Bad Liar Part 9
Dua puluh menit kemudian Yoona turun ke ruang makan dengan wajah yang lebih segar dan juga pakaian yang lebih pantas. Magda mengantarkan kopornya tepat waktu, lima menit yang lalu setelah ia selesai dengan urusan mandi dan juga mengeringkan rambutnya. Hampir saja ia membuka lemari pakaian di kamar itu untuk meminjam salah satu pakaian karena ia tidak bisa menemukan kopornya dimanapun. Tapi syukurlah Magda masuk ke dalam kamarnya tepat ketika ia hampir menarik pintu lemari yang letaknya bersebelahan dengan pintu kamar mandi di sebelahnya.
"Maaf membuatmu menunggu lama, tuan Birmingham."
"Sama sekali tidak. Duduklah, Yoong." Laiv mempersilahkan Yoona untuk bergabung sarapan bersamanya. Untuk pertama kalinya dalam dua puluh tahun, meja kayu panjang itu tidak hanya diisi oleh dirinya dengan keheningan. Setidaknya kali ini Yoona membawa suasana baru untuk hidup Laiv yang selalu membosankan.
"Aku sangat bersyukur dapat bertemu denganmu, tuan Birmingham."
"Panggil aku Laiv." ucap Laiv setengah memaksa. Ia ingin hubungannya dengan Yoona berjalan lebih santai dan tidak terlalu canggung karena perbedaan usia mereka yang sangat jauh
"Baiklah Laiv, jadi aku ingin berterimakasih lagi padamu. Kurasa tiga atau empat kata terimakasih tidak akan cukup untuk menghargai kebaikanmu." Yoona menyunggingkan senyum manisnya pada Laiv. Dan tanpa disadari Yoona, Laiv saat ini sedang bernapas pendek-pendek di kursinya karena berbedar. Sungguh gila, batin Laiv tak habis pikir. Pria tua sepertinya bisa berdebar setelah melihat senyum manis seorang wanita muda yang sangat mengagumkan di depannya.
"Kau berlebihan. Ngomong-ngomong kenapa kau membawa kopor dan tergletak di jalanan itu?"
Yoona yang sedang mengoleskan selai coklat menghentikan kegiatannya seketika. Hampir saja ia lupa pada tujuannya datang ke LA. Ia hampir terlena dengan kebaikan Laiv dan melupakan niatnya untuk mencari apartemen hari ini. "Aku baru pindah dari Chicago. Dan aku berencana ingin berkarir di LA."
"Itu kedengarannya bagus. Apa kau membutuhkan apartement?"
Seperti yang bisa dipikirkan, Laiv membuat Yoona sungguh terpesona pada kepekaan pria itu. "Begitulah. Aku hari ini akan mencari apartement untuk kutinggali selama meniti karir di sini. Kebetulan dulu aku adalah model di Chicago dan aku telah mengenal beberapa pemilik agensi terkenal di LA."
"Kalau begitu kau bisa menyewa apartement milikku di pusat kota. La Pietra Place, aku memiliki salah satu kamar di sana. Bahkan jika kau mau, aku bisa menjualnya dengan harga murah untukmu."
"Oh ya ampun, kebetulan sekali. Tapi apakah tidak apa-apa jika kau menyewakannya? Jika karirku memang bagus di sini, aku akan membeli apartementmu, bagaimana?" tanya Yoona penuh harap. Sejujurnya ia belum terlalu yakin dengan keputusan untuk tinggal di LA. Ini hanya bagian dari ajang coba-coba yang ia lakukan. Daripada ia terjebak di Chicago dengan berbagai macam kenangan tentang Donghae, lebih baik ia pergi dan memulai kehidupan baru dengan suasana baru.
"Tidak masalah. Sudah lama apartement itu dibeli, tapi tidak pernah dipakai. Yah... mungkin itu hanya salah satu dari sekian banyak ambisi untuk berinvestasi. Kau tahu sendiri kan bagaimana kehidupan seorang pria tua kesepian yang setiap hari selalu menghasilkan ribuan dollar dari jaringan retailnya." Tanpa berniat untuk menyombongkan diri, Laiv menceritakan sedikit kehidupan membosankannya pada Yoona dan bagaimana caranya untuk menghabiskan uang-uang yang setiap hari ia hasilkan. Setidaknya sebagian dari uang itu harus ia investasikan pada sesuatu. Namun sayangnya semua investasi itu tidak akan pernah memiliki ahli waris suatu saat nanti jika ia telah mati.
"Tidak mengejutkan Laiv. Seorang pebisnis sejati pasti selalu mencari cara untuk mengembangkan karir bisnisnya. Ngomong-ngomong hari ini kau tidak pergi bekerja?"
Yoona merasa sangat menikmati sarapannya dan obrolan santainya dengan Laiv. Rasanya sudah lama sekali ia tidak sarapan dalam suasana yang sangat menyenangkan seperti ini. Semenjak kematian Donghae, kakek Lee berubah lebih muram. Dan ia sendiri juga terus menerus menyembunyikan diri dari keluarga Lee yang lain.
"Aku akan pergi nanti. Setelah kecelakaan yang membuat kakiku retak, aku tidak pernah pergi ke kantor. Aku hanya mengeceknya sesekali dari orang kepercayaanku di sini. Hari ini aku berencana untuk pergi ke kantor, tapi aku tidak terlalu terburu-buru. Aku bisa mengantarmu ke La Pietra untuk melihat apartement yang akan kau sewa."
"Tidak perlu repot-repot Laiv, aku bisa pergi menggunakan taksi. Lebih baik kau pergi ke kantor untuk menyelesaikan urusan pekerjaan yang telah kau tinggalkan karena kondisimu pasca kecelakaan. Dan untuk itu, aku turut sedih. Aku tahu bagaimana rasanya sakit tanpa ditemani satupun keluarga di sisimu." Yoona dengan terang-terangan menatap Laiv dengan sorot mata sedih karena prihatin. Bagaimanapun perasaannya masih belum pulih pasca kehilangan Donghae. Kesedihan sekecil apapun yang terjadi di sekitarnya akan memberikan dampak yang besar pada hatinya yang mudah sekali merasa berempati pada orang lain. Apalagi kini yang mengalami kesulitan adalah Laiv, penolong baik hatinya yang tampan dengan mata hijau kesukaannya.
"Sama sekali tidak repot. Lebih baik bagiku untuk mengantarmu sampi di La Pietra daripada aku mengkhawatirkanmu sepanjang hari. Jadi apa kau ingin pergi setelah sarapan selesai?" Laiv melirik ke arah roti coklat milik Yoona yang hanya tersisa sedikit dan juga sarapannya yang telah selesai sejak bermenit-menit yang lalu. Bisa dipastikan jika mereka berdua telah siap untuk pergi setelah ini.
"Tentu. Lebih cepat lebih baik." jawab Yoona ringan.
-00-
Pria itu mendengus gusar, melemparkan pena yang digenggamnya begitu saja ke atas meja dan segera menjawab panggilan telepon yang terus berbunyi sejak lima belas menit yang lalu.
"Sudah kukatakan jika aku masih sibuk! Kenapa kau tidak minta saja asistennya untuk mengurus kantor agensinya di Chicago."
"Aiden, kau tidak bisa terus menumpukan tanggungjawab itu pada Stuart." ucap pria di seberang sana. Tobbie Reig benar-benar sudah berusaha untuk sabar menghadapi Aiden yang begitu sulit untuk diajak bekerjasama. Padahal pria itu yang mendapatkan surat wasiat dari Donghae untuk mengurus semua urusan bisnisnya di Chicago, termasuk agensi modellingnya yang kini sedang berkembang pesat.
"Aku juga memiliki pekerjaan di sini." geram Aiden kesal. Dua minggu yang lalu ia telah meminta Stuart untuk mengirimkan jadwal masing-masing model melalui email agar semua modelnya tetap bekerja sebagaimana mestinya tanpa terpengaruh dengan berita kematian Donghae. Walaupun itu sedikit keterlaluan, tapi Aiden masih harus menyelesaikan urusannya di LA sebelum beralih pada bisnis Donghae di Chicago.
"Stuart dan semua modelnya sudah menanyakan tentangmu. Mereka sangat ingin bertemu dengan pemimpin baru mereka."
"Katakan untuk jangan menungguku." jawab Aiden kasar. Saat sekretarisnya masuk untuk mengantarkan berkas yang lain, Aiden langsung melayangkan tatapan kesal. Tugasnya untuk mengecek proposal kerjasama dari klien-kliennya belum selesai ia periksa, dan sekarang sekretarisnya telah memberinya pekerjaan tambahan untuk menyeleksi model baru yang akan masuk ke agensinya.
"Karena kau sama-sama memiliki bisnis di bidang modelling, jadi Donghae sangat mempercayakan hal itu padamu sebelum ia meninggal."
"Itu alasan yang sangat bisa diterima. Agaknya ia telah memiliki firasat sebelum kematiannya." Aiden berucap dengan kekehan. Membayangkan Donghae yang tiba-tiba membuat surat wasiat disaat tubuhnya masih sangat bugar membuat Aiden berpikir jika Donghae benar-benar telah berniat untuk mati dalam waktu dekat. Jika tidak, mana mungkin pria itu tiba-tiba menulis surat wasiat di usia semuda itu dan langsung melimpahkan hal itu padanya, Aiden Straight.
"Kuharap kau bisa menjaga sikapmu, Aiden. Bagaimanapun aku masih menghormati Donghae sebagai klienku."
"Maaf." balas Aiden ringan. Ia juga sama sekali tidak berniat untuk menjadikan hal itu sebagai lelucon. Bagaimanapun ia dan Donghae telah berteman selama lebih dari lima tahun. Pertemuan mereka pertama kali terjadi saat mereka sama-sama menempuh pendidikan di jurusan bisnis hingga akhirnya mereka lulus dan memutuskan untuk hidup di jalur mereka masing-masing. Namun meskipun Donghae telah mendapatkan bagian di perusahaan milik keluarganya, tapi pria itu tetap bersikeras untuk membangun bisnisnya sendiri di bidang modelling tanpa campur tangan dari keluarganya. Aiden rasanya bangga pada kegigihan Donghae untuk menentang kakeknya selama bertahun-tahun agar dapat mendirikan perusahaan sendiri tanpa embel-embel keluarga Lee di belakangnya.
"Tobbie, mungkin bulan depan aku baru akan ke Chicago."
Terdengar helaan napas pelan di ujung sana. Aiden tahu jika Tobbie pasti sudah lebih dari muak pada janji-janji yang sering ia layangkan pada pria itu. Tapi mau bagaimana lagi, ia sendiri tidak bisa pergi dari tanggungjawabnya sebagai pemimpin di perusahaan miliknya sendiri. Dan sejujurnya ia juga lelah menjalankan dua bisnis sekaligus dengan posisi kantor yang sangat berjauhan seperti ini.
"Baiklah. Meskipun sejujurnya aku sangat ingin bertemu denganmu, tapi kurasa aku akan lebih bersabar menunggumu bulan depan. Semoga beruntung dengan pekerjaanmu, Aiden. Sampai jumpa."
Aiden menghembuskan napasnya berat. Akhirnya pembicaraan itu berakhir juga. Sudah berkali-kali Tobbie menghubunginya, meminta bertemu untuk membicarakan masalah pemindahan hak milik agensi Donghae di Chicago. Sayangnya sejak kematian Donghae bulan lalu, ia belum bisa menemui pria itu di Chicago. Padahal Tobbie pernah bersikeras untuk menemuinya di LA, namun saat itu ia sedang memiliki perjalanan bisnis ke Paris untuk beberapa hari. Sehingga pada akhirnya mereka berdua belum sempat bertemu hingga detik ini.
Setelah melemparkan ponselnya asal ke dalam laci, Aiden segera mengambil tumpukan kertas yang baru saja diletakan sekretarisnya di atas mejanya. Tumpukan berkas berisi profil model-model baru itu membuat Aiden merasa tergelitik. Anggap saja ia sedang membutuhkan penyegaran untuk otaknya yang buntu. Dengan melihat wajah cantik para model itu, mungkin ia bisa sedikit lebih tenang. Siapa sih yang tidak suka wanita, batin Aiden terkekeh. Ia sendiri sudah belasan kali bergonta-ganti teman kencan. Namun tidak ada satupun yang benar-benar dapat memikat hatinya hingga ia bertekuk lutut. Tidak ada! Semua wanita itu hanya akan menjadi teman kencan semalamnya, atau paling lama satu minggu. Aiden tidak pernah benar-benar menyukai satu wanita, meskipun banyak temannya yang telah bahagia dengan wanita mereka masing-masing dan terus menyarankannya untuk menikah.
"Im Yoona." gumam Aiden saat membaca sebuah map berwarna kuning cerah yang terselip di antara sepuluh map lain yang tergletak di atas mejanya. Tanpa minat Aiden membuka map ke empat itu dan membaca profil wanita bernama Yoona yang tertera di halaman pertama. Setidaknya ia telah melihat tiga profil model sebelum Yoona, dan ia sama sekali tidak tertarik pada mereka. Baginya tiga wanita yang profilnya telah ia baca itu sama sekali tak memiliki karakter seperti yang diharapkannya selain hanya memiliki wajah cantik dan tubuh langsing seperti gitar spanyol. Jika wanita seperti itu diterima sebagai model di agensinya, mereka hanya akan menjadikan pamor agensinya berubah buruk.
"Dia memiliki motto hidup yang unik." Aiden terkekeh geli melihat tulisan yang merupakan motto hidup dari Im Yoona. Setiap hari adalah tantangan yang harus ditaklukan. Sejujurnya itu bukan motto hidup yang buruk, namun menurut Aiden itu sama sekali tidak puitis. Padahal kebanyakan wanita yang hendak melamar untuk menjadi model di agensinya pasti akan berusaha menuliskan hal-hal yang manis agar ia mudah terkesan. Sebagai pemimpin agensi The Star yang terkenal, Aiden dikenal sebagai pribadi yang tidak mudah terkesan. Alih-alih merasa terkesan dengan setiap pujian yang mereka lontarkan, Aiden justru sering merasa mual hingga nyaris muntah. Ia tahu jika semua orang memujinya hanya untuk memuluskan rencana yang telah mereka susun. Tidak ada pujian yang benar-benar tulus dilayangkan kepanya, kecuali pujian yang pernah ia dapatkan dari wanita itu di masa lalu.
"Evon..." panggil Aiden pada sekretarisnya melalui telepon. "Panggil ms. Im Yoona untuk bertemu denganku besok pukul sembilan."
-00-
Yoona menyeka peluh yang bercucuran di keningnya setelah melakukan olahraga pagi di sekitar apartemennya. Berlari di pagi hari di sekitar La Pietra Place bukanlah sesuatu yang buruk untuk berganti suasana. Sudah dua minggu ia tinggal di La Pietra berkat kemurahan hati Laiv. Secara rendah hati pria itu menyewakan apartemennya dengan harga murah padanya tanpa memberikan tenggat waktu sewa. Bisa dikatakan Laiv mengizinkan Yoona untuk tinggal di apartemen itu sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Bahkan dua hari yang lalu saat Yoona diundang untuk makan malam di sebuah restoran mahal oleh Laiv, pria itu dengan terang-terangan mengatakan padanya jika ia ingin memberikan apartemen itu secara cuma-cuma pada Yoona. Namun tentu saja hal itu langsung ditolak Yoona karena ia tidak ingin dinilai sebagai wanita matre yang gemar mengeruk harta dari seorang pria tua kaya seperti Laiv. Hubungan mereka yang berkembang tak terkendali membuat Yoona terkadang dilanda kebingungan dengan hatinya. Di satu sisi Yoona merasa Laiv adalah pria baik hati dengan fisik mengagumkan yang tidak kalah dengan pria-pria muda yang sering ditemui Yoona. Namun di sisi lain Yoona merasa tidak pantas bersanding dengan Laiv karena mereka berdua baru saja bertemu. Perkenalan mereka yang dimulai dengan cara tidak wajar dan aneh membuat Yoona tidak bisa menjatuhkan hatinya pada Laiv begitu saja. Ia takut keputusannya yang terburu-buru dapat membawa penyesalan pada dirinya yang masih dibayang-bayangi oleh wajah Donghae.
Sebulan telah berlalu sejak kejadian mengejutkan yang terjadi di lapangan basket. Perlahan-lahan Yoona dapat menerima kehadiran Donghae sebagai kekasihnya. Meskipun begitu ia masih sering melemparkan kata-kata kasar pada Donghae. Bahkan juga bertengkar dengan pria itu. Bagaimanapun Yoona selalu memiliki kecurigaan pada motif Donghae yang dengan tiba-tiba menjadikannya kekasihnya, sementara pria itu memiliki seorang kekasih yang sangat mengagumkan seperti Alice atau wanita-wanita lain yang tak kalah cantik dari Alice. Bisa dikatakan Yoona selalu mencurigai Donghae tiap kali mereka bertemu di sekolah maupun di luar sekolah. Saat Donghae berusaha menarik tangannya agar mereka berjalan beriringan menuju cafetaria, ia selalu menatap pria itu dalam diam sambil mengomel tak jelas. Hubungan mereka yang aneh itu jelas menjadi bahan gunjingan seantero sekolah. Semua orang mendadak menjadi segan padanya jika ia bersama Donghae. Namun jika ia tengah berjalan sendiri, mereka akan terang-terangan menunjukan tatapan mencemooh. Karena hal itulah Yoona sangat kesal pada sikap Donghae yang memaksakan diri untuk menjadi kekasihnya.
"Kau ingin makan apa?"
"Terserah kau saja."
Seperti biasa, Yoona selalu membalas kata-kata Donghae dengan sikap acuh tak acuh dan kasar. Padahal saat ini puluhan pasang mata sedang mengarah padanya dengan tatapan benci karena berani-beraninya ia bersikap tidak sopan pada idola mereka. Tapi siapa peduli! Bahkan ini bukan keinginan Yoona. Donghae sendiri yang memaksanya untuk menjadi kekasihnya.
"Jika aku sedang bertanya, kau tidak seharusnya menjawabnya dengan sinis, Yoona sayang." Donghae sengaja menekan kata-katanya karena rasa dongkol yang telah ia tahan sejak lama. Yoona jelas bukan gadis yang mudah ditaklukan. Dan berkencan dengan wanita itu tidak hanya membutuhkan sikap yang manis, tapi juga tegas untuk menjinakan Yoona yang kasar.
"Aku sungguh tidak masalah dengan makanan apapun."
"Yeah tentu saja, ia sudah terbiasa hidup miskin dan kelaparan." celetuk seorang siswa yang kebetulan sedang berdiri di sebelah mereka untuk membeli burger. Hampir saja Donghae maju untuk menghajar siswa tak tahu diri itu, namun Yoona langsung menahan tangannya sambil menjawab sinis.
"Kurasa hidup miskin dan kelaparan tidak terlalu buruk. Yang penting aku masih memiliki tubuh sehat yang bagus, dan tidak gendut sepertimu." Yoona berseru puas saat melihat pria itu berubah pucat dengan gurat kemarahan di wajahnya. Namun pria itu jelas tidak bisa berbuat apa-apa untuk membalas Yoona karena tatapan tajam Donghae yang menyiratkan kebengisan.
"Berikan aku jus jeruk dan kentang goreng." ucap Yoona tiba-tiba dan membuat Donghae senang. Akhirnya ia tidak perlu memilihkan menu makanan untuk Yoona dan memaksa wanita itu makan dengan nikmat di sebelahnya.
"Itu baru kekasihku." ucap Donghae senang dan langsung menghadiahi Yoona sebuah kecupan yang begitu ringan dan cepat. Jelas Donghae tidak menganggap kecupan itu sebagai sebuah masalah yang harus dipusingkan. Namun untuk Yoona, kecupan itu seperti sebuah listrik yang tiba-tiba menyengat tubuhnya yang kecil. Kejutan yang diberikan Donghae karena kecupannya itu jelas membuat Yoona tidak bisa berjalan dengan benar. Bahkan hingga Donghae telah merangkul tubuhnya dan setengah menyeret tubuhnya ke meja kosong di tengah cafetaria, Yoona rasanya masih seperti sebuah robot.
"Ada apa denganmu, Yoong?"
"Tti tidak apa-apa." balas Yoona mencoba acuh. Namun kegugupan dari suaranya berhasil mengalihkan atensi Donghae dari sepiring burger yang dipesannya.
"Kau terkejut karena aku menciummu?"
"Apa? Tidak!" balas Yoona keras. Jangan sampai pria itu menggodanya terus menerus karena melihat kenorakannya yang menggelikan ini. Tapi memang seumur hidup Yoona belum pernah dicium oleh pria manapun. Jangankan memiliki kekasih, tidak ada satupun pria yang tertarik berdekatan dengan gadis miskin sepertinya. Lagipula ia juga tidak punya waktu untuk melirik pria-pria tampan di sekitarnya, karena ia harus selalu belajar keras untuk mempertahankan beasiswa yang didapatkannya di sekolah ini. Hanya beasiswa itulah yang membuatnya dapat tetap bersekolah dan memiliki cita-cita untuk menjadi wanita sukses yang mandiri di masa depan.
"Pipimu memerah setelah aku menciummu." goda Donghae geli. Salah satu hal yang tidak disukai Yoona selain sikap kasar Donghae, pria itu kerap kali menggodanya!
"Tidak mungkin."
"Akan kubuktikan!" Dan tanpa aba-aba, Donghae kembali mencium pipi Yoona hingga membuat pipi wanita itu bersemu merah seperti dugaannya. "Kubilang juga apa, kau merona karena ciumanku."
"Ck, ini karena udara di sekitar sini terlalu panas." sangkal Yoona cepat. Ia langsung mengalihkan perhatiannya pada setumpuk kentang goreng yang seharusnya terasa menggugah selera, namun sekarang menjadi terlihat membosankan karena ia terlalu gugup dengan ciuman Donghae. Ya ampun Yoona, erang wanita itu dalam hati. Ia terus menyemangati dirinya sendiri agar tidak perlu gugup di dekat Donghae yang brengsek.
"Kau terlihat lebih cantik saat sedang merona. Aku suka." bisik Donghae mesra. Tanpa sadar Yoona menjatuhkan satu kentang goreng yang sedang digenggamnya lalu menoleh kaku ke arah Donghae yang masih mencondongkan tubuhnya di dekat wajahnya.
"Jangan menggodaku, tuan Lee. Sampai kapanpun aku tidak akan bertekuk lutut di bawah kakimu seperti siswi-siswi bodoh itu."
"Benarkah? Kalau begitu kita lihat saja nanti."
Kenangan saat Donghae menciumnya pertama kali di kafetaria membuat Yoona tersenyum geli sekaligus sedih. Rasanya itu baru kemarin terjadi. Ia dan Donghae saling berteriak satu sama lain, saling mengolok-olok, lalu semuanya sekarang berakhir begitu saja dengan kematiannya yang tak terduga.
Brugh
"Ya Tuhan!" pekik Yoona refleks saat ia tiba-tiba menabrak seorang pria berkulit putih, tinggi, dengan rambut coklat terang yang basah karena keringat. Pria yang sebelumnya sedang berlari sambil membawa cup berisi kopi itu menatap Yoona horor karena Yoona membuat kopi yang dibawa pria itu tumpah dan mengotori baju olahraganya yang berwarna putih. Sungguh Yoona ingin memarahi ketololan pria itu karena memilih pakaian berwarna putih tanpa lengan dan celana putih sebatas lutut untuk berolahraga. Sekarang salah siapa jika baju itu menjadi kotor karena terkena tumpahan kopi americano?
"Apa kau seorang banteng yang gemar menyeruduk orang?"
Yoona merasa jengkel pada pria yang masih menunduk di depannya untuk mengibas-ngibaskan kaosnya yang terkena tumpahan kopi. Ia tahu jika ia tadi sedang berjalan sambil melamunkan masa lalu, namun pria itu tidak berhak mengatainya seperti banteng dengan nada yang sangat kasar seperti itu. Sebagai wanita, ia merasa tersinggung!
"Maafkan saya tuan, kurasa anda sendiri juga kurang berhati-hati. Anda berjalan sambil mendengarkan musik dan memegang cup kopi."
"Itu sungguh bukan tindakan yang bijak. Memlimpahkan kesalahan pada orang lain atas kesalahan yang kau perbuat. Bagus sekali." Pria itu mendesis bak ular, dan setelah itu mendongakak wajahnya dengan mata hijau yang berkilat-kilat ke arah Yoona yang mendadak menjadi gugup.
Astaga, gumam Yoona ngeri. Kenapa banyak sekali pria di LA yang memiliki mata hijau seperti Donghae. Bukan hanya Laiv yang memiliki mata hijau yang mengagumkan, bahkan pria menyebalkan ini juga memiliki mata hijau cemerlang yang sangat disukai Yoona. Jangan-jangan setelah kematian Donghae, ia menjadi terobsesi pada pria bermata hijau. Yoona mengerang dalam hati atas pikirannya yang terasa mengerikan. Terobsesi pada pria bermata hijau jelas sesuatu yang tidak baik. Pada akhirnya nanti ia akan terus berdiri di bawah bayang-bayang Donghae, tanpa pernah beranjak sedikitpun untuk menemukan kehidupan yang lebih baik.
"Nona, apa kau melamun? Bagus sekali! Selain tidak bijak, kau juga wanita mesum yang gemar memandangi pria dengan tatapan tak sopanmu itu."
"Apa! Jangan sembarangan berbicara, tuan sok pintar. Aku tidak seperti yang kau tuduhkan. Lagipula kau ini hanya membesar-besarkan masalah kecil yang seharusnya tidak perlu dibahas seheboh ini. Bagaimanapun noda kopi itu akan hilang jika kau cuci dengan deterjent." balas Yoona kesal. Rasanya ia hanya membuang waktunya percuma untuk melayani celotehan pria sinis ini. Lebih baik ia segera pulang dan bersiap karena dua jam lagi ia memiliki jadwal wawancara dengan pemimpin The Star.
"Kurasa masalah ini sudah clear dan tidak perlu dibicarakan lebih jauh lagi. Selamat tinggal." ucap Yoona ringan dan segera pergi meninggalkan pria itu. Setengah berlari, Yoona masuk ke dalam pelataran apartemennya yang ternyata sudah berada di depan mata. Ia pasti memang terlalu banyak melamun sepanjang perjalanan pulang dari kegiatan joggingnya. Tapi apapun itu, ia tidak ingin dipersalahkan atas insiden tumpahan kopi tadi. Jelas pria itu juga salah karena berjalan sambil mendengarkan musik tanpa memperhatikan keberadaan wanita yang sedang melamun sepertinya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro