Lovesick Fool
Haiii!!! Ini cuma selingan aja yaa. Aq repost FF lama. Sama sekali g aq edit. Aq post apa adanya sesuai sama gaya tulisan aq dulu... haha skalian biar kalian bisa membandingkan tulisan aq yg dulu sama yg skrng... wkwkwk
Aq merasa dulu tulisanku gt amat.... hohoho
Tapi yaa udah laah yaa. So far so good. The more practice, the better ^^
Yoona Pov
Dia adalah pria paling dingin yang pernah kutemui. Wajahnya yang kaku selalu menampakan senyum segaris yang tidak bisa dikatakan sebagai sebuah senyuman. Setiap kali aku melihatnya jantungku terasa ingin melompat dari rongganya. Entah apa yang dilakukan pria dewasa itu padaku, tapi ia berhasil membuatku jatuh cinta padanya ketika aku berusia delapan belas tahun. Dia adalah cinta pertamaku.
Sekarang usiaku telah menginjak dua puluh satu tahun. Jadi sudah tiga tahun lamanya aku mengagumi pria itu dari kejauhan. Memandanginya dari kejauhan sambil berandai-andai jika suatu saat aku bisa bersanding dengannya di altar. Andai ia adalah pria biasa, mungkin aku akan lebih mudah untuk menggapainya. Sayangnya ia adalah pria yang tidak biasa. Sangat tidak biasa! Ia adalah jenderal Korea Selatan, pemimpin pasukan keamanan presiden yang terkadang juga mengawal ayahku yang merupakan seorang menteri.
Tapi menurut rumor yang beredar, pria itu sebenarnya adalah anak angkat presiden. Dulu, menurut cerita yang sering kudengar dari wanita-wanita tukang gosip di Blue House, presiden menemukan pria itu ketika ia sedang kabur dari panti asuhan dan tanpa sengaja menabrak tuan presiden ketika sedang berjalan-jalan bersama isterinya. Karena saat itu tuan presiden... ahh, lebih baik jika aku menyebutnya paman Kang Hyunjeong, jadi saat itu paman Hyunjeong belum memiliki anak, sehingga ia memutuskan untuk mengadopsi pria itu sebagai anaknya. Tapi entah mengapa selama aku mengikuti ayahku dalam acara kenegaraan, aku belum pernah melihat pria itu pulang ke kediaman pribadi paman Hyunjeong. Justru yang kutahu ia memiliki rumah yang ia tinggali sendiri bersama beberapa anak buahnya yang berjaga di sekitar rumahnya.
Selain itu ia masih memiliki banyak hal yang selalu ia tutup rapat-rapat dari orang lain. Hal itulah yang membuatku tertarik padanya. Di saat semua orang memuji kecantikanku, mengagumi kepintaranku, dan menyukai segala hal yang ada pada diriku, ia justru terlihat biasa saja dan terkesan mengabaikanku. Pernah suatu kali aku mengajaknya mengobrol ketika aku sedang menunggu ayahku yang sedang memimpin rapat bersama menteri yang lain, tapi pria itu justru terdiam kaku di sebelahku tanpa sedikitpun merespon ucapanku. Sungguh, itu rasanya sangat menyebalkan. Bagaimana mungkin ia bisa mengabaikan wanita cantik sepertiku? Kadang aku berpikir jika ia adalah seorang pria yang menyukai sesama jenis karena selama ini yang kutahu ia sangat dekat dengan salah satu anak buahnya, yang juga merupakan rekan satu tim ketika pelatihan dulu. Pria itu adalah Lee Hyukjae. Berbeda dengan Lee Donghae, Lee Hyukjae sangat ramah dan juga memiliki selera humor yang tinggi. Beberapa kali kami terlibat obrolan seru hingga membuatku tidak merasa jenuh ketika harus menemani ayah bertugas. Sayangnya aku tidak memiliki rasa apapun pada Hyukjae oppa, ia lebih seperti kakakku sendiri, sehingga aku selalu merasa nyaman ketika bersamanya.
Namun kedua pria itu sama hebatnya. Saat mereka bertugas, mereka akan menjadi tim yang sangat mengerikan. Ketangguhan mereka dalam bertugas dan melindungi negara telah menyebar luas di seantero Korea. Tak diragukan lagi jika mereka adalah sosok pria-pria hebat yang akan membuat wanita berteriak heboh karena kejantanan mereka. Oh Damn! Bahkan aku sangat menginginkan Jenderal Lee menjadi pelindungku. Benar-benar pelindung yang akan melindungiku hingga aku mati, lebih tepatnya menjadi pasangan hidupku.
Siang ini aku kembali menemani ayahku untuk bertemu dengan paman Hyunjeong di Blue House. Dari kejauhan aku dapat melihat jenderal Lee sedang mengamankan area sekitar Blue House karena akhir-akhir ini banyak sekali kabar yang menyebutkan jika beberapa kelompok radikal dari luar negeri atau teroris sudah menyebar di Korea Selatan. Jadi penjagaan untuk paman Hyunjeong semakin diperketat. Tapi ditengah kekhawatiran masyarakat Korea mengenai isu teroris, aku justru merasa gembira. Dengan adanya isu itu, kesempatanku untuk melihat jenderal Lee dari dekat semakin besar. Bahkan hampir disetiap acara kenegaraan, jenderal Lee selalu hadir untuk memastikan jika presiden dalam keadaan aman. Ini benar-benar berkah untukku!
"Nona Yoona, anda diminta oleh tuan menteri untuk menunggu di ruangannya."
"Tidak perlu, aku akan menunggu di sini." Tolakku halus. Tentu saja aku tidak mau pergi dari sini karena aku masih asik dengan jenderal Lee yang tampan. Ya Tuhan.. aku menyukai tatapan matanya yang tajam dan tegas itu. Ia benar-benar pria seksi yang sangat menggairahkan! Omo! Jenderal Lee melihatku. Pria itu menatapku intens dengan mata elangnya hingga membuat tubuhku bergetar. Ya ampun.. aku bisa meleleh dengan tatapan tajamnya itu.
"Nona Yoona, kau tidak lelah?"
Tiba-tiba seseorang yang tidak kuharapkan kehadirannya berdiri di hadapanku dan menghalangiku untuk melihat jenderal Lee ku yang tampan. Ckk.. Hyukjae oppa memang pria sialan!
"Kapten Lee Hyukjae yang terhormat, tolong menyingkirlah dari hadapanku sekarang juga karena kau menghalangi mataku untuk melihat..."
"Jenderal Lee yang tampan?" Sela Hyukjae oppa dengan senyum anehnya. Aku menggerutu sebal di depannya dan langsung menggeser paksa tubuhnya dengan tangaku. Tapi ketika tubuh Hyukjae oppa sudah benar-benar menyingkir, jenderal Lee sudah menghilang. Huhh, ini semua karena Lee Hyukjae yang menyebalkan!
"Oppa, kau membuatku tidak bisa menatapnya. Lihat, sekarang ia sudah pergi." Gerutuku kesal. Hyukjae oppa terbahak-bahak dengan puas lalu memutuskan untuk duduk di sampingku.
"Ia memiliki tugas lain hari ini, jadi ia menyuruhku menggantikan tugasnya untuk mengamankan tuan presiden."
"Dia pergi? Kemana?"
Entah sejak kapan perasaan ini muncul. Tapi aku selalu merasa was-was jika Hyukjae oppa mulai memberitahuku mengenai tugas-tugas baru yang harus diselesaikan jenderal Lee. Setiap hari aku selalu memohon pada Tuhan untuk melindungi jenderal Lee karena ia memiliki resiko pekerjaannya yang sangat berbahaya. Aku tidak mau kehilangannya. Tidak sebelum aku menyatakan perasaanku yang sebenarnya.
"Dia pergi untuk menangkap penjahat negara. Tidak perlu mencemaskannya, ia pasti akan baik-baik saja."
Hyukjae oppa memang selalu tahu apa yang kurasakan. Sepertinya Hyukjae oppa lebih pantas menjadi kakakku karena ia selalu memahamiku lebih daripada aku memahami diriku sendiri. Terlebih sejak kecil aku tidak memiliki ibu. Ibuku meninggal ketika melahirkanku. Jadi aku tumbuh dewasa tanpa mendapatkan sentuhan kasih sayang dari seorang ibu. Disaat teman-temanku berbagi kisah dengan ibu-ibu mereka, aku justru harus memendamnya sendiri karena ayah terlalu sibuk untuk mendengarkan setiap ocehan yang keluar dari mulutku. Tapi sejak aku mengenal Hyukjae oppa, aku bisa menceritakan semua masalahku padanya. Tidak ada apapun yang aku sembunyikan darinya. Bahkan aku mengakui perasaanku untuk jenderal Lee padanya. Dan mungkin jenderal Lee sebenarnya mengetahui tentang perasaanku itu. Hanya saja ia memilih mengabaikannya karena aku tidak sebanding dengannya. Ia hanya menganggapku sebagai anak kecil manja yang selalu mengekor di belakang ayahku kemanapun ayahku pergi. Yah.. memang seperti itulah diriku.
Yoona Pov End
-00-
"Nona Im Yoona, mobil yang akan mengantar anda pulang sudah siap di depan."
Yoona menolehkan kepalanya cepat pada seorang wanita berjas hitam yang merupakan anggota keamanan negara. Wanita yang menggunakan earphone di telinga itu tampak mempersilahkan Yoona untuk pergi menuju pintu depan karena mobil yang akan mengantarnya sudah siap.
"Pulang? Apa ayah yang menyuruhku untuk pulang?" Tanya Yoona tidak mengerti. Rencananya hari ia akan menemani ayahnya hingga rapat selesai lalu pergi makan siang bersama untuk merayakan hari anniversary pernikahan ayah dan ibunya. Tapi sepertinya sang ayah tidak bisa memenuhi janjinya sekarang. Terbukti dengan adanya mobil yang sudah dipersiapkan untuk mengantarnya pulang. Mungkin ayahnya malam ini tidak akan pulang ke rumah.
"Ya, tuan Im Jaehyuk yang meminta anda untuk pulang terlebihdulu nona, karena setelah rapat ini selesai tuan Im Jaehyuk akan terbang ke Taiwan untuk mengurusi beberapa pekerjaan di sana."
Yoona menghela napas kecil mendengar penjelasan dari wanita itu. Ia tahu ayahnya memang sangat sibuk. Jadi ia tidak bisa berharap banyak atau merajuk seperti anak kecil agar ayahnya menepati janjinya. Sekarang ia telah dewasa. Ia tahu bagaimana sulitnya menjadi ayahnya yang harus membagi waktu antara keluarga dan juga pekerjaannya yang banyak.
"Pulanglah. Lain kali kau masih bisa pergi dengan ayahmu." Ucap Hyukjae pelan. Pria itu tersenyum menenangkan dan menepuk bahu Yoona dua kali agar Yoona tidak terlihat murung karena rencana makan siangnya dengan sang ayah terpaksa dibatalkan.
"Aku tidak apa-apa. Aku tahu bagaimana kesibukan ayah. Kalau begitu aku pulang sekarang, jaga diri oppa baik-baik."
Yoona tersenyum manis pada Hyukjae dan segera melangkah pergi bersama wanita berjas yang ditugaskan untuk mengawalnya hingga pintu depan.
Selama melangkahkan kakinya di lorong-lorong bangunan Blue House yang luas Yoona terus menerka-nerka, siapa yang malam ini akan ditugaskan untuk menjaganya. Biasanya jika ayahnya tidak pulang ke rumah, ayahnya akan menugaskan beberapa penjaga tambahan yang bertugas untuk menemaninya di rumah. Sayangnya terkadang ia merasa kesal dengan penjaga-penjaga itu karena mereka tidak pernah memperlakukannya dengan hangat. Mereka semua terlalu menjaga batas dengannya hingga rasanya ia seperti hidup sendiri di tengah-tengah puluhan penjaga yang berjaga disekitar rumahnya.
"Silahkan nona."
Wanita berjas itu membukakan pintu mobil di depannya lebar-lebar dan menundukan kepalanya kecil sebagai bentuk penghormatan pada Yoona.
"Terimakasih." Ucap Yoona ramah dan balas membungkuk pada wanita itu. Ia tahu jika umur wanita itu lebih tua darinya. Jadi ia merasa harus membalas bungkukan tubuh wanita itu seperti apa yang sering diajarkan ayahnya saat ia masih kecil.
"Nona Im, silahkan gunakan sabuk pengaman anda."
Yoona membeku di tempat sambil menatap kaca spion di depannya. Sepasang mata sendu yang selama ini selalu ia perhatikan diam-diam kini sedang menatapnya dengan tatapan meneduhkan. Meskipun sorot mata pria itu tajam, namun Yoona justru merasa hangat ketika kedua iris hitam milik Lee Donghae bertubrukan dengan iris karamelnya. Ia seperti merasakan getaran-getaran listrik kecil yang merambat melalui matanya lalu menjalar ke seluruh tubuhnya. Semakin lama getaran-getaran itu membuat tubuhnya terasa panas hingga ia merasakan kedua pipinya kini juga ikut memanas seiring dengan tatapan pria itu yang semakin intens. Namun tak berapa lama Donghae mengalihkan tatapan matanya pada jalanan di depannya dan mulai menjalankan mobilnya meninggalkan halaman luas Blue House.
"Anda sudah memasang sabuk pengaman anda?"
Tanpa menatap kaca spion di depannya, Donghae bertanya lagi pada Yoona agar wanita itu tidak lupa memasang sabuk pengaman di tubuhnya agar ia tetap aman.
"Sudah." Jawab Yoona pelan. Ia terlihat begitu gugup di dalam mobil hingga ia terlihat seperti patung karena posisi duduknya yang benar-benar tidak relaks. Namun ia berusaha tenang sambil menghembuskan napasnya pelan. Saat-saat seperti ini adalah sebuah kesempatan baginya untuk lebih banyak berbicara dengan Lee Donghae. Jika biasanya ia hanya puas dengan memandangi Donghae dari kejauhan, maka sekarang Tuhan telah memberinya kesempatan untuk membuat pria itu sedikit meliriknya.
"Apa kau yang ditugaskan untuk menjagaku malam ini?"
Yoona merasa sedikit aneh dengan ucapannya sendiri. Seperti ia sedang bertanya pada kekasihnya. Padahal pria itu memang sudah seharusnya menjaganya karena sang ayah tidak pulang malam ini.
"Benar nona, saya yang akan berjaga di rumah anda bersama anak buah saya yang lain."
Yoona tanpa sadar mendengus gusar dengan gaya bicara Donghae yang terlalu formal. Sebenarnya pria itu benar, karena ia sedang bekerja sehingga ia mengutamakan profesionalitasnya. Tapi bisakah ia bersikap biasa saja di depannya? Ia tidak suka diperlakukan berlebihan seperti itu karena ia tetap saja wanita biasa.
"Tapi kenapa Hyukjae oppa mengatakan kau memiliki tugas lain? Ahh.. dia pasti telah menipuku."
Yoona bergumam pelan sambil membayangkan wajah Hyukjae yang mungkin saat ini sedang tertawa puas karena berhasil menipunya.
"Kapten Lee Hyukjae benar, karena ini adalah tugas saya."
"Bisakah kau menggunakan bahasa informal? Aku risih saat mendengarnya."
Donghae melirik Yoona dari balik kaca spionnya dengan wajah dingin tanpa ekspresi. Melalui wajahnya Yoona tahu jika Donghae tidak setuju karena pria itu sangat menjunjung tinggi profesionalitas dalam bekerja. Tapi ia sungguh tidak menyukainya. Bukan hanya pria itu saja yang ia minta untuk bersikap informal padanya. Seluruh penjaga di rumahnya dan penjaga-penjaga yang lain akan ia mintai hal serupa karena ia sangat muak mendengarkan kalimat-kalimat kaku itu disekitarnya.
"Jika itu memang keinginanmu, aku akan melakukannya."
Yoona tersenyum puas sambil melirik Donghae yang sudah kembali fokus pada jalanan di depannya. Meskipun ia sedikit kecewa karena tidak bisa memandang mata teduh itu lagi, tapi ia bertekad akan melakukan segala macam cara agar ia bisa lebih dekat pada jenderal dingin itu. Kali ini ia harus berhasil mendapatkan hati pria itu.
-00-
Ketika tiba di rumahnya, Yoona langsung melompat turun dan segera berjalan masuk ke dalam rumahnya. Beberapa penjaga berseragam yang ditugaskan oleh ayahnya untuk menjaganya langsung menunduk hormat ketika ia melangkahkan kakinya ke dalam rumah mewahnya. Dan bungkukan itu terus berlanjut ketika mereka melihat pemimpin tertinggi mereka sedang berjalan tenang ke dalam rumah milik menteri Im Jaehyuk bersama putri menteri itu.
"Apa semuanya aman?"
"Aman jenderal! Tidak ada apapun yang perlu dikhawatirkan."
Donghae mengangguk kecil dan segera berjalan masuk ke dalam rumah menteri Im untuk memastikan keadaan Yoona.
"Jenderal Lee, kau ingin minum sesuatu?"
Donghae melihat Yoona sedang melongokan kepalanya dari ujung pintu dapur. Pria itu tanpa kata menyusul Yoona yang sudah berada di dapur lalu duduk di atas kursi pantry.
"Cukup air putih saja."
Yoona mengernyitkan dahinya sangsi dengan sikap dingin Donghae yang sudah benar-benar kelewat batas itu. Tidak bisakah pria itu bersikap biasa saat bersamanya? Bukankah mereka saat ini hanya berdua di dalam dapur? Tidak ada salahnya jika Lee Donghae melepaskan topeng dinginnya dan mulai bersikap hangat pada adik kecilnya yang manis itu.
"Kenapa kau sangat kaku jenderal Lee? Sesekali aku ingin mengobrol santai denganmu."
Yoona terlihat frustrasi sambil meletakan segelas air putih di depan Donghae. Seharusnya pria itu bisa bersikap lebih santai dengannya karena keluarga presiden Kang dan ayahnya sangat dekat sejak kecil hingga ia sudah terbiasa bermain di rumah paman Kang bersama putra paman Kang yang usianya hanya terpaut tiga tahun lebih tua darinya, Kang Taecyeon. Namun dulu ia memang tidak banyak berinteraksi dengan Lee Donghae karena pria itu selalu sibuk berlatih dan belajar untuk masuk ke camp militer. Ketika ia berusia tujuh tahun, Lee Donghae sudah berusia tujuh belas tahun, tak heran jika dulu mereka tidak pernah terlihat dekat seperti ia dengan Taecyeon. Ia hanya sesekali menyapa Donghae ketika pria itu sedang berada di rumah sambil menatap pria itu aneh karena dulu Donghae sangat pendiam. Sayangnya ketika ia berusia dua belas tahun dan kembali berkunjung ke rumah paman Kang, Donghae sudah pindah. Pria itu memilih tinggal sendiri dan menjauh dari keluarganya karena ia tidak ingin terlihat lemah. Sejak ia berusia dua puluh tahun ia mulai sadar jika suatu saat keluarga pasti akan menjadi titik lemahnya. Seperti apa yang terjadi pada ayah kandungnya sebelum meninggal. Keluarga menjadi titik lemah ayahnya hingga sang ayah harus tewas dalam keadaan yang mengenaskan bersama ibunya karena dibunuh oleh kakaknya sendiri. Jadi sebisa mungkin ia mencoba menjauh dari keluarga angkatnya. Ia tidak mau keluarga angkatnya terluka karena ia sebenarnya sangat menyayangi mereka. Ia sangat berterimakasih pada ayah angkatnya, presiden Kang, yang telah mengadopsinya dari panti asuhan dan memberikan banyak limpahan kasih sayang untuknya. Oleh karena itu ia rela memberikan apapun yang dimilikinya untuk keluarga presiden Kang. Apapun yang bisa ia berikan untuk membalas kebaikan mereka, pasti ia akan langsung memberikannya tanpa harus berpikir dua kali.
"Kita tidak perlu mengobrol. Lanjutkan saja kegiatanmu."
"Aku tahu kau ini sangat dingin dan angkuh jenderal. Tapi aku yakin kau memiliki sisi hangat yang bisa kau tunjukan padaku. Kau bukan monster atau pembunuh berdarah dingin seperti yang mereka katakan selama ini. Jadi bersikaplah seperti manusia biasa."
Donghae manatap iris karamel Yoona tajam. Pria itu memandang Yoona cukup lama hingga Yoona merasa gugup. Tanpa sadar ia meremas-remas tangannya sendiri di bawah meja tanpa berani menatap iris pekat Donghae yang begitu mengerikan. Ia menyesal telah mengatakan kata-kata lancang itu pada Donghae. Dan ia tidak menyangka jika ucapannya itu membuat Donghae bersikap mengerikan di depannya.
"Mereka benar tentangku. Aku adalah monster dan seorang pembunuh berdarah dingin. Jadi jangan berharap lebih padaku."
Pria itu kemudian memundurkan sedikit kursinya dan berjalan pergi meninggalkan Yoona sendirian di dapur. Tak peduli wanita itu akan terluka dengan sikapnya atau akan menilainya sebagai pria jahat yang tak memiliki hati. Karena memang seperti itulah dirinya. Ia tidak suka berpura-pura atau membuat orang lain terkesan pada dirinya karena ia hanya ingin menjadi dirinya sendiri.
-00-
Sore hari yang mendung, rintik-rintik hujan mulai berjatuhan membasahi jalanan lenggang disekitar Blue House. Daun-daun kering yang kekuningan berterbangan kesana kemari tertiup angin dingin bercampur hujan yang semakin lama semakin deras. Ditengah-tengah derasnya hujan yang mengguyur kota Seoul, sebuah mobil sedan berwarna hitam tampak memasuki kawasan Blue House yang luas dengan diiringi oleh beberapa mobil lain di belakangnya. Mobil yang melaju kencang melintasi jalanan licin itu membawa seorang penumpang penting di dalamnya. Seorang pria dengan garis wajah tegas yang saat ini sedang menatap kosong rintik-rintik hujan di luar jendela mobilnya dengan berbagai macam perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya. Pria itu beberapa kali menghela napas pendek dan tampak enggan untuk keluar dari dalam mobil. Namun ketika beberapa orang suruhan ayahnya telah menunggunya di luar sambil menyiapkan payung untuknya, mau tidak mau ia segera turun dari mobil mewah itu dan berjalan masuk bersama pria-pria berjas yang telah disiapkan oleh ayahnya untuk menyambut kepulangannya dari Kanada sore ini.
"Selamat datang di Korea tuan Taecyeon."
Taecyeon tersenyum tipis pada salah satu asisten ayahnya dan segera melangkah masuk ke dalam ruangan ayahnya. Kepulangannya ke Korea kali ini bukan tanpa alasan. Sejak tiga hari yang lalu ayahnya terus menghubunginya dan menyuruhnya untuk segera kembali ke Korea. Ia yakin ayahnya pasti memiliki sebuah rencana untuknya. Rencana yang mungkin bisa mengacaukan masa depannya karena ia sebenarnya tidak begitu suka dengan kehidupan yang diciptakan oleh ayahnya. Ia lebih suka kehidupan bebasnya di Kanada dan menjadi seorang seniman. Sejak dulu ia selalu bercita-cita menjadi seorang seniman, tapi ayahnya yang keras itu terus memaksanya dan mendikte hidupnya untuk menjadi tokoh masyarakat agar sama seperti ayahnya. Padahal ia tidak menyukainya. Ia tidak suka menjadi sorotan publik dan hanya ingin hidup normal bersama orang-orang yang ia sayangi. Terkadang ia merasa iri dengan kakaknya. Kakak angkatnya itu mampu membuat ayahnya luluh dengan semua pilihannya dan selalu bangga dengan setiap prestasi yang dicapainya. Terlebih lagi sang kakak kini telah berhasil menjadi seorang jenderal tertinggi di Korea Selatan. Sedangkan dirinya tidak pernah menjadi apapun yang berharga di mata ayahnya karena ia tidak pernah bernar-benar melakukan sesuatu dengan senang hati. Semua hal yang ia lakukan ini semata-mata karena perintah ayahnya.
"Akhirnya kau tiba juga Taecyeon.
Pria paruh baya itu menyambut kedatangan anaknya tanpa mengalihkan perhatiannya pada setumpuk berkas-berkas yang perlu ia pelajari. Hari ini ia terlihat sangat sibuk karena ia harus segera memeriksa berkas-berkas itu sebelum ia pergi ke Taiwan bersama beberapa menteri yang lain sore ini.
"Ada apa? Kenapa ayah menyuruhku pulang?" Tanya Taecyeon terlihat tidak sopan. Pria itu merasa tidak perlu bersikap hormat pada ayahnya karena ayahnya juga tidak pernah menghormatinya.
"Ayah akan memberitahumu setelaha ayah pulang dari Taiwan. Apa kau sudah bertemu ibumu?"
Taecyeon mengetatkan rahangnya dan berusaha mengontrol emosinya agar tidak meledak di depan ayahnya. Ia tidak mau hari pertamanya di Korea menjadi buruk karena emosinya yang meluap-luap.
"Belum. Setelah pesawatku mendarat, aku segera pergi ke sini karena menurut asisten ayah, ayah ingin bertemu denganku secepatnya."
"Ya, tapi untuk saat ini ayah tidak bisa. Jadi lebih baik ayah memberitahumu setelah ayah kembali dari Taiwan. O..iya, temuilah kakakmu. Ia pasti senang melihatmu kembali."
Taecyeon mendengus pelan sambil mengalihkan tatapannya dari sang ayah. Tanpa sengaja ekor matanya menatap deretan foto yang dipasang oleh ayahnya di dalam ruang kerjanya. Dalam salah satu foto yang dipasang di sana, ia melihat sang ayah tampak begitu bangga merangkul pundak kakaknya ketika sang kakak mendapatkan gelar jenderal untuk pertama kalinya satu tahun yang lalu. Sementara di foto lain ayahnya tampak begitu datar tanpa merangkul pundaknya ketika ia baru saja diwisuda dari senior high school enam tahun yang lalu.
Ayah memang tidak pernah menyayangiku...
"Kenapa kau masih di sini? Ayah sedang tidak bisa berbicara denganmu sekarang."
Kang Hyunjeong mengusir anaknya santai tanpa mempedulikan perasaan Taecyeon yang terluka. Pria itu kemudian bangkit berdiri begitu saja dan hendak meninggalkan ruangan milik ayahnya. Tapi tiba-tiba pintu di ruangan ayahna terbuka begitu saja dan menampilkan sosok sang asisten yang datang sambil membawa berkas-berkas lain yang perlu diteliti atasannya.
"Tuan, Jenderal Lee ingin bertemu dengan anda sebentar. Saat ini ia sedang menunggu di luar."
"Suruh dia masuk. Kebetulan aku juga ingin bertemu dengannya."
Taecyeon merasakan adanya perbedaan dalam nada suara ayahnya. Sang ayah terlihat lebih bersemangat ketika hendak bertemu kakaknya. Padahal sebelumnya pria itu mengatakan jika ia sangat sibuk. Tapi ia rela mengorbankan waktu sibuknya untuk bertemu sang kakak. Berbeda dengannya, sang ayah sama sekali tidak mau meluangkan waktunya untuk bertemu dengannya. Padahal ia datang ke Korea karena permintaan ayahnya. Tapi pria itu justru mengabaikannya.
"Hyung..."
Taecyeon menyapa Donghae dan memeluk pria itu hangat. Jika ia membenci ayahnya, maka ia justru sangat menyayangi kakaknya. Sejak dulu ia tidak pernah membenci Donghae meskipun pria itu jelas lebih banyak mendapatkan perhatian dari ayahnya. Selama ini ia selalu menghormati Donghae dan menyayangi Donghae seperti kakaknya sendiri. Begitupun dengan Donghae, ia juga selalu menyayangi Taecyeon. Apapun yang ia miliki selalu ia berikan pada Taecyeon agar Taecyeon merasa bahagia karena ia sadar jika selama ini sang ayah lebih menyayanginya daripada Taecyeon.
"Kapan kau datang?"
"Pesawatku baru saja mendarat empat puluh menit yang lalu. Bagaimana kabarmu hyung? Kau sepertinya semakin gagah sekarang." Canda Taecyeon sambil mengamati perubahan postur tubuh Donghae yang semakin tegap dan kekar di depannya. Ia tahu jika selama ini sang kakak selalu berlatih keras untuk menjadi jenderal yang hebat.
"Biasa saja. Tidak ada yang berubah dariku. Sekarang kau terlihat semakin dewasa."
"Ah, tidak juga." Ucap Taecyeon malu sambil mengelus tengkuknya kikuk. Kedua kakak beradik itu sebentar saja langsung terlibat percakapan seru hingga melupakan tujuan mereka sebelumnya.
"Jenderal Lee, presiden Kang telah menunggu anda di dalam."
Tiba-tiba asisten presiden Kang muncul dan mengingatkan Donghae untuk segera masuk ke dalam ruangan ayah angkatnya. Taecyeon yang mengerti situasi langsung buru-buru pamit pada kakaknya dan menyuruh sang kakak untuk segera masuk ke dalam ruangan ayahnya.
"Cepatlah masuk, jangan membuat ayah menunggu lama,"
Tanpa berkata-kata lagi Donghae segera masuk ke dalam ruangan ayahnya dan meninggalkan Taecyeon sendiri dengan perasaan hampa yang kembali melingkupi hatinya. Seharusnya ia memang tidak pulang dan tinggal di Ottawa saja. Rasanya pulang ataupun tidak tetap sama saja. Sama-sama merasa sendiri dan terasingkan. Bahkan di negaranya sendiri.
"Taecyeon, kau kah itu?"
Taecyeon reflek mendongakan kepalanya ketika seseorang tiba-tiba memanggilnya. Dengan senyum yang merekah di wajahnya Taecyeon segera berjalan menghampiri pria paruh baya yang telah menyapanya lalu membungkuk hormat di depan pria paruh baya itu.
"Selamat sore paman Im Jaehyuk, lama tak berjumpa."
Dua orang berbeda generasi itu lantas saling berpelukan dan tertawa bersama untuk beberapa saat.
"Kau sekarang terlihat semakin tampan dan dewasa. Bagaimana Kanada? Apa menyenangkan tinggal di sana?" Goda Im Jaehyuk sambil menaik turunkan alis matanya. Pria itu meskipun usianya tidak muda lagi, namun jiwanya masihlah seperti anak muda karena putri satu-satunya yang tidak mengijinkannya untuk menua secara mental. Jadilah ia selalu mengikuti berita terbaru mengenai anak-anak muda Korea Selatan agar ia dapat mengimbangi putri semata wayangnya yang cerdas dan juga cerewet.
"Di Kanada memang lebih menyenangkan daripada Korea Selatan paman. Di sana tidak ada aturan yang begitu mengikat tentang budaya seperti di Korea. kehidupan di sana jauh lebih bebas dan juga fleksibel. Setelah tinggal di sana aku justru terkadang malas untuk pulang ke Seoul."
Plakk
"Jangan seperti itu, bagaimanapun Korea adalah negara asalmu. Meskipun wanita-wanita di Korea tidak secantik wanita Kanada, tapi jangan pernah merasa bosan dengan negaramu sendiri."
Im Jaehyuk memukul lengan Taecyeon pelan sambil memperingati pria muda itu dengan sedikit candaan yang terselip di setiap kalimatnya. Taecyeon sendiri merasa apa yang dilakukan oleh teman dekat ayahnya itu bukan sebuah bentuk kemarahan, tapi sebegai bentuk nasihat yang disampaikan oleh ayah kepada anaknya. Seharusnya ayahnya juga bisa memperlakukannya sama seperti Im Jaehyuk memperlakukannya. Tapi sayangnya ayahnya tidak bisa. Ayahnya adalah pria yang terlalu kaku dan otoriter tanpa selera humor seperti yang dimiliki oleh Im Jaehyuk.
"Ngomong-ngomong, bagaimana kabar Yoona sekarang paman? Kudengar Yoona sekarang sedang menempuh jenjang masternya di Seoul University, kenapa paman tidak mengirimnya ke luar negeri?"
"Ah anak itu."
Im Jaehyuk mendesah pelan ketika membicarakan putri manjanya. Lalu ia kembali melanjutkan ucapannya pada Taecyeon yang masih setia menunggu kelanjutan ceritanya.
"Paman bahkan sudah bosan memintanya untuk berkuliah ke luar negeri. Sejak ia lulus dari senior high school ia tidak pernah mau melanjutkan studi ke luar negeri. Alasannya karena ia tidak ingin berpisah dari ayahnya. Anak itu bahkan sering mengikuti paman kemanapun paman pergi. Jika ia tidak sedang sibuk, ia pasti akan menemani paman melakukan rapat di beberapa kota atau menunggu paman menyelesaikan rapat di Blue House. Hari ini ia juga datang ke sini karena rencananya kami akan makan siang bersama untuk merayakan hari anniversary pernikahan paman, tapi sayangnya paman tiba-tiba harus memimpin rapat yang cukup alot hingga paman terpaksa membatalkan rencana paman untuk makan siang bersama. Malam ini hyungmu yang akan menjaga Yoona. Karena beberapa bulan terakhir ini sering beredar kabar mengenai kelompok-kelompok radikal yang telah memasuki Korea Selatan, paman jadi sedikit was-was dengan keselamatannya. Yoona adalah anak paman satu-satunya, paman tidak mau terjadi sesuatu yang buruk padanya."
Taecyeon menganggukan kepala mengerti sambil tersenyum kecil memaklumi sikap protektif Im Jaehyuk. Dulu ia dan Yoona sangat dekat. Umur mereka yang tak terpaut jauh membuat mereka cocok satu sama lain dan sering menghabiskan waktu bersama sepulang sekolah. Entah ia yang datang ke rumah Yoona atau Yoona yang datang ke rumahnya untuk bermain, yang jelas mereka sering menghabiskan waktu bersama hingga usia Yoona menginjak dua belas tahun. Setelah itu ia terlalu disibukan dengan masa-masa senior high schoolnya yang indah. Dimana ia mulai belajar mengenal wanita, berpacaran, bahkan tawuran hingga menyebabkan ayahnya dipanggil oleh pihak sekolah. Dan setelah ia lulus dari senior high school ia memutuskan untuk melanjutkan studinya ke Kanada agar ia tidak perlu bertemu dengan ayahnya lagi. Sejak dulu ia sadar jika ia dan ayahnya bagaikan api dan air yang tidak akan pernah bisa bersatu meskipun dipaksakan sekalipun.
"Menteri Im, selamat sore."
"Jenderal Lee, senang bertemu denganmu. Bagaimana, apa putriku merepotkan?"
Donghae tersenyum samar pada Im Jaehyuk sambil menggelengkan kepalanya kecil. Sejauh ini Yoona belum merepotkan. Hanya saja wanita itu terlalu cerewet dan terlalu menuntutnya untuk melakukan ini dan itu hingga ia merasa kesal dengan wanita itu. Beruntung ia masih bisa mengontrol emosinya saat di depan wanita itu dan tidak sampai membentaknya.
"Syukurlah jika ia tidak merepotkanmu. Anak itu sebenarnya tidak terlalu suka melakukan hal-hal aneh yang di luar batas, tapi sikap cerewetnya yang di luar batas itu kadang membuat orang lain yang berada di sekitarnya menjadi tidak nyaman."
Dalam hati Donghae membenarkan ucapan Im Jaehyuk jika Yoona adalah gadis yang cerewet karena ia sudah membuktikannya sendiri beberapa jam yang lalu.
"Yoona pasti sudah banyak berubah. Aku tidak sabar untuk bertemu dengannya." Komentar Taecyeon. Im Jaehyuk menggangguk setuju.
"Datanglah ke rumah paman. Yoona pasti senang melihatmu kembali dari Kanada."
"Pasti aku akan datang ke rumah paman. Aku juga merindukan saat-saat aku bermain bersama Yoona dulu."
Donghae terlihat menyimak sekilas pembicaraan antara adiknya dan juga menteri Im tanpa banyak berkomentar. Sejak dulu ia memang tidak terlalu dekat dengan Im Jaehyuk. Ia hanya sebatas mengenal Im Jaehyuk sebagai teman dekat ayahnya karena hari-harinya dulu lebih disibukan dengan belajar dan berlatih untuk masuk ke camp pelatihan militer. Terkadang hatinya juga merasa hampa karena ia tidak memiliki siapapun yang benar-benar dekat dengannya. Namun ia selalu memupus perasaan hampa itu dengan menghabiskan hari-harinya di camp pelatihan untuk melatih anak buahnya agar ia tidak merasa sendiri dan kesepian.
"Sepertinya aku harus segera ke bandara bersama ayah kalian. Kami memiliki agenda kerja di Taiwan. Jenderal Lee, tolong jaga Yoona dengan baik." Pesan Im Jaehyuk sebelum pergi sambil menepuk pundak Taecyeon pelan.
"Kau sudah bertemu ibu?"
"Belum. Aku langsung datang ke sini setelah pesawatku mendarat karena ayah mengatakan ingin membicarakan hal penting padaku."
"Kalau begitu aku akan mengantarmu."
Tanpa banyak berkata-kata, Donghae langsung berjalan menuju mobilnya yang terparkir di halaman parkir Blue House. Di belakangnya Taecyeon mengikuti tanpa berniat untuk melakukan pembicaraan pada kakaknya. Terkadang ia merasa terhalang oleh tembok pemisah yang sangat tinggi saat bersama Donghae karena kakaknya itu tidak pernah benar-benar membiarkan orang lain masuk ke dalam hidupnya dan mengetahui semua rahasia kelamnya yang ia tutup rapat-rapat dari semua orang yang dikenalnya, termasuk dirinya, adiknya sendiri.
-00-
Malam hari yang cukup sunyi di kediaman menteri Im, Yoona tampak sedang menata beberapa makanan di atas meja. Hari ini ia sengaja memaksa maidnya untuk tidak memasak karena ia ingin menyiapkan sebuah hidangan yang istimewa untuk Donghae. Ia pun dengan tidak sabar mulai menunggu di meja makan sambil menatap semua masakan yang ia masak dengan gugup. Ia tidak sabar melihat reaksi Donghae saat mencicipi hasil masakannya nanti. Ia harap malam ini dapat mengesankan jenderal dingin yang kaku itu.
"Apa semua baik-baik saja?"
"Jenderal Lee..."
Yoona tersenyum sumringah ketika Donghae tiba-tiba muncul di hadapannya. Malam ini pria itu tampak berkali-kali lipat lebih tampan dari biasanya dengan celana jeans dan jaket kulit yang terlihat maskulin. Biasanya ia selalu melihat Donghae dengan seragam tentaranya yang tampak monoton, meskipun pria itu tetap terlihat tampan dengan seragam berwarna hijau kebanggan Korea Selatan itu.
"Ayo duduk, kita makan malam bersama." Ajak Yoona antusias. Berbeda dengan Yoona yang terlihat antusias, Donghae justru terlihat tak berminat dan hendak menolak ajakan Yoona untuk makan bersamanya.
"Aku akan makan bersama yang lain."
"Apa kau baru saja menolak ajakanku?"
Yoona yang tidak lagi canggung pada Donghae mulai menunjukan sikap aslinya tanpa malu-malu. Ia tidak suka jika ajakan tulusnya ditolak begitu saja. Terlebih ia sudah memasakan semua makanan itu untuk pria dingin menyebalkan yang sedang menatapnya dengan tatapan datar yang angkuh itu.
"Makanlah dan jangan mencoba mendebatku." Ucap Donghae penuh peringatan. Tanpa takut, Yoona mendekati Donghae dan menarik tangan pria itu untuk duduk di kursi yang telah ia siapkan. Namun pria itu justru menghempaskan tangannya kasar dan membuat hatinya cukup terluka dengan perlakuan pria itu.
"Jangan sentuh aku. Jika aku tidak mau, maka jangan coba-coba untuk memaksaku."
Kali ini Donghae terlihat lebih berbahaya dari sebelumnya. Wajah dingin pria itu telah menunjukan aura kemarahan yang begitu pekat. Sekali lagi Yoona bersikap lancang padanya, maka ia tidak segan-segan untuk berbuat kasar pada wanita itu. Tidak peduli jika Yoona adalah anak dari menteri Im, baginya semua manusia sama saja. Siapa saja yang telah melanggar kode etik yang telah ditentukannya, maka ia akan menghukum orang itu tanpa pandang bulu. Dan sejak dulu ia tidak pernah membiarkan orang asing menyentuhnya, terutama seorang wanita.
"Ayahku menyuruhmu untuk menjagaku, tapi kau malah melukaiku. Apa ini yang dilakukan oleh jenderal terhormat sepertimu, hah?"
Yoona terlihat marah dan terluka disaat yang bersamaan. Ia tidak pernah merasa sekesal ini pada orang lain karena mereka tidak pernah memperlakukannya dengan sangat buruk seperti Donghae memperlakukannya.
"Kau yang memaksaku melakukannya." Desis Donghae mencoba membela diri. Ia adalah anggota militer yang sudah terbiasa dengan keadilan. Jika orang itu tidak benar-benar bersalah, maka ia tidak mungkin menghukum orang itu.
"Terserah kau jenderal Lee, tapi jika kau tidak makan, maka aku juga tidak akan makan."
Yoona berteriak kesal di depan Donghae dan segera berjalan pergi menuju kamarnya di lantai dua. Ia rasanya menyesal karena memiliki perasaan lebih pada pria dingin yang tidak memiliki hati seperti jenderal Lee. Seharusnya Tuhan membuatnya mencintai pria lain yang benar-benar akan membalas cintanya, bukan mencintai pria dingin seperti jenderal Lee yang entah akan membalas cintanya atau akan terus menyakitinya seperti malam ini.
-00-
Ketika malam beranjak semakin larut, Donghae memutuskan untuk masuk ke dalam kamarnya dan beristirahat. Ia yang sebelumnya berada di post penjagaan bersama rekan-rekan anggota militer yang lain memutuskan untuk berganti sift dengan penjaga lain yang sebelumnya telah beristirahat. Meskipun ia tidak mengantuk, tapi ia harus mengistirahatkan tubuhnya. Besok ia masih memiliki banyak pekerjaan. Termasuk melakukan introgasi pada penyusup dari Korea Utara yang berhasil ditangkapnya dua hari yang lalu.
Ketika ia melewati ruang makan, tak sengaja ekor matanya mentap hidangan-hidangan di atas meja yang masih utuh tak tersentuh. Rupanya Yoona benar-benar merealisasikan ancamannya untuk tidak makan jika Donghae tidak mau makan bersamanya. Dengan geram, Donghae memutuskan untuk naik ke lantai dua dan melihat bagaimana kondisi Yoona. Masih teringat dengan jelas di kepalanya bagaimana dulu ketika Yoona berusia tiga belas tahun, ia pernah terserang sakit lambung ketika sedang berkunjung ke rumah ayah angkatnya. Saat itu Yoona menghebohkan seluruh penghuni rumah karena ia tiba-tiba mengerang kesakitan di atas lantai sambil memegangi perutnya seperti orang sekarat padahal saat itu ayah dan ibunya sedang tidak berada di rumah. Hanya Taecyeon dan para maid yang tinggal di rumah. Untung saja saat itu ia baru saja pulang dari camp militer setelah berlatih, sehingga ia bisa membawa Yoona ke rumah sakit sebelum wanita itu benar-benar mati karena penyakit maagh kronis yang dideritanya. Dan sekarang dengan sombongnya wanita itu justru bermain-bermain dengan kematiannya sendiri.
Dasar wanita! Merepotkan!
Dua menit kemudian Donghae telah berdiri di depan kamar Yoona dengan perasaan ragu. Kode etik yang dianutnya melarang keras dirinya untuk masuk ke dalam teritori milik wanita. Tapi di sisi lain ia tidak bisa diam begitu saja dengan perasaan aneh yang menyusup di dalam hatinya karena ia mencemaskan wanita manja itu. Apa yang akan dikatakan oleh menteri Im besok jika ia tahu anaknya sakit karena dirinya yang menolak makan bersama putrinya. Reputasinya sebagai jenderal tertinggi di Korea Selatan akan tercoreng karena ia tidak bisa menjaga putri menteri Im dengan benar. Akhirnya ia memutuskan untuk masuk ke dalam kamar milik Yoona yang untung saja tidak dikunci oleh wanita itu.
"Ck, ia tidak mengunci kamarnya?"
Donghae bergumam pelan sambil berdecak jengkel karena Yoona rupanya sangat ceroboh. Bagaimana jika salah satu penjaga di bawah menyusup ke dalam kamarnya? Atau jika tiba-tiba rumahnya diserang oleh sekompok orang jahat? Wanita itu pasti akan dengan mudah dijadikan target incaran.
Suasana ketika berada di dalam kamar Yoona adalah gelap. Wanita itu rupanya sengaja mematikan seluruh lampu kamarnya hingga hanya tersisa sedikit cahaya dari bulan yang menyusup masuk ke dalam kamarnya melalui jendela besar yang menghadap kearah taman. Tapi meskipun suasana di dalam kamar itu gelap, Donghae masih bisa melihat bagaimana keadaan kamar Yoona yang rapi. Padangan pria itu langsung tertuju pada ranjang king size milik Yoona yang tampak rapi. Wanita itu terlihat sedang tertidur dengan tenang dengan selimut yang menutupi tubuhnya. Merasa tidak ada yang aneh dengan Yoona, Donghae memutuskan untuk pergi dari kamar wanita itu. Lagipula ia sendiri merasa tidak nyaman berada di dalam kamar asing itu karena apa yang ia lakukan tidak sesuai dengan aturan yang dibuatnya. Tidak boleh bersentuhan dengan wanita, tidak boleh masuk ke dalam teritori wanita, dan tidak boleh mencintai wanita!
Donghae kemudian berbalik dan hendak berjalan pergi dari kamar milik Yoona. Namun tiba-tiba seseorang menyergapnya dan mendorong tubuhnya hingga ia jatuh tertidur di atas ranjang milik Yoona dengan suara debum yang cukup nyaring.
"Siapa kau? Apa yang kau lakukan di kamarku?"
Donghae merasa mengenali suara itu. Suara Yoona. Wanita manja itu kini sedang menindih tubuhnya dengan kedua tangan mungilnya yang diposisikan sempurna di atas dada dan juga lehernya agar ia tidak bisa bergerak. Sekilas Donghae cukup kagum dengan kemampuan Yoona, karena wanita itu ternyata tidak selemah yang ia bayangkan. Namun wanita itu masih belum menyadari jika orang yang disergapnya adalah dirinya.
"Hahhh? Jenderal Lee.."
Yoona memekik terkejut ketika ia sadar jika pria yang telah ia sergap adalah Lee Donghae. Namun bukanya melepaskan pria itu, Yoona justru menatap iris pekat itu lama hingga ia meneguk ludahnya sendiri karena gugup. Sungguh saat ini jantungnya seperti sedang dipompa dua kali lipat lebih kencang. Pria yang saat ini berada di bawah tubuhnya benar-benar memiliki ketampanan yang luar biasa hingga ia tidak mampu berkedip barang sedetikpun dari wajah tampan Lee Donghae. Sayangnya kegiatan itu harus berakhir karena Lee Donghae langsung membalik tubuhnya ketika ia lengah dan kini menekan tubuhnya yang kecil di bawah kungkungan tubuhnya yang besar.
"Kau tidak seharusnya melihat apa yang tidak boleh kau lihat nona Im. Jangan pernah menatap wajahku lagi."
Yoona terpaku di tempat tanpa bisa berkata apapun. Meski Donghae telah menyingkir dari atas tubuhnya, tapi ia tetap saja terpaku di tempat sambil berkedip-kedip tak percaya dengan apa yang baru saja ia lakukan.
"Kenapa kau belum tidur?"
Yoona segara tersadar dari fantasi liarnya setelah suara dingin itu kembali menggema di dalam kamarnya yang gelap. Dengan gerakan yang sedikit kikuk dan wajah memerah, Yoona segera beranjak bangun untuk menyalakan lampu di dalam kamarnya. Tidak enak rasanya berada di dalam kamar yang gelap bersama seorang pria dingin yang sangat menggairahkan seperti Lee Donghae.
"Maaf, aku tidak tahu jika itu kau jenderal Lee. Kupikir ada seorang penyusup karena aku mendengar suara langkah kaki yang tiba-tiba mendekat dan suara kenop pintu yang diputar."
Yoona merasa bersalah sambil memainkan jari-jarinya gugup. Ia takut Donghae akan marah karena ia sudah menyergap pria itu tanpa memastikan terlebihdulu siapa yang telah masuk ke dalam kamarnya.
"Lupakan saja! Kenapa kau belum tidur?"
Donghae kembali mengulang pertanyaanya yang belum dijawab oleh Yoona.
"Ee... ituuu... ituu.. karena aku lapar." Jawab Yoona dengan suara kecil. Wanita itu jelas sangat malu dengan keadaanya yang memalukan karena ia malam ini benar-benar tidak bisa tidur karena kelaparan. Berbagai macam jenis makanan yang telah ia masak hari ini terus berputar-putar di dalam kepalanya ketika ia berusaha memejamkan matanya. Bayang-bayang itu terus mengganggunya dan seakan mengejeknya karena ia tidak bisa memakan makanan-makanan itu karena ia sedang merajuk pada Donghae. Akhirnya sejak tadi ia hanya sibuk bergerak kesana kemari di atas ranjangnya tanpa benar-benar bisa tertidur pulas.
"Kalau begitu makanlah. Tidak usah keras kepala karena kau memiliki penyakit maagh yang akan sangat merepotkan jika kambuh."
Yoona menatap Donghae tak percaya karena pria itu ternyata tahu jika ia memiliki penyakit maagh yang sangat berbahaya jika kambuh.
"Kau tahu? Apa ayahku memberitahumu?"
"Itu tidak penting. Cepat makanlah dan tidur. Aku tidak mau mendapatkan masalah karena kelakuanmu yang merepotkan." Dengus Donghae sambil berjalan pergi meninggalkan kamar Yoona. Namun Yoona tak menyerah begitu saja. Ia terus mengejar Donghae untuk meminta jawaban dari pria itu.
"Katakan padaku, siapa yang memberitahumu jika aku memiliki maagh kronis?"
Donghae mengabaikan begitu saja pertanyaan Yoona dan terus berjalan menuruni anak tangga di depannya. Namun sikap dinginnya itu justru membuat Yoona semakin tertantang untuk terus meminta jawaban darinya hingga ia benar-benar risih dibuatnya.
"Diam dan makanlah."
"Aku tidak mau makan jika kau tidak menjawab pertanyaanku jenderal Lee."
Yoona mulai mengeluarkan jurus merajuknya yang sangat dibenci Donghae. Bisakah sekali saja wanita itu menjadi wanita penurut yang manis?
"Aku pernah membawamu ke rumah sakit ketika sakit maaghmu kambuh saat kau berusia tiga belas tahun."
Yoona mulai mengingat-ingat masa lalunya yang terasa samar. Namun kemudian ia berhasil mengingatnya karena dulu ia memang pernah dilarikan ke rumah sakit oleh seseorang yang ia tidak tahu siapa ketika ia mendadak terserang sakit perut yang sangat mengerikan sembilan tahun lalu.
"Jadi itu kau jend.. ahhh.."
Yoona hampir saja terpeleset karena ia tidak memperhatikan jalannya. Beruntung Donghae yang berada di depannya dengan sigap menahan pinggangnya agar ia tidak terjerembam jatuh dari atas tangga yang cukup tinggi.
"Dasar ceroboh."
Yoona mendengus kesal dan segera melepaskan tangan Donghae dari pinggangnya.
"Jika memang tidak mau menyelamatkanku, tidak usah menyelamatkanku. Biarkan saja aku terjatuh dan mati. Itu lebih baik daripada aku terus menerus mendengar kata-kata ketusmu jenderal Lee." Ucap Yoona kesal sambil berjalan mendahului Donghae menuju meja makan.
Sementara itu Donghae hanya diam dan tidak mau mengeluarkan komentar apapun untuk Yoona. Wanita manja seperti Yoona memang tidak akan pernah cocok dengan dirinya yang penuh ketegasan. Apapun yang ia lakukan justru akan membuat Yoona kesal padanya. Jadi lebih baik ia diam dan membiarkan wanita itu melakukan apapun sesuka hatinya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro