Bad Liar Part 5
Kaki-kakinya kaku. Ia merasa lumpuh tiba-tiba saat berdiri di bekas rumahnya yang masih terlihat sama seperti sebelum ia meninggalkannya dua minggu lalu.
"Yoong." Rebecca menyentuh bahunya pelan. Wanita itu mengingatkannya dalam diam melalui tatapannya jika ia harus masuk ke bekas rumahnya sekarang. Tapi Yoona merasa berat untuk melakukannya. Ia takut akan melihat bayangan Donghae di teras, ruang tamu, atau kamar tidurnya. Pria itu jelas meninggalkan banyak kenangan di sana, dan Yoona tidak bisa mengenyahkannya sedikitpun.
"Nyonya Yoona?"
Seseorang yang mengenal Yoona mengernyit heran dan segera membukakan pintu pagar lebar-lebar. Pria berambut pendek dengan sedikit uban itu adalah tukang kebun yang bekerja di bekas rumah Yoona sejak Yoona tinggal di rumah itu bersama Siwon.
"John." ucap Yoona seperti bisikan. Ia terlalu kikuk untuk berhadapan dengan John sekarang, dan agaknya pria itu tidak tahu apa-apa mengenai masalahnya di Columbia.
"Akhirnya nyonya pulang, kami semua telah menunggu kepulangan nyonya. Silahkan masuk nyonya. Saya rasa Nicholas telah menyiapkan makanan lezat di dalam untuk menyambut kepulangan nyonya."
Tukang kebun itu terus saja mengoceh tanpa mempedulikan wajah pucat Yoona yang hampir meledakan air mata. Sejak tadi Yoona telah menahan air matanya yang menggenang agar tidak jatuh karena pria cerewet itu membuatnya merasa bersalah dengan seluruh penghuni rumah yang sebentar lagi akan mengucapkan salam perpisahan dengannya.
"Ayo Yoong, aku memiliki jadwal pemotretan dua jam lagi." peringat Rebecca khawatir sambil melirik jam tangannya. Katakan ia kejam karena justru memikirkan pekerjaannya di saat temannya sedang bersedih. Tapi ia memang harus melakukannya sekarang, jika tidak Yoona akan terus menjadi patung pajangan di depan bekas rumahnya tanpa melangkah masuk sedikitpun.
"Terimakasih karena telah membukakan pintu untuk kami, John. Kami akan masuk ke dalam."
Rebecca mengambil alih tugas Yoona untuk membalas serentetan kata-kata ramah John yang digunakan pria itu untuk menyambutnya. Dan setelah itu ia segera menyeret Yoona untuk masuk ke dalam bekas rumahnya yang pintunya telah terbuka lebar untuknya.
"Nyonya."
Melihat raut wajah yang ditunjukan Nicholas, Yoona tahu jika kepala pelayan itu telah mengetahui semuanya. Namun mungkin pria itu masih merahasiakannya dari yang lain agar tidak terjadi kegemparan saat ia datang. Apalagi Yoona sangat benci diberikan tatapan mengasihani setelah apa yang terjadi padanya. Jadi apa yang dilakukan oleh Nicholas sejauh ini, itu sudah benar di mata Yoona.
"Saya telah menyiapkan barang-barang anda, nyonya."
"Terimakasih. Tapi aku akan tetap ke atas sebentar."
Rebecca membiarkan Yoona berjalan gontai ke arah kamarnya yang berada di lantai dua. Wanita itu memang membutuhkan sedikit waktu untuk meratapi semuanya sebelum ia benar-benar hengkang dari rumah ini. Kenangannya bersama Siwon sebenarnya bukanlah yang terpenting bagi Yoona. Tapi kenangannya bersama Donghae, itu yang ingin dikenang Yoona sebelum pergi.
"Setelah kami pergi, kau bisa mengatakan yang sebenarnya pada tukang kebun di depan." ucap Rebecca pada Nicholas saat mereka dilanda keheningan yang cukup lama.
Dari balik wajah kakunya Nicholas mengangguk kearah Rebecca, lalu ia kembali diam seperti pantung dengan tubuh yang begitu tegap dan tangan yang mengepal kuat di samping kanan dan kiri tubuhnya. Dalam hati Rebecca meruntuki sikap kaku Nicholas yang sudah hampir sama seperti patung. Andai saja perut pria itu tidak kembang kempis karena bernapas, sudah pasti Rebecca akan menganggap pria itu memang patung.
"Setelah rumah ini dijual, apa yang akan kau lakukan?"
Rebecca tahu jika itu pertanyaan privasi, tapi ia sedang bosan sekarang, sehingga ia memutuskan untuk melontarkan sebuah pertanyaan pribadi yang terdengar sangat menggangu untuk Nicholas.
"Saya mendapatkan pekerjaan baru di apartemen tuan Siwon."
"Oh, jadi ia telah merencanakan untuk tinggal bersama kekasihnya dan menjadikanmu pelayan mereka? Hmm... dia pria yang gesit juga rupanya." komentar Rebecca menyindir. Nicholas berdeham sebentar untuk menghilangkan kegugupannya, lalu ia menjadi patung lagi saat Rebecca tidak memberikan pertanyaan apapun lagi padanya.
"Cepat sekali, Yoong. Kukira kau membutuhkan satu jam untuk menyiapkan semuanya."
"Semuanya sudah disiapkan dengan baik oleh Nicholas, jadi aku tidak perlu berlama-lama di atas. Terimakasih Nicho untuk dua tahun ini. Semoga kau selalu bahagia dimanapun kau berada."
"Terimakasih kembali nyonya, selamat jalan."
Nicholas membungkukan tubuhnya sopan saat Yoona dan Rebecca berjalan melewatinya. Masing-masing dari mereka membawa satu kopor di tangan mereka tanpa menoleh lagi ke belakang untuk melihat Nicholas yang masih setia membungkuk hingga mereka menghilang di balik pintu.
-00-
"Kukira kau memiliki banyak barang."
"Hanya ini. Yang lainnya adalah pemberian Siwon, dan aku tidak ingin membawanya ikut serta bersamaku."
"Lalu cincin itu?"
Rebecca tak bisa melepaskan tatapannya pada cincin di jari manis Yoona yang sejak tadi diputar-putar oleh Yoona saat wanita itu gugup.
"Pemberian Donghae saat ia melamarku." jawab Yoona pelan. Satu-satunya yang ia miliki dari Donghae adalah ini, jadi ia akan menjaganya sepenuh hati agar ia tidak pernah melupakan cinta sepenuh hati pria itu.
"Waktu yang akan menyembuhkan semuanya, Yoong. Jadi selama itu, kau harus bersabar."
"Hmm, akan kulakukan." jawab Yoona malas-malasan. Kemudian Yoona memilih untuk memperhatikan setiap pemandangan di jalanan padat Chicago yang sebentar lagi akan ia tinggalkan. Kafe-kafe, pejalan kakinya yang selalu memenuhi trotoar, lalu suara berisik klakson-klakson saat mereka tidak ingin mengalah dengan mobil lain menjadi sesuatu yang begitu menarik untuk dilihat saat ini. Padahal biasanya Yoona lebih memilih untuk tidur di dalam mobil hingga ia sampai di lokasi pemotretan berikutnya. Yang jelas pemandangan di jalan yang sering ia lalui tidak pernah tertangkap oleh matanya sedikitpun. Atau jika ia tidak sedang mengantuk, ia akan menggunakan waktunya untuk membaca puluhan komentar orang-orang yang memenuhi media sosialnya. Hal itu selalu menjadi sesuatu yang menarik untuk Yoona sebelum semua bencana itu datang. Bahkan sekarang Yoona merasa ketakutan untuk membuka media sosialnya. Ia takut akan menjadi objek yang disalahkan dalam kecelakaan yang menimpa Donghae, karena hati kecilnya terus saja meneriakan kata pembunuh tiap kali ia mengingat Donghae sebelum pria itu pergi dengan penuh emosi menggunakan mobil putihnya.
Tiiinnnnn
Suara klakson panjang mengagetkan Yoona dan membuat wanita itu bergerak panik seketika dengan reaksi yang berlebihan.
"Becc! Becca! Ada apa? Ada apa?"
"Tenang, Yoong. Tidak ada apa-apa." ucap Rebecca lembut sambil mengusap lengan Yoona. Baru saja sebuah mobil menyalip mobil di depannya. Dan itu terjadi di persimpangan lain yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan mobil yang dikendarai Rebecca karena saat ini mereka sedang berhenti karena lampu lalu lintas menunjukan warna merah.
"Kkukira kukira.... oh ya ampun." Yoona menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan menangis. "Kukira telah terjadi kecelakaan." ucap Yoona lagi dengan suara bergetar. Malam-malamnya tidak pernah berlalu indah semenjak kematian Donghae. Ia selalu dihantui perasaan was-was dan semakin paranoid saat mendengar suara klakson mobil di sekitarnya. Jika serangan itu mulai muncul maka Yoona akan merasakan jantungnya berdebar kencang, keringat dingin juga akan turun membasahi tubuhnya tak beraturan. Lalu bayangan-bayangan buruk yang sama sekali tidak diinginkan satu persatu akan muncul seperti hantu yang mengganggu hidup Yoona. Ia takut, sangat ketakutan! Tapi ia tidak bisa membaginya pada siapapun. Ia lebih dari tahu jika orang lain juga sedang memiliki masalah mereka sendiri. Jadi ia tidak ingin semakin membebani hidup mereka dengan masalahnya.
"Apa yang akan kau lakukan setelah ini, Yoong?"
Setelah dirasa Yoona cukup tenang, wanita itu mencoba mengajak Yoona berbicara agar ia tidak melamun terus sepanjang perjalanan menuju apartemennya. Rebecca merasa begitu prihatin melihat sahabatnya yang telah kehilangan seluruh sikap galaknya setelah kematian Donghae. Padahal sebelum ini, Yoona adalah wanita yang galak dan selalu tak tergoyahkan seperti baja.
"Aku ingin ke kantor agensi. Apa kau bisa menurunkanku di sana?"
"Baiklah. Tapi aku tidak janji bisa menjemputmu." ucap Rebecca penuh sesal.
"Aku akan naik taksi nanti. Jangan pikirkan aku. Asalkan aku mengetahui sandi apartemenmu, itu tidak akan jadi masalah." ucap Yoona terkekeh. Sungguh Rebecca begitu bersyukur karena akhirnya ia dapat melihat Yoona melemparkan sedikit candaan ke arahnya.
"Kalau begitu sampaikan salamku pada tuan Aiden. Jika dia bujang tampan yang memukau, cepat-cepat kau panggil aku, Yoong."
Yoona tergelak mendengar lelucon yang baru saja dilemparkan Rebecca padanya. Ia sendiri juga sangat penasaran bagaimana rupa tuan Aiden Straight, pria yang langsung mendapat kuasa penuh dari Donghae setelah pria itu meninggal. Meskipun begitu, sejak semalam ia telah berusaha menggali semua memori di dalam kepalanya untuk menemukan sedikit clue terkait pria bernama Aiden Straight yang mungkin saja pernah ada di dalam memorinya tapi telah ia lupakan wujudnya. Namun sekeras apapun ia mencoba hingga nyaris pagi, memori tentang pria bernama Aiden itu sama sekali tidak ada di dalam kepalanya. Padahal jika pria itu adalah sahabat baik Donghae, setidaknya walaupun sekali, ia pernah bertemu dengannya karena hampir setiap hari Donghae selalu pergi kemanapun dengannya.
"Kita sudah sampai."
Yoona benar-benar terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri sampai ia tidak sadar jika Rebecca telah menyetir dengan begitu cepat ke arah kantor agensi Donghae. Bangunan putih dengan lima lantai itu menjulang dengan kokoh di depannya. Dari tempatnya duduk, Yoona dapat melihat jendela di ruangan Donghae tertutup rapat dengan tirai hitam yang mengelilinginya. Padahal jendela ruangan itu tidak pernah ditutup serapat itu selama Donghae di sana, karena pria itu suka sekali menatap memandang keruwetan Chicago di siang hari melalui jendela ruangannya yang besar. Sayang sekali, kini ruangan itu akan menjadi milik orang lain. Dan Yoona tidak tahu apakah orang itu akan sering-sering membuka jendelanya seperti Donghae atau tidak.
"Sampai jumpa. Semoga pria bernama Aiden itu tidak mempersulitmu." teriak Rebecca dari dalam mobil sambil melambaikan tangannya serampangan. Yoona tergelak melihat sahabatnya yang mulai mengemudikan mobilnya ugal-ugalan di jalanan padat Chicago karena ia hampir terlambat menuju lokasi pemotretan yang letaknya berlawanan dari kantor agensi mereka.
"Halo nona Yoona."
Yoona menoleh dan menemukan Bertha, salah satu petugas resepsionis yang dikenalnya dengan baik di sini.
"Halo Bertha, lama tidak berjumpa."
"Oh... aku turut berduka atas kehilanganmu, nona Yoona."
"Eee itu."
"Meskipun tuan Donghae hanyalah adik ipar anda, tapi tuan Donghae begitu melindungi anda layaknya kekasihnya sendiri. Aku begitu terkejut saat pagi itu manajer Stuart memberitahu kabar duka itu pada kami."
"Iya. Tidak ada yang tahu jika hal mengerikan itu akan terjadi pada Donghae." jawab Yoona sedih. Baru saja ia akan menyangkal jika bukan kekasih Donghae jika Bertha akan mengiranya demikian karena Donghae sering bertingkah sesuka hati dengan mengatakan pada orang-orang jika ia adalah kekasihnya. Tapi untung saja ia belum sampai mengucapkannya dan membuatnya malu setengah mati karena salah sangka.
"Apa tuan Aiden ada?" tanya Yoona mencoba mengalihkan perhatian. Topik mengenai kematian Donghae cukup membawa dampak buruk pada psikisnya. Jadi ia tidak akan membiarkan topik itu semakin melebar dan memperparah kondisinya yang nyaris gila karena himpitan itu.
"Entahlah. Kami semua belum pernah bertemu dengannya sejak manajer Stuart mengumumkan jika tuan Aiden adalah seseorang yang diberikan kuasa untuk mengambil alih agensi milik tuan Donghae."
"Darimana Stuart tahu jika Donghae memberikan kuasa pada Aiden?"
"Mungkin pengacaranya." jawab Bertha sambil mengendikan bahu. "Kami semua tidak mengetahui apa-apa, nona. Sungguh." ucap Bertha dengan mimik serius.
"Baiklah kalau begitu, aku masuk dulu. Sampai jumpa lagi, Bertha." ucap Yoona berpamitan dan segera berjalan masuk ke arah gedung putih yang sebentar lagi akan semakin banyak menebarkan bayang-bayang Donghae di kepalanya.
-00-
"Ada apa kau menyuruhku datang ke sini?" Yoona melipat kedua tangannya malas di depan dada. Sementara pria tampan berambut coklat terang itu hanya meringis dari balik mejanya yang dipenuhi kertas-kertas. Dengan wajah sumringah pria itu berjalan menghampiri Yoona, lalu langsung memeluk Yoona tanpa aba-aba.
"Aku memenangkan tender untuk iklan produk digital. Dan kau yang akan menjadi modelnya."
Yoona hanya menyunggingkan senyum tipis tanpa membalas pelukan pria itu. Reputasinya sebagai kakak ipar Donghae membawa keuntungan yang sangat besar padanya karena Donghae lebih sering memberikan pekerjaan itu padanya daripada model lain. Tak heran jika keberadaannya di sana sering menjadi buah bibir orang-orang. Mereka yang menaruh perasaan iri padanya sering melemparkan gosip jika ia telah menjual tubuhnya pada Donghae demi mendapatkan pekerjaan-pekerjaan itu.
"Aku heran padamu, kenapa selalu aku yang diprioritaskan untuk menjadi model di tender-tender itu?"
"Karena itu permintaan mereka." jawab pria itu apa adanya. "Kau adalah aset yang berharga untuk perusahaan ini, jadi sudah sepantasnya kau mendapatkan perlakuan istimewa. Mereka yang sering membicarakanmu dan melemparkan tuduhan keji, tidak perlu kau pikirkan." ucap pria itu dengan senyum menawan.
"Kau tahu?" tanya Yoona terkejut. Ia pikir pria itu tidak pernah tahu jika selama ini ia sering dibully secara tak kasat mata oleh segerombolan model-model junior yang merasa iri dengan karirnya. Bisa dibilang hanya Rebecca yang dapat berteman tulus dengannya karena wanita itu tidak pernah terlalu memusingkan persaingan yang terjadi diantara para model.
"Tentu saja. Apapun yang berhubungan denganmu, aku tahu. Hanya saja aku tidak ingin menanggapinya terlalu serius karena kaupun demikian."
Pria itu melepaskan pelukannya dan memberikan kecupan ringan di pipi Yoona. Untuk beberapa saat Yoona tidak bereaksi karena wanita itu sepertinya sedang memikirkan sesuatu. Namun saat pria itu mulai mencuri ciuman lagi di bibirnya, barulah Yoona sadar dan segera mendorong bahu pria itu keras-keras.
"Apa-apaan kau ini!" maki Yoona keras. "Jangan pernah mencuri apapun dariku! Bahkan satu ciumanpun!" marah Yoona berapi-api.
Pintu kaca itu baru saja terdorong keras oleh Yoona karena luapan emosi yang dirasakannya. Hawa dingin dan asing langsung menyeruak begitu saja dari ruangan kosong dengan nuansa kayu yang biasanya ditempati oleh Donghae untuk bekerja. Di tengah ruangan, meja besar milik Donghae terlihat sudah dipenuhi debu tipis. Lalu di dekat jendela, tirai-tirai hitam sesekali bergerak pelan ketika angin menyusup masuk melalui celah jendela untuk memberikan sedikit udara segar bagi ruangan yang kini telah ditinggalkan oleh pemiliknya itu.
"Nona Yoona?"
Baru saja Yoona akan melangkah masuk ke dalam ruangan Donghae, manajer Stuart memanggilnya dari belakang dan tampak mengernyit ke arahnya. Pria jangkung dengan wajah sedikit oriental itu terus menatap Yoona dalam dengan mata sipitnya yang terbingkai sempurna dengan kacamata berbingkai putih.
"Ya? Kebetulan sekali, Stuart. Aku mencarimu."
Manajer Stuart menaikan alisnya, lalu ia memberikan kode pada Yoona untuk masuk ke dalam ruangannya.
"Kau mau minum, Yoong?" tawar manajer Stuart sambil meletakan secangkir kopi untuk dirinya sendiri di atas meja. Baru saja ia membuat kopi di pantry karena ia ingin sekalian berjalan-jalan untuk mengusir kebosanannya. Suasana di kantor bisa dibilang belum kembali normal pasca meninggalnya Donghae, karena kantor itu belum memiliki pemimpin pengganti secara fisik.
"Terimakasih, tapi aku baru saja minum. Well, lama tidak berjumpa." sapa Yoona berbasa-basi. Rasanya tidak sopan jika ia langsung mengatakan pada pria itu jika kedatangannya kali ini karena ia ingin mengajukan resign sebagai model.
"Kau terlihat lebih murung dari biasanya. Aku turut berduka atas kehilanganmu."
"Terimakasih."
Setelah itu hening. Baik Yoona atau Stuart, mereka menjadi canggung satu sama lain karena selama ini mereka memang tidak terlalu akrab. Keakrabannya dengan pria di kantor ini sering dimonopoli oleh Donghae yang tidak pernah suka ia terlihat akrab dengan pria lain selain dirinya, jadi Yoona pun jarang terlibat obrolan panjang dengan Stuart maupun pria-pria lain di kantor ini. Tapi meskipun begitu, Yoona kerap mengamati Stuart dari jauh. Sedikit banyak ia mengetahui bagaimana kehidupan Stuart yang merupakan seorang pria berdarah campuran China dan Canada yang dibesarkan oleh orangtuanya di Florida. Orangtua Stuart adalah pemilik kebun jagung yang sering mengeksport jagung ke seluruh negara bagian Amerika. Secara finansial, Stuart sebenarnya pria yang kaya. Tapi ia tidak memiliki bakat di bidang pertanian, sehingga ia memilih untuk berkarir di Chicago sebagai manajer.
"Baiklah, jadi apa yang ingin kau bicarakan?"
Yoona meletakan tangannya di atas meja, menegakan tubuhnya yang semula sedikit bungkuk, lalu menatap Stuart sungguh-sungguh dengan mata bulatnya yang cantik. "Aku ingin mengundurkan diri sebagai model di sini. Aku akan pindah."
"Kenapa tiba-tiba? Apa ini karena kepergian Donghae?"
"Mmm... mungkin. Aku ingin menenangkan diri dan memulai hidup baru."
"Apa rumor itu benar?"
"Rumor tentang apa?" tanya Yoona tak mengerti. Alis tebalnya langsung bertaut begitu saja ketika otaknya sibuk berpikir.
"Jika kau dan Donghae memiliki hubungan khusus."
Seketika Yoona tergelak mendengar kata-kata Stuart. Meskipun gelak tawa itu tidak terdengar tulus, tapi Yoona merasa benar-benar lucu pada pernyataan yang baru saja dilontarkan Stuart. "Yeah, hubungan kakak ipar dan adik ipar. Kau terlalu serius menanggapi gurauan orang-orang di luar sana, Stu."
"Hmm... kupikir kalian memang menjalin hubungan seperti sepasang kekasih. Tapi Yoong, kau memiliki jadwal pemotretan lusa." Secepat kilat Stuart mengganti topik pembicaraan mereka dari masalah pribadi menjadi masalah pekerjaan.
"Aku akan tetap melakukannya. Untuk yang terakhir kalinya."
"Lalu dendanya? Kau masih terikat kontrak dengan kami."
"Kau tenang saja. Aku akan membayar dendanya paling lambat minggu depan. Pengacaraku yang akan mengurus semuanya. Dan ngomong-ngomong tentang pemimpin baru, apa kau telah bertemu dengan Aiden Straight?"
"Nah, itu yang sejak tadi juga ingin kutanyakan padamu." Tiba-tiba saja Stuart menjadi lebih bersemangat saat mereka mulai membicarakan mengenai pria misterius yang akan menggantikan posisi Donghae di kantor itu.
"Memangnya ada apa dengan pria itu?"
"Aku belum pernah bertemu dengannya. Tapi menurut pengacara Donghae, pria itu adalah sahabatnya. Apa kau pernah bertemu dengannya sebelumnya?"
"Bahkan ujung kukunya pun, aku belum pernah melihatnya." dengus Yoona kesal. Ia pikir Stuart akan memberinya informasi mengenai pria bernama Aidender itu.
"Aneh. Tiba-tiba saja posisi Donghae diserahkan pada orang asing yang belum pernah memunculkan batang hidungnya sedikitpun di sini. Lagipula kapan Donghae memberi kuasa pada pria itu? Seharusnya ia menyinggung hal itu padaku jika ia memang telah memberikan kuasa pada orang lain."
"Ck, jangan konyol, Stu." ucap Yoona mendengus. "Tidak ada yang tahu jika Donghae akan mengalami kecelakaan dan... dan... meninggal." Tenggorokan Yoona tercekat begitu saja saat membicarakan kematian Donghae. Langsung saja degup jantungnya mulai meningkat, dan ia membutuhkan beberapa saat untuk menormalkan semuanya.
"Maafkan aku, Yoong. Kutahu itu berat, dan aku tidak sepantasnya menyinggung hal itu. Tapi aku hanya heran, karena pria itu hanya berkomunikasi lewat pengacara Donghae."
"Lalu email-email darinya?" tanya Yoona tak mengerti.
"Itu aku. Aku yang mengirimkan email pada para model atas namanya karena hal itu yang diminta oleh pengacara Donghae beberapa hari yang lalu. Katanya pekerjaan di sini harus tetap berjalan sembari menunggunya siap untuk mengambil alih tanggungjawab yang diberikan Donghae."
"Begitu ya. Sayang sekali aku tidak akan sempat bertemu dengannya."
"Akan kusampaikan salammu padanya saat ia telah menjadi bos baru di sini." ucap Stuart tergelak. Kacamatanya ikut bergerak-gerak naik turun, mengikuti irama tawanya yang begitu renyah.
"Kalau begitu aku akan pergi sekarang. Urusan kita sudah clear, bukan? Sampai jumpa di lain kesempatan, Stu. Kau manajer terbaik yang pernah kukenal." ucap Yoona sambil merentangkan tangannya untuk memeluk Stuart. Dan tanpa canggung, Stuart langsung membalas pelukan Yoona sambil memberikan usapan lembut di punggung Yoona yang rapuh.
"Semoga beruntung, Yoong."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro