-berkasnya.
"Tok tok tok, tuan Lee... saatnya meeting dengan investor dari Perancis."
Yoona sengaja mengeraskan suaranya dari ujung pintu untuk memancing perhatian Donghae. Kali ini ia sedikit malas untuk masuk kedalam ruangan Donghae karena ia merasa pusing dengan pengharum ruangan yang digunakan Donghae di ruangannya. Padahal selama ini ia tidak mempermasalahkan pengharum ruangan itu. Bahkan ia sendiri yang memilih pengharum ruangan iu untuk digunakan di dalam ruangan Donghae. Jadi, sebenarnya ada apa dengan dirinya hari ini?
"Kenapa kau terus berdiri di sana? Kau tidak ingin membantuku mempersiapkan bahan-bahan untuk meeting?"
"Aku pusing." Jawab Yoona jujur. Ia terlihat masih berdiri di ambang pintu yang jaraknya cukup jauh dari meja kebesaran Donghae. Namun tiba-tiba Donghae melihat ada sesuatu yang ganjil. Wajah Yoona yang pucat, serta tubuh Yoona yang lunglai tiba-tiba limbung, dan dalam hitungan detik wanita itu telah jatuh tak sadarkan diri di dalam pelukannya.
"Yoong! Im Yoona! Hey hey hey... apa yang terjadi padamu sayang? Im Yoona? Shit!"
Donghae mengumpat keras dan segera menggendong tubuh tak berdaya Yoona menuju mobilnya. Sungguh ini benar-benar sebuah cobaan untuknya karena Yoona tiba-tiba saja pingsan di depan ruang kerjanya, yang berada di lantai tiga puluh. Itu berarti ia harus melewati banyak orang untuk membawa tubuh lemah Yoona menuju mobilnya. Dan setelah ini ia harus siap jika seluruh karyawannya akan menjadikannya dan Yoona sebagai tontonan gratis.
"Minggir, berikan jalan untukku!"
"Ya Tuhan, ada apa dengan nona Yoona? Tuan, apakah anda ingin saya memanggilkan ambulance?" Tanya nyonya Rose terdengar simpatik. Namun diluar dugaan, wanita tua itu justru mendapatkan bentakan dari Donghae karena tubuh besarnya justru menghalangi jalannya untuk masuk kedalam lift.
"Minggir, kau menghalangi jalanku wanita tua. Lebih baik kau duduk saja di kubikelmu daripada menghalangi jalanku."
Donghae sudah benar-benar tak bisa berpikir jernih sekarang. Di kepalanya hanya terisi Yoona, Yoona, dan Yoona yang tiba-tiba pingsan di depannya. Padahal pagi tadi wanita itu masih baik-baik saja. Dan bahkan Yoona sempat mengerjainya dengan memberikan secangkir kopi super pahit yang rasanya benar-benar sangat buruk.
"Minggir! Tolong berikan aku jalan!"
Setibanya di loby kantor, Donghae langsung berteriak-teriak heboh pada siapapun yang telah menghalangi jalannya menuju tempat parkir kantor. Rasanya ia ingin mengumpat saat ini juga, memarahi seluruh karyawan-karyawannya yang justru hanya sibuk menjerit tanpa benar-benar melakukan sesuatu yang berguna.
"Yaa ampun nona Yoona!"
"Nona Yoona, apa yang terjadi?"
"Tuan Lee, nona Yoona pingsan!"
Dasar bodoh! Karyawan tak berguna!
Donghae rasanya benar-benar ingin mengumpat saat ini pada seluruh karyawannya yang tak membantu itu. Teriakan mereka yang sangat nyaring justru menambah kadar kepanikan yang saat ini sedang membumbung di otaknya. Ia sangat takut sesuatu yang buruk akan menimpa Yoona. Kemudian wanita itu akan meninggalkannya sendiri, sebatang kara, dengan status baru yang benar-benar tak ingin ia miliki saat ini.
"Sayang, kumohon bertahanlah. Jangan tinggalkan aku."
Donghae bergumam panik di dalam mobilnya setelah ia berhasil meletakan Yoona dengan selamat di dalam kursi penumpang mobilnya. Setelah itu ia segera melompat masuk kedalam kursi kemudi, dan segera melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh menuju rumah sakit. Semoga saja pikiran buruknya tentang kondisi Yoona tidak benar-benar terjadi. Semoga Yoona hanya sekedar kelelahan, dan ini bukan sebuah pertanda jika sesuatu yang buruk sedang tumbuh dan berkembang di dalam tubuh Yoona.
-00-
Isteri anda sedang hamil. Jadi jangan memaksakan isteri anda untuk melakukan sesuatu yang berat, yang dapat membuatnya kelelahan dan stress.
Kata-kata dokter itu masih terus terngiang-ngiang di kepala Donghae hingga pria itu merasa benar-benar buruk saat ini. Melihat Yoona yang sedang terbaring lemah di depannya, dengan jarum infus yang menusuk pergelangan tangannya membuat Donghae merasa telah menjadi suami paling buruk sepanjang masa. Bagaimana mungkin ia tidak pernah tahu jika Yoona sedang hamil? Bahkan akhir-akhir ini ia juga sering membebani Yoona dengan banyak pekerjaan. Kesepakatannya dengan Yoona untuk tetap menjaga profesionalitas mereka di lingkungan kantor membuatnya lupa jika saat ini Yoona bukan lagi asistennya seperti dulu. Dan ia juga lupa memperhitungkan kemungkinan Yoona hamil dalam waktu dekat karena intensitas mereka melakukan seks selama ini. Lebih tepatnya ia yang selalu memaksa Yoona untuk melayani kebutuhan biologisnya yang sangat menggila itu. Sedangkan Yoona, ia selalu menjadi wanita penurut yang sangat baik hati, yang selalu melayani suaminya yang maniak seks itu dengan pasrah.
"Yoong, tolong maafkan aku. Seharusnya aku lebih peka pada kondisimu yang akhir-akhir memang terlihat berbeda. Tolong maafkan suamimu yang bodoh ini." Gumam Donghae penuh penyesalan sambil menggenggam telapak tangan Yoona erat.
Tak berapa lama Donghae merasakan adanya pergerakan kecil dari telapak tangan yang digenggamnya, disusul dengan suara lenguhan kecil dari Yoona, dan perlahan-lahan kedua kelopak mata cantik itu mulai terbuka perlahan.
"Oppa... apa yang terjadi? Aku merasa duniaku berputar-putar." Keluh Yoona sambil memijit pelipisnya. Melihat itu Donghae segera mencium kening Yoona lembut sambil membisikan kata-kata penyemangat untuk isterinya yang sedang sakit.
"Tenanglah Yoong, kau sekarang berada di rumah sakit. Kau pingsan tadi, di depan ruang kerjaku."
"Lalu apa yang terjadi? Apa sesuatu yang buruk terjadi padaku?" Tanya Yoona mulai khawatir. Akhir-akhir ini ia memang merasa tubuhnya lebih cepat lelah dari biasanya. Namun ia tidak pernah mau memikirkannya karena hal itu justru akan membuatnya ketakutan dan berpikir macam-macam. Namun melihat bagaimana keadaanya saat ini, membuat Yoona akhirnya mulai merasa was-was dengan apa yang terjadi pada tubuhnya.
"Tenang Yoong, tidak ada sesuatu yang buruk terjadi padamu. Kau hanya sedang hamil."
"Ha... mil? Apa oppa yakin? Oppa benar-benar serius jika aku sedang hamil?" Tanya Yoona tak percaya sambil meraba perut datarnya gemetar.
"Ya, kau hamil. Kita akan segera memiliki anggota keluarga baru di tengah-tengah keluarga kecil kita."
"Ya Tuhan, aku akan menjadi seorang ibu!"
Yoona tak kuasa membendung air matanya sambil menatap perut datarnya penuh haru. Akhirnya salah satu impian terbesarnya akan segera terwujud. Ia akan memilki seorang anak yang nantinya akan menemani hari-harinya yang terasa monoton bersama Donghae. Setidaknya meskipun ia tidak melibatkan perasaanya dalam pernikahan ini, namun kehadiran bayi kecil di dalam rahimnya berhasil membuat Yoona untuk pertama kalinya memiliki sebuah emosi yang dinamakan cinta. Cinta seorang ibu untuk anaknya yang sangat ia sayangi.
New York, November 2014
"Hahahaaa!! Lakukan lagi oppa, menarilah lagi di depanku dengan kostum cheerleader itu."
Yoona bertepuk tangan riuh di ruang tengah sambil menyaksikan Donghae yang sedang bertingkah bodoh dengan pakaian cheerleader milik salah satu rekannya yang berhasil dipinjam paksa oleh Yoona. Entah mendapatkan ide gila darimana, namun tiba-tiba Yoona ingin meminjam kostum itu untuk dibawa pulang. Dan saat mereka telah tiba di rumah, Yoona dengan sadisnya meminta Donghae untuk menggunakan pakaian itu sambil menari-nari seperti orang bodoh di depannya.
"Kau senang? Kau senang melihat suamimu menderita seperti ini?" Tanya Donghae jengkel. Harga dirinya benar-banar telah diinjak habis oleh Yoona, berkat kostum bodoh dan juga keinginan aneh-aneh Yoona yang menyebalkan.
"Tapi ini bukan keinginanku oppa, tapi...."
"Anak kita! Ck, aku benar-benar bosan mendengarkan alasan bodoh itu terus menerus dari bibirmu. Bisakah kau memberikan alasan yang lebih masuk akal?" Dengus Donghae kesal. Rasanya telinganya sudah terlalu panas mendengar alasan itu yang terus menerus digunakan Yoona untuk mengerjaianya seperti ini. Bahkan saat wanita itu merengek-rengek untuk dibelikan es krim kemarin malam, wanita itu juga menggunakan calon anak mereka untuk dijadikan alasan.
"Sudahlah Yoong, mengaku saja jika kau ingin menyiksaku seperti ini." Keluh Donghae frustrasi. Yoona hanya meringis kecil dari atas sofa sambil sesekali mengelus perut buncitnya yang semakin lama terlihat semakin besar.
"Maaf, tapi kau memang sangat lucu oppa." Kikik Yoona geli. Setelah itu Donghae segera pergi menuju kamar mereka untuk membersihkan semua atribut menggelikan yang saat ini sedang menempel di seluruh tubuhnya. Ia bersumpah ini adalah terakhir kalinya ia bersikap bodoh dengan kostum aneh itu untuk menghibur Yoona. Persetan dengan suara rengek atau sikap ngambek Yoona nanti, pokoknya ia tidak akan menggunakan kostum bodoh itu lagi.
Sementara Donghae sedang sibuk menggerutu di dalam kamarnya, Yoona sedang menikmati quality timenya bersama sang bayi. Sejak usia kandungannya memasuki bulan ke lima, bayinya semakin lama terlihat semakin aktif. Terkadang Yoona merasakan tendangan yang begitu keras di perutnya, atau gerakan-gerakan kecil yang selalu berhasil membuat Yoona geli.
"Hai sayang, apa yang sedang kau lakukan sekarang? Apa kau suka melihat pertunjukan bodoh ayahmu?" Ucap Yoona geli sambil mengelus perutnya lembut. Rasanya benar-benar puas karena telah berhasil mengerjai Donghae dengan kondisi kehamilannya. Jika dulu Donghae yang selalu membuatnya kesal dengan seluruh perintah-perintahnya yang tak masuk akal, maka sekarang ia akan melakukan balas dendam pada pria itu. Ia akan terus membuat Donghae konyol dengan berbagai permintaan aneh-anehnya yang sebenarnya datang dari keinginan pribadinya, bukan dari bayinya sama sekali.
"Ahh..."
Yoona merasakan perut kirinya tiba-tiba merasa nyeri. Hal itu telah terjadi sejak satu bulan lalu, saat ia sedang membersihkan kamarnya dan menatap baju-baju bayi untuk anaknya. Namun ia tidak pernah berpikir jika rasa nyeri itu akan terus datang dan semakin lama intensitasnya semakin sering.
"Sayang, apa kau yang melakukannya?"
Yoona bertanya khawatir sambil berharap jika hal itu memang karena pergerakan aktif anaknnya. Ia takut jika nyeri yang akhir-akhir ini ia rasakan itu adalah karena sesuatu yang lain, bukan karena gerakan bayinya yang aktif.
"Hey, ada apa?"
"Hmm, tidak ada apa-apa. Aku hanya sedang merasakan gerakannya yang semakin aktif." Jawab Yoona berbohong. Ia lalu mulai menyibukan diri dengan memilih benang-benang rajut yang telah ia siapkan untuk membuatkan sepasang kaos kaki dan juga syal untuk calon anaknya.
"Mana yang lebih bagus? Pink atau kuning? Aku bingung menentukan warnanya karena semuanya terlihat bagus untuk dijadikan kaus kaki."
"Apa kau sudah tahu jenis kelaminnya? Bagaimana jika dia laki-laki? Kau ingin memberinya kaus kaki berwarna pink?" Tanya Donghae sangsi. Yoona langsung mengerucutkan bibirnya lucu sambil melemparkan benang-benang itu kedalam kotak jahitnya.
"Kau membuat moodku hilang. Pergi kau dari sini."
"Ya ampun Yoong, aku hanya menyuarakan pendapatku. Ayolah, jangan terus merajuk seperti ini." Bujuk Donghae melunak. Baginya Yoona yang sedang merajuk itu akan lebih mengerikan daripada saat ia gagal mendapatkan tender yang ia inginkan. Saat ngambek, Yoona akan terus menerus bersikap kekanakan dan juga menjengkelkan. Bahkan Yoona pernah bersekongkol dengan ibunya untuk pergi seharian dari rumah tanpa memberinya kabar sedikitpun. Dan karena hal itu, ia harus mengelilingi kota New York, berkendara kesana kemari seperti orang gila sambil memikirkan Yoona yang ternyata sedang pergi ke salon bersama ibunya. Sungguh, itu pengalaman yang sangat menjengkelkanl!
"Kurasa warna kuning akan lebih netral, laki-laki atau perempuan, mereka tetap bisa menggunakannya."
"Hmm, nanti aku akan merajutnya. Ngomong-ngomong terimakasih atas hadiah terindah ini, aku sangat bahagia dengan kehamilanku. Sejak awal aku selalu ingin menjadi ibu seperti ibuku, yang baik dan sering tersenyum pada anak-anaknya. Ibuku tidak pernah sekalipun memarahi anak-anaknya, meskipun kami sangat nakal. Saat kami mulai berbuat onar, mengotori rumah yang baru saja dibersihkan oleh ibuku, dan berkelahi dengan salah satu teman kami, ibu hanya tersenyum. Membelai kepala kami pelan, lalu menasihati kami dengan kata-kata yang lembut dan tidak menghakimi. Hahh... entah terbuat dari apa hati ibuku itu. Aku mungkin tidak akan bisa benar-benar sepertinya, tapi aku akan berusaha untuk itu."
Donghae mengelus bahu Yoona pelan dan membawa wanita itu kedalam pelukannya. Sedikit banyak ia merasa bersalah pada Yoona karena ia yang menyebabkan Yoona berpisah dengan keluarganya cukup lama. Bahkan saat gadis itu masih membutuhkan figur ibu untuk melindunginya dan memberikannya kasih sayang, ia justru merampas Yoona dari keluarganya begitu saja. Ia memanfaatkan kelemahan keluarga Yoona untuk keuntungan dirinya sendiri.
"Kau merindukan ibumu? Bagaimana jika kita pulang ke Seoul bulan depan? Aku akan mencoba mengatur jadwalku."
"Jangan. Aku tahu kau sangat sibuk. Tapi sebenarnya aku ingin pulang ke Seoul setelah aku melahirkan. Bisakah kau menemaniku? Aku ingin menemui ibu, sekaligus memperkenalkan ibu pada cucu pertamanya. Ibu pasti akan sangat senang jika kita memberikan kejutan nanti."
Yoona tampak berbinar-binar menceritakan keinginannya pada Donghae sambil berandai-andai terlalu jauh mengenai kepulangannya besok. Memang hal itu masih cukup lama, sekitar empat atau lima bulan lagi. Namun selama itu, Yoona akan menunggu dengan sabar sambil membesarkan anaknya dengan baik di New York.
"Baiklah. Kita akan pulang saat kau melahirkan nanti. Aku juga meridukan Seoul dan semua hal yang kutinggalkan di sana. Semua teman-temanku, dan... mantan kekasihku." Ucap Donghae sedikit pelan. Yoona langsung memberikan tatapan tajam pada pria itu sambil mencubit gemas perut keras Donghae.
"Hmm, ternyata kau masih mengingat mereka semua. Bae Irene? Kim Suzy? Jung Sinhye? Ckckck... aku masih ingat bagaimana lengketnya mereka dulu padamu. Tapi justru aku yang akhirnya menjadi isterimu." Cibir Yoona mencemooh. Masih sangat segar di ingatannya bagaimana dulu wanita-wanita itu sangat memuja Donghae. Mereka semua selalu terlihat seperti lintah dimanapun Donghae berada. Bahkan mereka selalu memandang sebelah mata keberadaaannya yang saat itu masih menjadi pesuruh Donghae. Namun siapa yang tahu dengan masa depan. Takdir ternyata justru membawanya kepada Donghae, dan menjadikannya isteri dari Lee Donghae. Sungguh, itu benar-benar tak terduga dan sangat mengejutkan untuk Yoona sebenarnya.
"Hey, bukankah takdir memang tidak ada yang tahu. Sudahlah, nikmati saja kehidupanmu sebagai isteriku. Aku janji tidak akan menjadi player seperti dulu. Aku hanya mencintaimu."
Bughh
Yoona tiba-tiba memukul lengan Donghae sambil tertawa terbahak-bahak. Pria itu terlihat sangat tidak cocok dengan pernyataan cintanya yang terdengar aneh itu.
"Kau benar-benar menggelikan. Jangan ucapkan itu lagi di depanku."
"Kenapa? Kau benar-benar wanita aneh yang sangat unik. Mungkin Tuhan hanya menciptakan satu species sepertimu diantara jutaan manusia yang diciptakan-Nya."
"Ck, apa kau pikir aku hewan? Sudahlah, kau membuatku lapar. Aku ingin makan...."
"Yoong, jangan mulai lagi." Keluh Donghae frustrasi. Sedangkan Yoona, ia hanya tersenyum-senyum aneh kearah suaminya sambil mencubit pipi Donghae dengan gemas.
"Aku hanya ingin makan nasi kari. Aku akan memasak sendiri hari ini."
Donghae langsung menghembuskan napasnya lega sambil mencium pipi Yoona gemas. Akhirnya Yoona tidak menyusahkannya lagi dengan permintaanya yang aneh-aneh. Atau mungkin belum, dan mungkin Yoona akan menyimpan permintaan aneh-anehnya untuk mengusik tidur nyenyaknya nanti malam.
-00-
"Ddo Donghae oppa..."
Yoona merintih kesakitan sambil mencoba membangunkan Donghae yang sedang tertidur pulas di sampingnya. Sejak tadi Yoona tidak bisa benar-benar bisa memejamkan matanya karena nyeri yang mendera perutnya tak kunjung hilang sejak tadi siang. Lalu puncaknya adalah malam ini, rasa sakit itu semakin parah, terasa seperti menusuk-nusuk perut bagian kirinya hingga ia merasa sudah benar-benar tidak kuat lagi. Ia ingin pergi ke rumah sakit sekarang juga untuk mengurangi penderitaannya malam ini.
"Oppa... oppa... perutku sakit."
Sekali lagi Yoona mencoba membangungkan Donghae dengan seluruh sisa-sisa tenaga yang ia miliki. Dan syukurlah, Donghae perlahan-lahan mulai merespon suara rintihannya yang lemah sambil sesekali mengusap wajahnya yang masih berada di ambang batas kesadaran.
"Ada apa Yoong? Kau ingin minum?" Tanya Donghae dengan suara serak. Yoona langsung menggelengkan kepalanya pelan sambil menggigit bibir bawahnya kuat untuk mengurangi rasa sakit yang terasa menusuk-nusuk di perutnya. Sayangnya Donghae belum sepenuhnya bangun dari tidurnya, sehingga ia masih harus melakukan sedikit usaha ekstra agar Donghae menyadari kesakitannya saat ini.
"Perutku sakit oppa... Aa aku sudah tidak kuat."
Mendengar suara lemah Yoona, Donghae langsung membuka matanya nyalang sambil menoleh kearah Yoona yang terlihat pucat. Ia lalu segera bangkit dari posisi tidurnya dan langsung mengecek kondisi Yoona yang terlihat terus menerus memegangu perut bagian kirinya.
"Oppa, sakit... Rasanya seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum." Rintih Yoona kesakitan. Melihat wajah Yoona yang terlihat pucat dan juga lemas, Donghae langsung menggendong Yoona menuju mobil untuk segera dibawa ke rumah sakit. Kondisi Yoona yang terlihat memperihatinkan itu benar-benar harus segera mendapatkan pertolongan dokter ahli, atau sesuatu yang buruk bisa saja menimpa Yoona dan bayinya.
"Yoong, kenapa kau tiba-tiba seperti ini? Bukankah sebelumnya kau tidak pernah mengeluh apapun?"
Donghae mencoba mengajak Yoona berbicara di tengah-tengah kekalutannya saat menyetir mobil. Ia harus terus mengajak Yoona berbicara agar wanita itu tetap sadar dan tidak kehilangan kesadarannya sebelum mereka tiba di rumah sakit.
"Aa aku ttidak tahu oppa, tiba-tiba perutku terasa nyeri se sejak beberapa minggu yang lalu." Jawab Yoona terbata-bata. Saat ini ia merasa berada di ambang batas kematian yang sangat mengerikan. Ia bahkan sudah tidak bisa berpikir jernih dan hanya berpikir bagaimana cara mengakhiri rasa sakit itu secepatnya. Namun di sisi lain ia juga mengkhawatirkan bayinya. Ia takut semua rasa sakit itu akan berpengaruh pada bayi yang telah ia nantikan selama ini.
"Kenapa kau tidak pernah menceritakannya padaku? Aku pasti akan mengantarmu ke rumah sakit jika aku tahu kau tidak baik-baik saja."
Donghae merasa gusar pada dirinya sendiri, dan lagi-lagi ia menyalahkan kebodohannya yang tidak pernah peka terhadap kondisi Yoona. Akhir-akhir ini ia memang terlalu sibuk di kantor, dan jarang memperhatikan kesehatan Yoona. Selain itu ia juga selalu was-was jika Yoona akan memintanya melakukan hal-hal aneh, sehingga ia justru memanfaatkan kesibukannya di kantor untuk menghindari permintaan aneh-aneh Yoona, dan ia baru akan pulang saat Yoona sudah kelelahan karena menunggunya seharian di rumah.
"Yoong maafkan aku, aku tidak pernah benar-benar memperhatikan kondisi fisikmu selama ini. Sebentar lagi kita akan sampai, tolong bertahanlah."
Saat tiba di rumah sakit pusat, Donghae segera melompat turun sambil memanggil siapapun perawat yang sedang berjaga di ruang UGD. Dengan wajah panik dan perasaan was-was, Donghae mencoba menggendong Yoona sambil menyemangati wanita itu sebelum ia benar-benar masuk kedalam ruang UGD. Pria itu terus membisikan kata-kata penyemangat di telinga Yoona dan memberikan berbagai dukungan agar Yoona tidak panik menghadapi sakit perutnya yang menyiksa. Meskipun begitu, sejujurnya Donghae sendiri sebenarnya juga sedang menyemangati dirinya sendiri agar tidak terlalu kalut dengan permasalahan baru yang tiba-tiba muncul di tengah-tengah kehidupan pernikahannya dengan Yoona. Dalam hati ia berdoa, semoga Yoona dan calon anaknya diberi keselamatan oleh Tuhan, karena sejak tadi hatinya terus menjerit jika Yoona mungkin tidak akan baik-baik saja dengan sakit perut yang terlihat tidak wajar itu.
-00-
Donghae menghembuskan nafasnya berat, mencoba menghalau rasa gugupnya yang membumbung tinggi ke udara sambil melangkah pelan kedalam ruangan dokter Lucas yang terlihat seperti sebuah ruang sidang untuknya. Semalam dokter itu telah menangani Yoona dan membuat Yoona dapat tidur dengan pulas hingga pagi ini. Namun semalam dokter itu belum bisa memberikan penjelasan apapun terkait penyakit Yoona dan bagaimana wanita itu bisa berakhir mengkhawatirkan di atas ranjang rumah sakit. Mungkinkah selama ini Yoona menyembunyikan sesuatu penyakitnya?
"Dokter Lucas, kau mencariku?"
Donghae berseru dingin sambil berjalan kaku kedalam ruangan dokter Lucas. Efek dari gugup dan perasaan takutnya membuat sikapnya kali ini benar-benar tak terkendali. Ia ingin menyapa dokter tua itu dengan ramah, sambil tersenyum santai dan seolah-olah ia tidak pernah mengalami apapun. Tapi sayangnya semua itu terlalu sulit untuk dilakukan di tengah-tengah perasaan kalut yang saat ini menderanya.
"Oh Tuan Lee, duduklah." Ucap dokter itu ramah. Tampaknya ia cukup memahami kondisi Donghae yang sedang dihadapkan pada masalah sulit terkait kondisi isterinya yang memperihatinkan di ruang perawatan.
"Sesuatu pasti telah terjadi pada isteriku, sekarang katakan apa yang sebenarnya terjadi pada Yoona? Ia tidak mungkin akan merasa sesakit itu jika ia baik-baik saja bukan?"
"Ya, memang telah terjadi sesuatu pada isteri anda tuan Lee. Sebenarnya penyakit nyonya Yoona tidak berbahaya, namun kondisinya yang saat ini sedang tidak menguntungkan karena nyonya Yoona sedang hamil. Infeksi ginjal. Nyonya Yoona mengalami infeksi ginjal sebelah kiri yang cukup parah. Mungkin selama ini nyonya Yoona sudah merasakan tanda-tanda dari penyakitnya itu, tapi mungkin ia mengabaikannya atau menganggap hal itu bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan, sehingga penyakit itu menjadi sedikit terlambat untuk ditangani. Dan saat ini nyonya Yoona sedang hamil, kami tidak bisa memberikan pengobatan apapun selama nyonya Yoona masih dalam kondisi hamil. Satu-satunya yang bisa kami lakukan saat ini hanyalah memberinya obat penghilang rasa sakit, untuk membuat nyonya Yoona nyaman. Namun obat penghilang rasa sakit tidak bisa digunakan untuk membunuh bakteri-bakteri penyebab infeksinya, sehingga penyakit itu akan terus berkembang di dalam ginjal nyonya Yoona."
Rasanya ini adalah hantaman terburuk selama Donghae menjalani pernikahannya bersama Yoona. Dan ia yakin, Yoona pasti akan sangat terpukul dengan kondisinya saat ini. Terlebih lagi ia sangat menginginkan bayi itu tumbuh dengan sehat di dalam rahimnya agar keinginan terbesarnya untuk menjadi seorang ibu dapat segera terwujud.
"Isteriku sangat menginginkan bayi itu, bisakah kau menyelamatkann keduanya?"
"Jika memang seperti itu yang anda inginkan, anda harus bisa menjaga pola makan nyonya Yoona dengan baik. Selama infeksinya belum tertangani, nyonya Yoona tidak boleh mengonsumsi makanan ataupun minuman cepat saji. Semua yang dikonsumsi oleh nyonya Yoona adalah makanan dan minuman yang sehat agar kinerja ginjalnya tidak semakin berat. Selain itu anda juga harus menjaga nyonya Yoona agar tidak stress, karena hal itu juga dapat memicu penyebaran infeksinya menjadi lebih parah. Kemungkinan besar infeksi itu dapat menyebar hingga ke janinnya."
Sekarang Donghae benar-benar merasa dunianya telah hancur. Wanita yang sangat ia cintai saat ini sedang berjuang untuk bertahan hidup dari penyakitnya dan juga untuk mempertahankan bayi mereka. Keadaanya ini benar-benar sangat tidak menguntungkannya dan akan membuatnya menjadi seorang pria pembohong sebentar lagi, karena ia jelas tidak bisa memberitahukan berita buruk ini pada Yoona. Wanita itu tidak boleh tahu apa yang sebenarnya terjadi, atau semuanya akan semakin memperburuk keadaan Yoona.
-00-
Saat Donghae kembali ke kamar perawatan Yoona dengan wajah muram, Yoona terlihat sudah sadar sambil tersenyum hangat dengan wajah pucatnya. Wanita itu terlihat benar-benar merasa bersalah pada Donghae karena telah membuat pria itu khawatir dengan kondisinya. Bahkan sampai harus berteriak-teriak di rumah sakit seperti semalam.
"Hai, bagaimana kondisimu?"
"Hmm, lebih baik daripada semalam. Perutku sudah tidak sakit lagi. Kau darimana? Aku mencarimu sejak tadi."
"Aku pergi ke ruangan dokter Lucas untuk membicarakan kondisimu."
"Jadi apa yang dikatakan dokter Lucas? Apa sesuatu yang buruk telah terjadi padaku?"
Donghae tersenyum kecil menanggapi ucapan Yoona sambil mengelus puncak kepala wanita itu lembut. Saat ini berbohong mungkin adalah jalan terbaik untuk menjaga kondisi Yoona, menjaga dari hal-hal buruk yang mungkin akan mengakibatkan sesuatu yang lebih buruk daripada hal ini.
"Kau baik-baik saja, itu hanya sakit perut biasa yang terjadi pada ibu hamil."
"Oh syukurlah. Aku sempat berpikiran macam-macam tentang sakitku ini. Aku takut sesuatu yang buruk terjadi padanya. Tapi jika semuanya baik-baik saja, aku merasa senang. Terimakasih oppa."
Yoona memeluk pinggang Donghae erat sambil menenggelamkan wajahnya di permukaan perut Donghae yang keras. Namun di sisi lain, Donghae sedang menahan perasaan sedih dan juga dilemanya yang begitu besar pada kondisi Yoona. Tadi, sebelum ia meninggalkan ruangan dokter Lucas, dokter itu mengatakan jika mereka mungkin akan melakukan tindakan pembedahan untuk mengambil janin Yoona jika infeksi yang menyerang ginjal Yoona berkembang semakin parah. Itu berarti setelah ini ia harus benar-benar memantau Yoona dengan ketat agar Yoona tidak kehilangan bayinya, dan tidak pernah tahu jika sesuatu yang buruk telah terjadi pada ginjalnya.
New York, Februari 2015
"Alenka, bukankah itu nama yang cantik?"
Donghae memandangi Yoona yang sedang merajut syal untuk bayinya sambil tersenyum. Tak terasa tiga bulan berlalu dengan sangat cepat setelah kejadian itu. Dan syukurlah, hingga sejauh ini kondisi Yoona masih baik-baik saja. Rasa sakit yang dialami Yoona sebenarnya masih terasa, namun itu tidak separah sebelumnya. Sejauh ini mereka dapat mengatasi semua masalah itu dengan baik, namun itu tidak menjamin jika kedepannya mereka dapat melakukannya dengan baik seperti saat ini.
"Nama adalah sebuah doa, jadi kuharap anak kita nanti akan menjadi anak yang memiliki kecantikan yang bersinar terang, sama seperti ibunya."
"Ck, kau mulai lagi oppa. Aku sudah benar-benar kenyang dengan kata-kata manismu itu." Dengus Yoona sebal. Wanita itu memang bukan tipe wanita romantis pemuja kata-kata manis seperti mantan kekasih Donghae selama ini. Yoona jauh lebih suka pria apa adanya yang selalu melakukan sesuatu dengan realistis. Namun Donghae tetaplah Donghae, ia tidak akan tahan bila tidak membuat Yoona kesal dengan kata-kata manisnya yang kelewat manis itu.
"Kau sudah meminum susumu?"
"Sudah, dan aku bosan sebenarnya. Aku ingin minum coklat shake atau makan burger udang, hmm.. pasti enak." Ucap Yoona berandai-andai. Donghae langsung menggelengkan kepalanya tegas sambil menatap tajam kearah Yoona. Jelas wanita itu tidak boleh makan semua makanan menggiurkan itu karena penyakit infeksi ginjalnya. Namun hingga detik ini Donghae tidak berani mengatakannya pada Yoona, jadi sebisa mungkin ia menahan Yoona untuk tidak memakan semua makanan kesukaanya itu dengan berbagai alasan yang sekiranya terdengar masuk akal.
"Makanan-makanan itu tidak baik untuk calon anak kita Yoong. Alenka membutuhkan asupan gizi yang sehat dari sayur dan buah-buahan."
"Ya ampun oppa! Bahkan aku sudah seperti kelinci karena kau terus memberiku makanan sayur-sayuran. Sesekali aku ingin makan burger dan pizza. Ahh... itu sepertinya sangat enak."
Yoona mulai membayangkan makanan-makanan itu masuk kedalam mulutnya dengan nikmat. Sudah lebih dari tiga bulan ia tidak memakan makanan favoritnya, dan ia benar-benar merindukan makanan-makanan cepat saji itu.
"Tidak Yoong. Kau tidak boleh makan-makanan racun itu, demi anak kita." Ucap Donghae tegas. Meskipun sebenarnya ia tidak tega pada Yoona, namu itu lebih baik daripada ia harus melihat Yoona terbaring tak berdaya di rumah sakit. Rasanya pikirannya selalu tak tenang saat memikirkan hal itu, karena ia takut penyakit Yoona kambuh lagi sebelum Yoona melahirkan putri mereka dengan selamat.
"Dasar pelit! Lihat saja, setelah aku melahirkan aku akan makan semua makanan favoritku."
Donghae hanya mampu mendesah berat sambil membiarkan Yoona berandai-andai sesuka hatinya. Kali ini ia sedang malas untuk melakukan adu mulut dengan Yoona, dan hanya ingin menikmati momen-momen kebersamaanya dengan tenang. Mereka sudah lama tidak menghabiskan waktu seharian di rumah dengan santai. Selalu saja ada kesibukan yang berhasil membuat Donghae berpaling dari Yoona, sehingga mau tidak mau ia tetap harus meninggalkan Yoona untuk mengumpulkan pundi-pundi dollar dari kliennya.
"Ya, makanlah apapun setelah kau melahirkan nanti. Besok aku akan pergi ke LA, ada beberapa hal yang harus kuurus bersama tuan Kline, kau tidak apa-apa jika aku meninggalkanmu untuk dua hari?"
"Ya ampun, tentu saja tidak apa-apa. Kau pikir aku bayi yang tidak bisa mengurus diriku sendiri? Ingat, selama ini bahkan aku yang selalu mengurusmu. Jadi kau tidak perlu khawatir, aku pasti akan baik-baik saja."
"Janji? Jangan membuatku cemas lagi seperti dulu. Aku tidak mau sesuatu yang buruk terjadi padamu dan anak kita Yoong." Ucap Donghae terdengar khawatir sambil mengecup puncak kepala Yoona pelan. Rasanya ia sangat berat meninggalkan Yoona sendiri, namun ia tidak bisa menunda kepergiannya ke LA. Sedangkan ibunya saat ini juga sedang pergi mengunjungi salah satu kerabatnya di Spanyol. Jadi ia benar-benar tidak memiliki opsi lain selain meninggalkan Yoona, dan memberikan kepercayaan sepenuhnya pada wanita itu untuk mengurus dirinya sendiri selama ia pergi. Lagipula LA dan New York tidak terlalu jauh, hanya lima jam perjalanan menggunakan pesawat. Jadi ia memang seharusnya tidak terlalu merasa khawatir berlebihan seperti ini. Ia percaya Yoona, dan Yoona pasti bisa menjaga diri selama ia pergi.
-00-
Satu hari setelah Donghae pergi, Yoona benar-benar merasa bebas berada di rumah seharian. Sejak pagi ia telah melakukan banyak hal yang biasanya selalu dilarang Donghae saat pria itu berada di rumah, seperti memindahkan barang-barang berat untuk mempersiapkan kamar putrinya, membersihkan rumah, dan pergi berjalan-jalan ke super market untuk membeli berbagai hal yang ia inginkan. Bahkan sekarang ia telah berada di dapurnya, lengkap dengan sebungkus ramen korea yang berhasil ia dapatkan di salah satu super market asia yang letaknya tak jauh dari rumahnya. Sudah sejak lama ia ingin memakan ramen, dan itu benar-benar membutuhkan kesabaran ekstra lama karena ia tidak mungkin memakan mie itu jika Donghae sedang bersamanya. Pria itu benar-benar terlalu bersikap berlebihan akhir-akhir ini. Dan ia kesal karean ia tidak pernah bisa makan makanan apapun yang menjadi kesukaanya selama ini.
"Ahh... akhirnya aku bisa memakan ramen. Ya ampun, ini benar-benar membutuhkan banyak perjuangan." Gumam Yoona sambil mengaduk-aduk kuah ramennya yang telah mendidih. Aroma ramen yang gurih, dan kuahnya yang terlihat meletup-letup membuat Yoona benar-benar merasa tidak sabar untuk segera memakannya. Bahkan ia tadi juga sempat memakan ramen mentah beberapa kali untuk mengenang masa-masa kecilnya yang sering melakukan hal itu jika di rumah ibunya tidak memiliki makanan. Rasanya semua ini mengingatkannya pada pengalaman masa kecilnya yang penuh dengan kesederhanaan.
"Hmm... aromanya, ini benar-benar sangat menggiurkan. Kurasa jika aku hanya makan sekali tidak akan apa-apa. Lagipula selama ini aku selalu makan buah dan sayur-sayuran." Gumam Yoona sendiri sambil menyendok kuah ramennya yang masih mengepulkan asap tipis. Yoona lalu meniup pelan kuah itu, menghirupnya penuh nikmat, dan segera memakannya setelah dirasa kuah itu tidak terlalu panas lagi. Hal itu terus dilakukan Yoona berkali-kali hingga akhirnya ia berhasil menghabiskan sebungkus ramen porsi besar untuk dirinya sendiri. Tanpa sadar, Yoona sebenarnya telah melakukan kesalahan besar dengan melanggar larangan Donghae. Dan entah apa yang akan dilakukan Donghae nanti jika ia tahu Yoona telah melakukan kesalahan besar selama ia pergi.
-00-
"Yoona, aku pulang."
Donghae berteriak keras di dalam rumahnya sambil menyampirkan jas hitamnya pada lengan sofa. Akhirnya hari ini ia bisa kembali ke rumahnya yang nyaman setelah dua hari kemarin ia menghabiskan waktunya di LA untuk perjalanan bisnis. Namun anehnya saat ia kembali, ia tak melihat Yoona sedikitpun sedang berkeliaran di dalam rumah mereka. Padahal wanita itu biasanya selalu terlihat semangat dan aktif dengan perut buncitnya yang sangat besar.
Melihat rumahnya yang sangat sepi, Donghae lalu melirik arlojinya yang sedang menunjukan pukul empat lebih lima menit. Sebenarnya itu sudah terlalu sore untuk tidur siang menurut Donghae. Tapi mungkin saja Yoona memang sedang tidur siang karena wanita itu sangat tidak terduga selama kehamilannya. Terkadang Yoona bisa tidur seharian dan sangat malas. Namun terkadang ia akan menjadi seorang super mom yang sangat rajin untuk membersihkan seluruh rumah mereka yang luas. Jadi tanpa berpikir panjang, Donghae segera melangkahkan kakinya menuju kamar mereka, sekaligus ingin memberikan kejutan pada Yoona mengenai kepulangannya.
"Yoona?"
Donghae melongokan kepalanya kedalam kamarnya yang gelap. Ia pikir Yoona saat ini sedang bergelung dengan nyaman seperti biasa di atas ranjang mereka, tapi ternyata dugaanya salah. Yoona sama sekali tidak bergelung di atas ranjang mereka yang nyaman, tapi...
"Yoona!"
Donghae langsung berlari menghampiri tubuh lemah Yoona yang entah sejak kapan telah terbaring tak sadarkan diri di atas lantai. Dengan panik, Donghae segera mengecek denyut nadi Yoona dan mengecek suhu tubuh Yoona yang ternyata sudah terasa cukup dingin. Setelah itu ia segera mengangkat tubuh Yoona untuk membawanya ke rumah sakit. Lagi-lagi ia telah membuat kesalahan besar dengan meninggalkan Yoona sendirian di rumah karena ternyata Yoona tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Sesuatu yang buruk mungkin telah terjadi selama ia pergi meninggalkan Yoona untuk perjalanan bisnisnya ke LA.
"Dokter Lucas, apa yang terjadi pada Yoona?"
Donghae berteriak frustrasi pada dokter tua itu setelah ia selesai mengecek kondisi Yoona yang tampak kritis. Dengan wajah tenang, dokter itu membimbing Donghae menuju ke ruangannya untuk membicarakan perkembangan kondisi Yoona lebih jauh.
"Nyonya Yoona harus melakukan operasi cesar segera. Infeksi ginjal di perutnya telah berkembang cukup memperihatinkan. Dan setelah operasi cesar dilakukan, kami perlu melakukan operasi transplantasi ginjal."
"Transplantasi ginjal? Apa ginjal kiri Yoona sudah tak berfungsi lagi? Kenapa harus dilakukan operas transplantasi ginjal?" Tanya Donghae kalut. Meskipun ia tidak memiliki latar belakang ilmu kesehatan, tapi setidaknya ia tahu sedikit mengenai hal itu. Dan sekarang ia tahu jika kondisi kesehatan Yoona berada di fase yang sangat serius.
"Kami terpaksa melakukan operasi transplantasi ginjal karena kondisi ginjal nyonya Yoona memang tidak memungkinkan untuk digunakan lagi. Terlalu beresiko jika membiarkan ginjal itu tetap berfungsi di tubuh nyonya Yoona, dan hal itu akann menyebabkan nyonya Yoona mengalami kolik abdomen yang parah suatu saat nanti. Atau hal terburuknya, nyonya Yoona bisa saja mengalami koma karena bakteri-bakteri dari infeksi ginjalnya dapat menyebar ke seluruh tubuhnya."
Donghae benar-benar merasa dunia hancur saat ini. Kondisi Yoona yang sangat memprihatinkan itu membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Apalagi hal ini juga menyangkut keselamatan putrinya. Ia tidak tahu bagaimana reaksi Yoona setelah semua ini berakhir karena ia belum pernah memberitahu apapun pada Yoona terkait penyakitnya. Dan ini semua memang salahnya! Ia yang telah meninggalkan Yoona sendiri tanpa pengawasan, dan ia yang tidak pernah berkata jujur pada Yoona mengenai kondisinya yang meprihatinkan.
"Jadi bagaimana tuan Lee?"
Donghae hanya dapat menyugar rambutnya pusing sambil mengangguk lemah pada dokter Lucas. Akhirnya ia hanya mampu menyerahkan semuanya pada dokter Lucas, dan memberikan doa yang terbaik untuk Yoona.
-00-
Donghae terkesiap bangun dari duduknya saat dari dalam ruang operasi ia mendengar suara tangis bayi yang begitu nyaring. Dengan perasaan bahagia yang meluap-luap, Donghae segera masuk kedalam ruang operasi untuk melihat kondisi bayinya dan juga Yoona.
"Selamat, putri anda lahir dengan selamat."
Donghae tampak terharu saat menyaksikan putrinya yang kecil, lemah, dan penuh dengan darah itu sedang menangis kencang di dalam pelukan seorang perawat. Namun hatinya langsung merasa teriris saat ia melihat kondisi Yoona yang jauh dari kata baik-baik saja. Wanita itu belum juga membuka matanya sejak ia membawanya dari rumah mereka. Dan menurut dokter Lucas saat ini kondisi Yoona sedang kritis karena infeksi di ginjalnya yang terus memburuk.
"Tuan Donghae, kami akan membawa putri anda ke ruang bayi untuk mendapatkan perawatan intensif di dalam inkubator."
"Ya, lakukan apapun yang terbaik untuk mereka." Jawab Donghae lemah. Saat ini kelahiran putrinya benar-benar tidak bisa menjadi hari yang paling membahagiakan untuk Donghae karena Yoona justru sedang merenggang nyawa di depannya. Padahal sejak awal wanita itu yang selalu bersemangat untuk menantikan kelahiran putri mereka. Tapi sekarang, keadaan justru sangat jauh dari angan-angannya selama ini.
"Tuan Lee, bisa kita bicara sebentar?"
Donghae langsung mengikuti dokter Lucas untuk keluar dari ruang operasi sambil menguatkan dirinya sendiri dengan berbagai hal yang akan ia dengar dari dokter tua itu terkait kondisi Yoona.
"Katakan dokter, kau ingin mengatakan sesuatu yang buruk tentang Yoona bukan?"
Donghae seperti telah dilingkupi oleh pikiran-pikiran negatif yang membuatnya tidak bisa berpikiran jernih saat ini. Apalagi dokter Lucas juga menunjukan raut wajah serupa, yang menunjukan jika Yoona memang sedang tidak baik-baik saja di dalam sana.
"Nyonya Yoona membutuhkan donor ginjal segera, namun saat ini rumah sakit tidak memiliki ginjal yang cocok untuk nyonya Yoona."
"Lalu?" Tanya Donghae datar dengan wajah linglung. Ia pikir mulai detik ini ia sudah harus siap dengan segala kemungkinan terburuk yang dapat terjadi. Ia akan segera kehilangan wanita yang paling ia cintai dan juga ibu dari anaknya yang sangat berharga. Yoona... andai saja ia bisa melakukan satu hal untuk membuat nyawa Yoona selamat, maka ia pasti akan melakukanya sekarang juga. Apapun itu!
"Selama kami belum menemukan donor ginjal yang cocok, nyonya Yoona akan terus terbaring lemah di rumah sakit dengan seluruh alat-alat penunjang kehidupannya."
"Tapi, apakah Yoona akan sadar?"
"Itu tergantung dari sejauh mana nyonya Yoona mampu melawan penyakitnya. Saya harap anda bisa bersabar untuk menunggu kesembuhan nyonya Yoona."
Dokter Lucas memberikan tepukan pelan di bahu Donghae, dan segera pergi untuk menyelesaikan pekerjaanya. Sedangkan Donghae, ia masih berdiri mematung di tempatnya dengan pandangan kosong yang menyiratkan kekalutan. Sungguh, ia tidak mau kehilangan Yoona. Yoona adalah satu-satunya wanita yang telah ia cintai sejak awal. Hanya saja selama ini ia terlalu buta untuk menyadari perasaan cintanya pada Yoona. Ia terlalu gensi untuk mengatakan pada Yoona jika ia sangat mencintai wanita itu dan menginginkan wanita itu memiliki perasaan yang sama dengannya. Namun, penyesalan memang selalu datang terlambat. Dan semua penyesalan itu saat ini benar-benar tak ada gunanya untuk Donghae.
-00-
Dua hari lima jam dua puluh tiga detik. Tidak ada satupun yang berubah dari Yoona sejak wanita itu selesai melakukan operasi cesar. Kondisi Yoona masih tetap sama, stabil, namun juga tidak menunjukan tanda-tanda akan membuka mata. Donghae yang selalu berada di sisi Yoona mulai merasakan keputusasaan dan juga kefrustrasian yang sangat besar. Setiap detik ia selalu berharap Yoona akan membuka matanya, dan menatapnya dengan kedua mata bulatnya yang selau ia kagumi itu. Sayangnya Tuhan belum mengabulkan doanya untuk melihat Yoona membuka mata. Tuhan masih ingin menguji kesabarannya dan seberapa besar cintanya untuk Yoona melalui semua masalah yang datang bertubu-tubi padanya beberapa bulan terakhir ini.
"Apakah belum ada tanda-tanda ia akan membuka matanya?"
Nyonya Lee memandang prihatin menantunya sambil mengelus punggung Donghae pelan. Sebagai ibu ia sangat tahu bagaimana kesedihan putranya saat wanita yang paling ia cintai sedang terbaring lemah di depannya. Namun mereka juga tidak bisa melakukan apapun selain terus berdoa dan berharap pada Tuhan agar segera memberikan keajaiban untuk Yoona.
"Belum. Apa yang harus kulakukan ibu, Yoona belum sadar dan Alenka sedang berjuang sendiri di dalam inkubator? Sebagai seorang kepala keluarga aku merasa sangat gagal." Keluh Donghae menyedihkan. Nyonya Lee lantas memeluk tubuh putranya dari samping sambil menatap nanar menantunya yang sedang berjuang untuk hidup dengan berbagai alat-alat penunjang kehidupan yang terlihat memenuhi seluruh tubuhnya.
"Hae, ibu yakin kau pasti bisa melewati ini semua. Kau adalah putra ibu yang tangguh dan kuat, jadi jangan pernah merasa dirimu gagal. Kau hanya perlu bersabar untuk menghadapi ini semua."
"Tapi... Yoona belum mendapatkan donor ginjal hingga detik ini, sedangkan ginjalku sama sekali tidak cocok dengan ginjalnya. Aku benar-benar tak bisa membiarkannya seperti ini. Aku sangat mencintainya, dan aku tidak ingin kehilangan Yoona untuk selamanya."
Nyonya Lee merasakan perih yang teramat sangat di hatinya saat melihat putranya yang selalu tangguh, penuh percaya diri, dan ceria itu kini tampak rapuh karena kondisi Yoona. Cinta...telah merubah kepribadian Donghae menjadi sangat rapuh seperti ini. Dan semua orang pasti juga akan mengalami hal yang sama bila dihadapkan pada sebuah masalah pelik seperti Donghae.
"Sabarlah, ibu pasti akan membantumu mencari donor ginjal yang tepat untuk Yoona."
-00-
Siang yang panas itu membuat Donghae yang telah menjaga Yoona sejak tadi pagi merasa gerah dan haus. Menunggu sesuatu tanpa kepastian itu benar-benar membuat Donghae bosan, dan akhirnya ia memutuskan untuk keluar sebentar. Mungkin ia memang perlu menjernihkan pikirannya dengan berjalan-jalan di taman rumah sakit sambil mencari minuman yang dapat mendinginkan kepalanya yang panas. Masalah Yoona, Alenka, dan masalah di perusahaanya benar-benar akan membunuh Donghae perlahan-lahan bila ia terus membiarkan dirinya merasakan kebosanan di dalam ruang perawatan Yoona yang menyesakan. Ia harus segera bangkit, lalu mengurai semua masalah ini satu persatu agar ia dapat segera menemukan jalan keluar yang terbaik untuk kepelikan hidupnya.
Brukk
"Ahh, bodoh!"
Donghae mengumpati dirinya sendiri karena baru saja menabrak seseorang dengan keras. Kekalutan yang menyerang pikirannya benar-benar membuatnya berubah menjadi manusia kosong tanpa jiwa, dan sering kali melamun dimanapun ia berada.
"Maaf, apa kau baik-baik saja?"
Donghae mencoba menolong wanita itu sambil membantunya untuk berdiri dari posisi jatuhnya. Ia lalu mulai menelisik tubuh wanita itu, apakah ada kerusakan yang ditimbulkan dari kebodohannya barusan. Mungkin saja wanita itu terluka karena baru saja menabrak tubuh kerasnya, dan jatuh terduduk di atas lantai rumah sakit yang dingin.
"Aku baik-baik saja, kau tidak perlu khawatir."
Wanita itu cepat-cepat mendongakan kepalanya ke arah Donghae dan bermaksud untuk meminta maaf juga karena ia sedang tidak fokus hingga akhirnya ia menabrak pria itu. Namun ketika ia melihat wajah Donghae, wanita itu justru terbelalak kaget sambil berseru heran pada Donghae.
"Donghae? Kau Lee Donghae bukan?"
"Jessica? Kau, lama tak berjumpa. Apa kabar?"
Donghae berseru kaku di depan Jessica sambil mencoba untuk berbasa basi. Rasanya ia tidak mungkin meninggalkan Jessica begitu saja setelah ia menabraknya dan bersikap seolah-olah seperti dua orang asing yang tidak pernah saling mengenal. Padahal kenyataanya mereka dulu pernah sangat dekat dan pernah menjadi teman berdiskusi yang asik.
"Aku baik. Kau sendiri? Apa yang kau lakukan di sini? Ahh, bagaimana jika kita pergi ke cafetaria dan mengobrol di sana? Kurasa akan ada banyak hal menarik yang bisa kau ceritakan padaku." Tawar Jessica menggiurkan. Donghae kemudian mengangguk setuju dan segera mengikuti Jessica menuju cafetaria rumah sakit yang berada tak jauh dari taman rumah sakit. Kebetulan saat ini ia memang membutuhkan teman bicara. Jadi tak ada salahnya jika ia menerima ajakan Jessica, dan sedikit membagi masalahnya yang pelik pada wanita itu.
"Aku benar-benar tak menyangka akan bertemu denganmu di tempat seperti ini." Ucap Jessica memulai percakapan ketika mereka telah duduk dengan nyaman di salah satu kursi di cafetaria yang ramai itu. Donghae yang mendengar hal itu hanya tersenyum kecil sambil meminum lemonadenya yang baru saja datang.
"Hmm ya... setelah kisah kita berakhir, dan kita tak pernah saling bertemu, ini adalah pertemuan yang sangat tak terduga. Ngomong-ngomong apa yang kau lakukan di sini?"
"Aku? Suamiku bekerja di sini, namanya Kris."
"Jadi kau sudah menikah? Sejak kapan?"
"Setelah hubungan kita berakhir, aku mulai berkenalan dengan Kriss dan tak beberapa lama kami memutuskan untuk menikah. Kau sendiri? Apa kau juga sudah menikah?"
Jessica tampak ragu menanyakan hal itu pada Donghae karena ia pikir Donghae adalah seorang pria yang tidak mau terlalu terburu-buru untuk berumah tangga dan lebih suka menghabiskan waktunya dengan bersenang-senang bersama wanita yang berbeda setiap saat.
"Aku sudah menikah, satu tahun yang lalu."
"Benarkah? Wow, aku tidak percaya itu. Kupikir kau tidak akan menikah secepat itu dan memilih untuk bersenang-senang dengan berbagai wanita yang berbeda. Jadi, siapa wanita yang akhirnya mendapatkan hatimu?"
Donghae sedikit malu saat Jessica mengatakan hal itu karena sejujurnya ia sendiri juga tak menyangka jika ia akan menikah secepat ini. Jika bukan karena Yuri yang telah menyadari perasaanya untuk Yoona, maka ia tidak akan menikahi Yoona secepat itu. Yuri memang telah banyak membantunya selama ini. Bahkan wanita itu rela mengalah demi kebahagiaanya.
"Yoona. Aku menikah dengan Yoona satu tahun yang lalu."
"Yoona? Im Yoona? Asistenmu yang selalu menjadi bayanganmu selama ini? Astaga, sudah kuduga kau memang mencintai Yoona selama ini." Ucap Jessica heboh. Wanita itu benar-benar terkejut dan tidak menyangka jika akhirnya Donghae akan menikah dengan Yoona. Meskipun sebenarnya sejak awal menjadi kekasih Donghae, Jessica telah melihat adanya keganjilan diantara hubungan mereka.
"Ya, aku menikahi asistenku sendiri. Kau pasti terkejut. Semua mantan kekasihku juga akan bereaksi sama denganmu saat aku memberitahu mereka jika aku akhirnya menikah dengan Yoona." "Tapi sejak awal kau memang terlihat memiliki rasa pada Yoona. Saat itu aku cukup merasa aneh dengan bagaimana caramu memperlakukan Yoona dan bagaimana kau memandang Yoona, namun hal itu berhasil kau tutupi dengan pertengkaran-pertengkaran kecil yang sering terjadi diantara kalian. Kalau begitu selamat! Akhirnya kau berhasil mendapatkan cinta sejatimu." Ucap Jessica sambil tergelak. Rasanya aneh jika membahas masalah cinta dengan Lee Donghae karena sejak dulu ia tahu jika pria itu tidak pernah peduli pada cinta.
"Hahaha... aku juga merasa aneh sebenarnya, dan juga bodoh. Kenapa aku tidak pernah menyadarinya selama ini? Tapi sudahlah, itu semua hanya bagian dari masa lalu." Jawab Donghae akhirnya terdengar bijak. Jessica masih tertawa terbahak-bahak di depan Donghae sambil sesekali mengusap mata kirinya yang mulai berair. Ia masih tidak percaya jika Donghae akan mengalami perubahan sebanyak ini setelah menikah dengan Yoona.
"Maaf jika aku terus tertawa, kisahmu itu benar-benar membuatku tidak bisa berhenti tertawa. Ngomong-ngomong, apa yang kau lakukan di sini? Apa kau sedang menjenguk seseorang yang sakit?"
Air muka Donghae seketika berubah saat Jessica mulai membahas hal itu. Mau tidak mau ia harus segera kembali ke kehidupan nyatanya yang penuh dengan berbagai masalah pelik dan juga rumit. Mengingat kondisi Yoona, membuat Donghae merasa menyesal karena ia baru saja tertawa terbahak-bahak bersama Jessica.
"Aku sedang menunggu Yoona. Dia sakit. Setelah melahirkan putri kami, ia tak sadarkan diri dan terbaring koma."
"Astaga, maafkan aku Hae. Aku tidak tahu." Ucap Jessica menyesal. Donghae hanya menggeleng kecil sambil mengatakan jika ia baik-baik saja dengan semua itu.
"Sudah berapa lama Yoona dirawat?"
"Sejak tiga hari yang lalu. Jadi sebenarnya Yoona mengalami infeksi ginjal saat sedang hamil. Lalu dokter tidak bisa memberikan obat apapun pada Yoona, dan hanya memberikan penghilang rasa sakit selama Yoona hamil. Namun kondisinya ternyata semakin memburuk, dan puncaknya terjadi saat aku pergi meninggalkannya untuk perjalanan bisis ke LA. Saat itu Yoona memang berada di rumah sendiri, pagi sebelum aku terbang ke New York, aku sempat menghubungi Yoona untuk mengecek kondisinya. Tapi saat aku tiba di rumah, aku telah menemukan Yoona pingsan di dalam kamar kami. Setelah itu Yoona tidak sadarkan diri hingga detik ini."
"Lalu bagaimana dengan putri kalian?"
"Putri kami baik-baik saja. Dokter telah melakukan operasi cesar saat itu, dan sekarang putri kami sedang menjalankan perawatan di inkubator karena usia kelahirannya memang belum cukup." Jelas Donghae panjang lebar. Jessica seketika merasa iba pada Donghae dan ingin sekali membantu jika ia bisa. Namun saat ini ia juga memiliki masalah yang tak kalah berat dengan Donghae. Baru saja ia mendapatkan vonis mandul dari dokter. Ia tidak akan bisa memberikan keturunan untuk Kriss karena rahimnya mengalami masalah. Dan hal itulah yang saat ini membuatnya kalut hingga ia tidak fokus dan menabrak Donghae beberapa saat yang lalu.
"Ada apa Sica? Kenapa kau tiba-tiba berubah murung?"
"Boleh aku melihat putrimu?"
"Tentu saja. Aku akan menunjukannya setelah ini." Angguk Donghae heran. Setelah itu mereka tidak lagi berbicara, dan hanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Jessica merasa tidak tertarik lagi dengan topik pembicaraannya dengan Donghae karena ia iri pada pria itu. Donghae memiliki sesuatu yang sangat ia inginkan selama ini. Sedangkan ia hanyalah seorang wanita cacat yang tidak bisa memberikan apapun untuk suaminya.
-00-
Jeesica tertegun lama di depan kaca bening itu sambil memperhatikan bayi Donghae yang sedang bergerak-gerak lucu di dalam kotak inkubator. Bayi mungil bernama Alenka itu langsung membuat Jessica jatuh cinta dan memekik gemas saat bayi itu membuat gerakan yang terlihat sangat menggemaskan di matanya. Melihat itu ia kemudian berandai-andai jika ia bisa memiliki bayi secantik dan selucu Alenka dari rahimnya sendiri. Pasti itu sangat menyenangkan dan juga membahagiakan untuknya. Sayang, ia tidak diberi kesempatan oleh Tuhan untuk memilikinya karena ia cacat.
"Sica... kau baik-baik saja?"
Donghae menyentuh pundak Jessica pelan saat wanita itu tampak melamun sambil memandangi putri kecilnya dengan tatapan kosong. Sejak tadi ia sudah merasakan adanya sesuatu yang ganjil dari sikap Jessica, namun ia terlalu sungkan untuk menanyakan karena ia takut hal itu akan menyakiti Jessica.
"Hmm, aku baik-baik saja. Putrimu sangat menggemaskan Hae, itu membuatku iri padamu."
Donghae mengerutkan dahinya tak mengerti kearah Jessica dan sedikit menuntut penjelasan dari Jessica melalui tatapan matanya.
"Aku cacat. Aku tidak bisa memberikan keturunan untuk Kriss."
"Sebenarnya apa yang terjadi padamu?"
"Aku... mandul. Beberapa saat yang lalu dokter baru saja memvonisku jika aku tidak bisa hamil. Karena itulah sejak tadi aku tidak fokus, dan menabrakmu di pintu keluar." Jelas Jessica dengan senyum getir. Donghae merasa benar-benar prihatin melihat kondisi Jessica yang tampak menyedihkan seperti ini. Ia tahu bagaimana perasaan Jessica, karena hampir semua wanita pasti ingin menjadi seorang ibu, sama seperti Yoona. Betapa beruntungnya ia karena ia telah memiliki Alenka yang selama ini selalu tumbuh dengan sehat di dalam rahim Yoona. Namun, sebagai seorang manusia ia tetap saja menuntut lebih pada Tuhan. Selain Alenka, ia juga ingin Yoonanya kembali. Ia ingin Yoona kembali dan mereka dapat berkumpul menjadi sebuah keluarga utuh yang sempurna.
"Kau tahu, meskipun aku beruntung karena memiliki Alenka, tapi semua itu tidak pernah lengkap tanpa adanya Yoona ditengah-tengah kehidupan kami. Lihatlah Alenka kami, ia tidak bisa seperti bayi-bayi yang lain, yang merasakan kasih sayang dari ibu mereka saat mereka terlahir di dunia. Setelah ia dilahirkan, ia harus berjuang sendiri. Bertahan hidup di dalam inkubator itu sambil menunggu ayah dan ibunya datang untuk menjemputnya."
Jessica menatap sedih kearah Alenka dan juga Donghae yang memiliki keadaan yang tak lebih baik darinya. Namun saat ini ia tiba-tiba memiliki pikiran gila yang ingin ia bagi pada Donghae. Ia, ingin memiliki Alenka.
"Hae, apa aku boleh mengadopsi Alenka?"
"Apa? Aku tidak berniat untuk melakukannya Sica. Tidak sama sekali! Meskipun aku bukan ayah yang baik untuknya karena aku membiarkannya berjuang sendiri di dalam sana, tapi aku tidak pernah berniat untuk memberikannya pada siapapun. Alenka adalah anak kami, dan dia sangat berarti untuk Yoona." Ucap Donghae tegas dengan sedikit kemarahan yang terpancar di wajah lelahnya. Jessica kemudian langsung menundukan wajahnya, dan tampak tidak berani untuk menatap Donghae. Mungkin ia memang terlalu gila dan keterlaluan. Tidak seharusnya ia berkata seperti itu disaat Donghae sedang berduka karena kondisi Yoona.
"Hae, aku minta maaf...."
"Tuan Lee Donghae, isteri anda mengalami kejang-kejang."
Donghae langsung berbalik cepat saat seorang perawat dengan langkah tergopoh-gopoh menghampirinya dengan wajah panik. Perawat itu kemudian meminta Donghae untuk segera pergi ke ruang rawat Yoona karena dokter Lucas mungkin membutuhkan beberapa persetujuan dari Donghae, selaku suami dari Yoona.
-00-
"Hae, benarkah itu Yoona?"
Jessica tampak tak percaya sambil menutup mulutnya prihatin saat melihat kondisi Yoona yang sangat mengkhawatirkan di dalam sana. Seluruh tubuh kurusnya telah dipenuhi oleh alat-alat penunjang kehidupan, dan sebagian wajahnya juga telah tertutupi oleh masker oksigen. Jika Donghae tidak memberitahunya bahwa itu Yoona, ia mungkin tidak akan pernah tahu jika itu Yoona, karena wanita itu terlihat sangat berbeda. Wajahnya yang pucat, tubuhnya yang terbaring tak berdaya, dan kulitnya yang keriput karena terlalu banyak mendapatkan paparan zat kimia membuat Jessica merasa iba pada Yoona. Ia merasa itu bukan Yoona yang ia kenal selama ini. Yoona yang ia kenal adalah seorang gadis ceria yang selalu memenuhi semua keinginan Donghae. Bahkan pada seluruh kekasih Donghae, Yoona juga terkenal baik dengan kesabaran yang ia miliki. Meskipun ia yakin Yoona pasti banyak mengeluhkan sikapnya ataupun sikap semua mantan kekasih Donghae yang lain, namun Donghae termasuk wanita yang hebat karena selama ini ia dapat menyelesaikan pekerjaanya dengan baik.
"Tuan Lee, kondisi nyonya Yoona semakin memburuk. Infeksinya telah menyebar ke seluruh ginjalnya, hingga kini ginjal kirinya benar-benar sudah tak berfungsi. Kami harus melakukan hemodialisis untuk mengatasi kerusakan yang terjadi pada ginjal kirinya. Namun itu semua hanya bersifat sementara karena nyonya Yoona tetap harus melakukan transplantasi ginjal."
"Tapi aku belum mendapatkan donor ginjal untuk Yoona." Ucap Donghae frustrasi sambil menyugar rambutnya lelah. Apa yang ia lihat hari ini benar-benar telah menambah kadar kepanikannya. Ia seperti sedang berpacu melawan waktu untuk mendapatkan pendonor yang tepat untuk Yoona. Sayangnya semua itu tidaklah mudah. Ia telah meminta bantuan pada semua orang yang dikenalnya, namun mereka semua belum bisa membantu karena mencari seorang pendonor itu tidaklah mudah. Orang sehat mana yang akan merelakan satu ginjalnya digunakan oleh orang lain? Tentu hal itu sangat mustahil terjadi, kecuali jika orang itu juga sama-sama memiliki kepentingan yang mendesak saat ini.
"Bagaimana jika aku menjadi pendonor untuk Yoona?"
Donghae langsung menoleh kearah Jessica sambil menatap wanita itu tidak yakin. Ia pikir ia mungkin sedang berhalusinasi saat mendengar Jessica bersedia untuk mendonorkan salah satu ginjalnya. Tapi saat Jessica dengan tegas mengatakan hal itu pada dokter Lucas, barulah Donghae benar-benar percaya jika Jessica serius dengan ucapannya mengenai donor ginjal.
"Aku ingin menjadi pendonor untuk Yoona, kau bisa mengecek kecocokan ginjalku dokter." "Apa kau serius Sica? Setelah kau mendonorkannya, kau hanya akan memiliki satu ginjal. Dan itu sangat sulit." Tambah Donghae. Ia tidak ingin Jessica terlalu gegabah dalam mengambil keputusan karena apa yang akan ia lakukan itu sangat berbahaya untuk kehidupan Jessica. Meskipun itu belum tentu terjadi karena dokter Lucas harus memeriksa kecocokan ginjal Jessica dna Yoona terlebih dahulu sebelum melangkah ke tahap yang lebih serius.
"Aku serius Hae, aku ingin mendonorkan ginjalku. Ayo dokter, periksa kecocokan ginjalku."
"Baiklah, mari ikuti saya."
Donghae hanya diam menatap kepergian Jessica. Dalam hatinya ia berharap jika ginjal Jessica akan cocok dengan milik Yoona. Namun di sisi lain ia takut akan konsekuensi yang mungkin ia dapatkan setelah ini. Jessica, mungkin tidak melakukan ini dengan cuma-cum. Dan kemungkinan besar imbalan yang akan diminta Jessica adalah Alenka, putrinya yang berharga.
-00-
Donghae menatap kosong hasil tes ginjal milik Jessica yang telah dilakukan kemarin siang. Hasil yang tertulis di dalam kertas itu tertulis positif dan menunjukan jika ginjal milik Jessica dapat didonorkan pada Yoona. Namun ia masih takut dengan konsekuensi yang akan ia ambil jika ia menerima tawaran Jessica. Sejak kemarin, hingga tadi pagi ia mendapati Jessica beberapa kali mengunjungi ruang rawat bayi untuk mengunjungi putrinya. Hal itu jelas-jelas memberikan dugaan kuat jika Jessica menginginkan Alenka. Tapi bagaimana dengan Yoona? Wanita itu pasti tidak akan pernah mau memberikan bayinya pada siapapun, jika ia sadar nanti. Namun sekarang Jessica adalah harapan satu-satunya untuk menyelamatkan Yoona. Ia sadar jika ia tidak bisa menggenggam dua perempuan yang paling ia cintai itu dalam satu genggaman tangannya. Jika ia mempertahankan Alenka, maka kemungkinan ia akan kehilangan Yoona untuk selamanya. Sedangkan jika ia mempertahankan Yoona, maka ia harus menerima konsekuensi jika Jessica meminta Alenka sebagai bayaran.
"Hahh..."
Donghae mendesah berat dan mulai memikirkan keputusan besar yang setelah ini akan ia ambil. Ia akan memilih Yoona. Meskipun nantinya Alenka akan menjadi milik Jessica, namun setidaknya Alenka masih berada di dalam jangkauannya. Ia bisa mengunjungi Alenka kapanpaun ia mau jika suatu saat ia merindukan putrinya. Dan untuk Yoona, ia akan mencoba memberitahu wanita itu perlahan-lahan. Ia akan mencoba memberi pengertian pada Yoona jika saat ini kondisinya benar-benar sangat tidak menguntungkan. Ia dipaksa memilih diantara dua hal yang paling sulit dalam hidupnya, kehilangan anak atau isteri. Sungguh, itu adalah pilihan paling kejam yang harus segera ia putuskan segera. Apalagi dua pilihan itu juga menyangkut hidup dan mati Yoona.
"Dokter Lucas."
Donghae berseru pelan pada dokter tua itu setelah ia selesai memeriksa keadaan Yoona. Dengan wajah bijak dan meneduhkannya, dokter itu menghampiri Donghae sambil memberikan senyum kebapakan yang sangat menentramkan hati.
"Bagaimana?"
"Aku setuju untuk menggunakan ginjal milik Jessica. Saat ini hanya dia satu-satunya harapanku untuk menyelamatkan Yoona. Jadi tolong segera jadwalkan operasi untuk Yoona."
"Baiklah, aku akan segera mengatur jadwal operasinya dan mengurus surat persetujuan untuk ditanda tangani nyonya Jessica. Semoga isterimu segera membaik." Doa dokter Lucas tulus. Bersamaan dengan kepergian dokter Lucas, Donghae melihat Jessica sedang berjalan kearahnya sambil tersenyum manis padanya dan juga dokter Lucas yang baru saja berpapasan dengannya. Wanita itu dengan langkah lebar segera menghampiri Donghae dan menanyakan bagaimana keputusan Donghae setelah menerima hasil lab dari dokter Lucas.
"Aku menerimanya. Kau bisa menjadi pendonor untuk Yoona."
"Oh, aku senang dapat membantu. Tapi Hae, aku...."
"Aku tahu, bukankah ini tidak cuma-cuma?" Tebak Donghae dengan wajah datar. Meskipun ia telah menjatuhkan pilihan dan memantapkan hatinya untuk memberikan Alenka pada Jessica, namun tetap saja hati kecilnya tidak pernah terima. Ia adalah seorang ayah, dan ia merasa benar-benar jahat karena akan menyerahkan putrinya pada orang lain. Ya Tuhan, ia merasa semua ini adalah karma untuknya karena ia pernah merampas kehidupan Yoona di masa lalu, dan mempermainkan hati banyak wanita di luar sana.
"Kau boleh mengadopsi Alenka." Ucap Donghae akhirnya setelah terdiam cukup lama dengan kekalutan pikirannya. Jessica yang mendengar itu langsung menghembuskan napas bahagia sambil menepuk pundak Donghae pelan untuk menguatkan pria itu.
"Terimakasih Hae. Aku janji, meskipun Alenka akan menjadi anakku, tapi aku akan memberitahukan orang tua kandungnya padanya. Dan kau juga bebas mengunjunginya kapanpun kau mau bersama Yoona saat ia sudah sembuh nantinya."
Donghae merasa apa yang dikatakan Jessica itu tidak bisa menjadi angin segar untuknya, karena seleluasa apapun Jessica memberikan kelonggaran padanya, Yoona pasti akan tetap terpukul. Semua pengorbanannya selama ini saat mengandung Alenka akan terasa sia-sia untuknya, dan kemungkinan terburuknya Yoona akan membencinya jika wanita itu tahu apa yang telah terjadi selama ia koma.
"Hmm, dan terimakasih juga untuk pengorbananmu."
New York, Mei 2015
"Sayang, saatnya makan siang."
Donghae tersenyum lembut pada Yoona sambil menyiapkan menu makan siang yang telah disediakan oleh pihak rumah sakit. Kini berangsur-angsur kondisi Yoona mulai membaik. Ginjal yang didonorkan oleh Jessica telah berfungsi normal setelah dokter melakukan pemantauan selama hampir sebulan lamanya. Dan jika cek-up hari ini hasilnya bagus, dokter Lucas akan mengijinkan Yoona untuk pulang ke rumah yang telah ia tinggalkan selama kurang lebih tiga bulan lamanya. Namun, sesuai dugaan Donghae, Yoona benar-benar terpukul dengan berita meninggalnya Alenka. Donghae tidak bisa memberitahu kebenarannya pada Yoona jika Alenka sebenarnya saat ini sedang tumbuh dengan sehat bersama Jessica dan Kriss. Terakhir kali ia mengunjungi Alenka dua hari yang lalu, bayi kecil itu telah mengalami banyak kemajuan. Berat badannya juga terus bertambah dari hari ke hari karena Jessica rajin memberikan asupan gizi yang baik untuk Alenka. Sejujurnya Donghae selalu merasa teriris saat mengunjungi Alenka karena bayi kecil itu seharusnya tinggal bersamanya dan juga Yoona di rumah mereka. Bukan menjadi anak adopsi Jessica. Tapi lagi-lagi ia tidak bisa kehilangan Yoona. Wanita itu terlalu berharga untuk ditukarkan dengan apapun. Dan ia pikir setelah Yoona sembuh nantinya, mereka bisa mendiskusikan untuk memiliki bayi lagi.
"Kenapa kau tidak pernah memberitahuku selama ini?"
Donghae menghentikan gerakan tangannya untuk menyendokan kuah sup yang tampak begitu segar di dalam mangkuk.
"Yoong, saat itu kondisimu sedang tidak baik-baik saja. Aku takut berita mengenai mengenai penyakitmu itu akan membuatmu stress dan justru membahayakan bayi kita."
"Tapi nyatanya bayi kita tetap tidak selamat. Karena kau tidak pernah memberitahuku apapun, aku jadi tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk bayiku!" Teriak Yoona marah sambil menyeka bulir-bulir air matanya kasar. Lagi, Yoona mengalami lonjakan emosi yang tak terkendali dan menyebabkannya berakhir murung tanpa melakukan apapun, selain hanya melamun di atas ranjang rumah sakitnya. Melihat bagaimana kacaunya Yoona, Donghae merasa Tuhan benar-benar sangat jahat padanya. Setelah ia diharuskan untuk memilih, sekarang ia harus menghadapi emosi Yoona yang terus berubah-ubah tak terkendali. Padahal harapannya setelah Yoona sadar, semua akan kembali normal seperti kehidupannya yang dulu. Tapi nyatanya semua itu tidaklah mudah. Masalah-masalah baru justru kembali berdatangan menghujani hidupnya dan sering membuatnya stress karena semua ini. Yoona yang merupakan satu-satunya harapan untuk menghilangkan rasa stressnya, justru memperparah keadaanya dengan semua emosinya yang terkendali. Lalu apa yang harus ia lakukan sekarang? Ia benar-benar merasa bingung untuk bersikap dan bertindak di hadapan Yoona.
"Yoong kumohon, lupakan semua hal buruk yang terjadi di masa lalu. Sekarang kita mulai semuanya dari awal, dengan kehidupan yang lebih baik."
"Aku tidak bisa." Jawab Yoona langsung dengan tatapan kosong. Sebulir air mata lagi-lagi jatuh membasahi kedua pipinya dan membuat Donghae semakin merasa bersalah pada wanita itu.
"Aku tidak akan pernah bisa melupakan semuanya dan menganggap semuanya baik-baik saja karena pada kenyataanya sekarang aku membencimu oppa! Selama ini kau telah merampas kehidupanku, kau memaksaku untuk menikah denganmu, dan sekarang kau telah membuatku kehilangan bayi yang sangat berharga untukku. Asal kau tahu oppa, aku tidak pernah mencintaimu. Satu-satunya cinta yang akhirnya dapat kurasakan adalah cinta dari seorang ibu untuk anaknya. Aku yang selama ini telah merawatnya, membawanya kemanapun aku pergi, dan membisikan kata-kata cinta disetiap detik ia bernapas di dalam rahimku. Tapi kau dengan teganya menghancurkan semuanya! Kau menghancurkan seluruh cintaku, pengorbananku, dan menghancurkan seluruh impianku untuk menjadi ibu!"
Donghae memijit pelipisnya pening sambil merasakan sakit yang perlahan-lahan mulai menjalar di hatinya. Kata-kata yang baru saja diteriakan Yoona di depannya benar-benar sangat menohok dan juga menyakitkan. Cinta tulus yang selama ini ia berikan pada Yoona, ternyata tidak disambut dengan baik oleh wanita itu. Ia seperti hanya membuang-buang waktu untuk mencintai Yoona selama ini. Dan kebahagiaanya saat berhasil mendapatkan Yoona, ternyata hanyalah sebuah kebahagiaan semu dan juga palsu.
"Meskipun kau tidak mencintaiku, tapi aku sangat mencintaimu Yoona. Mungkin ini sedikit terlambat untuk memberitahukannya padamu, tapi sejujurnya aku telah mencintaimu sejak lama. Jauh sebelum ibuku menjodohkanku dengan Yuri. Dan pernikahan kita, sebenarnya aku yang merencanakannya. Sore itu, saat Yuri mengajakku untuk pergi tanpa mengajakmu, Yuri mengatakan padaku jika ia tahu tentang perasaanku. Wanita itu tahu jika aku tidak mencintainya dan sangat mencintaimu. Ia lalu memutuskan untuk mengarang semua kisah cinta palsunya padamu agar kau bersedia untuk menggantikannya menikah denganku. Padahal saat itu Yuri mencintaiku. Ia mencintaiku dengan tulus, dan ia ingin melihatku bahagia bersamamu. Kau seharusnya menghargai pengorbanan Yuri dan berusaha memahami posisiku. Bayangkan saja, setiap hari aku harus selalu melihatmu terbaring lemah di atas ranjang dengan berbagai alat-alat penunjang kehidupan yang terpasang di hampir setiap inci kulitmu. Lalu kondisimu yang selalu mengalami fluktuasi itu membuatku selalu ketakutan jika sewaktu-waktu kau akan meninggalkanku. Dan setelah apa yang kulakukan selama ini, kau justru menyalahkanku, memperburuk keadaanku dengan kata-kata kasarmu yang sangat menyakitkan untukku. Asal kau tahu Yoong, aku sebenarnya sangat membenci diriku sendiri. Disaat kau sakit, aku tidak bisa melakukan apapun untukmu. Aku merasa menjadi suami paling tolol dan tak berguna di dunia ini karena aku tidak bisa melakukan apapun untukmu. Padahal aku sangat ingin mendonorkan ginjalku untukmu. Aku ingin membalas semua kebaikanmu selama ini, sekaligus untuk menebus seluruh dosa-dosaku karena pernah merampas kehidupanmu. Sayangnya aku tidak bisa melakukan semua itu, dan apa yang telah kulakukan hingga sejauh ini selalu kau anggap salah di matamu."
Blarr
Donghae membanting kamar perawatan Yoona dengan seluruh emosi yang menyesakan di hatinya. Ini adalah satu-satunya hari yang paling emosional untuknya, karena ia tidak pernah semarah ini sepanjang hidupnya. Bahkan ia selalu mampu mengendalikan emosinya dengan baik untuk bernegosiasi dengan rekan-rekan bisnisnya. Namun untuk Yoona, wanita itu berhasil memporak-porandakan seluruh emosinya dan pada akhirnya membuatnya menjadi suami yang sangat jahat dengan membentak-bentak Yoona seperti itu. Ck, sepertinya ia memang masih harus berjuang untuk mewujudkan keluarga sempurna impiannya. Sekaligus juga bersabar dalam menghadapi perubahan emosi Yoona yang sangat tidak terduga seperti itu.
New York, Juni 2015
Yoona memandangi kamar calon putrinya dengan perasaan hampa dan wajah nanar. Setelah apa yang terjadi padanya dan Donghae di rumah sakit, ia merasa kehidupannya tidak lagi menarik seperti dulu. Sekarang ia lebih sering melamun daripada melakukan sesuatu yang berguna. Bahkan tak jarang ia mengabaikan Donghae yang selalu berusaha untuk membuatnya tersenyum kembali seperti dulu. Tapi, semua itu memang tidak akan bisa mengembalikan jiwanya yang terlanjur terkoyak. Ketidakjujuran Donghae benar-benar telah mengubahnya menjadi seseorang yang tampak seperti cangkang kosong tanpa jiwa. Meskipun Donghae memang melakukannya karena alasan yang jelas, tapi entah kenapa ia tidak pernah bisa menerima alasan itu. Baginya Donghae terlalu sempit mengambil kesimpulan mengenai kondisinya yang akan memburuk jika ia tahu semuanya karena pada kenyataanya ia justru akan melakukan hal sebaliknya jika ia mengetahui semuanya sejak awal. Lalu anaknya... ia pasti tidak akan kehilangan putri kecilnya jika Donghae memilih untuk jujur dengan penyakitnya sejak awal.
"Aku sudah menyiapkan makan malam. Makanlah."
Tanpa menatap wajah Donghae yang sedang berdiri di belakangnya, Yoona berseru pelan sambil tetap bersandar pada kusen pintu berwarna pink di sebelahnya. Betapa sia-sianya semua hal yang telah ia lakukan selama ini. Merajut kaus kaki, menyiapkan semua keperluan putrinya dengan detail, dan mengubah gudang di rumah mereka menjadi sebuah kamar bernuansa baby pink yang cantik, benar-benar sesuatu yang sia-sia bagi Yoona. Lalu, kehidupan yang ia pertaruhkan agar dapat menjadi ibu akhirnya hanya menghantarkannya pada sebuah rasa penyesalan besar yang teramat mengganggu di hatinya. Sekarang ia bahkan mulai berpikir untuk meninggalkan Donghae dan hidup sesuai dengan kehendaknya sendiri tanpa Donghae di sisinya.
"Kita makan bersama, aku ingin membicarakan banyak hal denganmu Yoong."
"Aku tidak lapar."
"Yoona, aku tetap akan memaksamu...."
"Baiklah! Aku akan makan." Potong Yoona ketus dan segera berbalik untuk pergi menuju meja makan. Donghae hanya menatap kepergian Yoona dalam diam sambil menghembuskan napasnya berat untuk yang kesekian kalinya. Padahal ini sudah berbulan-bulan lamanya sejak kejadian itu, sejak Alenka menjadi milik Jessica, namun Yoona masih belum bisa menerima semua ini dan justru semakin membencinya. Padahal dulu ia pikir semuanya akan lebih mudah dan tidak akan menjadi rumit seperti ini. Namun kenyataanya, semuanya jauh lebih sulit yang ia duga. Yoona yang ia pikir akan lebih mudah memaafkannya, justru berbalik membencinya seperti ini. Lalu bagaimana caranya ia berkata jujur pada Yoona jika Alenka sebenarnya masih hidup, namun telah diadopsi oleh Jessica? Wanita itu pasti akan semakin membencinya, dan kemungkinan terburuknya mungkin akan meminta berpisah darinya. Tidak! Itu tidak boleh terjadi. Ia sangat mencintai Yoona, dan Yoona tidak boleh pergi meninggalkannya.
"Oppa, bukankah kau ingin makan? Aku sudah menunggumu sejak tadi."
Donghae langsung berbalik begitu saja kearah Yoona sambil menatap wajah wanita yang sangat dicintainya dengan tatapan sendu. Sampai kapan hubungan mereka akan terus seperti ini? Apakah wanita itu tidak lelah memusuhinya, dan menyalahkan semua kekacauan ini padanya?
"Ada yang ingin kukatakan padamu."
Donghae mencekal lengan Yoona tiba-tiba ketika wanita itu hendak berjalan menuju meja makan. Dan refleks Yoona berhenti sambil menatap cekalan tangan Donghae di lengannya tajam.
"Katakan oppa. Apa aku pernah melarangmu berbicara?"
"Tidak. Tapi kau telah membuat semua ini menjadi lebih rumit karena sikapmu."
"Sikap apa? Bahkan aku tidak pernah melakukan apapun padamu. Aku selalu menyiapkan keperluanmu seperti biasanya. Sikap mana yang membuatmu merasa aku memperumit segalanya?" Tanya Yoona sinis. Ia merasakan cekalan Donghae di tangannya semakin menguat, dan itu mau tidak mau membuatnya meringis hingga akhirnya Donghae memutuskan untuk melepaskan cekalan tangannya yang menyakitkan itu.
"Sikap sinis dan kekanakan yang selalu kau tunjukan selama ini. Kau tidak pernah belajar untuk memahami posisiku saat itu. Kau terus saja melimpahkan kesalahan itu padaku, padahal sebenarnya kau sendiri juga salah dalam hal ini. Bukankah aku sudah melarangmu untuk tidak memakan makanan sampah itu, tapi apa? Saat aku pergi kau justru memakan mie ramen hingga akhirnya kau membahayakan anak kita. Jadi kau pikir itu salah siapa? Siapa yang membuat anak kita akhirnya mati!"
Donghae mengamuk seperti orang kesetanan di hadapan Yoona hingga membuat Yoona takut dan menangis tersedu-sedu. Selama menjadi asisten Donghae, ia belum pernah melihat Donghae semarah ini. Mungkin batas kesabaran Donghae sudah benar-benar habis untuk menghadapi sikap permusuhan yang terang-terangan ia tunjukan selama ini. Jadi tak heran jika pada akhirnya Donghae meledak, dan tanpa sadar mengeluarkan seluruh amarahnya yang selama ini berhasil ia pendam untuk melindungi perasaan Yoona.
"Op oppa... maafkan aku."
Pada akhirnya Yoona hanya mampu meminta maaf sambil berlari menuju kamarnya yang tak jauh dari kamar calon anaknya. Melihat Yoona yang terlihat terluka, membuat Donghae kemudian menyadari kesalahannya dan merasa menyesal dengan apa yang baru saja ia lakukan pada Yoona. Berbagai masalah yang akhir-akhir ini menghimpitnya membuat ia jengan dengan sikap Yoona, hingga pada akhirnya semua emosi yang ia tahan selama ini meledak di hadapan Yoona.
"Ck, bodoh! Argghh sialan kau Lee!"
Donghae mengumpati dirinya keras sambil mengacak rambutnya frustrasi menatap pintu kamarnya yang baru saja ditutup keras oleh Yoona. Ini jelas-jelas tidak akan menyelesaikan masalah. Emosinya justru menciptakan masalah baru yang lebih rumit, dan itu akan membuat Yoona semakin membencinya.
-00-
Selama tiga hari itu perang dingin terus berlanjut. Sejak Donghae membentak-bentaknya, ia menjadi enggan untuk bertatap muka dengan Donghae dan selalu menghindari pria itu dimanapun dan kapanpun mereka berada. Bahkan sekarang Yoona memilih untuk tidur di kamar calon anaknya daripada tidur di tempat yang sama dengan Donghae. Hatinya merasa terasa perih setiap kali ia melihat Donghae ataupun berpapasan dengan pria itu. Jadi pada akhirnya ia memilih untuk menjauh sementara dari Donghae hingga hatinya siap.
"Kau sudah menghindariku selama tiga hari."
Yoona berjengit kaget sambil mengalihkan tatapannya kearah lain saat tiba-tiba Donghae menghadang jalannya. Aroma mint dari shampo yang dipakai Donghae itu membuat Yoona tahu jika Donghae baru saja mandi, dan pria itu mungkin sengaja melakukannya untuk mendinginkan kepalanya terlebihdahulu sebelum mengajaknya untuk berbicara.
"Kau marah padaku, jadi apa yang harus kulakukan? Aku tidak mau memancing kemarahan diantara kita."
"Tapi sikapmu yang menghindariku ini justru memperburuk segalanya. Yoong, maafkan aku."
Yoona terbelalak kaget saat Donghae tiba-tiba berlutut di hadapannya sambil menatap manik matanya sungguh-sungguh. Ada banyak kesedihan, luka, dan masalah yang terpancar dari mata Donghae hingga membuat Yoona akhirnya luluh dan justru menubruk tubuh pria itu sambil menangis tersedu-sedu.
"Aku yang seharusnya meminta maaf, aku sadar aku salah. Tidak seharusnya aku melimpahkan semua kesalahan itu padamu, dan menjadi pihak yang paling tersakiti di sini. Sejujurnya aku menghindarimu karena aku merasa jahat. Maafkan aku oppa, sekali lagi tolong maafkan aku."
Donghae memeluk tubuh Yoona erat dan menenggelamkan wajah wanita itu kedalam dada bidangnya. Sungguh ia merasa lega karena akhirnya mereka bisa saling memaafkan seperti ini dan melanjutkan kehidupan mereka lagi yang sempat kacau. Tapi, ia masih memiliki satu kebohongan pada Yoona yang belum bisa ia ungkapkan. Ia terlalu takut mengambil resiko Yoona akan kembali menjadi Yoona yang pemurung. Padahal momen-momen ini terlalu sayang untuk dibiarkan cepat berlalu. Dan mungkin ia akan tetap menjaga rahasia itu hingga akhir, tanpa Yoona tahu kebenaran yang sebenarnya.
New York, Juni 2017
Srakk
Tiba-tiba Yoona melemparkan foto-foto di atas wajah Donghae hingga pria itu akhirnya membuka matanya dengan bingung.
"Yoong?"
Donghae menyipitkan matanya kearah Yoona dengan heran sambil mencoba menggerakan tubuhnya yang pegal. Semalaman ia tertidur dengan posisi yang sangat tidak nyaman, dengan kedua tangan yang masih terikat di belakang tubuhnya. Bahkan pagi ini ia merasa tidak bisa merasakan tangannya karena terlalu mati rasa dan kesemutan.
"Jelaskan semua itu Lee Donghae!" Ucap Yoona berbahaya dengan sorot kemarahan yang berkobar di matanya. Donghae lalu mencoba mencermati foto-foto itu satu-satu sambil memejamkan matanya kalut. Akhirnya Yoona mengetahui semuanya. Jadi inilah alasan wanita itu mengikatnya semalaman? Yoona marah! Dan itu karena perbuatannya.
"Aku bisa menjelaskannya sa..."
"Pembohong! Kau pembohong sialan yang menyebalkan oppa!" Potong Yoona cepat dengan seluruh kemarahan yang ia miliki. Ia benar-benar tak menyangka jika Donghae tega melakukan ini padanya.
"Kau tega mengkhianati kepercayaanku padamu oppa! Selama ini aku percaya padamu jika Alenka telah meninggal, dan aku mulai menerima pernikahan ini dengan sepenuh hati karena aku tahu kau mencintaiku dengan tulus. Tapi apa balasan yang kudapat? Kebohongan!" Marah Yoona dengan wajah merah padam. Tidak ada lagi air mata yang dikeluarkan oleh Yoona seperti malam-malam sebelumnya. Hari ini Yoona merasa seluruh emosinya telah mati. Selama berbulan-bulan lamanya ia terus menyembunyikan hal ini dari Donghae, berpura-pura jika ia baik-baik saja, meskipun sebenarnya hatinya terluka. Dan puncaknya adalah enam bulan yang lalu, saat keinginan-keinginan jahat itu mulai muncul di hatinya. Ia ingin membunuh Donghae dengan seluruh kebencian yang ia miliki.
"Yoong, aku terpaksa melakukannya karena saat itu keadaanmu kritis. Hanya Jessica yang memiliki ginjal yang cocok denganmu, tapi sayangnya Jessica tidak memberikan ginjal itu dengan gratis. Ia menginginkan Alenka." Tambah Donghae frustrasi. Ia pikir permasalahan mereka telah selesai dua tahun yangn lalu. Mereka telah saling memaafkann satu sama lain, dan akhir-akhir ini kehidupan mereka juga baik-baik saja. Atau mungkin hanya ia yang merasa baik-baik saja? Sedangkan Yoona selalu masih menyimpan kesedihan itu di hatinya.
"Tapi kenapa kau berbohong padaku oppa? Kau mengatakan jika bayiku tidak selamat. Kau membuatku menjadi wanita gila selama ini dengan terus meratapi kematian bayiku disaat kau telah pergi ke kantor. Asal kau tahu oppa, aku tidak pernah baik-baik saja! Aku hancur! Keinginanku untuk menjadi ibu terlalu kuat selama ini hingga aku tidak pernah bisa memaafkan diriku sendiri atas semua kecerobohan yang telah kulakukan."
"Maaf Yoong, aku tidak ingin kau kembali terluka seperti dulu. Sejujurnya aku juga sakit, karena aku harus merelakan Alenka untuk Jessica. Tapi saat itu aku hanya memiliki dua pilihan, melepaskanmu atau melepaskan Alenka. Jadi pada akhirnya aku memilih untuk melepaskan Alenka karena kupikir kita masih bisa melihatnya dan menjenguknya meskipun ia telah diadopsi oleh Jessica. Tapi jika aku memilih Alenka, kau akan pergi untuk selamanya. Kau akan meninggalkanku dan membuatku kehilangan seluruh jiwaku."
"Hah, bukan itu yang sebenarnya kupermasalahkan oppa, tapi kebohonganmu!" Teriak Yoona lagi murka. Donghae yang masih berada di atas ranjang dengan tangan terikat hanya mampu menatap Yoona nanar sambil menyesali kesalahannya selama ini. Seharusnya sejak awal ia tidak berbohong dan bersedia untuk menerima kemarahan Yoona di awal. Setidaknya semua itu masih lebih baik daripada luapan kemarahan Yoona yang telah dipendam wanita itu bertahun-tahun.
"Sudah berapa lama kau mengetahui semuanya?" Tanya Donghae lirih.
"Satu tahun yang lalu. Huh, kenapa? Apa kau terkejut? Setelah aku melihat gerak-gerikmu yang aneh beberapa kali, aku berpikir jika kau mungkin telah menyembunyikan sesuatu dariku. Dan ternyata dugaanku benar. Selama ini tanpa sepengetahuanku, kau selalu mengunjungi Alenka di rumah Jessica. Bermain bersama putri kita sebelum pergi ke kantor, dan membelikan hadiah-hadiah kecil layaknya seorang ayah. Kau... telah melakukan peranmu selama ini dengan baik."
Tiba-tiba Donghae melihat Yoona menangis hingga suaranya tiba-tiba hilang karena tercekat. Wanita itu tersengguk-sengguk di ujung ranjang sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Melihat itu, Donghae merasa dirinya benar-benar telah melakukan kesalahan yang fatal pada Yoona. Lagi-lagi ia telah menorehkan luka di hati wanita itu.
"Kka kau.. egois! Kau terlalu dibutakan oleh cintamu padaku, hingga kau tidak pernah sadar jika selama ini kau telah menyakitiku." Lirih Yoona terisak-isak. Rasanya Donghae ingin sekali merengkuh wanita rapuh itu kedalam pelukannya. Namun ikatan Yoona yang kuat di kedua lengannya membuatnya hanya mampu menjadi penonton dari serenande kesedihan yang sedang diperlihatkan Yoona di depannya. Namun tak lama kemudian, Donghae melihat Yoona tersenyum. Wanita itu tiba-tiba menyeringai kearahnya dengan sorot mata mengerikan yang selama ini belum pernah ia lihat sebelumnya dari Yoona.
"Yoona, sayang... heyy, tolong lepaskan aku. Kita pergi ke rumah Jessica sekarang juga, dan bertemu dengan Alenka. Aku akan mencoba berbicara pada Jessica agar kau bisa mendapatkan Alenka lagi." Ucap Donghae setengah memohon. Ia benar-benar merasa sedih melihat kondisi Yoona yang terus berubah-ubah seperti ini. Kesedihannya yang mendalam, dan terlalu banyak tekanan membuat jiwanya semakin lama menjadi terguncang. Wanita itu bisa gila jika ia tidak segera melakukan sesuatu.
"Hahaha... untuk apa?" Tanya Yoona sambil tertawa terbahak-bahak. Donghae yang melihat itu hanya menatap miris isterinya dari kejauhan dengan tubuh lemas tak bertenaga. Sebenarnya ia bisa saja melepaskan ikatan itu, jika ia mau. Tapi ia hanya tidak ingin membuat kemarahan Yoona menjadi lebih parah dan tak masuk akal. Jadi untuk sementara ia akan mengikuti permainan wanita itu hingga wanita itu puas meluapkan seluruh emosinya.
"Yoona, dengarkan aku. Aku benar-benar serius dengan ucapanku untuk membawamu ke rumah Jessica. Setelah ini kita akan mendapatkan Alenka lagi dan hidup dengan keluarga utuh kita yang sempurna."
"Ck, itu tidak ada gunanya lagi Lee! Alenka, putriku, dia sama sekali tidak mengenaliku. Hiks..."
Setelah tertawa terbahak-bahak, Yoona tiba-tiba menunduk sambil menangis tersedu-sedu di hadapan Donghae. Wanita itu terlihat sesenggukan beberapa kali sebelum akhirnya ia mendongak dan menatap Donghae dengan kedua mata yang telah dipenuhi air mata.
"Kemarin aku pergi ke rumah Jessica. Aku ingin bertemu Alenka dan mengatakan padanya jika aku adalah ibunya. Tapi saat aku tiba di sana, Alenka justru berlari ketakutan sambil memeluk kaki Jessica. Bahkan untuk menatapku saja ia tidak mau. Ia ketakutan saat melihatku Lee! Dan akhirnya Jessica justru memintaku pergi karena Alenka menangis histeris saat aku memaksanya. Jadi untuk apa kau mengajakku untuk menjemput Alenka jika kenyataanya hati putriku tidak terikat padaku. Dia sudah lama hidup dengan Jessica, ia tidak akan pernah bisa menerimaku sebagai ibunya."
"Yoong, kau perlu mendekatinya perlahan. Anak-anak tentu akan takut jika kau memaksanya."
"Tapi sampai kapan?" Teriak Yoona marah. Ia sudah bosan dan lelah menunggu selama ini. Ia sudah terlalu banyak menunggu hingga akhirnya seluruh kesabarannya habis.
"Sayang, tenanglah. Lepaskan aku, kita bicara baik-baik."
"Huh, kau lebih baik seperti itu oppa. Aku sudah muak melihat wajahmu, aku ingin kita berpisah. Lagipula sudah tidak ada apapun yang bisa pertahankan dalam pernikahan ini. Kejujuran? Kau jelas-jelas tidak pernah berkata jujur padaku. Cinta? Huh, aku tidak pernah mencintaimu. Loyalitas? Sepertinya itu juga sudah lenyap karena aku terlalu muak denganmu. Oh, aku ingin memberitahumu satu hal. Sejak beberapa bulan yang lalu aku selalu memiliki keinginan untuk membunuhmu."
"Yoong, apa kau?"
"Ya, aku yang selama ini membuatmu hampir mati. Keracunan, terserempet mobil, rem mobil yang mendadak tak berfungsi? Itu aku yang melakukannya. Kenapa? Kau terkejut?" Tanya Yoona acuh tak acuh sambil memainkan kuku-kukunya yang tak terawat. Donghae yang melihat itu semua hanya mampu memejamkan matanya pedih sambil terus menyalahkan kebodohannya selama ini. Ia seharusnya sejak awal mempertimbangkan kata-kata ibunya mengenai perasaan Yoona untuknya yang mungkin akan sulit berubah dan rasa benci yang selalu wanita itu tutupi karena sejak junior high school ia selalu memperlakukan wanita itu semena-mena. Tapi, ia pikir cinta tulusnya selama ini dapat membuat Yoona berbalik untuk mencintainya. Ternyata cinta bukan segalanya. Perasaan tidak bisa berubah semudah itu. Dan kehidupan tidak akan terus berpihak padanya seperti dulu.
"Maaf, aku memang salah selama ini. Tolong lepaskan aku sekarang juga Yoong, kita mulai semuanya dari awal. Aku tidak akan mempermasalahkan sikapmu padaku akhir-akhir ini. Aku akan berusaha untuk melupakannya dan tetap menjadi suamimu yang selalu mencintaimu, meskipun kau tidak pernah membalas perasaanku sedikitpun."
"Ck, apa kau pikir aku mau bertahan bersamamu? Bahkan meskipun kau menawarkan seluruh hartamupun, aku tidak akan pernah mau untuk bertahan bersamamu. Aku lebih baik mati!"
"Yoona! Im Yoona, apa yang kau lakukan? Shit!"
Donghae langsung melompat turun dari ranjangnya sambil mencoba melepaskan ikatan tali-tali itu di tubuhnya. Yoona baru saja menusuk perutnya sendiri dengan pisau, dan ia harus segera menyelamatkan wanita itu sebelum semuanya terlambat.
"Yyoona... Hey, lihat aku. Jangan pergi, kenapa kau nekad melakukan hal ini?"
Donghae langsung memeluk Yoona erat setelah ia berhasil melepaskan ikatan tali-tali itu dari tubuhnya. Namun Yoona sudah terlanjur kehilangan banyak darah dan tampak tidak bisa diselamatkan lagi.
"Ja jangan sse selamatkan ak aku." Ucap Yoona terbata-bata. Ia mencoba menggapai wajah Donghae menggunakan tangannya yang berlumuran darah sambil menangis pelan di depan pria yang telah menjadi suaminya selama hampir tiga tahun ini.
"Yoong, kenapa kau menghukumku dengan cara seperti ini?" Tanya Donghae pilu. Air matanya perlahan menetes membasahi wajah Yoona yang tepat berada di bawahnya. Mereka berdua akhirnya menangis bersama untuk terakhir kalinya dengan tangan Donghae yang terus menggenggam tangan Yoona dengan erat. Pada akhirnya takdir memaksanya untuk berpisah dari Yoona dengan cara yang sangat keji seperti ini.
"Ak aku ingin bbe berpisah darimu. Ttto tolong lepaskan ak aku."
"Aku akan melepaskanmu." Ucap Donghae lirih dengan perasaan berat yang menggelayuti hatinya. Ia sebenarnya masih bisa menyelamatkan Yoona, membawa wanita itu ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan dari dokter. Tapi untuk terakhir kalinya ia harus mengabulkan permintaan Yoona. Sebagai asistennya selama ini, ia belum pernah sekalipun mengabulkan permintaan Yoona. Yoona yang ceria, rajin, dan selalu memiliki ketulusan di hatinya memang terlalu baik untuk dirinya yang sangat brengsek. Ia tidak pantas memiliki malaikat sebaik Yoona, dan ini adalah hukuman yang diberikan Tuhan padanya karena ia telah memaksakan takdir yang tidak pernah berpihak padanya.
"Te terimakasih... Ak aku bahagia..."
"Yoona!! Im Yoona......"
-00-
"Hahh... Sial!"
Donghae terengah bangun dari tidurnya sambil melirik jam dinding di ruang kerjanya yang baru saja berdentang cukup berisik. Ia kemudian menyandarkan tubuh lelahnya pada sandaran kursi sambil memijit kedua matanya yang lelah dengan ujung jari-jarinya. Kenapa rasanya semua baru saja terjadi kemarin. Kegilaan Yoona, kisah cintanya, dan kematian Yoona. Semuanya benar-benar terlalu cepat untuk berlalu, dan ia tidak pernah sadar jika ini sudah lebih dari satu tahun ia menjalani kehidupannya dengan status baru tanpa Yoona. Namun ia memang telah bertekad pada dirinya sendiri untuk tidak meratapi kepergian Yoona terlalu lama. Ia yakin saat ini Yoona telah bahagia di atas sana karena ia telah mengabulkan keinginan terakhir wanita itu untuk melepaskannya.
"Tuan, kau baik-baik saja? Aku mendengar suara gaduh beberapa saat yang lalu, dan... aku segera berlari ke sini."
"Tidak apa-apa. Kembalilah ke kamarmu. Selamat malam Calistha."
-End-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro