Bad Liar Part 33
Ia sudah berjanji pada Donghae untuk membantu pria itu, bagaimanapun caranya dan apapun caranya. Meskipun situasi ini bisa dibilang rumit, dan ia juga masih shock dengan semua kejutan ulangtahun yang ia terima dari Donghae, tapi tetap saja janji adalah janji. Ia harus merealisasikan janjinya sebelum Donghae berubah semakin gila karena banyaknya tekanan yang menghimpitnya. Tapi jika dibandingkan sekarang, dulu mungkin Donghae lebih tertekan. Ia harus menjalankan peran ganda sebagai Laiv dan Aiden secara bergantian. Mengantur berbagai rencana, dan sehati-hati mungkin menjaga penyamarannya itu agar tetap berjalan tanpa cela. Yoona di satu sisi ingin bertepuk tangan untuk kecerdasan suaminya, namun di sisi lain ia juga ingin mengumpati suaminya karena tindakan impulsif bodoh yang akhirnya menyusahkan dirinya sendiri. Dan tentu saja juga menyusahkan dirinya karena sekarang ia adalah bagian dari kehidupan pria itu.
Ting tong
Yoona menunggu dengan sabar di depan pintu sambil memainkan tali tasnya yang menjuntai. Hari ini ia belum ada jadwal pemotretan apapun semenjak perang dinginnya dengan Laiv alias Donghae. Suaminya yang pengertian itu pasti telah mengalihkan projeknya pada model lain untuk memberinya ruang setelah serangkaian kejutan yang diberikannya. Yeah, untuk saat ini ia memang butuh rehat dari dunia modelling yang glamour itu. Jika dipikir-pikir ini adalah saat baginya untuk fokus pada hubungan rumah tangganya. Pada keluarga kecil yang sebentar lagi akan semakin sempurna.
"Yoona? Kau Yoona bukan?"
Yoona mengerjap pelan, tersenyum pada Letha, lalu memberikan sapaan lembut yang terdengar bersahabat.
"Hai, ya aku Yoona. Maaf aku mengganggu waktumu. Boleh aku masuk?"
"Oh tentu."
Yoona sedikit merasa lega karena reaksi awal Letha padanya tidak buruk. Asumsinya, wanita itu belum tahu jika ia adalah istri Donghae. Padahal dari apa yang ia dengar dari Donghae, wanita itu kini berubah sinis dan sangat dingin. Jelas hal itu tidak mengejutkan Yoona sama sekali. Sebagaimana wanita normal pada umumnya, ia jelas tidak suka dibohongi mentah-mentah oleh Donghae. Apalagi kebohongan itu menyangkut pria yang ia cintai selama ini. Terkadang kebohongan memang jauh lebih manis dari sebuah kejujuran sekalipun.
"Halo Hill."
Yoona menyapa anak itu ramahs saat anak itu sedang membongkar box mainannya di depan tv. Letha yang berdiri di belakang Yoona terdengar mendecakan lidah melihat putranya yang kini sedang tersenyum kecil ke arah ibunya.
"Bereskan lagi setelah bermain."
"Oke mom. Oh, halo aunty. Kita pernah bertemu di minimarket."
"Ingatanmu tajam juga ya, jagoan. Tak kusangka ia masih mengingatku." ucap Yoona beralih pada Letha yang saat ini sedang menyingkirkan beberapa mainan Hill yang masih berserakan di atas sofa.
"Ia memang pengingat yang baik. Sering aku lupa mematikan kompor karena terlalu asik bertukar pesan dengan temanku, Hill yang akan menjadi alarm. Ia tidak akan berhenti berteriak di sebelah telingaku hingga aku beranjak untuk mematikan kompor."
"Anak yang cerdas." komentar Yoona bangga tanpa ditutup-tutupi. Setelah itu Letha meminta izin untuk pergi ke dapur sebentar untuk membuatkan minuman. Meskipun Yoona sudah mengatakan jika ia tidak perlu repot-repot membuatkan minuman, namun wanita itu tetap bersikeras dan memintanya untuk menunggu sebentar.
Sembari menunggu Letha yang sedang membuat minuman, Yoona mencoba mengusir kebosanan dengan menyusuri foto-foto yang dipasang Letha di dinding apartemennya. Sejauh ini wanita itu menunjukan jika ia adalah sosok wanita yang teratur. Penataan apartemennya terlihat sangat detail dan khas wanita mandiri. Foto-foto milik wanita itu juga digantung dengan penataan yang tak kalah rapi. Salah satu foto yang menggelitik rasa ingin tahunya adalah foto Letha bersama Hill dan seorang pria yang menurut tebakan Yoona adalah Aiden. Pria itu memang sangat mirip dengan Donghae saat pria itu tanpa menggunakan penyamaran. Pantas saja mereka dapat menjalin pertemanan sedekat itu hingga mengalahkan ikatan persaudaraan antara Siwon. Bisa dikatakan Donghae lebih mempercayai Aiden daripada Siwon. Dan itu sudah terbukti benar.
Sayang sekali pria itu harus mejadi korban dalam kecelakaan yang melibatkan mereka berdua. Terkadang Yoona berpikir, jika saat itu ia tidak marah-marah, lalu Donghae tidak pergi dari rumah dalam keadaan marah, mungkin pria itu yang akan menyetir sepanjang jalan. Dan kemungkinan yang lain, kecelakaan itu tidak akan terjadi. Atau jika kecelakaan itu tetap terjadi, mungkin saja korbannya adalah Donghae. Dan Yoona merasa jantungnya berdegup kencang sekerang saat membayangkan hal itu. Ia lalu melirik ke arah Letha yang sibuk berkutat di dapur. Seketika perasaan sedih dan berdosa itu menyusup ke hati Yoona. Ia benar-benar sangat beruntung karena tidak mengalami apa yang dialami Letha saat ini. Kehilangan orang yang sangat dicintai itu berat. Apalagi dengan fakta-fakta menjengkelkan yang terjadi di belakangnya.
"Minumlah."
"Jus?"
"Ada masalah? Kurasa kau tidak minum kopi saat ini." ucap Letha sambil melirik ke arah pinggul Yoona yang dibungkus oleh setelan blus dan celana jeans cream.
"Ada yang berubah." lanjut Letha lagi sambil duduk di atas sofa. Mendengar hal itu Yoona mengernyit.
"Apa yang berubah?"
"Bentuk tubuhmu. Jadi aku berasumsi jika kau sedang hamil."
"Untuk beberapa saat Yoona hanya terdiam, lalu menatap Letha dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kau menyadarinya?"
"Aku sudah pernah mengalaminya." jawab Letha sambil mengendikan bahu. "Tapi aku memang peka. Bisa dibilang aku cukup detail dalam mengamati sesuatu."
"Wah kau hebat." puji Yoona tulus. Ia pikir selama ini tidak ada yang menyadari adanya perubahan pada bentuk tubuhnya. Sekalipun Donghae yang setiap saat menyentuhnya, pria itu sama sekali tidak tahu jika ia sedang mengandung.
"Anak pria itu?"
"Siapa?"
"Kau saat itu pergi bersama Aiden— palsu." Letha berucap ragu sambil menatap ekspresi Yoona yang belum menunjukan perubahan. Yoona masih menyimak kalimatnya dengan wajah tenang. "Pria yang bersamamu, itu bukan Aiden. Kau sudah tahu?"
"Ya, aku tahu."
"Bagus. Jadi apa itu anaknya?"
"Ya, ini anaknya."
"Setahuku saat itu hubungan kalian hanya sebatas rekan kerja. Dan dari berita yang kubaca di internet, kau sudah menikah dengan Laiv Birmingham."
Yoona menggaruk tengkuknya kikuk saat merasa bingung dengan penjelasan yang dipaparkan Letha. Ia pikir ia tidak akan membahas masalah itu secepat ini. Setidaknya ia ingin berbasa-basi sebentar selama tiga puluh menit sebelum nantinya mereka akan membahas masalah Aiden palsu.
"Ya, Laiv Birmingham adalah suamiku."
Raut wajah Letha berubah aneh saat Yoona mengakui hal itu dengan mudah. Dari apa yang dilihat Letha, wanita itu pasti saat ini menuduhnya murahan.
"Alias Lee Donghae. Kau bukan satu-satunya yang ditipu olehnya." lanjut Yoona lagi berusaha terlihat senormal mungkin. Ia takut ekspresi apapun yang ia tunjukan sekarang dapat membuat Letha berpikiran negatif tentangnya.
"Tunggu, maksudmu selain berpura-pura menjadi Aiden, Lee Donghae juga berpura-pura sebagai Laiv Birmingham?"
"Tepat sekali. Ia melakukan peran ganda beberapa waktu lalu untuk berbagai alasan rumit yang dihadapinya. Dan percayalah, bukan hanya kau yang shock, akupun juga. Bahkan saat itu aku sampai menodongkan pisau ke arahnya saat ia masih saja melanjutkan sandiwaranya setelah secara sembunyi-bunyi aku berhasil membongkar penipuan busuknya itu."
"Ya Tuhan." desah Letha keras. Ia langsung membuat gerakan frustrasi sambil menutup wajahnya dengan dua telapak tangannya. Tapi hal itu tidak berlangsung lama, tiga detik kemudian Letha segera menurunkan tangannya sambil menatap wajah Yoona sungguh-sungguh untuk meminta penjelasan.
"Pria itu memang hebat. Padahal aku pernah merasa cemburu padamu."
"Saat aku membukakan kau pintu dengan pakaian Aiden palsu itu? Yeah, aku menyadari kecemburuanmu." sahut Yoona terkekeh.
"Saat itu kau berarti kau bersama suamimu sendiri sebenarnya? Benar-benar sulit dipercaya."
"Aktingnya memang bagus. Jadi wajar jika kau tertipu oleh sandiwara bodoh itu. Ngomong-ngomong, bagaimana perasaanmu sekarang?" Tiba-tiba Yoona mengubah topik pembicaraan sambil menunjukan raut khawatir. Tentu saja ia mengkhawatirkan kondisi Letha dan juga Hill pasca pengakuan itu. Meskipun tidak pernah bersinggungan dengan Aiden secara langsung, tapi ia seperti ikut andil dalam kehidupan mereka. Bagaimanapun saat ini Letha dan Hill juga masuk sebagai tanggungjawab Donghae, selaku sahabat dekat dari Aiden dan penguasa dari seluruh properti yang ditinggalkan Aiden.
"Terguncang. Jujur, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku ingin marah, tapi pada siapa?" Wajah Letha terlihat begitu menderita. Dan Yoona merasa prihatin saat menatap wajah Letha yang lesu.
"Donghae."
"Apa?"
"Kau marah pada Donghae?"
"Sebenarnya tidak. Itu hanya reaksi keterkejutanku saja. Sebenarnya aku marah pada diriku sendiri."
"Kenapa? Donghae juga patut disalahkan karena ia justru mengambil tindakan impulsif bodoh itu, alih-alih mengakui kebenarannya di muka umum."
"Donghae tidak bisa disalahkan seratus persen. Pria itu— maaf jika aku menyinggungmu karena dia adalah suamimu."
"Tidak apa-apa, lanjutkan saja."
"Baiklah. Pria itu tidak sepenuhnya salah karena ia pasti memiliki alasan lain dibalik semua tindakannya itu. Alasan-alasan yang mungkin menurutku atau menurutmu tidak tepat, namun di matanya terasa tepat. Hal itulah yang akhirnya membuatnya mengambil tindakan penipuan itu. Tapi pada dasarnya ia tidak merugikan siapapun. Yeah, tentu saja selain kerugian materi. Kau dan aku menderita secara mental."
"Kau benar. Awalnya aku mengira Donghae yang mati dalam kecelakaan itu. Sebelum ini hidupku sudah rumit." Yoona menerawang jauh ke arah foto-foto yang berjejer di dinding Letha. Sepertinya memang inilah saatnya ia membagi kisahnya pada orang lain selain Rebecca. Jika ia ingin semua masalah ini segera mendapatkan titik terang, ia harus memulainya dari masa lalunya yang terlampau rumit. Jadi pada akhirnya ia menceritakan semua masa laluya pada Letha. Semua, tanpa terkecuali, hingga ia bisa sampai di titik ini.
"Aku tidak menyangka, kau juga memiliki alur kehidupan yang sulit." komentar Letha setelah cerita panjang yang dipaparkan Yoona. Melihat wanita itu yang sedikit terengah karena luapan emosi yang dirasakannya, Letha kemudian mempersilahkan Yoona untuk meminum minumannya terlebihdahulu. Ia harap hal itu bisa meredakan ledakan emosi yang saat ini dirasakan Yoona akibat pukulan telak dari masa lalu.
"Tapi aku bersyukur dapat melampauinya hingga sejauh ini."
"Maaf, tapi aku sebenarnya bingung. Apa tujuanmu datang kemari?"
Seakan baru ingat pada tujuan awalnya, Yoona cepat-cepat mengatakan tujuannya datang ke apartemen Letha siang ini. "Mengobrol denganmu." Tapi kemudian Yoona melanjutkan agar terdengar lebih dramatis dan meyakinkan. "Sebagai sesama wanita yang pernah ditipu."
"Ah itu, kau pasti mengasihaniku."
"Aku lebih mengasihani diriku sendiri. Sebelum Donghae benar-benar lepas dari masalahnya, aku tidak bisa memberitahu berita bahagia ini." Yoona mengelus perutnya lembut dan menatap sayu ke arah Letha.
"Kenapa? Bukankah itu berita bagus?"
"Memang, tapi aku tidak bisa menambahkan beban pikiran lagi untuknya. Jika ia tahu aku hamil, ia pasti akan berkeras untuk menjagaku sekuat tenaga. Padahal saat ini tenaga dan pikirannya sedang dikerahkan untuk menyelesaikan masalah lain yang lebih mendesak."
"Maaf. Sikapku pasti memuakan karena terlihat egois."
"Bukan salahmu sepenuhnya." jawab Yoona lembut. Sebelum keadaan diantara mereka berubah semakin canggung, Yoona cepat-cepat mengajukan topik pembicaraan baru pada Letha. "Bagaimana dulu kau mengandung Hill? Berapa usiamu saat mengandung Hill?"
"Sembilan belas. Delapan belas akhir sebenarnya. Masa-masa mengandung Hill bukan masa-masa yang menyenangkan." jawab Letha muram. Jelas pengalaman mengandungnya tidak seindah milik wanita-wanita beruntung di luar sana. Tidak ada kasih sayang seorang suami, tidak ada dukungan keluarga, dan tidak ada siapapun yang mempedulikannya. Semua ia jalani sendiri dengan ketabahan hati yang kala itu ia paksakan.
"Aiden?"
"Huh, saat itu ia bukan pria yang baru-baru ini kukenal. Ia lebih buruk." desah Letha sedih. Jika dibandingkan dulu, sikap Aiden akhir-akhir ini memang sangat jauh. Bahkan terkadang ia juga bertanya-tanya, apa sebenarnya alasan Aiden berubah untuk menjadi pria baik yang bertanggungjawab? Sayangnya ia tidak akan pernah mendapatkan jawaban itu dari Aiden.
"Menolak bayimu?"
"Sangat. Ia bahkan tidak peduli sama sekali. Aku berjuang sendiri."
Yoona menunjukan wajah prihatin yang sama sekali tidak dibuat-buat. Ia dan Letha sebenarnya hampir mirip, namun dengan jalan cerita yang sedikit berbeda. "Maaf, tapi kenapa kau tidak memilih untuk menggugurkannya?" Saat mengucapkan hal itu, refleks Yoona menoleh ke arah Hill seakan-akan ia takut pria kecil itu dapat mendengarkan ucapannya. Tapi saat mendapati anak itu sekarang sedang serius membongkar mainan mobil-mobilannya, Yoona menjadi lega dan kembali menatap ke arah Letha.
"Aku sempat berpikir untuk melakukannya, tapi kuurungkan niatku. Sebelum aku berhasil mencapai pintu ruang praktik, aku tiba-tiba sudah berjalan mundur dan berlari menuju rumah. Setelah itu, aku tidak lagi berpikir untuk menggugurkannya."
"Syukurlah. Akan sangat disayangkan jika kau melepas anak secerdas dan selucu Hill begitu saja."
"Ia adalah keajaiban untukku. Tidak tahu lagi bagaimana hidupku tanpa Hill karena meskipun saat itu aku menggugurkan kandunganku, penilaian keluargaku terhadapku tidak akan pernah berubah. Aku adalah anak yang rusak, dan aku harus dijauhi."
"Apa tanggapan keluargamu?"
"Mereka membenciku. Ayahku marah besar dan memaki-makiku saat akhirnya rahasiaku terbongkar. Tapi meskipun begitu aku tidak akan pernah mundur untuk mempertahankan bayiku."
"Aku terkesan dengan tekadmu yang kuat itu. Apa yang membuatmu bisa sekuat itu?"
Letha diam sejenak, kemudian melirik Hill dengan mata berkaca-kaca yang nyaris menitikan air mata. "Aku langsung ingin memilikinya setelah aku merasakan pergerakannya di perutku."
-00-
Angin dingin menerbangkan helai-helai rambut Letha yang ikal dan berwarna pirang. Sambil merapatkan jaketnya yang semakin tidak muat karena perut buncitnya, Letha menengadahkan kepalanya ke atas. Berada di halaman belakang rumahnya di musim gugur membuat ia banyak dihujani daun-daun kering dari pohon yang meranggas. Tapi menurutnya itu indah. Mereka tampak seperti kupu-kupu kuning yang sedang beterbangan kesana kemari untuk menghiburnya. Sesekali saat angin itu menerpa wajahnya, Letha mendesis kecil. Memar di pipi karena luka tamparan ayahnya kemarin cukup membuatnya merasa ngilu sepanjang hari ini. Ia tidak tahu jika itu akan terasa sangat sakit, meskipun ia telah mengompresnya berkali-kali menggunakan air hangat.
Kemarin ayahnya marah besar. Topik mengenai kemrosotan moralnya mulai disinggung lagi karena ia terang-terangan menolak rencana ayahnya untuk menjodohkannya dengan salah satu kenalannya. Kenalannya itu sudah cukup matang untuk menikah, sedangkan di luar sana tidak ada gadis-gadis yang mau dengannya. Sebagai seorang wanita, Letha merasa ia memiliki hak juga untuk menolak pria itu. Ia jelek. Maksudnya bukan hanya sekedar secara fisik. Pria itu jelek secara moral juga. Dalam pertemuan pertama mereka, pria itu sudah berani melemparkan tatapan melecehkan yang begitu menjijikan. Letha rasanya ingin mencongkel mata lancang itu karena berani menatap ke arah dadanya yang memang semakin besar sejak ia mengandung. Tapi ayahnya yang keras kepala itu bersikeras untuk tetap menjodohkannya dengan pria itu agar ia dapat segera pergi dari rumah dan tidak menjadi beban bagi keluarganya. Namun karena ia tidak mau dan terus menolak dengan berbagai alasan, ayahnya menjadi naik pitam dan kembali marah-marah dengan kasar.
Seluruh sifat buruknya di masa lalu mulai diungkit-ungkit ayahnya lagi. Termasuk keburukan moralnya yang telah berani bermain api bersama seorang pria. Ayahnya menuduhnya wanita sok suci yang tidak pantas pilih-pilih pria karena ia sendiri pada dasarnya sudah kotor. Katanya pria di luar sana tidak akan mau menikahi seorang gadis yang pernah disentuh oleh pria lain, bahkan hingga memiliki anak. Kemudian semua itu terus berkembang hingga menjadi makian, teriakan, dan yang terakhir adalah tamparan. Ayahnya menamparnya sangat keras kemarin karena merasa emosi dengan sikapnya yang terus membangkang. Setidaknya itu yang dilihat dari ayahnya dari dirinya. Sedangkan ia sendiri melihat hal itu sebagai sebuah pembelaan.
Ia takut menikahi pria itu. Dalam sekali lihat saja, ia bisa tahu jika pria itu bukan pria yang baik. Ia hanya menginginkan tubuhnya, tapi tidak pernah mencintainya. Dan ayahnya jelas tidak mau tahu soal itu. Baginya ia adalah kotoran dalam keluarga yang membuat rusak nama baik keluarga sejak kehamilannya. Semakin banyak orang tahu, semakin banyak yang menjelek-jelekan keluarganya hingga suatu hari ia pernah mendengar ibunya histeris mengadu pada ayahnya karena dirinya dihina habis-habisan saat berbelanja. Tapi ia sendiri juga tidak bisa berbuat apa-apa. Nasi sudah menjadi bubur. Saat itu ia memang khilaf dan terlalu naif karena mempercayai janji-janji palsu Aiden.
Ngomong-ngomong soal pria itu, kemarin ia sempat melihatnya. Saat ia selesai berbelanja, ia melihat pria itu berada di depan minimarket sambil menyandarkan tubuhnya pada kap mobil. Di lihat sekilas, pria itu sama sekali belum berubah. Ia masih tampan, bahkan lebih tampan dengan gurat-gurat kedewasaan yang semakin menonjol dari tubuh indahnya. Dan pria itu menggunakan kacamata hitam yang berhasil membuat penampilannya semakin memikat. Saat itu ia memutuskan untuk berhenti sebentar di sana. Ingin melihat Aiden lebih lama untuk disimpan di otaknya karena ia tidak tahu kapan ia bisa bertemu lagi dengan pria itu di masa depan. Jadi selama lima menit ia tetap berdiri di depan mini market dengan posisi yang sedikit jauh dari tempat Aiden memarkir mobilnya.
Namun di menit ke enam, saat ia masih berdiri di sana untuk menekuni sosok itu lebih lama, Aiden tiba-tiba menoleh ke arahnya. Mata pria itu terpaku ke arahnya yang saat itu menjadi satu-satunya wanita yang berdiri di depan toko dengan dua kantong belanja dalam pelukannya. Setelah beberapa detik menatap ke arahnya, pria itu kemudian menatap ke arah perutnya. Letha dapat merasakan hal itu meskipun Aiden sedang menggunakan kacamata hitam yang berhasil menutupi kecemerlangan mata hijaunya. Dan rasanya saat itu Letha ingin menangis. Ditatap seperti itu oleh Aiden sungguh menggetarkan hatinya.
Dalam hati ia berharap pria itu sedang memujinya atau apa karena hingga sejauh ini ia telah berhasil mengandung anaknya dengan lancar. Tapi semua kesenangan itu tidak terlalu lama dirasakan oleh Letha karena setelah itu seorang wanita cantik berambut lurus coklat gelap dengan jeans ketat, sepatu boot selutut, dan jaket denim pendek yang menggantung sempurna di tubuh rampingnya keluar dari mini market sambil mendaratkan kecupan manis di bibir Aiden. Hal itu berlangsung sangat singkat, namun itu membuat semua atensi Aiden padanya menjadi buyar. Setelah kedatangan wanita itu, Aiden tidak lagi melihat ke arahnya. Pria itu lalu pergi begitu saja bersama wanitanya dan melajukan mobilnya tepat di depannya yang sedang merana.
Letha tak sadar jika air matanya kini sedang meleleh di sekitar pipinya. Ternyata ia masih menyimpan perasaan itu untuk pria brengsek yang bahkan tidak pernah menganggapnya berarti. Tapi kemudian bayangan mengenai Aiden buyar seketika. Letha mengerutkan keningnya dan mulai merintih saat merasakan sesuatu yang tidak biasa melilit perutnya. Awalnya rasa sakit itu hanya serupa rasa sakit mulas karena ingin buang air, namun semakin lama intensitas rasa sakit itu semakin meningkat hingga Letha merasa kewalahan untuk menahannya.
Tiba-tiba pikiran mengenai kelahiran mulai menyusup di benak Letha dan membuatnya takut. Tidak ada orang di rumah. Semua orang pergi untuk merayakan hari ulangtahun kakaknya, sang anak emas. Apalagi setelah harga diri Letha terinjak-injak di rumah ini, tidak ada lagi yang tersisa untuknya. Ia praktis harus menjalani hidup dengan mengeraskan hati karena jika tidak, setiap hari ia hanya akan merasa tersakiti dengan apapun yang dilakukan ayahnya. Terutama ayahnya, sedangkan sang ibu tidak terlalu bersikap buruk padanya. Tapi Letha tahu jika ibunya kecewa pada tindakan gegabah yang ia lakukan.
Dengan rasa sakit yang semakin menyiksa, Letha berjalan tertarih-tatih ke dalam rumah untuk mengambil telepon. Ia perlu memanggil ambulans dan memberitahu mereka jika ia perlu dijemput untuk dibawa ke rumah sakit. Tak akan ia biarkan hal ini mengganggu kebahagiaan Gracie yang saat ini sedang merayakan ulangtahun yang ke dua puluh empat. Sudah cukup selama ini ia menjadi objek kekesalan Gracie karena wanita itu terus menyalahkannya atas tindakan terlalu mengatur ayahnya. Gracie sang anak emas sekarang selalu dijaga ketat agar tidak berakhir seperti adiknya yang menyedihkan. Karena hal itulah Letha kali ini tidak akan membiarkan kelahiran bayinya sebagai hari terburuk untuk Gracie karena pesta ulangtahunnya diusik.
"Tttolong kirimkan ambulans ke Caledron Street nomor empat belas, aak akku..." ucap Letha terengah-engah. Ia mulai merasakan paru-parunya tidak bisa menerima oksigen dengan benar karena ia terlalu banyak membuang tenaga untuk menahan sakit, alih-alih bernapas. "Aku akan melahirkan!" teriak Letha dalam satu kali tarikan napas dan suara keras yang berakhir dengan engahan. Setelah itu ia langsung membanting telepon itu ke tempatnya dan mulai mengatur napasnya seefisien mungkin sambil menunggu ambulans datang. Dalam saat-saat genting itu beberapa kali Letha melemparkan lelucon-lelucon konyol pada dirinya sendiri untuk meredakan kegugupan yang sedang melandanya. Ia ingin menangis. Sementara darah saat ini mulai merembes di seputar betis hingga menetes ke lantai. Ia tahu ini bukan sesuatu yang alami. Ia mengalami pendarahan karena berbagai pemicu yang mungkin bisa saja terjadi. Seperti stress mungkin, atau kegugupan yang terlalu parah karena saat ini tidak ada siapapun yang dapat menenangkannya.
Semakin lama darah yang menggenang di bawah kakinya semakin banyak. Darah yang seharusnya mengalir di tubuhnya justru terbuang sia-sia hingga membuat wajahnya pucat. Dalam kesakitan yang tengah menderanya, Letha berusaha berpikir cerah mengenai anaknya. Masa depan anaknya harus ia perjuangkan. Maka ia memikirkan bagaimana nanti bayi itu lahir. Ia akan menyambut kelahiran bayinya penuh sukacita. Ia akan mendekap anak itu. Memberinya nama Hillary Jovon, seperti nama yang telah ia pilih dari situs penyedia alternatif nama-nama bayi.
Padahal dulu ia berpikir akan memiliki seseorang di sampingnya yang akan menemaninya saat ia akan melahirkan. Memiliki orang yang akan memberikan nama untuk anaknya dengan nama marga yang juga akan menyertai di belakang nama anaknya. Tapi harapan tinggal harapan. Nyatanya tidak ada siapapun yang menemaninya disaat-saat ia akan melahirkan, pun tidak ada siapapun yang memberikan nama untuk bayinya bersama marga yang tersemat di belakang nama bayinya selain nama marga ayahnya. Praktis semua mimpi-mimpi itu kini hanya omong kosong belaka yang menyakitkan.
Letha menangis dalam diam ketika rasa sakit itu sudah tak tertahankan lagi. Rasanya ambulans terlalu lama datang untuk menolongnya. Dan ia tidak bisa lagi mempertahankan kesadarannya yang semakin lama semakin menipis. Ia sekarat, sepertinya begitu. Rasa kantuk kini yang lebih mendominasi dari yang lainnya. Sehingga pada akhirnya ia memilih untuk memejamkan mata sejenak sambil membayangkan hal-hal indah yang akan menyongsongnya ketika ia berhasil melahirkan dengan selamat nanti. Atau jika ia gagal melahirkan dengan selamat, minimal bayi itu masih akan tetap bernapas untuk menyambut hari baru yang labih bahagia.
-00-
"Kau baik-baik saja?"
Yoona mengernyit prihatin saat menatap mata Letha memerah. Wanita itu baru saja menceritakan saat-saat tersulit yang pernah ia alami dalam hidupnya. Saat-saat ia berdiri di batas antara kehidupan dan kematian dengan tali tipis di bawah kakinya yang sewaktu-waktu dapat membuatnya jatuh kapan saja ke salah satu sisi yang bertentangan itu. Gelengan cepat yang ditunjukan Letha setelah tiga detik berhenti untuk mengambil napas, membuat Yoona dapat sedikit bernapas lega. Setidaknya wanita itu kini tidak lagi terengah karena serangan emosi yang membombardir pertahanannya.
"Aku baik-baik saja. Selalu saja kenangan itu mempengaruhiku. Aku hampir mati saat melahirkannya." Letha dengan terang-terangan melirik Hill yang masih asik membongkar mainannya. Baterai-baterai dalam mainan itu dilepaskan oleh Hill, dan anak itu mulai mempreteli mainan itu satu persatu dengan dahi yang sesekali berkerut.
"Ia berbakat."
"Bukan aku yang menurunkan bakat seperti itu."
"Ahh ya." jawab Yoona dalam nada panjang. Sengaja ia tidak menyebutkan nama pria itu karena takut akan menyinggung Letha. "Apa yang terjadi selanjutnya?"
"Entahlah. Aku terbangun dua hari kemudian. Ibuku berada di sampingku saat itu, menunjukan wajah haru penuh syukur. Sedangkan kakakku hanya berdiri kaku di dekat sofa sambil menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Aku tidak tahu bagaimana pesta ulangtahunnya berakhir. Aku tidak pernah menanyakannya. Tapi kuharap itu baik-baik saja dan tidak terinterupsi olehku."
"Kalian masih berhubungan sekarang?"
"Tidak. Tentu saja tidak. Tidak ada yang pernah mencariku atau menghubungiku setelah aku keluar dari rumah. Aku juga tidak melakukannya."
"Kau yakin itu keputusan yang tepat?" tanya Yoona sedikit menyayangkan. Bukannya ia bermaksud untuk ikut campur, tapi sepertinya pilihan yang diambil Letha sedikit tidak tepat.
"Sangat yakin. Kau sendiri juga tidak menghubungi keluarga Donghae di Chicago?"
"Belum Saatnya." Sekarang Yoona merasa dibalas oleh Letha. Dan ia harus siap untuk pertanyaan selanjutnya yang akan dicecar oleh wanita itu.
"Kenapa?"
"Itu keluarga Donghae. Jadi aku tidak berhak untuk ikut campur. Kuserahkan semuanya pada Donghae. Sekarang ia sedang menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di sini."
"Oh." balas Letha singkat.
Di sisi lain Yoona merasa Letha mulai bosan dengan pembicaraan mereka yang datar. Ia pun juga begitu. Setelah emosinya dibuat meledak-ledak, Letha tiba-tiba berubah menjadi sangat pasif seperti kehilangan daya. Diam-diam Yoona melihat Letha begitu resah. Ia menggosok-gosokan tangannya di kedua lengan seperti orang kedinginan. Padahal suhu di dalam apartemen Letha menurutnya sangat hangat. Tapi wanita itu terlihat gelisah.
Ting tong
Suara bel pintu itu mengagetkan Letha hingga ia langsung berdiri dan beranjak menuju pintu tanpa mengatakan sepatah katapun pada Yoona.
"Hai."
Letha membelalakan matanya, sedikit melihat ke belakang, lalu tersenyum kaku ke arah pria yang berdiri di depannya.
"Aiden, kupikir kau tidak akan datang lagi. Kau ingin masuk?"
Pria itu menyadari kekakuan nada suara Letha, namun memilih untuk mengabaikannya. Dengan penuh minat ia menganggukan kepalanya setelah mendengar tawaran Letha yang begitu menggiurkan. "Bolehkah?"
"Tentu saja. Ayo masuk."
"Apa aku mengganggumu?"
"Sama sekali tidak." Tentu saja Aiden tidak mengganggunya. Ini adalah waktu bebasnya. Setelah seharian berkutat dengan pekerjaannya yang menggunung di kantor dan menjemput Hill dari tempat penitipan anak. Ini adalah saat yang tepat bagi Letha untuk beristirahat. Malam hari seperti ini, tidak ada kegiatan yang bisa dilakukan Letha selain hanya bermalas-malasan sambil mengawasi Hill bermain dengan mainannya.
"Maaf berantakan."
Aiden masuk ke dalam ruang tamu yang sudah terasa familiar untuknya. Kemarin ia sudah datang ke sini dalam keadaan badai. Sebuah kedatangan yang nekat sebenarnya. Sebelum badai itu datang tiga jam yang lalu, ia baru datang dari LA. Lalu ia langsung mencari keberadaan apartemen Letha di Tacoma. Menunggu selama beberapa saat di kafe di seberang apartemen Letha untuk merenung. Dan saat badai itu mulai mengamuk, ia dengan langkah berani justru masuk ke dalam apartemen, dan mengetuk pintu apartemen Letha di lantai tiga.
"Mommy... susuku tumpah." keluh Hill tiba-tiba sambil menunjuk ke arah tumpahan susu yang berhasil merendam buku ceritanya di atas lantai. Letha langsung menghela napas pelan dan bergegas mengambil lap di dapur untuk membereskan kekacauan lain yang dibuat Hill. Sementara itu, Aiden masih terpaku di dekat sofa sambil memandangi anaknya yang kini sedang menatapnya sambil berkedip beberapa kali.
"Halo." sapa si anak polos. Aiden masih mematung di tempat dengan berbagai macam kesemrawutan yang kini dirasakannya. Bukankah ini tujuannya datang ke sini? Melihat anaknya yang telah tumbuh dengan sangat baik bersama ibunya. Tapi alih-alih berjalan mendekat untuk memeluk anaknya, Aiden justru terus berdiri kaku hingga Letha menegurnya dari dapur.
"Kau ingin minum apa?"
"Apapun yang kau punya." jawab Aiden tanpa mengalihkan tatapan matanya dari Hill. Bocah itu masih berdiri di tempat yang sama sambil melakukan hal yang sama seperti Aiden, mengamati satu sama lain dengan wajah polos yang begitu menggemaskan. Tiba-tiba rasa hangat itu menyusupi hati Aiden. Ia memiliki seorang anak. Akhirnya... Satu-satunya anak yang bisa ia miliki sekarang berada di depannya dan tidak terlihat takut sama sekali dengannya.
"Berikan salam pada paman..."
"Ace!" Anak itu terlonjak girak dan tanpa aba-aba memeluk kaki Aiden antusias. "Kau mirip Ace yang sering kulihat di tv."
Merasa bingung, Aiden menoleh ke arah Letha untuk meminta penjelasan dari wanita itu.
"Ace. Tokoh kartun pahlawan yang sering ia lihat di tv. Mungkin karena kau memiliki gaya rambut dan warna mata yang sama."
"Benarkah?" Meskipun terlihat meragukan, kenyataannya Aiden sebenarnya sangat senang. Menurutnya ini langkah awal yang bagus untuk memenangkan hati anaknya.
"Hai jagoan. Ingin menunjukan sesuatu pada paman Ace?" Aiden mengedik ke arah mainan-mainan yang berserakan di depan televisi. Dengan semangat Hill langsung menarik tangan Aiden ke arah mainan-mainannya dan mulai memamerkan semua itu satu persatu.
"Kau memiliki banyak mainan yang mengagumkan."
"Mobil truck, ini robot iron man." Anak itu memberikan Aiden mainannya, lalu tersenyum malu-malu.
"Mainan kesukaanmu?"
Hill mengangguk sambil menekan tombol di bawah kaki mainan iron mannya, sehingga kaki robot itu tiba-tiba bergerak dengan tangan yang ikut mengeluarkan cahaya.
"Hebat. Siapa yang membelikan ini semua?"
"Mommy." jawab anak itu antusias. Aiden tiba-tiba tertegun melihat semua mainan itu. Dalam hati ia kagum pada Letha yang tangguh. Wanita itu mampu menghidupi putranya sendiri dengan seluruh kerja keras yang tidak mudah. Ia tahu, wanita itu selama bertahun-tahun terus berjuang tanpa ingin mengundang belas kasihan dari siapapun. Sedangkan dirinya? Oh jangan tanyakan tindakan apa yang sejauh ini telah ia lakukan. Tentu saja selain memberikan sumbangan benihnya, ia tidak pernah melakukan apapun!
"Kopimu."
Aiden menoleh ke belakang dan mendapati Letha telah berdiri di belakangnya sambil membawa secangkir kopi. Ia lantas meninggalkan Hill sebentar sambil berjanji bahwa setelah ia selesai berbicara dengan ibunya, ia akan menemani bocah itu bermain.
"Terimakasih. Ngomong-ngomong, apa aku mengganggumu?"
"Tidak. Malam hari memang waktu untuk bersantai. Bagaimana menurutmu?"
Awalnya Aiden berpikir jika Letha sedang menanyakan rasa kopi buatannya kemarin. Namun setelah mengamati dengan cermat arah pandang Letha, barulah Aiden sadar jika wanita itu tidak membahas tentang kopinya. Tapi tentang Hill.
"Luar biasa."
"Aku tahu dia luar biasa. Hal yang tak pernah kusesali hingga sejauh ini." ucap Letha sambil menerawang. Sesungguhnya ia terusik sejak kedatangan Aiden kemarin. Ia terus bertanya-tanya, kenapa pria itu tiba-tiba muncul di pintu apartemennya? Apa tujuan akhir dari kunjungan-kunjungan ini? Apakah pria itu akan merebut Hill darinya?
"Itu kedengaran luar biasa."
Setelah itu hening. Tidak ada satupun diantara mereka yang ingin buka suara untuk melanjutkan percakapan yang sejak awal terasa kaku itu. Baik Letha maupun Aiden, mereka berdua lebih memilih untuk memperhatikan Hill yang sedang mondar mandir untuk menyusun lego di dekat pintu kamarnya. Sesekali Aiden tersenyum saat melihat wajah gusar Hill. Itu mirip dengannya saat sedang gusar. Bedanya jika ia gusar, ia pasti akan langsung mengumpat. Sedangkan Hill hanya mengerut-ngerutkan alisnya sambil bergumam dengan bahasa bayi yang tidak ia mengerti.
"Aiden..."
Letha akhirnya kehabisan kesabaran untuk menunggu. Pertanyaan yang memuakan itu telah menggelitiknya sejak kemarin. Dan hal itu mau tidak mau mengusik bantinnya yang dipenuhi tanda tanya besar. Meskipun ia tidak masalah dengan keberadaan Aiden saat ini di apartemennya, bukan berarti ia akan diam saja jika sampai pria itu mengambil anaknya begitu saja darinya.
"Sebenarnya apa tujuanmu datang ke rumahku?"
"Maaf, aku ingin menjemput Yoona."
"Hah?"
Letha menggumam tidak mengerti, mengerjap-ngerjapkan matanya cepat, kemudian menoleh ke belakang, ke arah Yoona yang kini telah berdiri tepat di belakangnya.
"Maaf, aku meminta Donghae untuk menjemputku."
"Oo oh maaf, kurasa aku hanya sedikit terkejut." bohong Letha datar, mencoba menutupi kebodohannya karena ia baru saja membayangkan hal lain dalam pikirannya setelah membukakan pintu untuk Donghae.
"Kuharap aku tidak membuatmu takut."
"Aku tidak takut padamu." Aku takut melihatmu sebagai Aiden, batin Letha kesal, namun ia jelas tidak mengatakan hal itu pada Donghae. Topik itu terlalu rentan untuk dibahas sekarang.
"Terimakasih untuk waktumu hari ini. Aku lega setelah berbicara denganmu."
"Sama-sama. Sebaiknya kau segera mengambil tindakan." Letha mengendikan bahu, dan Yoona mampu menangkap hal itu dengan jelas.
"Tentu. Sampai jumpa. Aku tidak sabar untuk bertemu denganmu di kantor."
Yoona mengedip jenaka, dan setelah itu segera berjalan ke arah pintu untuk menghampiri suaminya yang sejak tadi masih berdiri di sana sambil bermain ponsel.
"Kau bisa mulai bekerja besok." beritahu Donghae.
"Ya, aku akan datang tepat waktu."
Setelah melakukan salam perpisahan yang tidak terlalu seakrab yang seharusnya dilakukan oleh seorang teman, Letha masuk ke dalam rumah. Menutup pintunya rapat-rapat, wanita itu lalu merosot jatuh dibalik pintu dengan air mata yang berderai begitu saja tanpa sebab.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro