Madness
Mencintaimu adalah sebuah kegilaan, namun di saat yang bersamaan mencintaimu adalah sebuah kesenangan yang tak terlupakan
"Yoona, apa yang kau lakukan di sini?"
Aku menoleh sekilas pada Yuri yang lagi-lagi mendapatiku sedang mengamati senior kami yang sedang membuang sampah di halaman belakang. Aku cepat-cepat memberi kode pada Yuri agar ia mengecilkan suaranya karena aku tidak ingin senior itu melihatku yang sedang mengintipnya melalui celah-celah pohon akasia yang tumbuh subur di halaman belakang sekolahku.
"Kenapa kau tidak menghampirinya dan mengatakan yang sejujurnya padanya jika kau menyukainya? Aku yakin, ia pasti tidak akan menolakmu. Kau adalah putri pemilik sekolah ini dan senior Lee hanyalah anak dari tukang kebun yang kebetulan mendapatkan kesempatan untuk bersekolah di sini karena kepintarannya, jika kau mengatakan yang sejujurnya padanya, aku yakin ia akan langsung menerima cintamu."
"Ssstt!! Jangan berisik! Lagipula aku tidak akan mau mendapatkan senior Lee dengan cara licik seperti itu, aku hanya ingin sesuatu yang alami. Lihat, bukankah ia sangat tampan?"
Aku merasa meleleh tiba-tiba ketika pria itu dengan penuh ketelatenan membantu ayahnya membersihkan sampah-sampah yang berserakan di halaman belakang sekolah kami. Bisa kubayangkan bagaimana ia saat dewasa nanti yang akan dipenuhi dengan sikap lembut dan pengertian pada isterinya. Ya Tuhan, aku benar-benar berharap akulah yang akan menjadi isterinya kelak. Aku, sungguh sangat menginginkan posisi itu. Tidak peduli bagaimana latar belakangnya yang hanyalah seorang putra dari tukang kebun, karena bagiku sikapnya yang begitu dewasa dan lembut sudah mampu memberiku segalanya.
"Hey, dia sepertinya sedang berjalan ke arahmu."
Tiba-tiba aku tersadar dari lamunan anehku saat Yuri menyikut pinggangku pelan sambil menunjuk senior Lee diam-diam yang saat ini sedang berjalan ke arahku. Sepertinya ia sudah tahu jika sejak tadi aku terus mengintip pekerjaanya.
"Hai, apa yang kau lakukan di sini? Sejak tadi aku melihatmu terus berdiri di sebelah pohon akasia."
Tiba-tiba saja lututku merasa lemas dan bibirku terasa kaku untuk digerakan, aku tidak bisa menjawab pertanyaannya! Ya Tuhan, Yuri harus menolongku sekarang juga dari keadaan yang sangat memalukan ini.
"Temanku sedang mencari anting-antingnya yang jatuh di sekitar sini kemarin, apa senior melihatnya?"
"Anting-anting? Seperti apa bentuknya? Mungkin aku bisa membantu kalian mencarinya." Ucapnya dengan wajah inocent yang berhasil membuat jantungku melompat-lompat ribut di dalam sana. Yuri yang berada di sampingku tiba-tiba menyenggol tanganku karena aku terlalu lama terhanyut dalam pesonanya dan membuatku tidak lekas menjawab pertanyaanya.
"Eee... bentuknya..."
Aku menatap Yuri panik untuk membantuku menjawab pertanyaan yang belum kusiapkan jawabannya. Jika aku tidak cepat-cepat mengeluarkan suara sekarang, ia pasti akan langsung mengecapku sebegaia wanita pembohong. Oh Ya Tuhan, aku benar-benar gugup sekarang.
"Yoona, sekarang aku sudah mengingatnya. Anting-antingku tidak terjatuh di sini, tapi tertinggal di kamar mandi rumahku."
Yuri tiba-tiba berseru dengan wajah pura-pura lupanya yang terlihat lucu. Kulihat senior Lee menatap Yuri dengan aneh sambil menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis pikir karena kebodohannya. Tapi sekarang aku benar-benar bersyukur dengan wajah bodohnya itu karena aku sekarang bisa bernafas lega dengan kebohonganku sendiri.
"Nah, sepertinya aku tidak perlu membantu kalian. Kalau begitu aku permisi dulu, sebentar lagi kelas guru Kang akan segera dimulai."
Pria itu menganggukan kepalanya ramah pada kami dan tersenyum manis padaku sebelum berjalan pergi meninggalkanku yang masih terhanyut dengan pesonanya yang begitu mematikan.
"Hey, kau benar-benar bodoh. Seenaknya saja mengarang cerita jika anting-antingku terjatuh di sini, padahal aku sama sekali tidak pernah menjatuhkan apapun." Sungut Yuri kesal. Aku tiba-tiba memeluk Yuri dan tersenyum-senyum aneh seperti orang gila tanpa sedikitpun merespon gerutuannya yang terdengar menyebalkan. Senyuman senior Lee hari ini benar-benar membuat suasana hatiku lebih cerah. Kujamin aku akan terus terjaga selama pelajaran ilmu sosial yang sangat membosankan setelah ini karena aku akan menggunakan waktuku untuk terus mengingat senyum senior Lee yang manis.
"Hahh... kenapa dia begitu tampan, aku benar-benar tidak bisa mengalihkan pikiranku darinya. Apakah menurutmu aku bisa mendapatkannya sebagai kekasihku?"
"Entahlah, tapi mungkin saja kau bisa menggunakan sedikit kekuasaan ayahmu untuk mendapatkan hatinya karena ia selama ini selalu bergantung pada beasiswa yang diberikan oleh ayahmu." Usul Yuri santai. Aku tersenyum sumringah dengan ide brilian Yuri dan aku mulai menyusun rencana untuk meluluhkan hati ayahku hari ini karena aku ingin ayah memberikan beasiswa yang lebih banyak dan menaikan gaji ayahnya lebih banyak.
"Ayo, jangan sampai kita mendapat hukuman dari mis Nana karena kita terlambat dalam mata pelajarannya hari ini." Ucap Yuri sambil menarik tanganku kasar menuju ruang kelas kami di lantai tiga.
-00-
Hari ini adalah hari kelulusan siswa-siswi yang telah ditunggu-tunggu oleh semua orang. Sejak pagi tadi guru-guru sudah tampak sibuk kesana kemari untuk mengumumkan hasil nilai siswa-siswi kelas tiga yang telah menempuh ujian akhir dua minggu yang lalu. Namun ditengah suka cita semua orang karena sekolahku mendapatkan nilai tertinggi dalam ujian, aku justru merasa sedih dan lesu. Jika hari ini siswa-siswi kelas tiga telah mendapatkan nilai mereka, maka kesempatanku untuk mengamati senior Lee yang tampan akan segera berakhir. Apalagi ia adalah siswa dengan nilai tertinggi di sekolah kami, sudah pasti ia akan mendapatkan tawaran untuk melanjutkan kuliah di perguruan tinggi ternama di luar negeri.
"Yoong, kau tidak ingin melihat nilai senior Lee?" Tanya Yuri yang tiba-tiba telah berdiri di sebelahku sambil menyeruput jus jeruknya nikmat. Dengan malas aku menoleh kearahnya, dan kembali bersandar pada pilar dengan pandangan kosong yang tampak menyedihkan.
"Aku tidak perlu melihatnya, karena ia pasti mendapatkan nilai terbaik di sekolah ini. Hahh... sebentar lagi aku tidak akan bisa melihatnya lagi." Ucapku malas. Yuri tampak perihatin sambil menepuk-nepuk pundakku pelan. Tapi tetap saja hal itu tidak akan mengubah apapun karena senior Lee tetap akan pergi meninggalkan sekolah ini dan meninggalkanku untuk melanjutkan pendidikannya.
"Setidaknya kau bisa mencari tahu dimana ia akan melanjutkan pendidikannya karena di sana juga tertera daftar perguruan tinggi yang dituju oleh siswa-siswi kelas tiga setelah ini."
"Benarkah? Tapi pria sepintar senior Lee pasti akan mengambil beasiswa ke luar negeri. Hanya orang bodoh yang akan menyia-nyiakan kesempatan untuk berkuliah ke luar negeri, karena sejak tiga bulan yang lalu aku mendengar guru Kang dan guru Nam sudah menyebutkan beberapa perguruan tinggi ternama di Amerika dan Inggris yang telah menerima senior Lee sebagai salah satu mahasiswanya."
Masih teringat jelas bagaimana senangnya guru Kang dan guru Nam saat itu ketika mereka mendapatkan sebuah amplop yang dikirim langsung oleh perguruan tinggi ternama di Amerika dan Inggris. Saat itu kedua guru itu langsung bersorak girang dan mereka dengan tergesa-gesa segera berjalan menuju ruang kelas senior Lee yang berada di ujung lorong untuk memberikan surat pemberitahuan itu. Tapi di atas kesenangan mereka, aku sejujurnya tengah menangis karena jika senior Lee akan melanjutkan pendidikannya di luar negeri, maka aku akan kehilangan pria yang kucintai. Dan bodohnya aku, karena sampai sejauh ini aku tidak berani mengungkapkan perasaanku padanya. Aku terlalu naif untuk mengatakannya secara langsung padanya, karena bagaimanapun kedudukannya di sekolah ini hanyalah sebagai anak tukang kebun yang kebetulan memiliki otak cemerlang. Sedangkan aku adalah anak tunggal dari pemilik sekolah ini yang selalu mendapatkan apapun yang kuinginkan. Jika aku nekat mengungkapkan perasaanku, dan ia menolaknya, maka reputasiku sebagai ratu sekolah akan benar-benar hancur. Aku tidak mau nasib malang itu menimpaku, tapi.... terus berdiam diri seperti ini tanpa melakukan apapun juga tidak ada gunanya. Aku justru semakin memperparah kebimbangan hatiku dengan sikapku yang naif ini.
"Yoong, hey!"
Yuri menyenggol lenganku pelan dan membuat lamunanku seketika buyar. Dari kejauhan aku melihat senior Lee sedang berjalan bergandengan tangan dengan Choi Jiwon kearah kerumunan siswa-siswi yang sedang melihat nilai mereka di papan pengumuman.
"Bukankah itu Choi Jiwon, siswi kelas tiga yang dirumorkan menjalin hubungan dengan senior Lee karena kedekatan mereka selama ini?"
Aku menoleh gusar pada Yuri yang seakan-akan sedang memanas-manasi hatiku yang sudah terbakar ini.
"Diam kau! Kau membuatku semakin terbakar Yul." Ucapku kasar. Akupun memilih pergi dari tempatku berdiri karena aku sudah tidak tahan melihat kedekatan senior Lee dengan Choi Jiwon yang saat ini saling bergandengan tangan satu sama lain. Samar-samar aku mendengar suara bisikan siswi-siswi penggunjing yang sedang mengagumi kedekatan mereka. Mereka dengan munafiknya mengatakan jika senior Lee dan Choi Jiwon tampak serasi, padahal mereka semua saat ini juga sama dongkolnya denganku karena senior incaran mereka sedang berdekatan dengan wanita lain.
"Tidak perlu memuji-muji mereka jika kalian juga merasa kesal dengan kedekatan senior Lee dengan Choi Jiwon." Sindirku pelan sambil berlalu pergi meninggalkan mereka. Tanpa kusangka salah satu dari mereka menarik tanganku dan membuatku harus berbalik untuk menghadapi mereka.
"Huh, ratu sekolah yang naif ini sepertinya juga sedang merasa kesal dengan kedekatan pria incarannya. Asal kau tahu saja, sekarang kami sepenuhnya mendukung hubungan senior Lee dan Choi Jiwon karena menurut kami wanita itu jauh lebih pantas bersanding dengan senior Lee kami daripada bersanding dengan wanita berotak pas-pasan yang hanya mengandalkan harta kekayaan milik ayahnya sepertimu."
Rasanya darahku sudah benar-benar mendidih dan ingin sekali menyobek mulut busuk Shin Airin, tapi Yuri dengan sigap langsung menahan tanganku agar aku tidak maju saat ini juga dan menerjang tubuh pendeknya yang tidak sebanding dengan tubuh tinggiku yang ramping. Dari kejauhan aku melihat senior Lee sedang menatapku dalam diam sambil mengamatiku yang sebentar lagi akan mencakar wajah Shin Airing yang menyebalkan.
"Terimakasih karena kau telah menyadarkanku tentang otakku yang bodoh ini, tapi kutekankan padamu saat ini jika otakku yang bodoh ini masih mampu kugunakan dengan baik daripada aku harus mencotek dengan cara-cara menjijikan sepertimu."
Aku menyeringai licik pada Shin Airin karena selama ini aku tahu kebusukannya yang telah menggoda salah satu murid terpintar di kelaku untuk memberikannya jawaban setiap guru-guru memberikan soal ulangan atau kuis pada kami. Dan kuyakin saat ini Shin Airin sudah kehilangan keperawanannya karena perbuatan menjijikannya itu.
"Apa aku perlu menyebutkan kebususukanmu Shin Airin? Oh, beberapa hari yang lalu aku melihatmu sedang berciuman dengan Ji Hyudo di gudang belakang sekolah setelah ia memberikan jawaban saat kuis tiga hari yang lalu."
"Diam kau gadis bodoh! Aku tidak serendah itu hanya untuk sebuah nilai. Aku memiliki otak yang cerdas, jadi aku tidak mungkin melakukan hal serendah itu."
Dengan sedikit sinis aku menoleh pada Yuri dan memberikan kode padanya untuk membeberkan kebusukan Shin Airing yang juga diketahuinya.
"Kemarin aku melihatmu keluar dari sebuah hotel dengan Ji Hyudo pukul lima pagi, kira-kira apa yang kau lakukan semalaman dengan Hyudo hingga kau harus pulang sepagi itu Shin Airin?"
Wanita busuk itu tampak membulatkan matanya terkejut karena ucapan Yuri yang memang benar. Kemarin ia bercerita padaku jika ia melihat Shin Airin bersama Ji Hyudo pukul lima pagi sedang keluar dari sebuah hotel saat ia akan mengantarkan ibunya ke pasar. Karena ayah dan ibu Yuri memiliki sebuah restoran Bulgogi di pusat kota, membuat Yuri setiap pagi harus mengantarkan ibunya ke pasar untuk berbelanja, sehingga ia bisa melihat Shin Airin bersama dengan Ji Hyudo kemarin pagi.
"Berani-beraninya kalian menyebarkan berita bohong seperti itu!"
Shin Airin tampak sudah bersiap mengangkat tangannya untuk menyerangku, tapi tiba-tiba sebuah tangan kekar menghentikan kelakuan bar-barnya dan membuat tangan kanannya yang hendak digunakan untuk memukulku menggantung di udara.
"Seorang wanita cerdas sepertimu tidak sepantasnya memukul teman sekelasmu sendiri."
Sindiran halus yang dilayangkan senior Lee padanya berhasil membuat wajah Shin Airin pucat pasi, dan ia dengan perlahan-lahan menurunkan tangannya yang sejak tadi masih tergantung di udara dengan cepat sambil menghentakan tangan senior Lee kasar.
"Sebaiknya kau kembali ke kelasmu."
Shin Airin dengan wajah dongkol langsung pergi dari hadapanku, diikuti oleh tiga teman gengnya yang selalu setia mengekorinya kemanapun ia pergi. Seteleha Shin Airin dan teman-temannya pergi, suasana di sekitarku berangsur-angsur kembali normal dan sepi. Kulihat senior Lee juga hendak pergi meninggalkanku dan Yuri, namun aku langsung mencegahnya pergi untuk mengucapkan terimakasih padanya.
"Terimakasih senior Lee, jika kau tidak datang, mungkin gadis menyebalkan itu akan merusak rambutku dengan kelakuan bar-barnya."
"Tidak masalah, kuharap kau juga tidak memancing kemarahannya seperti tadi." Ucapnya pelan tanpa menoleh kearahku. Aku melihat tubuh tegap senior Lee perlahan-lahan menjauh dari tempaku berdiri, dan ia kembali berjalan beriringan bersama Choi Jiwon. Tiba-tiba aku merasa sesak karena kedekatan mereka. Aku benar-benar tidak bisa melihat senior Lee bersanding dengan wanita lain. Dan malam perpisahan lusa, aku harus mengatakan perasaanku pada senior Lee. Ya aku harus melakukannya!
-00-
"Malam ini kau sangat cantik Yoong, mau berdansa denganku?"
Sebuah tangan terjulur kearahku ketika aku sedang berdiri di sudut ruangan untuk mencari senior Lee. Sejak tadi aku mencari keberadaan pria itu kesana kemari, namun hasilnya nihil. Justru sekarang aku bertemu dengan Ok Taecyon yang sebenarnya sama sekali tidak kuharapkan. Tapi daripada aku hanya diam di sini seperti sebuah patung, lebih baik aku memang menerima ajakannya untuk mengusir rasa bosanku sembari mencari keberadaan senior Lee yang sejak tadi belum kutemukan.
"Baiklah, ayo kita berdansa."
Aku mulai mengalungkan tanganku pada leher Taecyon sambil mengikuti irama musik yang mengalun merdu memenuhi aula sekolahku yang besar. Sesekali ekor mataku melirik kesana kemari untuk mencari keberadaan senior Lee, tapi sepanjang mataku memandang, aku sama sekali tidak bisa menemukannya. Aula ini benar-benar penuh dengan murid-murid dari sekolahku, tapi diantara mereka sama sekali tidak terselip senior Lee di sini. Mungkinkah ia tidak datang? Tapi... bukankah ia telah berjanji padaku jika ia akan datang pada pesta kali ini karena ia ingin mengukir banyak kenangan di sekolah ini.
"Yoona, ada yang ingin kukatakan padamu."
Tiba-tiba Taecyon menghentikan gerakan dansa kami dan ia menarikku sedikit menjauh dari kerumunan siswa-siswi sekolahku.
"Ada apa? Sepertinya kau ingin berbicara serius padaku."
Kami berdua telah berada di sudut aula yang terlihat cukup sepi. Kulihat Taecyon saat ini sedikit gugup, namun ia berusaha bersikap tenang di depanku sambil memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana bahannya.
"Aku tertarik padamu Im Yoona, aku menyukaimu."
Sungguh rasanya aku ingin tertawa saat mendengar pernyataan cinta Taecyon yang terkesan kaku dan sama sekali tidak romantis itu. Bagaimana mungkin ia akan mendapatkan kekasih jika ia menyatakan perasaannya dengan tanpa perasaan seperti itu. Bahkan jika aku wanita lainpun, aku pasti akan berpikir dua kali untuk menerimanya. Dan berhubung aku memang tidak tertarik padanya, jadi pernyataan cinta seromantis apapun darinya tidak akan membuat hatiku berubah menjadi mencintainya, karena saat ini hatiku hanya bergetar untuk senior Lee.
"Taecyon, aku.... aku menghargai perasaanmu padaku. Dan kau memang berhak memiliki perasaan itu untukku. Tapi maaf, aku tidak bisa menerimamu. Aku, belum berpikir untuk memiliki kekasih." Ucapku halus. Sebisa mungkin aku menggunakan kata-kata yang lembut untuk menolaknya karena ia selama ini tidak pernah berbuat jahat padaku. Dan sebenarnya Ok Taecyon adalah salah satu pria tampan di sekolahku yang memiliki hati yang baik. Tapi sayangnya aku sama sekali tidak tertarik padanya. Entah mengapa sejak aku melihat senior Lee dua tahun yang lalu, jantungku langsung berdetak cepat untuknya.
"Kau menolakku? Ahh.. baiklah, itu tidak masalah." Ucapnya ringan. Seketika aku merasa begitu bersalah dengannya karena aku tidak bisa membalas cintanya. Tapi bagiku ini lebih baik daripada aku harus berpura-pura mencintainya dan membohonginya lebih jauh.
"Saat ini aku harus fokus pada sekolahku. Kau tahu bukan jika selama ini nilaiku tidak pernah memuaskan. Jadi untuk tahun terakhirku di sekolah ini aku harus belajar dengan sungguh-sungguh agar aku bisa mengejar cita-citaku untuk menjadi seorang desainer."
Taecyon tersenyum lembut padaku sambil mengelus puncak kepalaku lembut. Aku tahu jika ia adalah pria yang baik, dan ia pasti bisa mengerti alasanku mengapa aku menolaknya.
"Aku tahu. Semoga kau bisa mengejar cita-citamu."
"Terimakasih atas pengertianmu, kalau begitu aku harus pergi sekarang. Aku sudah berjanji pada Yuri untuk bertemu di halaman belakang karena ada sesuatu yang ingin kami bicarakan." Bohongku padanya. Setelah itu aku segera pergi dari hadapannya dengan sedikit menjinjing gaunku yang panjang. Padahal sejujurnya aku tidak membuat janji apapun dengan Yuri. Saat ini Yuri justru sedang bersenang-senang dengan laki-laki yang merupakan adik kelas kami. Yahh.. Yuri memang gila karena ingin mengencani adik kelas kami. Tapi biarlah, itu bukan urusanku, sepanjang mereka saling menyukai, kurasa itu tidak masalah.
"Donghae oppa..."
Samar-samar aku mendengar seseorang memanggil nama senior Lee dari taman belakang. Merasa penasaran, akhirnya aku berusaha mencari sumber suara itu untuk melihat apa yang terjadi, karena sejujurnya saat ini jantungku berdegup kencang ketika mengetahui jika sebenarnya senior Lee datang ke acara ini.
"Donghae oppa aku juga mencintaimu."
Deg
Aku merasa jantungku akan lepas sekarang juga karena mendengar pernyataan cinta itu. Lalu dari kejauhan aku melihat dua bayangan hitam yang sedang berpelukan di tengah-tengah halaman belakang sekolahku dengan begitu erat, seakan-akan mereka takut akan terpisah satu sama lain.
Tanpa kusadari aku mengepalkan tanganku erat di samping tubuhku sambil menahan marah pada wanita itu, Choi Jiwon. Ia berani-beraninya mengambil pria yang kucintai dan membuatku harus merasakan sakit hati seperti saat ini. Aku tidak boleh tinggal diam dan harus memberi pelajaran pada wanita jalang itu!
"Hey, menyingkir kau dari senior Lee!"
Aku menarik kasar lengan Choi Jiwon dan menghempaskannya jauh dari tubuh senior Lee. Kedua manusia itu tampak terkejut dengan kedatanganku, tapi aku sama sekali tidak peduli. Siapapun yang berani membuatku kecewa dan marah, maka ia harus mendapatkan pelajaran dariku.
"Apa-apaan kau ini, kenpa kau mendorong Jiwon dengan keras?"
Tubuhku dibalik paksa oleh senior Lee, dan manik matanya yang sendu langsung menghujam mataku dengan tajam. Untuk pertama kalinya aku merasa gentar dengan seseorang. Dan sejujurnya saat ini aku tidak berani menatap kedua matanya yang sedang mengobarkan api kemarahan itu.
"Kau tidak seharusnya berbuat kasar seperti itu pada Jiwon. Sekarang kau harus meminta maaf padanya."
Aku menatap tajam manik matanya dan sama sekali tidak mau meminta maaf pada Jiwon. Untuk apa aku meminta maaf pada seorang jalang sepertinya, benar-benar menyebalkan!
"Untuk apa aku meminta maaf padanya, aku tidak melakukan kesalahan apapun." Ucapku acuh tak acuh. Kedua manik senior Lee semakin melebar karena ucapanku yang semakin membuah hatinya marah. Tapi rasa marah yang dirasakannya tidak akan sebanding dengan rasa sakit hatiku karena melihatnya menyatakan cinta untuk wanita lain dan memeluk wanita itu dengan erat di taman belakang sekolah kami.
"Kau seharusnya meminta maaf padanya karena kau telah mendorongnya dengan kasar hingga ia hampir saja terjatuh. Lagipula apa masalahmu dengan kami, mengapa tiba-tiba kau mendorong Jiwon? Kukira kau akan bersikap lebih baik karena kau adalah anak dari pemilik sekolah ini, kau adalah wanita terhormat Im Yoona, tapi siapa sangka jika wanita terhormat sepertimu justru memiliki sikap bar-bar yang memuakan."
Kali ini jantungku benar-benar terasa sakit karena semua penghinaan yang dilontarkan oleh pria yang sangat kucintai ini. Andai saja Choi Jiwon tidak berada di sini, aku pasti sudah bisa menguasai senior Lee untuk diriku sendiri. Dan sayangnya aku sudah terlambat untuk semuanya. Kini senior Lee sudah resmi menjalin hubungan dengan wanita jalang itu.
"Apakah anak dari pemilik sekolah sepertiku tidak boleh bersikap bar-bar? Kalian telah mengotori pemandangan indah di sekolah ini dengan kedekatan kalian. Seharusnya kalian pergi ke hotel terdekat untuk menyalurkan seluruh hasrat cinta kalian!" Teriakku muak di depan Lee Donghae. Persetan dengan hatiku yang masih menginginkannya, tapi saat ini aku sedang marah dengannya dan aku tidak akan mau menurunkan harga diriku hanya untuk meminta maaf pada wanita jalang yang sok ketakutan melihat kemarahanku saat ini.
"Jaga bicaramu Im Yoona karena aku tidak segan-segan berbuat kasar untuk kekurangajaranmu kali ini."
Lee Donghae menggeram marah di depanku dan terlihat sedang mengepalkan buku-buku tangannya hingga memutih. Aku pun dengan berani semakin menantangnya sambil mendongakan wajahku angkuh. Meskipun aku menyukainya, tapi aku tidak akan menyerah begitu saja untuk sesuatu yang seharusnya tidak kulakukan.
"Aku tidak takut padamu. Lagipula kau hanyalah anak tukang kebun miskin yang sama sekali tidak ada artinya jika ayahku tidak mengulurkan tangannya untuk menolongmu, kau pasti......"
Plakk
Satu tamparan keras lolos begitu saja dan berhasil membuat bibirku terkatup rapat karena terkejut. Lee Donghae menatapku tajam dengan mata merah dan nafas yang memburu karena marah. Dia berani-beraninya menamparku!
"Akan kubuktikan padamu jika laki-laki miskin ini suatu saat akan berubah menjadi seorang pria kaya yang terhormat dan aku akan membuatmu membayar atas semua penghinaanmu malam ini."
Setelah mengucapkan hal itu ia langsung pergi begitu saja sambil menarik tangan Jiwon. Ia meninggalkanku sendiri di tengah-tengah taman ini dengan keadaan yang mengenaskan karena harga diriku yang hancur. Saat ini wanita yang bernama Choi Jiwon itu pasti juga sedang tertawa di atas penderitaanku karena Lee Donghae baru saja menamparku untuk membelanya.
"Lee Donghae, Choi Jiwon, kalian berdua juga harus membayar untuk apa yang kalian lakukan padaku malam ini."
-00-
10 Tahun kemudian~
Aku menurunkan kacamata hitamku pelan sambil berlari menghampiri Yuri yang telah berdiri di depan pintu kedatangan dengan penuh sukacita. Kami berdua saling berpelukan heboh layaknya sepasang anak kecil yang sudah lama tak bertemu. Tapi, memang begitulah kami. Terhitung sudah sepuluh tahun aku meninggalkan Korea untuk melanjutkan studiku di Paris. Bukankah dulu sudah kubilang jika aku ingin menjadi seorang desainer? Jadi, setelah aku dinyatakan lulus dari senior high school aku memutuskan untuk pergi ke Paris dan melupakan kisah asmaraku yang sama sekali tidak berjalan mulus.
"Aku sangat merindukanmu. Kau benar-benar jahat Yoong karena tidak pernah memberiku kabar selama ini, dan tiba-tiba seminggu yang lalu kau menghubungiku untuk menjemputmu di bandara, benar-benar keterlaluan." Sungut Yuri pura-pura marah. Aku meringis kecil padanya sambil merangkulnya untuk pergi ke kafe terdekat karena aku sudah tidak sabar untuk mendengar semua cerita yang telah kulewatkan selama sepuluh tahun ini.
"Kau harus menceritakan banyak hal padaku Yul, pasti aku sudah melewatkan banyak hal selama sepuluh tahun ini."
Aku menarik kursiku dan segera mendudukan diriku di dalam sebuah kafe kopi yang tidak terlalu ramai di dalam bandara. Dari dalam kafe ini aku bisa melihat banyaknya orang berlalu lalang untuk keluar atau masuk ke dalam bandara. Tapi kebanyakan yang kulihat adalah orang-orang sibuk yang sedang mengejar penerbangan mereka, karena sejak tadi aku melihat orang-orang itu tampak terburu-buru sambil menatap jam mereka dengan panik.
"Apa yang ingin kau dengar, hmm? Aku tidak akan bisa menceritakan semuanya karena kau memang telah melewatkan banyak hal Yoong, bahkan sekarang aku sudah menikah dan sedang mengandung, kau pasti juga tidak tahu hal itu."
"Kau menikah? Dan mengandung? Ya Tuhan Yul, aku sungguh bahagia dengan kabar itu. Tapi sayangnya kau tidak mengundangku ke acara pernikahanmu itu." Ucapku berpura-pura sedih dengan wajah memelas. Tiba-tiba Yuri memukul punggung tanganku pelan dengan wajah gemas karena sebenarnya hal itu bukan salahnya.
"Kau pergi ke luar negeri tanpa kabar dan kau tidak pernah menghubungiku selama berada di Paris, bagaimana mungkin aku bisa mengundangmu saat menikah, kau ini benar-benar Yoong!"
Aku tertawa terbahak-bahak sambil menyeruput frapuchinoku beberapa kali. Ternyata Yuri masihlah Yuri yang dulu yang selalu berapi-api saat sedang kesal. Sepuluh tahun tak bertemu, rupanya ia sama sekali tak berubah. Lalu bagaimana dengan senior Lee? Apa kabarnya pria itu sekarang?
"Kau belum memberitahuku siapa nama suamimu, apakah kau menikah dengan junior kita saat senior high school?"
Yuri sedikit membulatkan matanya padaku, dan sedetik kemudian ia langsung tertawa terbahak-bahak di depanku. Entah apa yang ia tertawakan? Jujur, aku sendiri merasa bingung dengan kelakuannya.
"Ternyata kau masih mengingatnya Yoong. Sungguh kejadian itu benar-benar sangat memalukan. Bagaimana mungkin dulu aku pernah tertarik dengan seorang bocah ingusan. Mengingat hal itu benar-benar membuatku geli dan ingin tertawa terbahak-bahak."
"Ck, dulu kau memang sangat menggelikan, bahkan sangat menjijikan karena kau menggaet seorang junior untuk menemanimu hari-hari menyedihkanmu tanpa kekasih." Cibirku sakarstik. Yuri membalas cibiranku dengan wajah mendelik yang jengkel karena aku telah mengolok-ngoloknya dengan sangat kejam.
"Huh, bukankah kita sama? Kau juga sama menyedihkannya denganku karena kau tidak pernah menjalin cinta dengan pria manapun karena kau hanya menginginkan senior Lee yang tampan itu. Ngomong-ngomong mengenai senior Lee, apa kau tahu bagaimana kabarnya sekarang?"
Aku menggeleng kecil dan berusaha untuk bersikap biasa saja di depan Yuri. Padahal sejujurnya aku sangat ingin tahu bagaimana kabarnya saat ini, tapi lagi-lagi aku terlalu naif untuk mengetahuinya. Selama berada di Paris, aku terus memikirkannya dan tidak sedikitpun tertarik dengan pria-pria tampan di sana. Padahal banyak dari mereka yang menginginkanku menjadi kekasih mereka, tapi aku selalu menolak mereka dengan alasan jika aku sudah memiliki kekasih di Korea. Bukankah aku sangat bodoh dan naif?
"Tidak, aku sama sekali tidak tahu bagaimana kabarnya sekarang. Dia pasti sudah menjadi pria yang sukses, atau mungkin dia akan melanjutkan pekerjaan ayahnya sebagai tukang kebun." Ucapku dengan nada mencemooh. Bagaimanapun aku masih menyimpan sedikit dendam padanya karena ia pernah menamparku di hadapan Choi Jiwon yang sok polos itu. Dan jika aku memiliki kesempatan, aku ingin sekali membalas rasa sakitku yang dulu karena ia pernah menampar anak seorang pemilik sekolah.
"Kau kejam sekali Yoong, jika senior Lee mendengar ucapanmu yang merendahkan itu, ia pasti akan tersinggung."
"Huh, benarkah?" Tanyaku sinis sambil mengalihkan tatapan mataku keluar kafe. Entah mengapa tiba-tiba aku merasa malas untuk melanjutkan obrolanku dengan Yuri siang ini, karena hatiku yang berubah menjadi buruk setelah Yuri mengangkat topik mengenai Lee Donghae.
Tanpa sadar aku terus menatap keluar kafe tanpa menghiraukan ucapan Yuri yang entah sedang membicarakan apa. Beberapa kali aku melihat orang-orang dengan setelan jas dan wanita-wanita dengan pakaian rapi sedang berjalan tergesa-gesa melewati kafe ini. Lalu ekor mataku menatap siluet tubuh seorang pria yang sedang berjalan santai bersama asistennya. Pria itu tampak gagah dengan stelan jas abu-abu yang membalut pas tubuh atletisnya. Dan ketika pria itu tiba-tiba menoleh ke arah kafe, jantungku langsung dibuat berhenti seketika karena aku merasa sedikit familiar dengan wajah itu. Tapi, sayangnya aku tidak yakin dengan penglihatanku sendiri. Aku terlalu takut untuk menganggapnya sebagai senior Lee karena aku tahu ia tidak akan berubah menjadi pria yang sangat kaya dalam waktu sekejap. Aku pasti hanya salah melihat karena terlalu merindukannya.
"Yoong, apa kau mendengar ceritaku?"
Aku mengerjap-ngerjapkan mataku beberapa kali sambil menormalkan ekspresi wajahku yang sejak tadi tidak fokus karena terlalu sibuk mengamati lalu lalang para penumpang di bandara Incheon.
"Apa? Aku tidak mendengarnya."
"Ck, sudah kuduga." Sungut Yuri kesal. Akupun kembali menyeruput frapuchinoku untuk mengembalikan fokusku yang sempat menghilang. Setelah itu Yuri kembali melanjutkan ceritanya yang belum sempat kusimak sejak tadi, namun ketika mendengarnya, seketika hatiku merasa bimbang. Antara percaya dan tidak percaya dengan apa yang diceritakan oleh Yuri.
"Suamiku dan senior Lee adalah rekan bisnis. Sekarang kau tidak bisa meremehkan senior Lee Yoong, ia sudah berubah menjadi seorang pengusaha kaya yang terkenal. Karirnya melejit sejak lima tahun yang lalu setelah ia berhasil mendirikan sendiri perusahaan konstruksi miliknya."
Mendengar cerita dari Yuri, tiba-tiba aku teringat akan seorang pria berjas abu-abu yang beberapa saat yang lalu melintas di depan kafe. Mungkinkah pria itu adalah dirinya?
"Ia pantas mendapatkannya karena sejak dulu ia adalah pria yang cerdas. Aku turut bahagia atas keberhasilannya."
"Hey, kenapa kau sepertinya tidak antusias saat mendengar kabar tentangnya, apa kau tidak merindukan senior Lee?"
Sebenarnya aku bukan tidak merindukannya, hanya saja separuh hatiku sedikit menyimpan dendam padanya karena ia dulu pernah berbuat kasar padaku. Dan Yuri tidak tahu hal itu.
"Entahlah, mungkin perasaanku padanya sudah menguap." Ucapku dengan cengiran kecil. Aku pun segera menarik tas tanganku yang berada di atas meja untuk pulang, karena aku harus segera bertemu dengan ayahku setelah selama ini pergi begitu lama. Pergi meninggalkanya sendiri di Seoul untuk berjuang membesarkan perusahaanya.
"Sepertinya aku harus pulang. Hari ini aku akan memberikan kejutan pada ayahku karena selama ini aku selalu menolak permintaanya untuk kembali ke Korea. Kuharap ayahku tidak mengalami serangan jantung saat melihatku muncul di depan ruang kerjanya siang ini."
"Baiklah, tapi kau harus selalu menghubungiku dan jangan pernah menghilang lagi seperti dulu. Sampai jumpa."
Aku melambaikan tanganku pada Yuri dan segera keluar dari kafe ini. Sebelum aku benar-benar pergi, aku menyempatkan diri untuk mengamati tempat pria yang mirip dengan senior Lee itu berdiri. Tanpa sadar aku mengangkat tangan kananku dan menyapukannya di atas dada kiriku yang saat ini sedang berdebar kencang.
"Aku sepertinya memang sudah tergila-gila padamu senior Lee."
-00-
Gantikan ayah untuk datang ke acara amal malam ini, ayah sedang tidak enak badan.
Ucapan ayah siang tadi masih terngiang-ngiang di dalam kepalaku saat ayah memintaku untuk datang ke acara amal yang glamour dan membosankan ini. Dengan sedikit mengangkat gaunku, aku mulai masuk ke dalam ballroom hotel yang sudah dipenuhi oleh berbagai tamu undangan dari kalangan menengah ke atas. Ketika berada di dalam ballroom, aku merasa menjadi seorang makhluk asing karena aku sama sekali tidak mengenal siapapun di sini. Bahkan aku baru siang ini menginjakan kaki di tanah kelahiranku, tapi ayahku dengan seenaknya langsung menyuruhku untuk menghadiri acara yang membosankan ini. Huh, ini pasti akan berjalan lama dan penuh dengan para pebisnis bermuka dua yang hanya ingin memamerkan harta kekayaan mereka melalui acara amal yang digelar oleh sebuah perusahaan ternama ini.
"Im Yoona..."
Aku menoleh ke belakang dengan sedikit heran karena ternyata di dalam acara yang asing ini aku masih dikenali oleh seseorang.
"Choi Jiwon.."
Aku tersenyum kaku pada Choi Jiwon yang saat ini tengah tersenyum padaku dengan manis. Setelah sepuluh tahun tak melihatnya, ternyata ia semakin cantik dan terlihat berkelas. Sekarang ia seperti seorang sosialita muda yang telah meninggalkan kepolosannya di masa lalu.
"Lama tak berjumpa, bagaimana kabarmu." Tanyanya basa basi. Aku tersenyum simpul padanya dan mulai menjawab pertanyaannya dengan jawaban klise.
"Aku baik, bagaimana dengan dirimu Choi Jiwon-ssi?"
"Aku juga baik. Kudengar kau melanjutkan pendidikanmu di bidang desain di Paris. Kapan kau kembali ke Korea?"
"Aku baru saja tiba di Korea siang ini. Dan karena ayahku sedikit tidak enak badan, ia memintaku untuk datang ke acara ini mewakili dirinya."
Ketika seorang pelayan menawari segelas wine, tanpa ragu aku langsung mengambilnya untuk membasahi tenggorokanku yang tiba-tiba merasa kering. Mungkin aku sedikit gugup berbicara dengan Choi Jiwon.
"Acara amal ini adalah acara amal yang diselenggarakan oleh suamiku, kami ingin mengajak orang-orang untuk bersama-sama memperhatikan anak-anak yang mengalami penyakit leukimia."
"Oh, hati kalian sungguh mulia." Ucapku seadanya. Sejujurnya aku tidak terlalu tertarik dengan kegiatan ini. Bahkan aku merasa sangat malas untuk mengikutinya. Tapi demi menghormatinya, aku akan berusaha bersikap baik di depannya.
"Apa kau sudah menikah?"
"Belum, aku belum menikah. Aku masih mencari seorang pria yang cocok denganku."
Huh, wanita ini selain menyebalkan, ia juga memuakan. Ia pasti hanya ingin mengolok-olokku karena aku belum menikah, sedangkan ia sudah menikah dengan seorang pengusaha kaya. Akan kubuktikan padanya jika suatu saat nanti aku pasti akan menemukan pria yang tepat untukku.
"Oh, kukira kau sudah menikah. Aku sudah menikah dengan suamiku tiga tahun yang lalu, tapi..."
"Nyonya Lee Jiwon, silahkan maju ke depan untuk menemani tuan Lee Donghae memberikan sambutan."
"Yoona, sepertinya aku harus meninggalkanmu sekarang, permisi."
Aku membeku di tempat ketika menatap sosok pria gagah yang selama ini kurindukan. Ia adalah senior Lee yang kini telah berubah menjadi seorang pangeran tampan yang tak bercela. Sepertinya apa yang dikatakan oleh Yuri benar, banyak hal yang telah kulewatkan selama sepuluh tahun ini. Dan aku tidak tahu jika Choi Jiwon dan senior Lee akhirnya memutuskan untuk menikah.
"Malam ini aku ingin mengucapkan terimakasih banyak pada kalian semua, khususnya tuan Im dari Im Corporation yang selama ini telah memberikan kepercayaan untuk menjalin kerjasama denganku. Dan dalam kesempatan yang berbahagia ini aku selaku CEO dari Lee Corporation ingin meminta tuan Im untuk maju ke atas panggung dan menerima sedikit tanda terimakasih dariku atas semua kebaikan yang selama ini ia berikan padaku."
Tiba-tiba lampu sorot itu menyorotku, dan dalam sekejap wajahku telah terpampang di depan layar lebar yang berada di ujung kanan dan kiri ballroom. Dengan langkah yang tidak yakin, aku mulai maju ke atas panggung sambil memberikan senyum kakuku pada semua orang karena saat ini sejujurnya aku merasa gugup. Apalagi tatapan menusuk dari pria itu sejak tadi terus menghujamku hingga aku merasa sedang dikuliti di depan seluruh tamu undangan yang hadir di acara ini. Namun secepat kilat aku berusaha mengontrol kegugupanku dengan bersikap lebih anggun di hadapan semua orang, terutama senior Lee.
"Selamat malam semuanya, dan selamat malam untuk tuan Lee Donghae yang telah memberikan kehormatan padaku untuk berdiri di atas panggung yang megah ini dalam rangka untuk mendukung gerakan kepedulian pada anak-anak yang menderita penyakit leukimia."
Aku tersenyum lembut padanya, namun sebenarnya aku sedang menyembunyikan senyum sinisku yang menggoda. Perbuatannya sepuluh tahun lalu yang telah menamparku tentu saja tidak akan pernah kulupakan begitu saja. Namun yang terpenting saat ini adalah aku ingin mendapatkan kembali dirinya. Aku tidak mau melepaskannya untuk Choi Jiwon. Karena senior Lee adalah milikku.
"Kita bertemu lagi Donghae oppa." Bisikku pelan di depan wajahnya.
-00-
Huh, sudah kuduga jika acara amal ini membosankan. Sebenarnya acara amal ini hanyalah media untuk menyombongkan diri yang tersembunyi dibalik penderitaan anak-anak penderita leukimia. Ini benar-benar sangat memperihatinkan. Sebaiknya aku segera pulang dan mengistirahatkan kepalaku yang pening karena sejak aku menginjakan kaki di Korea aku belum beristirahat sedikitpun. Tapi ketika aku hendak melangkah keluar dari dalam ballroom, tiba-tiba seseorang menarik lenganku dan membuatku bertabrakan dengan tubuh tegapnya yang menjulang di depanku.
"Lama tak berjumpa Im Yoona."
Aku mendongakan kepalaku dan terdiam sesaat untuk mengagumi ketampanan senior Lee yang tak pernah memudar itu. Sepuluh tahun berlalu, tapi wajah itu tidak pernah berhenti memancarkan aura ketampanan, justru saat ini wajahnya tampak semakin sempurna karena ia bukanlah lagi orang sembarangan. Kini ia adalah seorang CEO yang keberadaan cukup di perhitungkan di kalangan para pebisnis di Korea.
"Ya, sudah sepuluh tahun lamanya kita tidak saling bertemu senior, semenjak kau menamparku ketika pesta perpisahan siswa-siswa tingkat akhir di halaman belakang sekolah."
Aku sengaja menyindirnya dengan kata-kataku yang lembut namun terdengar menusuk. Tapi sepertinya pria di hadapanku ini sama sekali tidak terpengaruh dengan kata-kataku. Ia justru terkekeh sambil menggiringku untuk masuk ke dalam bar yang berada tak jauh dari ballroom hotel mewah ini.
"Mungkin kita perlu sedikit meluruskan masalah sepuluh tahun yang lalu Im Yoona, jadi mari kita saling berbicara sambil meminum sedikit alkohol. Aku akan mentraktirmu, dan anggap saja ini sebagai salah satu permintaan maafku karena aku dulu pernah menyakitimu, meskipun hal itu juga karena kau yang telah memicunya Im Yoona."
Aku mengikuti langkahnya yang memimpinku untuk duduk di salah satu meja kosong di dalam bar itu. Namun menurutku pertemuan kali ini lebih seperti perang dingin yang terjadi karena ego kami masing-masing. Sepuluh tahun berlalu rupanya sama sekali tidak mendewasakan kami dan justru kami saling mengobarkan api kebencian karena Choi Jiwon. Ya, wanita itu yang telah menyebabkan aku menjadi seperti ini.
"Mengenai kejadian sepuluh tahun yang lalu, aku ingin meminta maaf. Kita tidak seharusnya saling membenci hanya karena suatu emosi sesaat anak ingusan yang belum dewasa itu. Apa kau juga berpikiran sama denganku Im Yoona?"
Aku menatapnya dalam dan tersenyum simpul untuk menanggapi ucapannya yang memang benar. Akhirnya ia sendiri yang mau menurunkan egonya untuk meminta maaf padaku. Itu berarti aku tidak akan terlalu terlihat salah di matanya karena dulu aku pernah mengolok-ngoloknya dengan kata-kata yang merendahkan.
"Hmm, kau benar. Saat itu kita memang tidak dewasa. Dan karena emosiku saat itu, aku tanpa sengaja mengeluarkan kata-kata penghinaan padamu. Aku juga minta maaf senior Lee."
"Akan lebih baik jika kau memanggilku Donghae oppa, karena sebutan senior Lee terlalu aneh untuk digunakan pada orang dewasa seperti kita."
"Baiklah, Donghae oppa."
Aku sedikit canggung ketika menyebutnya Donghae oppa karena sejak dulu aku tidak pernah memanggilnya dengan sebutan Donghae oppa. Dan dengan panggilan itu, kini hubungan kami menjadi terkesan lebih intim.
"Jadi, bagaimana kabarmu sekarang? Tak kusangka jika sekarang kau telah menjadi seorang pengusaha sukses. Kau pasti sangat bekerja keras untuk ini."
Kali ini aku berbicara tulus padanya dan sama sekali tidak dibumbui nada mencemooh di dalamnya.
"Begitulah, banyak hal yang terjadi selama sepuluh tahun ini. Bahkan sekarang aku telah menikah dengan Jiwon, apa kau juga sudah menikah Im Yoona?"
Sial! Apa ia sengaja menyindirku yang jelas-jelas belum memiliki seorang suami ini. Bahkan untuk calonpun aku tidak punya. Selama ini aku hanya terpaku padanya, sehingga aku sangat kesulitan untuk mencari seorang pria yang bisa menjadi pendamping hidupku. Mungkin setelah ini aku akan mempertimbangkan penawaran ayah untuk menerima perjodohan yang telah direncanakannya sejak jauh-jauh hari.
"Aku belum menikah, aku masih dalam tahap mencari. Bukankah sekarang mencari pendamping hidup tidak bisa sembarangan. Kau harus mengetahui latar belakangnya dengan pasti sebelum kau benar-benar mempercayakan hatimu padanya."
"Hmm, kupikir kau tipe wanita yang sangat pemilih. Ngomong-ngomong apa kau tidak tertarik dengan satupun pria di Paris? Kudengar kau melanjutkan studimu di sana bukan?"
Aku merasa pembicaraan ini semakin menjengkelkan. Disetiap kalimat lembut yang ia ucapkan, terselip nada mengejek yang kental karena aku yang hingga setua ini belum memiliki pendamping hidup, sedangkan ia sudah menikah dengan Choi Jiwon tiga tahun yang lalu. Dia benar-benar pria yang menyebalkan!
"Sudah kubilang jika mencari seorang pria yang tepat itu sulit. Beberapa kali aku sempat dekat dengan seorang pria, tapi setelah aku mengetahui bagaimana sifatnya, aku memilih untuk tidak melanjutkan hubungan itu karena aku tidak mau menyesali semuanya di akhir. Jadi aku memilih jalan aman dengan tidak mengencani satupun pria asing di sana, dan memutuskan untuk pulang ke Korea. Mungkin saja akan ada seorang pria yang tulus mencintaiku di sini."
Lee Donghae tersenyum simpul padaku sambil menyesap tequilanya pelan. Semoga saja setelah ini ia tidak menyudutkanku dengan topik seorang pria atau calon suami.
"Ya, mungkin suatu saat akan ada seorang pria yang datang padamu dan mencintaimu dengan tulus. Tapi yang terpenting, kau harus belajar untuk menghargai siapapun pria yang mencoba mendekatimu. Karena belajar dari pengalaman masa lalu dimana kau menghinaku sebagai seorang pria miskin, mungkin tanpa kau sadari kau juga telah bersikap seperti itu pada mereka. Jadi... pada akhirnya kau tidak bisa mendapatkan pria manapun."
Aku mengepalkan salah satu tanganku kesal di bawah meja dan menggunakan tanganku yang bebas untuk menegak sisa scotchku dengan penuh emosi. Bagaimana mungkin pria ini masih terus mengungkit-ngungkit masa lalu setelah permintaan maafnya beberapa menit yang lalu. Pria ini sepertinya pria yang sakit!
"Hmm, aku tidak akan membahas masalah priaku lagi padamu. Oh, ada satu hal yang ingin kutanyakan padamu."
Lee Donghae mengangkat alisnya sekilas dan memberikan tatapan silahkan padaku untuk menanyakan apapun padanya.
"Dimana Choi... ah, maksudku isterimu sekarang? Apa ia sudah pulang?"
Lee Donghae meletakan gelas tequilanya yang telah kosong di atas meja sambil menatapku dengan intens. Lalu sedetik kemudian aku menemukan tatapan penuh frustasi dari matanya, disusul dengan suara desahan nafasnya yang berat, seakan-akan ia sedang memikul beban yang berat di pundaknya.
"Aku sudah meminta supir pribadiku untuk mengantarnya pulang. Aku dan Jiwon, kami sebenarnya sedang memiliki masalah."
Tiba-tiba hatiku yang awalnya kelabu, merasa sedikit mendapatkan sedikit secercah harapan ketika mendengar pengakuan darinya jika ia dan isterinya sedang memiliki masalah. Dan seperti pengalamanku selama ini, jika seorang pria sedang memiliki masalah dengan isterinya di rumah, pasti ia akan melampiaskannya dengan mencari wanita lain di luar rumah yang bisa meredakan emosinya yang bergejolak di rumah. Ini benar-benar kesempatan yang bagus untuk mendapatkan Lee Donghae ke dalam pelukanku.
"Masalah? Kalau aku boleh tahu, masalah apa yang sedang menimpamu dan juga Jiwon? Padahal kupikir kalian sedang dalam suasana yang baik-baik saja. Melihat bagaimana keintiman kalian berdua selama acara berlangsung, tidak akan ada yang menduga jika sebenarnya kau dan Jiwon sedang memiliki masalah."
"Aku hanya sedang menjaga perasaanya. Sebenarnya masalah yang terjadi diantara kami cukup banyak dan rumit. Salah satu masalah serius yang menjadi pemicu keretakan hubungan kami adalah masalah anak. Sudah tiga tahun aku dan Jiwon menikah, namun selama itu pula kami belum dikaruniai seorang anakpun. Oleh karena itu sejak satu tahun yang lalu aku mulai aktif membantu anak-anak penderita leukimia bersama Jiwon agar ia sedikit terhibur dan tidak terus menerus merasa minder karena ketidakmampuannya memberikan keturunan. Tapi semakin lama batas kesabaranku semakin menipis. Aku merasa jenuh dengan hubunganku dan Jiwon yang tidak pernah ada perkembangan sejak dokter memvonisnya tidak bisa memiliki anak tiga tahun yang lalu. Sebagai seorang pria normal, tentu aku menginginkan sebuah keluarga utuh dengan hadirnya seorang bayi di tengah-tengah kami. Tapi apa daya jika ternyata istreiku tidak bisa memberikanku seorang keturunan."
"Aku turut prihatin dengan kondisi isterimu, ia pasti sangat terpukul dengan ini semua. Lalu apa yang akan kau lakukan padanya? Menceraikannya?" Tanyaku sakarstik. Sungguh aku berharap jika ia akan mengangguka kepalanya dan mengatakan ya jika ia akan menceraikannya. Tapi sepertinya harapanku itu sama sekali tidak terkabul karena ia justru menggelengkan kepalanya di depanku dengan mata sayu.
"Tidak, aku tidak menceraikannya. Rasanya sangat tidak adil jika aku harus menceraikannya disaat ia sedang dalam masa-masa sulit, itu sama saja aku menaburkan garam diatas lukanya yang sedang menganga."
"Lalu apa yang akan kau lakukan? Jika dokter sudah memvonisnya tidak bisa memiliki anak, tentu kau dan Jiwon sudah tidak memiliki kesempatan untuk memilikinya bukan?"
"Ya, tapi aku akan tetap mempertahankan Jiwon karena bagaimanapun dulu aku menikahinya atas dasar cinta. Dan hingga saat inipun aku masih memiliki cinta untuknya, meskipun tidak lagi utuh seperti dulu."
Hatiku terasa diremas oleh tangan-tangan tak kasat mata ketika pria yang kucintai dengan terang-terangan mengatakan padaku jika ia sangat mencintai wanita lain. Betapa beruntungnya Jiwon karena ia mendapatkan Lee Donghae sebagai pendamping hidupnya. Andai aku dulu yang mendapatkan hatinya terlebihdulu, aku pasti akan memberikan cintaku padanya dengan sepenuh hati.
"Ini sudah malam, aku akan mengantarmu pulang."
Tiba-tiba ia sudah bangkit dan menungguku untuk ikut bangkit dan mengikutinya keluar dari bar ini.
"Kau yakin? Apa ini tidak masalah?" Tanyaku memastikan.
"Tidak apa-apa, Jiwon tidak akan marah padaku hanya karena aku mengantarmu pulang."
Setelah itu kami berdua segera berjalan beriringan dengan diselimuti keheningan diantara kami. Namun diantara keheningan itu, sebenarnya aku sedang memikirkan banyak rencana untuk menarik Lee Donghae kedalam pelukanku. Meskipun rencanaku ini jelas akan merugikan Jiwon, aku tidak peduli! Sejak awal Lee Donghae adalah milikku, dan tidak ada seorang pun yang bisa menghalangi keinginanku untuk mendapatkan Lee Donghae.
-00-
"Ayo kita makan siang bersama."
Aku berucap mantap pada Lee Donghae melalui ponsel yang sedang menempel sempurna di telingaku. Malam itu kami sempat bertukar nomor telepon, dan sudah dua hari ini aku sering menghubunginya untuk sekedar berbasa-basi dan menanyakan keadaanya. Lalu hari ini dengan sedikit keberanian yang kumiliki, aku mengajaknya untuk bertemu dan makan siang bersama denganku. Bukankah untuk mewujudkan keinginanku, aku harus mendekatinya secara perlahan, lalu setelah ia benar-benar sudah terjebak padaku, aku akan mengikatnya dengan kuat hingga ia tidak bisa lagi pergi dariku.
"Baiklah, kebetulan hari ini Jiwon tidak datang untuk mengantarkan makan siang." Jawabnya santai. Namun lagi-lagi hatiku merasa sedang diremas saat ia dengan terang-terangan menyebut nama Jiwon di depanku. Tidak bisakah ia merasakan perasaan cintaku yang begitu besar padanya? Tidak bisakah ia membalasnya dan tidak membuatku sakit seperti ini.
"Kalau begitu aku akan menunggumu di kafe Taco lima belas menit lagi. Sampai jumpa."
Aku mendesah kesal sambil menatap ponselku gemas. Seharusnya aku bisa menggodanya dan membuatnya masuk ke dalam perangkapku. Tapi kenapa justru aku yang masuk ke dalam perangkapnya hingga hatiku merasa sakit seperti ini? Huh, ternyata Lee Donghae benar-benar pria yang sempurna. Selain memiliki otak yang cerdas, ia juga seorang pria yang sangat pintar memainkan hati wanita yang rapuh sepertiku.
"Yoong, apa kau akan pergi?"
Aku menoleh ke arah pintu kaca bening yang saat ini sudah terbuka lebar di depanku. Kulihat Yuri sedang menahan pintu bening itu agar tetap terbuka sambil menatapku dengan tatapan bingungnya.
"Hai Yul, masuklah."
Aku mempersilahkan Yuri masuk ke dalam butikku dan duduk di atas sofa yang berada di tengah ruagan.
"Kau tampak rapi, apa kau akan pergi ke suatu tempat?"
"Eee... aku hanya akan makan siang bersama klienku karena ia ingin mendiskusikan desain gaun pernikahan yang akan dipesannya." Bohongku pada Yuri sedikit gelagapan. Sebenarnya aku tidak ingin menyembunyikan pertemuanku dengan Lee Donghae pada Yuri. Tapi untuk sementara ini lebih baik Yuri tidak tahu, karena aku belum siap untuk menceritakan semuanya pada Yuri.
"Oh, kalau begitu aku akan pulang sekarang. Kukira hari ini kau akan makan siang sendiri, jadi aku memutuskan untuk mengajakmu makan siang bersama, tapi jika kau memang sudah memiliki janji dengan klienmu, aku akan makan siang bersama suamiku."
Aku menatap Yuri dengan tatapan menyesal karena siang ini aku tidak bisa bergabung bersamanya untuk makan siang bersama.
"Oh maafkan aku Yul, aku tidak tahu jika kau akan datang dan mengajakku untuk makan siang bersama."
"Tidak masalah Yoong, kita bisa makan siang bersama lain kali. Kalau begitu aku pergi sekarang, semoga harimu menyenangkan." Ucap Yuri ringan sebelum tubuhnya menghilang dibalik pintu bening di depanku. Setelah itu aku segera menyambar clutch bagku untuk segera pergi ke kafe Taco. Aku tidak mau terlambat di acara makan siang perdana kami dan membuat kesan buruk di hadapan Lee Donghae. Kali ini aku harus bisa mendapatkannya dan menjeratnya ke dalam pelukanku.
-00-
Deg deg deg
Jantungku tak henti-hentinya berdetak kencang ketika ujung ibu jari Lee Donghae mengusap sudut bibirku yang kotor terkena sisa saus dari makananku. Dengan gugup, aku segera menyambar tisu yang tersedia di depanku untuk mengalihkan kegugupan yang kurasakan.
"Kau makan seperti seorang anak kecil." Komentarnya singkat. Aku tersipu malu di depannya sambil mengusap ujung bibirku dengan tisu, meskipun aku tahu jika tisu itu sama sekali tidak berguna karena ujung bibirku sudah bersih.
"Oh, aku akan mengelap tanganmu yang terkena saus."
Dengan sedikit tergesa aku meraih tangannya dan mengusap sisa saus yang menempel di ujung jarinya. Karena aku tidak melihat adanya penolakan darinya, aku pun sedikit berlama-lama mengusap ujung jarinya yang sebenarnya sudah bersih.
"Itu sudah bersih Yoong."
Donghae menghentikan pergerakan tanganku dengan menggenggamnya erat sambil mengelus punggung tanganku pelan.
"Terimakasih."
"Sama-sama." Ucapku malu-malu seperti seorang anak remaja yang sedang dimabuk asmara. Setelah itu suasana diantara kami menjadi hening karena aku sendiri sedikit kehilangan kata-kata setelah aku mengusap tangannya beberapa saat yang lalu.
"Lusa perusahaanku akan mengadakan pesta atas keberhasilan kami dalam memenangkan tender, apa kau bisa hadir di sana untukku?"
Aku mengernyitkan keningku tidak mengerti dengan ucapannya. Ia pun membalas tatapanku dan menghentikan kegiatan makannya untuk sesaat.
"Aku tidak mengerti dengan maksudmu?"
"Aku ingin kau hadir sebagai salah satu tamu spesial."
Aku menganggukan kepalaku cepat sambil tersenyum sumringah padanya. Tentu saja aku akan datang ke pesta perusahaannya dan menjadi satu-satunya wanita yang bersinar cemerlang di sana.
"Dan bisakah kau mengirimkan salah satu gaun terbaikmu untuk Jiwon, aku ingin memberikannya kejutan karena pesta itu juga merupakan pesta untuk memperingati hari ulang tahun pernikahan kami."
Aku menurunkan kedua tanganku dari atas meja dan meremasnya di atas pangkuanku untuk menghalau semua rasa sakit yang tiba-tiba kurasakan. Lee Donghae, pria itu memang sangat pintar dalam memainkan hatiku. Baru saja ia melambungkanku dengan sikap lembutnya, lalu tiba-tiba ia menghempaskanku dengan permintaanya yang membuatku merasa sakit seketika. Ya Tuhan, rasa cinta ini semakin lama justru akan membunuh diriku perlahan-lahan.
"Tttentu. Aku akan segera mengirimkan salah satu gaun terbaikku ke rumahmu."
"Besok asistenku akan datang ke butikmu dan mengurusnya, jadi kau tidak perlu mengirimnya ke rumahku."
"Ooh, baiklah." Ucapku tergagap dengan perasaan perih. Sekarang aku benar-benar telah kehilangan nafsu makanku. Makanan yang beberapa saat yang lalu terasa begitu menggiurkan, kini bagaikan seonggok sampah yang sama sekali tidak menggiurkan. Lee Donghae lagi-lagi berhasil menjungkirbalikan duniaku hingga terasa sangat kacau seperti saat ini.
-00-
"Yoona, kau datang!"
Aku mendapat pelukan hangat dari Jiwon ketika aku baru saja tiba di halaman belakang hotel bintang lima yang kini telah disulap menjadi sebuah pesta kebun yang sangat cantik. Kedua tanganku dengan malas membalas pelukannya dan memberikannya tepukan dua kali sebagai balasan dari peluka hangat yang diberikannya.
"Yoona, aku sangat menyukai gaun rancanganmu, ini benar-benar cantik."
Aku tersenyum tipis padanya sambil menatap nanar gaun berwarna peach yang melekat sempurna di tubuh rampingnya. Sungguh aku tidak pernah membayangkan jika aku akan melakukan hal ini pada rivalku sendiri.
"Kau tampak cantik dengan gaun itu."
"Ayo kita ke sana, Donghae oppa pasti akan sangat senang dengan kehadiranmu di sini."
Aku mengikuti langkah kakinya yang menyeretku dengan paksa untuk menuju kearah suaminya yang sedang bercakap-cakap dengan rekan-rekan bisnisnya. Ahh.. apa wanita ini terlalu bodoh dan tidak bisa merasakan aura gelap yang melingkupi tubuhku? Dan semua ini karena ulahnya!
"Oppa, Im Yoona sudah datang." Ucap Jiwon sedikit keras dan membuat perhatian Donghae langsung teralih padanya dan padaku. Malam ini ia semakin terlihat luar biasa dengan stelan armani berwarna hitam yang membalut tubuh tegapnya dengan pas. Dan jangan lupakan tatanan rambutnya yang sengaja ia buat sedikit lebih berantakan, namun hal itu justru membuatnya terkesan lebih seksi dan menggoda.
"Aku sudah menunggu kehadiranmu sejak tadi, dan aku juga ingin mengucapkan terimakasih karena kau telah membuatkan gaun yang sangat cantik untuk isteriku." Ucapnya sambil merangkul Jiwon hangat. Jiwonpun membalas rangkulan suaminya dan ia tiba-tiba mendaratkan sebuah ciuman singkat di pipi Lee Donghae.
"Terimakasih, aku sangat menyukai kejutan darimu."
Kulihat Donghae tersenyum manis pada Jiwon sambil menatap isterinya dengan tatapan penuh cinta yang membuatku merasa mual seketika. Andai aku tahu jika hal ini akan terjadi, aku pasti tidak akan pernah menginjakan kakiku di acara laknat ini.
"Yoong, silahkan nikmati pestanya. Aku dan Donghae oppa akan menyambut tamu-tamu kami yang lain. Apa kau tidak keberatan jika kami tinggalkan sekarang?"
"Ooh tentu saja, aku akan menikmati pestanya bersama yang lain." Jawabku tergagap karena menahan gejolak emosi yang meluap-luap di dalam hatiku. Dan setelah itu mereka segera pergi meninggalkanku dengan saling menautkan jari mereka satu sama lain. Namun tanpa kuduga Lee Donghae tiba-tiba menoleh kearahku dan memberikan tatapan yang sulit diartikan padaku sebelum akhirnya ia tenggelam bersama kerumunan tamu undangan yang membanjiri halaman belakang hotel mewah ini.
-00-
"Aku akan mengantarmu pulang."
Gerakan tanganku di udara terhenti seketika ketika sebuah tangan tiba-tiba menghentikan niatku untuk menghentikan taksi yang kebetulan melintas di depanku. Dengan ragu aku menoleh ke belakang dan menemukan Donghae sedang mencekal lenganku erat sambil menatapku dalam.
"Ini sudah larut, akan sangat berbahaya jika membiarkan wanita cantik sepertimu untuk pulang sendiri bersama seorang supir taksi." Ucapnya pias sambil menurunkan tangannya dari lenganku. Aku mengangkat alisku bingung sambil menatap wajahnya penuh tanda tanya. Mengapa ia menjadi sangat perhatian padaku?
"Kau tidak pulang bersama isterimu?" Tanyaku sangsi. Sungguh aku tidak mau dihempaskan lagi olehnya seperti beberapa saat yang lalu. Mungkin saja ia akan mengantarku bersama dengan isterinya dan membuatku harus menahan sakit sepanjang perjalanan menuju rumahku karena melihat kemesraan mereka sepanjang jalan.
"Tenang saja, ia sudah pulang sejak tadi karena tidak enak badan."
Apa? Bolehkah aku berteriak dan bersorak sekarang? Sepertinya hari ini bukanlah hari yang sial untukku. Buktinya aku masih memiliki kesempatan untuk bersama-sama dengan Lee Donghae tanpa perlu melihat Jiwon disekitarnya.
"Oh, semoga ia cepat sembuh." Doaku tidak tulus. Akupun mengikuti langkahnya menuju mobilnya yang telah terparkir di depan pintu utama hotel setelah seorang vallet membawakan mobilnya pada kami.
"Oppa, apa kau tidak takut jika orang-orang berpikiran buruk tentangmu?"
Aku memberikan pertanyaan pertama padanya setelah kami berjalan pergi meninggalkan halaman luas hotel bintang lima yang sangat mewah itu. Sembari menyetir, ia menoleh kearahku dan menggeleng singkat setelahnya.
"Tidak, aku bukan tipe pria yang memikirkan ucapan buruk orang-orang di luar sana."
"Kalau begitu seharusnya saat itu kau tidak marah padaku saat aku mengucapkan hal kasar padamu." Ucapku spontan padanya dengan ringan. Tapi setelah melihat reaksinya yang sedang mengeraskan rahangnya, aku sedikit meragukan ucapannya padaku beberapa saat yang lalu.
"Dulu dan sekarang tidak sama Im Yoona. Kemarahanku saat itu bukan semata-mata karena ucapan merendahkanmu, tapi ada hal lain yang membuatku dengan spontan menampar wajahmu." Ucap pria itu dingin. Aku pun memilih diam dan tidak melanjutkan percakapan dengannya karena aku sungguh bingung dengan perubahan emosi yang ditunjukannya. Terkadang ia akan sangat lembut padaku, namun setelahnya ia akan kembali bersikap dingin dan memasang tembok tebal yang tak kasat mata di tengah-tengah kami. Apa sebenarnya ia masih marah padaku?
"Apa kau marah padaku?" Tanyaku bersungguh-sungguh padanya saat ia sedang berkonsentrasi pada kemudianya. Dan tanpa menatap wajahku, ia mengucapkan kata tidak dengan nada suara yang begitu dingin dan tentu saja tidak enak untuk didengar.
"Tidak."
"Lalu kenapa kau bersikap seperti ini? Kau tibat-tiba berubah dingin dan terkesan sinis padaku, sebenarnya apa yang terjadi padamu oppa? Aku bingung dengan dirimu." Ucapku frustasi. Ia tampak tak merespon keluhanku dan hanya melajukan mobilnya dengan sedikit cepat, pertanda jika ia memang sedang marah namun ia terus mengelaknya dengan kata tidak.
"Jika kau marah dan tidak mau mengantarku, lebih baik kau turunkan aku di sini."
Akhirnya aku tidak bisa lagi menyembunyikan kekesalanku padanya dan menyuruhnya untuk menurunkanku sekarang juga, meskipun aku tahu jika jarak rumahku masih sangat jauh. Dan tanpa kuduga ia benar-benar menghentikan mobilnya tiba-tiba dengan kedua tangannya yang menggenggam erat setir kemudi.
"Yoona, aku tidak tahu kenapa malam ini kau terkesan lebih banyak bicara dari biasanya. Bisakah kau hanya diam dan tidak menuntutku untuk menjawab semua pertanyaanmu yang tidak penting itu?"
Lee Donghae berucap dingin padaku tanpa mau menoleh kearahku sedikitpun. Dengan kesal aku menghadap miring kearahnya dan berteriak frustasi padanya karena aku sudah tidak tahan menahan semua ganjalan hatiku yang menyesakan ini.
"Apa aku salah menanyakan hal itu padamu? Sejujurnya hari ini aku sudah dibuat emosi dengan segala drama picisan yang kau buat bersama Jiwon, tapi aku berusaha bersikap biasa di depanmu meskipun hatiku sakit. Apa kau tahu jika aku sejak dulu mencintaimu? Hah, kau pasti tidak pernah tahu bukan? Sejak kau masih menggunakan seragam high school dan menjadi seniormu, aku sudah memiliki rasa kagum padamu. Tapi sayangnya aku tidak berani mengatakannya padamu karena......"
Tiba-tiba bibirku dibungkam oleh bibirnya dan ia langsung melumat bibirku dengan tempo cepat dan terkesan terburu-buru. Namun tak berapa lama ia melepaskan tautan bibirnya dari bibirku untuk menatap wajah terkejutku sekilas sebelum akhirnya ia kembali melumat bibirku dengan lebih lembut dan penuh perasaan.
"Kita pulang."
Setelah mengucapkan hal itu, Lee Donghae kembali melajukan mobilnya dengan tenang di jalanan sepi Seoul yang tampak lenggang malam ini. Tanpa sadar tangan kananku meraba dada kiriku yang saat ini sedang berdegup kencang. Apa baru saja aku bermimpi? Lee Donghae menciumku! Oh Tuhan, jika ini adalah mimpi, maka ini adalah mimpi yang paling indah sepanjang aku hidup di dunia.
"Kita sudah sampai."
Aku tersadar dari lamunanku setelah mendengar suara dinginnya yang memberitahuku jika kami sudah tiba di depan rumahku. Tapi sebelum turun, aku sangat ingin memastikan satu hal padanya. Tentang ciuman dan perasaanya padaku.
"Mengapa kau menciumku oppa?"
"Turunlah, kau pasti lelah."
"Kenapa kau menciumku?" Ucapku geram sambil menahan tangannya yang hendak melepaskan sabuk pengamanku. Ia pun menghentikan pergerakannya dan mulai menatapku dengan intens hingga membuat darahku berdesir karena gugup.
"Karena bibirmu tidak berhenti bicara dan..."
"Jadi karena itu kau menciumku, hanya tidak suka dengan semua kata-kata..."
Lagi-lagi ia membungkam bibirku dengan ciumannya hingga membuatku hampir tersedak karena aku sedang berbicara sebelumnya. Namun ketika aku akan mendorongnya untuk menjauh, ia justru semakin menekan tengkukku hingga ciuman kami semakin dalam dan seperti tidak bisa dilepaskan satu sama lain.
"Apa kau tahu jika bibirmu sangat seksi Im Yoona, aku menyukainya." Ucapnya lembut di depan bibirku dengan tangannya yang masih setia di belakang tengkukku dan sisi wajahku.
"Aku mencintaimu oppa. Ayo kita menjalin hubungan."
"Aku sudah memiliki isteri Yoong, tidakah kau ingat itu?"
"Tapi aku mencintaimu." Jeritku histeris. Aku menangis di depannya dan memohon padanya agar ia memberikanku kesempatan untuk memilikinya karena aku benar-benar sangat mencintainya.
"Aku rela menjadi simpananmu, dan aku akan selalu ada untukmu. Bahkan aku bisa memberikanmu keturunan jika kau mau."
Sederet kata-kata itu meluncur begitu saja tanpa bisa kucegah. Mungkin jika aku sedang dalam keadaan normal dan tidak sedang dilingkupi oleh luapan emosi, kata-kata itu pasti tidak akan keluar dari mulutku. Ayah, maafkan aku karena aku telah merendahkan diriku sendiri di hadapan seorang pria yang entah ia mencintaiku atau tidak.
"Apa kau yakin dengan ucapanmu?" Tanyanya memastikan di depan wajahku. Aku mengangguk pelan dan menatapnya sungguh-sungguh tanpa keraguan sedikitpun. Meskipun aku tahu ini gila, tapi aku tidak akan pernah menyesalinya.
"Kalau begitu jadilah kekasihku, dan mulai sekarang kau adalah milikku Im Yoona." Bisiknya pelan di depan bibirku, sebelum bibir tipis itu kembali melumatku dengan gerakan pelan dan penuh perasaan.
-00-
"Pudding, ayam panggang, sup, dan wine. Sempurna! Aku akan memberikan kejutan makan malam untuk Donghae oppa malam ini."
Aku berdiri di depan meja makan dengan wajah berbinar-binar. Hari ini aku sengaja datang ke apartemen kami untuk menyiapkan semua ini. Sudah lebih dari sebulan kami menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih tanpa diketahui oleh Jiwon atau siapapun. Dan ketika usia hubungan kami baru menginjak satu minggu, Donghae oppa memberikanku sebuah apartement yang khusus ia berikan untuk menghabiskan waktu bersamaku. Dan kami melakukan banyak hal di sini. Mengobrol, memasak, bersenda gurau, dan tidur bersama. Namun kami belum pernah melakukan hal-hal yang terlalu jauh. Semua yang kami lakukan di apartement ini masih tergolong wajar, dan biasanya kami hanya bercumbu beberapa kali di sini.
"Yoona..."
Suara merdu Donghae oppa yang sejak tadi kutunggu bergema pelan di ruang tamu dan membuatku langsung melompat dari kursi bar di meja makan untuk menyambutnya. Dengan penuh sukacita aku merentangkan tanganku lebar-lebar dan berlari kedalam pelukannya hingga tanpa sadar ternyata ia telah mengangakat tubuhku, hingga sekarang kedua kakiku saling bertaut di pinggangnya.
"Kau membuat sesuatu untukku? Aroma masakanmu sangat harum."
"Ehemm... Aku membuat beberapa masakan untuk makan malam kita." Ucapku manja sambil memainkan dasinya. Akupun melepaskan simpul dasinya satu persatu dan melemparkan dasinya ke sembarang tempat sambil terkikik manja di depannya.
"Aku sangat merindukanmu oppa."
Cup
Donghae oppa memberikan satu kecupan singkat di bibir dan membawaku ke ruang makan yang berada di sisi kanan dari ruangan apartement ini. Dan masih dengan kedua kakiku yang bertaut di pinggangnya, ia pun mendudukanku di atas meja makan sambil membela lembut pipiku.
"Aku lebih merindukanmu sepanjang hari ini sayang." Bisiknya lembut di depan bibirku sebelum ia melumat bibirku dengan teknik ciumannya yang selalu membuatku terlena. Lidah kami yang panas saling menari-nari dan saling menjelajahi rongga mulut kami masing-masing. Kurasa ini adalah ciuman kami yang paling panas.
"Apa kau tahu jika sebenarnya aku selalu menginginkanmu?" Tanya serak dengan mata berkabut. Aku mengerlingkan mataku genit padanya sambil bermain-main pada dadanya untuk menggodanya. Aku tahu jika ia memiliki kelemahan pada dada bidangnya, dan saat aku membelainya seperti ini ia pasti akan semakin mengerang frustasi karena perbuatan jahilku.
"Hentikan Im Yoona, atau aku akan memakanmu di sini." Peringatnya dengan suara serak dan mata berkabut yang terlihat frustasi. Akupun menghentikan gerakan tanganku dan mendorong tengkuknya agar semakin mendekat pada bibirku yang sejak tadi sangat ingin meraup bibir tipisnya yang menggoda itu.
"Jika oppa ingin, maka lakukan saja. Aku tidak keberatan jika memberikannya padamu oppa."
"Hmm... jika kau memberikanku ijin, maka aku tidak akan pernah mundur lagi Im Yoona." Ucapnya dengan mata berkabut sambil mendorong tubuhku hingga aku berbaring di atas meja. Untung saja meja ini luas, sehingga aku tidak sampai mengenai piring-piring yang telah berisi banyak makanan di atas meja. Dan Donghae oppa dengan tidak sabar segera menciumi wajahku hingga turun ke leherku, membuatku menggeliat kesana kemari karena geli dengan sentuhannya yang memabukan.
"Ssshhh.... diamlah sayang, letakan tanganmu di pundakku."
Aku dengan patuh meletakan tangannya di atas pundaknya, dan tanpa diduga ia langsung menggendongku menuju kamar. Padahal kupikir kami akan melakukannya di atas meja, tapi untuk pengalaman pertama mungkin ia akan melakukannya di tempat yang sedikit nyaman dan juga empuk.
Brukk
Kami terlempar bersama-sama di atas ranjang dan memantul beberapa kali dengan gerakan dramatis yang lucu. Namun seperti tidak ingin membiarkanku berlama-lama dengan kesenanganku, Donghae oppa langsung melesak ke atas tubuhku dan kembali menciumi wajahku hingga turun ke dadaku yang masih tertutup dengan kemeja putih. Lalu kedua tangannya dengan tidak sabar membuka kancing kemejaku satu persatu hingga aku merasa sangat malu karena ini adalah pengalaman pertamaku bersama seorang pria di atas ranjang.
"Rilekskan tubuhmu Im Yoona, aku berjanji akan menyentuhmu dengan lembut dan membuatmu tidak akan pernah melupakan malam percintaan kita hari ini."
"Lakukan apapun yang kau inginkan oppa, aku mempercayaimu."
Lalu kami kembali tenggelam ke dalam pusara gairah yang memabukan hingga malam ini akan menjadi malam yang panjang untuk kami. Malam dimana kami menyatukan diri kami tanpa ada satupun yang membatasi kami. Meskipun itu benang sekalipun.
-00-
Aku menatap Donghae oppa yang tampak damai dalam tidur sambil menyingkirkan helai-helai anak rambutnya yang berjatuhan menutupi mata indahnya. Semalam ia tampak begitu lelah dengan tugas-tugas kantornya, dan ketika ia tiba di apartement ia langsung memintaku untuk membuatkan makan malam dan setelah itu ia langsung jatuh tertidur di sebelahku. Setelah permainan panas kami malam itu, kami menjadi lebih dekat satu sama lain dan ia juga sering pulang ke apartement kami. Tak jarang aku berbohong pada ayah jika aku sedang memiliki pekerjaan di luar kota, karena Donghae oppa selalu memintaku untuk menemaninya di apartement. Dan selama kami menjalani hubungan terlarang ini, aku sama sekali tidak pernah menyinggung keberadaan isterinya di rumah yang mungkin sedang menunggunya dengan khawatir. Persetan dengan perasaan Choi Jiwon, selama aku merasa bahagia, aku tidak akan ambil pusing dengan hubungan terlarang kami yang tak berujung ini.
"Hey, jam berapa ini?"
Donghae oppa membuka matanya perlahan sambil mengecup lembut punggung tanganku yang sedang bermain-main di wajahnya. Pria itu tersenyum manis kearahku dan menarikku untuk masuk ke dalam pelukannya yang hangat.
"Kau tidak ke kantor hari ini?"
"Nanti, sekarang aku masih ingin memelukmu. Apa yang kau siapkan untuk sarapan hari ini?"
Aku menggelengkan kepalaku pelan sambil menatapnya dengan cengiran kecil.
"Aku tidak tahu apa yang harus kusiapkan untukmu oppa. Tapi aku sudah membuatkanmu kopi di bawah."
"Tidak masalah, kita bisa makan di luar untuk sarapan." Ucapnya santai sambil memelukku dengan erat. Kami berdua kembali melesak ke dalam selimut dengan posisi kaki yang saling membelit satu sama lain. Namun kami hanya sekedar merebahkan tubuh kami tanpa berniat untuk melakukan permainan panas. Lagipula jika kami melakukannya, maka Donghae oppa pasti akan terlambat ke kantor karena kami selalu lupa waktu jika menyangkut soal urusan ranjang.
Drtt drrt
"Oppa, ponselmu bergetar."
Aku meraih ponsel milik Donghae oppa yang teronggok di atas nakas sambil membaca nama si penelepon yang telah mengganggu acara kami pagi ini. Namun ketika nama Jiwon yang tertera di dalam ponsel itu, aku langsung mematikannya yang menggerutu dengan sebal di sebelah Donghae oppa.
"Siapa yang menghubungiku?"
"Jiwon." Jawabku malas. Tanpa kuduga Donghae oppa langsung menyambar ponselnya dan menempelkan benda persegi itu pada telinganya.
"Halo, ada apa?" Ucapnya langsung pada lawan bicaranya yang kuyakin adalah Jiwon.
"............."
"Aku tidak sengaja mematikannya, semalam aku menginap di kantor karena lembur." Ucap Donghae oppa berbohong. Aku menatap Donghae oppa kesal dan bersiap untuk turun dari atas ranjang dan meninggalkanya, namun ia justru mencekal tanganku dan memintaku untuk tetap di atas ranjang bersamanya.
"Kau memasak makanan untukku? Bawa saja ke kantor."
Aku semakin cemberut saat mendengar percakapan Donghae oppa dan Jiwon. Pagi ini mereka jelas akan melakukan sarapan bersama di kantor. Lalu bagaimana dengan nasibku? Tentu saja aku akan melakukan sarapan sendiri dengan hati dongkol karena pria yang kucintai akan melakukan sarapan bersama dengan isterinya. Dan ngomong-ngomong mengenai isteri, terkadang aku cukup tertohok dengan fakta itu karena pada dasarnya aku hanyalah wanita simpanan Donghae oppa. Jika suatu saat hubungan kami tidak berkembang dan kami hanya berdiri di satu titik yang sama, maka aku harus siap dengan segala kemungkinan terburuk yang ada.
"Yoong..."
Donghae oppa menyentuh daguku dan menatap wajahku intens. Aku yang masih merasa kesal dengannya, lantas memalingkan wajahku ke arah lain karena aku sedang malam menatap wajahnya yang selalu memancarkan aura sendu itu. Tapi sayangnya ia berhasil membuatku luluh dengan ciumannya yang lembut dan juga permintaan maafnya padaku karena pagi ini ia akan melakukan sarapan bersama dengan Jiwon di kantor.
"Kita akan makan siang bersama nanti, dan aku akan menjemputmu." Bujuknya dengan suara lembut. Lagi-lagi aku kembali luluh padanya dan mengangguk paksa dengan senyum getir yang tercetak di wajahku. Setiap kali ia akan pergi dengan Jiwon, Donghae oppa pasti akan memberikan janji-janji manis padaku agar aku tidak marah lagi padanya. Namun tak jarang janji itu akan pupus begitu saja ketika Donghae oppa ternyata memiliki kesibukan lain yang tak bisa diganggu gugat. Dan jika sudah seperti itu, aku hanya mampu menangis dalam hati karena aku tidak pernah bisa memiliki Donghae oppa seutuhnya. Ia selalu memberikan prioritasnya untuk Jiwon, meskipun aku sudah memberikan semua yang kumiliki untuknya.
"Mandilah, aku akan mandi di kamar mandi luar."
Donghae oppa mengecup keningku singkat dan beranjak bangkit dari ranjang untuk membersihkan tubuhnya di kamar mandi lain di apartement ini. Namun setelah ia benar-benar pergi, aku tak kunjung beranjak dari tempatku duduku dan justru menangis dalam diam sambil menggenggam sesuatu yang seharusnya aku berikan padanya pagi ini sebagai hadiah.
-00-
Aku melangkah pelan ke dalam restoran bergaya eropa klasik dengan malas-malasan. Lima belas menit yang lalu Donghae oppa menghubungiku jika ia tidak bisa menjemputku untuk pergi ke restoran eropa untuk makan siang bersama, sehingga aku terpaksa datang ke restoran ini menggunakan taksi. Dua hari yang lalu aku mengatakan pada ayahku jika aku akan pergi ke Busan, sehingga selama dua hari aku berada di apartement, aku sama sekali tidak membawa mobil. Dan rasanya hal itu sungguh sangat merepotkan!
"Donghae op.."
Aku terhenyak sejenak ketika mendapati Donghae oppa sedang bersenda gurau dengan Jiwon. Bukankah hari ini kami akan makan siang berdua? Mengapa wanita menyebalkan itu berada di sini. Aku pun hendak berjalan keluar dari restoran ini karena aku sudah tidak berselera makan jika Jiwon berada di satu tempat denganku dan Donghae oppa. Tapi sialnya ketika aku akan melangkah pergi, suara keras Jiwon memanggilku dan membuatku mau tidak mau menolehkan kepalaku kearahnya, karena keberadaanku sudah terlanjur diketahui olehnya.
"Yoona, apa kabar?"
Jiwon menghampiriku dan memelukku dengan erat seperti kami adalah sepasang sahabat. Andai saja ia tahu jika aku adalah kekasih gelap suaminya, ia pasti tidak akan memperlakukanku sebaik ini.
"Aku baik-baik saja. Kau sedang makan siang bersama suamimu?"
Rasanya aku ingin meruntuki pertanyaanku yang bodoh itu. Tentu saja ia sedang makan siang bersama dengan suaminya, memangnya siapa lagi yang berada di meja itu selain dirinya dan juga Donghae oppa yang saat ini sedang menatapku tanpa ekspresi.
"Bergabunglah bersama kami, kita makan siang bersama."
Aku berusaha menolak ajakan Jiwon untuk makan siang bersama dengan mereka. Tapi tarikannya yang kuat, serta tatapan tajam Donghae oppa yang seolah-olah memaksaku untuk duduk membuatku tidak memiliki pilihan lain selain menuruti ajakan Jiwon untuk makan siang bersama.
"Wajahmu terlihat pucat, apa kau sakit?"
Aku mendongakan wajahku sambil menggelengkan kepalaku pelan pada Jiwon.
"Tidak, aku hanya belum sempat sarapan pagi ini." Jawabku apa adanya untuk menyindir Donghae oppa. Pria itu seketika langsung menatapku sambil menyodorkan sebuah buku menu padaku.
"Kalau begitu kau harus makan sekarang, pilih semua makanan yang kau suka, aku akan mentraktirmu."
Aku sedikit merampas buku menu itu dengan kasar, sambil menatap dongkol pada Donghae oppa yang terlihat sangat menyebalkan. Ia pasti tahu jika aku saat ini sedang terbakar cemburu karena ulahnya, namun ia dengan tidak berperasaanya mengabaikan kecemburuanku begitu saja sambil menyibukan diri dengan ponselnya.
"Yoona-ssi, apa kau sudah memiliki kekasih?"
"Belum, saat ini aku belum tertarik untuk memiliki kekasih. Jika kau memiliki kenalan seorang pria tampan, kau bisa mengenalkannya padaku." Jawabku terdengar ringan sambil melirik kearah Donghae oppa. Tapi sayangnya Donghae oppa seperti menulikan telinganya karena ia hanya berekspresi datar kearahku, dan setelah itu ia kembali berkutat pada ponselnya.
"Aku memiliki beberapa kenalan pria-pria tampan dan juga sukses, lain kali aku pasti akan mengenalkanmu pada salah satu dari mereka." Ucap Jiwon antusias. Wanita bodoh ini rupanya benar-benar memakan umpanku untuk memanas-manasi Donghae oppa. Baiklah, kalau begitu aku akan semakin membuat Donghae panas dengan ucapanku.
"Tentu, dan kita harus melakukan double date lain waktu. Oya, ngomong-ngomong apakah kau sudah memiliki seorang anak?"
Hahaha, rasakan kalian berdua! Aku akan menyakiti Jiwon dan membuat Donghae oppa terpojok dengan topik seputar anak.
"Kami belum memiliki anak Im Yoona ssi." Ucap Donghae oppa dengan suara dingin. Aku tersenyum mengejek padanya sambil melirik Jiwon yang kini sedang menundukan wajahnya karena sedih.
"Aku tidak bisa memberikan keturunan untuk Donghae oppa. Tiga tahun yang lalu aku mengalami kecelakaan dan membuat rahimku terluka cukup parah, sehingga dokter melarangku untuk memiliki anak karena hal itu akan membahayakan diriku sendiri. Lagipula, Donghae oppa juga belum menginginkannya."
Aku menatap bingung pada Donghae oppa dengan berbagai macam pertanyaan yang bersarang di kepalaku. Bukankah waktu itu Donghae mengatakan jika ia ingin memiliki seorang anak? Mengapa sekarang Jiwon justru berkata hal sebaliknya?
"Aku hanya tidak ingin membahayakannya." Ucapnya seakan menjawab pertanyaan tersiratku. Aku kemudian berpura-pura merasa prihatin dengan menggenggam punggung tangan Jiwon yang berada di atas meja.
"Andai saja saat itu aku tidak mengalami kecelakaan, pasti aku masih bisa mengandung darah dagingku. Tapi setidaknya sekarang aku memiliki hiburan dengan mengurus anak-anak pengidap leukimia. Keceriaan mereka dan semangat mereka untuk tetap hidup mampu menginspirasiku agar aku lebih bersyukur."
"Tapi bukankah rasanya tetap berbeda jika kau membesarkan anak-anakmu sendiri. Maaf, bukan maksudku untuk memojokanmu, tapi bibiku juga tidak bisa memberikan keturunan karena suaminya bermasalah, dan ia tanpa sepengetahuan suaminya telah menjalin hubungan dengan wanita lain hingga pada akhirnya mereka memutuskan untuk bercerai. Padahal awalnya bibiku mengatakan jika ia tidak masalah dengan kekurangan suaminya dan bisa mengadopsi anak dari panti asuhan. Tapi setelah beberapa tahun ia menjalaninya, ia ternyata tidak bisa melakukan semua itu. Bibiku tidak bisa menjalin kelekatan dengan anak panti yang diadopsinya, sehingga ia memutuskan untuk mengembalikan anak itu ke panti asuhan dan menjalin hubungan terlarang dengan seorang pria yang pada akhirnya mampu mewujudkan keinginannya untuk menjadi seorang ibu."
Kulihat Jiwon semakin menundukan kepalanya dalam setelah mendengar kata-kata provokasiku yang menyakitkan itu. Dan disaat bersamaan Donghae oppa juga sedang menatapku sambil mengetatkan rahangnya dengan marah.
"Kau tidak seharusnya berkata seperti itu Yoona ssi, tidak semua pasangan seperti bibimu dan pamanmu. Jadi kau jangan membuat Jiwon semakin tersakiti dengan kata-katamu." Ucap Donghae oppa sedikit keras. Jiwon mencoba tersenyum di hadapanku sambil mengelus pundak suaminya pelan agar ia tidak terlalu keras padaku.
"Tidak apa-apa, Yoona tidak salah. Aku memang tidak bisa memiliki anak."
Akupun hanya diam tanpa berniat meneruskan ucapanku. Kurasa ini sudah cukup untuk menunjukan pada Donghae oppa jika aku sedang marah dan terbakar cemburu. Dan setelah ini akan kutunjukan padanya jika aku bisa melakukan hal yang lebih gila daripada ini.
-00-
"Ayah, kenapa mendadak?"
Aku mendengus kesal pada ayahku saat ia mengatakan padaku jika malam ini calon suami yang akan dijodohkan denganku akan datang ke rumah. Sebenarnya beberapa minggu yang lalu ayah sudah membahasnya denganku, tapi aku tidak pernah menanggapinya dengan serius karena aku tidak tertarik dengan perjodohan itu. Tapi untuk kali ini aku akan mencoba berkompromi dengan ayah dan menemui calon suamiku itu sendiri. Setidaknya aku ingin mengenal pria itu sebentar sebelum aku memutuskan untuk menerima atau menolaknya. Lagipula hubunganku dengan Donghae oppa juga tidak pernah mengalami sedikitpun perkembangan selama enam bulan ini, jadi apa salahnya jika aku mencoba untuk membuka hatiku untuk pria lain.
"Pukul tujuh ia akan datang, jadi persiapkan dirimu dengan baik."
Aku mengangguk malas dan melemparkan tubuhku ke atas sofa untuk menghubungi Donghae oppa. Aku akan mengatakan padanya jika malam ini calon suami yang akan dijodohkan denganku akan datang. Lalu aku akan melihat bagaimana reaksinya setelah ia mendengar berita mengejutkan ini dari bibirku sendiri. Apakah ia akan mempertahankanku atau tidak.
"Oppa, apa kau sedang sibuk?"
Aku langsung menyapanya tanpa mengucapkan kata halo setelah ia mengangkat panggilanku di detik ke sepuluh. Dari seberang sana aku bisa merasakan suara berat Donghae oppa yang terdengar seperti orang kelelahan.
"Ya, aku sangat sibuk. Ada apa?"
Aku mencebikan bibirku kesal denga reaksinya yang sangat dingin itu.
"Huh, memangnya kapan seorang tuan Lee Donghae yang terhormat tidak sibuk?" Ucapku kesal dengan nada sindirian yang kental. Namun rupanya Dongae oppa memilih untuk tidak membalas ucapanku dan hanya diam untuk menunggu kata-kata berikutnya yang akan kuucapkan.
"Aku akan dijodohkan."
"Lalu?"
Apa ia benar-benar pria normal yang tak memilki hati? Setelah semua hal yang ia lalui bersamaku selama ini, ia hanya merespon dengan begitu datar saat aku mengatakan jika akan ada pria lain yang mengisi tempatnya di hatiku? Benar-benar pria ini sangat menyebalkan dan tak punya hati!
"Lalu? Kau sama sekali tidak khawatir jika aku akan menjadi isteri pria lain?" Tanyaku sangsi padanya. Untuk beberapa saat tak ada respon apapun dari Donghae oppa, namun sedetik kemudian ia mulai membalas ucapanku dengan kata-kata yang berhasil membuatku semakin terpuruk dan sakit.
"Kita berdua hanyalah teman kencan, jadi aku tidak berhak melarangmu jika kau akan dijodohkan oleh ayahmu. Lagipula hubungan kita hanyalah sebatas hubungan gelap yang sewaktu-waktu dapat berakhir, jadi aku tidak akan menahanmu jika kau akan menikah dan membangun sebuah keluarga yang bahagia bersama pria lain."
Hatiku rasanya hancur saat pria yang sangat kucintai ternyata sama sekali tidak mempertahankanku. Ia justru membiarkanku menikah dengan pria lain yang jelas-jelas tidak kucintai. Dengan tangan bergetar aku mematikan sambungan teleponku secara sepihak dan mulai menangis meraung-raung di atas sofa dengan keadaan menyedihkan. Ternyata mencintai seorang pria yang telah beristeri sangatlah menyakitkan. Mungkin ini karma yang diberikan oleh Tuhan padaku karena berani bermain-main dengan takdir. Mulai sekarang aku akan menyerah dengan hatiku. Aku akan melepaskan Donghae oppa bersama Jiwon dan mulai menata hatiku untuk calon suami yang akan dijodohkan denganku. Aku yakin, ayah pasti tidak akan memberikan pria sembarangan untukku, karena ayah pasti akan memberikan yang terbaik untukku. Dan semoga saja pria itu mau menerima keadaanku saat ini. Keadaanku yang sedang mengandung anak dari Donghae oppa.
-00-
Malam hari pukul tujuh aku masih berada di dalam kamarku dengan perasaan hancur. Kutatap pantulan wajahku di depan cermin yang tampak seperti seorang mayat hidup. Seharian ini aku terus menangis dan tidak mau keluar kamar barang sebentarpun. Hatiku terlalu hancur dengan kenyataan pahit yang ada jika ternyata cintaku untuk Donghae oppa hanya sepihak. Untung saja aku belum memberitahukan padanya mengenai kehamilanku saat ini. Aku tidak mau jika nantinya ia mengambil anak ini dariku setelah ia menyakiti hatiku yang rapuh.
"Nona Yoona, calon suami anda sudah menunggu di bawah. Tuan besar menyuruh anda untuk segera turun."
"Aku akan segera turun." Teriakku dengan suara parau. Aku mengusap bulir-bulir air mataku dengan tisu dan memastikan jika penampilanku layak sebelum aku berjalan keluar dari kamarku. Mulai malam ini aku harus melupakan semuanya. Aku harus melupakan Donghae oppa dan seluruh kenangan manis kami selama enam bulan ini. Dan sekarang aku harus melangkah keluar untuk menghadapi masa depanku yang memang ditakdirkan oleh Tuhan untukku.
Ketika aku menuruni tangga satu persatu, samar-samar aku mendengar suara gelak tawa ayah dari ruang depan yang terdengar begitu renyah. Aku pun sempat terhenyak sebentar untuk mendengarkan suara tawa ayah dan nada bicara ayah yang tampak ringan.
"Pasti pria itu adalah pria yang hebat karena ia bisa mendapatkan perhatian dari ayah yang notabenenya adalah tipe orang yang sulit." Gumamku pelan. Akupun menghembuskan nafasku sekali lagi dengan keras sebelum aku kembali melanjutkan langkah kakiku menuju ruang tamu.
"Ayah..."
Aku memanggil ayahku pelan dengan wajah menunduk. Sungguh aku takut untuk mendongakan wajahku dan bertatapan langsung dengan calon suamiku karena saat ini aku belum siap. Aku masih dibayang-bayangi sosok Donghae oppa meskipun aku sudah bertekad untuk melupakannya.
"Yoona, kemarilah nak."
Aku berjalan menunduk melewati pria itu dan duduk di sebelah ayahku yang berada di depan pria itu. Sekilas aku melihat bagaimana penampilan pria itu, ia sepertinya tidak jauh berbeda dengan ayah dan juga Donghae, mungkin ia juga seorang pebisnis sukses seperti Donghae oppa. Oh ya Tuhan, aku bisa gila jika terus menerus memikirkan Donghae oppa yang brengsek itu.
"Yoong, dia adalah calon suami yang sejak dulu ayah tawarkan padamu. Tapi karena kau terlalu asik dengan karirmu di Paris, kau selalu menolaknya untuk bertemu. Dan sekarang karena usiamu sudah tidak muda lagi, ayah harap kau mau menerima perjodohan ini karena ayah sudah ingin melihatmu menikah. Lagipula kau pasti mengenalnya karena ia adalah salah satu seniormu saat di bangku senior high school."
Mendengar sederet kalimat yang diucapkan ayah padaku membuatku merasa penasaran dan akhirnya memutuskan untuk mendongakan kepalaku.
"Bagaimana, kau pasti sudah mengenalnya bukan?"
Aku membulatkan mataku terkejut hingga bola mataku mungkin nyaris menggelinding keluar dari rongga mataku.
"Donghae oppa."
"Kita bertemu lagi Yoong." Balasanya dengan santai sambil tersenyum manis kearahku. Aku menganga tak percaya di depannya dan mencoba bertanya pada ayah mengenai hal gila yang malam ini terjadi padaku. Apa-apaan ini? Aku tidak mengerti!
"Sejak dulu ayah berencana menjodohkanmu dengan Lee Donghae karena ia adalah pria yang pekerja keras dan juga pintar. Sejak ia lulus dari perguruan tinggi dengan nilai sempurna, ia bekerja menjadi salah satu staff di perusahaan ayah dan ia tidak pernah mengecewakan ayah. Dan dari tahun ke tahun kariernya di dunia bisnis semakin cemerlang. Jadi ayah memintanya untuk mendirikan perusahaan sendiri agar ia semakin berkembang dan tidak bergantung pada ayah. Apa kau mau menikah dengannya?"
Aku masih saja ternganga tak percaya dan sulit untuk berbicara karena aku terlalu terkejut dengan sebuah fakta yang baru kuketahui ini. Ternyata sejak dulu ayah sudah menjodohkanku dengan Donghae oppa, pantas saja sekarang ia sedang tersenyun-senyum sendiri seperti orang gila. Tapi bagaimana dengan Jiwon? Bukankah ia sudah menikah?
"Ayah, tapi ia sudah menikah." Ucapku sakarstik. Aku tidak mau menjadi korban penipuannya lagi dan merasakan sakit hati yang menyakitkan seperti beberapa hari ini kurasakan. Meskipun aku cukup senang jika pria yang dijodohkan denganku adalah Donghae oppa, tapi aku tetap tidak mau menikah dengannya jika ia nyatanya telah menikah dengan Jiwon.
"Menikah? Sejak kapan ia menikah? Ayah tidak pernah tahu jika Donghae telah menikah. Apa kau sudah menikah Donghae-ah?"
"Aku belum pernah menikah abeoji. Aku sama sekali belum pernah menikah." Jawabnya sambil menggelengkan kepalanya dengan cepat. Aku memberikan tatapan tajam kearahnya sambil mengangkat daguku angkuh. Seberapa banyak kebohongan yang akan ia berikan pada ayahku! Lee Donghae benar-benar pria brengsek yang menyebalkan!
"Lalu siapa itu Choi Jiwon, kau jangan pernah menipu ayahku dengan mengatakan jika kau sama sekali belum pernah menikah. Ayah, ia telah menipu kita semua." Tunjukku penuh emosi padanya. Ayah semakin bingung menatap kami berdua hingga ia tak bisa berkata apapun dan hanya menatap Donghae memohon penjelasan.
"Abeoji, aku sungguh belum pernah menikah. Ini hanyalah sebuah kesalahpahaman yang terjadi diantara kami."
"Kalau begitu selesaikanlah masalah diantara kalian karena aku tidak akan ikut campur dalam masalah kalian. Dan untukmu Yoona, ayah tidak akan memaksamu jika kau memang tidak mau menerima Lee Donghae sebagai calon suamimu, karena ayah hanya ingin putri ayah satu-satunya bahagia."
Aku tersenyum penuh kemenangan pada Donghae oppa sambil memberikan tatapan sinis yang mematikan. Huh, ia memang harus mendapatkan pelajaran atas semua perbutannya padaku.
"Terimakasih ayah. Dan aku memang akan mempertimbangkan perjodohan ini terlebihdulu. Aku tidak mau menikah dengan seorang pria yang tidak jelas seperti dirinya."
Ayahku menatap kami berdua sambil menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis pikir ketika melihat kami berdua saling melemparkan tatapan permusuhan satu sama lain. Lalu setelah ayahku benar-benar pergi, aku mulai membombardirnya dengan serangkaian pertanyaan menuduh yang sejak tadi telah bersarang di benakku.
"Apa kau bermaksud mempermainkanku? Apa kau ingin membuatku hancur berkeping-keping setelah melambungkanku dengan semua kelembutanmu yang palsu itu? Sekarang jelaskan semuanya padaku!"
"Aku mencintaimu." Ucapnya tegas namun terdengar frustrasi. Aku menatap malas padanya sambil menyilangkan kedua tanganku di depan dada. Apakah ia pikir aku akan dengan mudah jatuh ke dalam pelukannya hanya karena sebuah pernyataan cinta? Cuih, jangan harap!
"Aku sedang tidak ingin mendengarkan pengakuan cinta darimu, aku hanya ingin penjelasan darimu." Ucapku sinis. Donghae oppa menghembuskan nafasnya pelan dan mulai menatapku dengan intens. Huh, dia memang selalu tahu cara untuk meluluhkanku.
"Dengarkan aku Im Yoona, aku benar-benar mencintaimu. Sejak pertama kali kau menjadi juniorku, aku sudah tertarik padamu. Kau yang saat itu merupakan ratu sekolah dan anak dari pemilik sekolah tempatku menimba ilmu berhasil menarik perhatianku. Tapi sayangnya aku terlalu takut untuk menyatakan perasaanku padamu karena aku hanyalah pria miskin, anak dari tukang kebun sekolah. Dan saat malam perpisahan itu aku sedang emosi. Aku menamparmu bukan karena kau menghinaku, tapi karena aku marah saat melihatmu bersama dengan Taecyon. Padahal seharusnya saat itu kau menjadi pasanganku."
"Lalu kenapa kau berpelukan dengan Jiwon dan menikah dengan Jiwon?"
"Sudah kukatakan jika aku belum menikah. Aku dan Jiwon tidak memiliki hubungan apapun. Choi Jiwon adalah kakak iparku setelah ia menikah dengan kakakku empat tahun yang lalu. Tapi ketika mereka akan pergi berbulan madu ke Jeju, mereka mengalami kecalakaan. Kakakku meninggal, dan Jiwon mengalami cedera berat hingga ia tidak bisa mengandung lagi. Lalu setelah Jiwon benar-benar sembuh, keluargaku tidak tega meninggalkan Jiwon sendiri dengan segala rasa sakit akibat kehilangan suaminya dan juga kenyataan pahit yang menimpanya. Jadi ibuku menyuruhku untuk menjaga Jiwon karena Jiwon tidak mau hidup di desa dan hanya ingin hidup di Seoul. Dan mengenai kejadian sepuluh tahun yang lalu saat aku memeluk Jiwon, itu hanyalah bagian dari adegan drama yang akan diperankannya. Apa kau lupa jika di acara pesta pernikahan itu grup teater membuat sebuah drama dengan tokoh utama wanita yang diperankan oleh Jiwon?"
"Ya Tuhan, pasti ia sangat terluka saat aku menghinanya beberapa hari yang lalu. Aaaku... aku benar-benar tidak tahu jika kejadiannya memang seperti itu. Tapi, mengapa semua orang menyebut Jiwon sebagai isterimu?" Tanyaku galak padanya. Meskipun aku cukup percaya dengan pengakuannya, tapi aku tidak akan luluh dengan mudah padanya!
"Itu karena Jiwon sering datang ke kantor untuk mengantarkan makan siang, jadi beberapa karyawan di kantor mengira jika Jiwon adalah isteriku. Apalagi selama ini kami berdua memang sangat akrab satu sama lain, sehingga rumor itu semakin menyebar luas. Yoona, kumohon menikahlah denganku. Aku sudah menunggumu cukup lama hingga aku tidak bisa berpaling pada wanita lain." Mohonnya dengan wajah memelas. Namun aku tetap memasang wajah sinisku padanya sambil memalingkan wajahku kearah lain. Ia pikir akan semudah itu meminta maaf pada seorang wanita yang telah ia sakiti selama enam bulan ini? Andai saja aku tahu jika ia yang dijodohkan denganku, aku pasti akan kembali ke Korea sejak dulu. Tapi, kita memang tidak pernah tahu jika takdir sedang mempermainkan kita, jadi aku akan menganggap kejadian kemarin sebagai sebuah pelajaran untuk diriku sendiri.
"Tapi jika kau memang tidak menikah dengan Jiwon, mengapa ia juga mengaku sebagai isterimu?"
"Eee... itu karena aku yang menyuruhnya."
"Apa? Jadi selama ini kalian telah bersekongkol untuk mempermainkanku? Hebat! Kau memang aktor yang sangat hebat Lee Donghae!" Teriakku emosi. Tak bisa kubayangkan bagaimana sikap mereka selama ini di belakangku. Mereka pasti terus menertawakan kebodohanku karena telah masuk ke dalam perangkap permainan mereka.
"Yoona, aku hanya ingin membalas sakit hatiku padamu. Dulu kau menghinaku dan menolakku untuk menjadi suamimu saat ayahmu akan menjodohkanmu denganku. Jadi aku ingin sedikit bermain-main denganmu." Balasnya dengan sengit.
"Oh, jadi seperti itu. Kalau begitu aku juga akan membalasmu, aku tidak mau menikah denganmu! Aku akan mencari pria lain." Ucapku sinis. Memangnya hanya dia yang bisa mempermainakanku? Huh, aku juga akan mempermainkan perasaanya.
"Ck, kau tidak akan bisa menolakku Yoona, karena saat ini kau sedang mengandung benihku."
Apa! Darimana ia tahu jika aku sedang mengandung? Ya Tuhan, jangan sampai ayah mendengar berita ini. Ayah pasti akan sangat marah jika anaknya ini sering membohonginya dan pernah menjadi seorang wanita murahan demi mengemis cinta dari Lee Donghae brengsek ini.
"Sssttt!! Pelankan suaramu, ayahku akan mendengarnya. Darimana kau tahu jika aku sedang hamil?" Bisikku pelan di depan wajahnya. Ia tersenyum miring padaku sambil mendekatkan wajahnya di depanku. Sungguh, rasanya aku ingin mencakar wajah menyebalkan itu sekarang juga.
"Tentu saja aku tahu. Tujuanku mendekatimu agar aku dapat mengikatmu, jadi ketika aku melamarmu, kau tidak akan pernah bisa menjawab tidak dan hanya bisa menjawab ya karena kau telah mengandung anakku."
"Dasar licik! Kau benar-benar pria paling licik yang pernah kukenal. Kalau begitu kau harus menikahiku secepatnya sebelum perutku semakin membuncit karena ulahmu." Bisikku pelan. Namun dalam hati aku sedang memikirkan berbagai cara untuk membalasnya agar ia merasakan bagaimana kesalnya aku selama ini ketika menahan emosi selama menjadi kekasih gelapnya.
"Im Yoona..."
Aku terhenyak di tempat ketika melihatnya bersimpuh di depanku sambil menyodorkan sebuah cincin putih yang bertatahkan batu berlian yang sangat indah.
"Im Yoona, menikahlah denganku dan jadilah ibu dari anak-anakku. Aku berjanji akan selalu berusaha untuk membahagiakanmu. Meskipun aku pernah membuatmu menangis dan menyakitimu di masa lalu, di masa depan aku akan berusaha untuk tidak melakukannya lagi. Apa kau mau menerimaku menjadi calon suamimu."
Aku menutup mulutku tak percaya dengan air mata haru yang sudah membanjiri wajahku. Lagi-lagi untuk kesekian kalinya ia berhasil membuatku tidak bisa berkata-kata selain kata ya. Ia benar-benar pria yang mampu memporak-porandakan hatiku.
"Ya, aku akan menikah denganmu."
Ia pun memasangkan cincin berlian itu pada jari manisku dan mengecup keningku lama dengan penuh perasaan.
"Terimakasih karena kau telah memberikanku kesempatan sayang, aku sangat mencintaimu."
Aku memejamkan mataku rapat-rapat sambil terus mengucapkan terimakasih pada Tuhan atas kebahagiaan yang Ia berikan padaku hari ini. Meskipun kuakui jika kisah cinta kami tidak seindah yang kubayangkan, tapi pada akhirnya kami bisa bersatu untuk membangun sebuah ikatan yang lebih suci di hadapan Tuhan. Dan mulai detik ini aku juga akan berusaha menjadi seorang isteri dan juga ibu yang baik untuk keluarga kecilku kelak.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro