Bad Liar Part 28
Tidak ada yang bisa dilakukan Yoona hari ini. Setelah pulang dari apartemen Aiden, ia mendapati rumahnya sepi seperti biasa. Laiv tidak ada di rumah. Yeah, tentu saja pria itu tidak mungkin berada di rumah di jam sepuluh seperti ini. Sudah pasti Laiv saat ini sedang berkutat di meja kantornya untuk menandatangani puluhan berkas yang datang dan pergi di atas mejanya. Memikirkan Laiv semakin lama justru membuat Yoona semakin jengkel. Perang dingin yang terjadi diantara mereka justru membuat rumah tangga mereka menjadi tidak jelas seperti ini. Bahkan semalam Laiv juga sama sekali tidak menghubunginya. Padahal saat Yoona mengaktifkan ponselnya pagi ini, ia berharap Laiv akan menghubunginya, mencarinya dengan wajah panik sambil berdoa tanpa henti sepanjang malam, memohon keselamatannya pada Tuhan. Tapi yang ia dapatkan saat ponsel putihnya sudah benar-benar menyala hanyalah tumpukan email dari kartu kredit, dari pihak legalitas agensi Aiden yang mengirimkan salinan kontrak kerja, lalu beberapa panggilan tak terjawab dari Becca. Selain itu, sama sekali tidak ada panggilan masuk dari Laiv. Sungguh Yoona benci keacuhan pria itu. Ia jadi berpikiran buruk mengenai Laiv, dan menuduh pria itu sebagai pedofil yang memang menikahinya hanya untuk memuaskan nafsunya dengan cara yang aneh. Jelas ia tidak akan pernah lupa bagaimana cara Laiv memperlakukannya selama ini. Terkadang ia merasa hanya seperti boneka untuk menggantikan mendiang Sarah, baik itu di ranjang maupun di rumah ini. Wajah mereka yang mirip setidaknya mampu membuat Laiv berpikir jika di rumah ini masih ada sosok istrinya yang bisa ia sentuh dan ia rasakan kehadirannya. Tak peduli tubuh mereka yang tidak persis sama, bagi Laiv keberadaannya sudah lebih dari cukup untuk menggantikan sosok istrinya yang telah meninggal.
Yoona meras marah saat mengingat pikiran-pikiran itu hinggap di otaknya. Ia dengan kencang mencengkeram setir kemudinya dan semakin menambah kecepatan mobil berjenis SUV itu ke arah yang ia sendiri tidak tahu. Pokoknya hari ini ia hanya ingin mencari hiburan dan tidak berdiam diri di rumah dengan segala pikiran buruk mengenai Laiv. Dan Yoona terus berputar-putar di sekitar jalan utama LA hingga ia akhirnya tiba di kawasan sekitar bandara LAX. Melihat bandara itu dari luar mengingatkan Yoona pada kejadian beberapa bulan lalu saat ia baru pertama kali tiba di LA. Saat itu ia begitu bodoh dan naif hingga sangat mudah dirayu oleh beberapa pengemudi yang melihatnya sedang berjalan sendiri sambil membawa kopor. Mengingat saat-saat itu membuat Yoona tiba-tiba teringat pada restoran cepat saji kesukaannya, McDonalds! Sudah lama ia tidak menikmati burger, segelas soda diet, dan tentu saja es krim McDonalds yang terkenal lembut dengan topping berlimpah.
Melihat plang McDonalds dari kejauhan, Yoona segera memelankan laju mobilnya dan bersiap untuk berbelok ke sebelah kanan, ke arah tempat parkir luas McDonalds yang telah dipenuhi banyak kendaraan. Ia yakin McDonalds adalah satu-satunya restoran yang dipercaya oleh banyak orang yang akan pergi ke bandara atau yang baru keluar dari bandara untuk mencari makanan. Orang Amerika banyak yang memuja McDonalds. Bisa dikatakan jika McDonalds adalah pioner makanan cepat saji yang pertama kali berdiri di dataran Amerika hingga kini cabangnya dapat ditemui di hampir seluruh negera di dunia.
Setelah mendapatkan tempat parkir yang cukup teduh, Yoona segera turun dari mobil SUVnya sambil menjinjing tas tangan abu-abu di tangan kanannya. Sebelum meninggalkan tempat parkir itu, Yoona tak lupa mengecek mobilnya dan memastikan jika mobil itu tidak akan dicuri oleh siapapun. Akhir-akhir ini ia menjadi cukup was-was setelah melihat berita di televisi mengenai pencurian mobil. Beberapa oknum memanfaatkan tempat terbuka seperti ini sebagai sasaran untuk mencuri mobil dan menjualnya di pasar gelap.
Di dalam restoran, Yoona melihat panjangnya antrean di depan meja kasir yang ke tiganya tampak sibuk masing-masing untuk melayani pembeli. Yoona jelas datang di saat jam makan siang. Jadi jangan salahkan antrean itu jika sekarang tampak mengular, dan tentu saja akan menjadi sangat lama sampai tiba gilirannya memesan.
"Im Yoona?"
Yoona seketika menolehkan kepalanya ke arah sumber suara. Seorang pria berjaket kulit yang baru saja kembali dari mengambil saus terlihat berhenti di sisi kiri tubuhnya yang bebas dari antrean.
"Ya, aku Im Yoona. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"
Pria itu langsung saja tersenyum cerah dan menggosok-gosokan tangannya yang sedikit berminyak ke celana jeansnya sebelum mengulurkannya untuk berjabat tangan pada Yoona. "Tobbie Reig. Kau tidak ingat padaku?"
Dengan ragu Yoona membalas uluran tangan itu dan menggeleng pelan setelahnya sebagai jawaban. "Aku tidak ingat pernah bertemu denganmu. Maaf." ucap Yoona menyesal. Sama sekali ia tidak ingin mengecewakan pria itu karena ia memang belum pernah bertemu dengannya. Atau mungkin mereka memang pernah bertemu, namun ia lupa kapan tepatnya mereka bertemu.
"Mungkin kau hanya lupa. Aku adalah pengacara Donghae. Dulu aku melihatmu di rumah keluarga Lee saat hari pemakaman Donghae. Aku turut berduka atas kehilanganmu."
"Ah ya, terimakasih. Maaf aku harus memesan. Setelah ini kita bisa melanjutkan obrolan kita. Kau duduk di meja nomor berapa?" tanya Yoona berubah lebih ramah. Jika pria ini adalah kuasa hukum Donghae, maka tak ada alasan baginya untuk mengkhawatirkan pria itu sebagai pria jahat atau pria mesum. Setidaknya pria itu berpenampilan baik, sopan, dan tidak ada tanda-tanda akan melakukan sesuatu yang buruk.
"Meja dua puluh. Di ujung sana." tunjuk Tobbie pada mejanya yang sedikit terhalang oleh segerombolan anak muda berisik yang sedang sibuk mengobrol. Namun Yoona secepatnya tahu saat matanya menangkap sebuah meja kosong yang memiliki dua kursi.
"Baiklah. Aku akan segera berada di sana setelah selesai memesan."
Lima belas menit kemudian Yoona telah tiba di tempat duduk Tobbie dengan senampan pesanannya. Makanan yang ia pesan kali ini sama persis dengan makanan yang dulu ia pesan saat pertama kali tiba di LA. Burger, soda diet, dan es krim, semuanya dipesan dalam rasa yang persis sama tanpa ada perubahan sedikitpun. Yoona merasa bernostalgia dengan kenangannya saat pertama kali menginjakan kakinya dan LA. Dan itu sangat berkesan untuknya.
"Duduklah. Hari ini sangat ramai. Sulit mencari tempat duduk diantara lautan orang lapar ini." ucap Tobbie mencoba akrab. Sedangkan Yoona sendiri merasa bersyukur karena bertemu Tobbie sebelum ia merasa frustrasi karena tidak mendapatkan tempat duduk. Beberapa pelanggan yang baru datang bahkan harus memakan makanan mereka di dalam mobil karena tempat duduk yang tidak lagi tersisa di restoran ini.
"Aku beruntung bertemu denganmu di sini. Bagaimana kau bisa berada di sini?" tanya Yoona sambil meletakan nampannya pelan-pelan ke atas meja, takut menyenggol nampan milik Tobbie dan membuat acara makan pria itu terganggu. Dari tempatnya duduk Yoona dapat melihat jika Tobbie sangat kelaparan. Pria itu baru saja menghabiskan burger berukuran jumbo yang sisa sausnya masih menempel di jari-jarinya, lalu di atas nampannya Yoona masih melihat kentang goreng berukuran jumbo dan dua potong ayam goreng yang masih belum tersentuh. Jangan lupakan juga segelas pepsi berukuran jumbo yang masih tersisa setengah. Yoona hampir-hampir berpikir jika Tobbie sudah tidak makan sejak berhari-hari yang lalu.
"Liburan musim panas." jawab pria itu dengan cengiran.
"Apa liburan musim panasmu menyenangkan?"
"Tidak. Pagi tadi saat aku membuka mata, aku mendapatkan makian dari klienku yang sangat tidak sabar. Ia memintaku untuk pulang ke Chicago karena katanya ada masalah dengan surat-surat legalitas yang berhubungan dengan perusahaannya. Bukankah itu menyebalkan."
"Sangat menyebalkan. Aku tahu bagaimana perasaanmu." ucap Yoona bersimpati. "Jadi kau sedang menunggu jadwal penerbanganmu?"
"Begitulah. Pesawatku berangkat pukul tiga. Masih ada waktu tiga jam lagi." ucap pria itu sambil melirik ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. "Aku bisa saja mengambil jadwal penerbangan pertama. Tapi aku beralasan jika aku sedang di tempat antah berantah yang memerlukan waktu untuk bisa mencapai bandara, sehingga orang itu bersedia menungguku sampai besok. Tapi tetap saja aku harus pulang hari ini karena besok aku harus muncul di kantornya pukul tujuh tepat."
"Tipikal orang yang tidak sabaran. Jadi kau pergi kemana saja selama di LA? Aku benar-benar minta maaf karena tidak mengenalimu tadi. Dulu saat pemakaman Donghae aku terlalu sedih hingga tidak memperhatikan tamu-tamu yang datang untuk mengucapkan bela sungkawa."
Tobbie dapat memaklumi hal itu. Bagaimanapun juga dulu keluarga Donghae saat shock dengan berita kematian Donghae yang sangat mendadak. Dan ia sendiri bahkan sampai sekarang masih belum mempercayai hal itu. "Sebenarnya aku ke sini untuk menemui Aiden Straight, pemilik agensi The Star."
"Aku bekerja di sana." tukas Yoona begitu saja. Untuk beberapa detik Yoona sendiri merasa bingung dengan dirinya sendiri yang tiba-tiba mengatakan hal itu pada Tobbie.
"Dunia sangat sempit ternyata. Aiden adalah sahabat baik Donghae yang mendapatkan limpahan aset-aset milik Donghae. Oya, kenapa kau berada di LA? Bukankah kau bekerja di agensi milik Donghae di Chicago?"
Untuk sesaat Yoona merasa bingung untuk menjelaskannya pada Tobbie. Tentu saja itu akan menjadi sebuah penjelasan yang panjang. Namun dengan penuh keyakinan, ia memberanikan dirinya untuk membuka sedikit masa lalunya pada Tobbie. "Aku pindah ke LA setelah bercerai dari kakak Donghae dan bekerja di The Star."
"Oo oh maaf, aku tidak tahu kau bercerai. Kupikir.... kupikir yah..." Tobbie tampak canggung saat melirik ke arah cincin berlian yang melingkar di jari manis Yoona. Tentu saja Tobbie bukan pria bodoh yang tidak bisa mengartikan keberadaan benda itu di sana.
"Yah kau tidak salah, aku sudah menikah. Dengan Laiv Birmingham, mungkin kau kenal."
"Maaf tidak." jawab Tobbie cepat. Tanpa sadar ia telah menghabiskan sepotong ayam goreng berukuran besar dan sekarang hampir menuju ke potongan ke dua. Sementara itu Yoona masih terlihat menghabiskan burgernya dalam sikap yang begitu santai. Cara makan Yoona terlihat sangat berkelas, berbanding terbalik dengan Tobbie yang makan bagaikan Hulk kelaparan. Tapi kenyataannya ia memang kelaparan. Motel yang disewanya kemarin tidak menyediakan sarapan. Dan ia memang sengaja menyewa motel karena ia ingin liburan backpackernya terasa lebih nyata. Konyol memang.
"Tidak penting juga kau mengenalnya." ucap Yoona cepat-cepat. "Jadi bagaimana urusanmu dengan Aiden?"
"Lancar. Tidak ada kendala sama sekali. Menurutku ia cukup bertanggungjawab meskipun sejak awal ia terus menolak permintaan Donghae yang menginginkannya mengambil alih agensinya. Dari Stuart aku tahu jika selama ini Aiden rutin memantau perusahaan itu dari jauh. Perjanjian yang keluar dan masuk ke agensi milik Donghae sepenuhnya berada di bawah pengawasan Aiden. Dan sejauh ini Stuart juga tidak masalah dengan hal itu."
"Syukurlah jika semuanya lancar. Tapi apakah ini memang sebuah kebetulan? Setelah tahu jika agensi itu diserahkan pada Aiden, aku terus bertanya-tanya, apakah selama ini Donghae telah memiliki firasat jika ia akan... yaah kau tahu kan maksudku?" Yoona terlihat tidak sanggup untuk melanjutkan kata-katanya. Ia selalu akan meneteskan air mata setiap kali membahas masalah Donghae dan kematiannya yang tragis.
"Tidak. Apa kau pikir Donghae pria yang terberkati?"
"Entahlah. Mungkin iya." jawab Yoona sedikit malas. Ia sedikit tidak suka dengan cara Tobbie melemparkan lelucon padanya.
"Maaf, aku tidak bermaksud menyinggung. Tapi menurutku Donghae tidak pernah memiliki firasat apapun tentang hal itu. Sudah sejak lama ia ingin menyerahkan agensi itu pada Aiden karena ia berencana untuk mengambil alih perusahaan milik keluarganya di Columbia. Kakek Donghae selama ini sudah mendesaknya agar kembali ke Columbia dan memenuhi kewajibannya, sehingga ia memutuskan memenuhi keinginan kakeknya. Kau pasti tahu jika Donghae sangat menyayangi kakeknya. Dan karena dulu ia pernah mengecewakan ibunya dan juga seorang wanita yang tidak ingin ia sebutkan namanya, ia kemudian memutuskan untuk menerima permintaan itu dengan lapang dada. Ia rela meninggalkan semua bisnis yang ia rintis dari nol agar ia tidak mengecewakan satu-satunya keluarga yang ia miliki."
Sekarang Yoona merasa burger di tangannya tidak lagi enak. Semua makanan itu terasa hambar di lidahnya yang tiba-tiba berubah kelu. Satu lagi fakta yang ia tidak ketahui dari Donghae. Pria itu banyak berkorban untuk orang lain setelah mendapatkan pelajaran berharga di masa lalu. Mau tidak mau semua itu mengingatkan Yoona pada kata-kata jahatnya yang sering ia lontarkan pada Donghae. Selama ini ia tidak pernah mengakui kebaikan pria itu dan apapun yang telah pria itu usahakan untuk kebahagiaan orang-orang yang ia cintai, termasuk dirinya.
"Jadi perjanjian itu memang sudah lama terjadi?"
"Begitulah. Tapi selama ini Aiden memang tidak pernah memberikan respon akan menerimanya atau menolaknya. Yah, mustahil bagi Aiden untuk menolaknya karena Donghae pasti tetap akan menjejalkan perusahaan itu ke tangan Aiden, dengan atau tanpa persetujuan darinya. Jadi saat Donghae dinyatakan meninggal, semua hartanya otomatis langsung jatuh ke tangan Aiden tanpa terkecuali. Selain itu, sedikit uang di bank langsung diserahkan kepada sebuah panti asuhan yang membutuhkan biaya perawatan panti."
"Kukira selama ini Donghae telah mendapatkan firasat, tapi aku lega saat mendengar penjelasan darimu."
"Ngomong-ngomong apa kau melihat wajah jasad Donghae secara langsung saat di rumah sakit?" Tobbie sedikit tidak enak untuk menanyakan hal itu. Karena wajah Yoona langsung berubah aneh, campuran antara sedih dan juga tersinggung. Yah, Tobbie sadar jika pertanyaannya itu sangat sensitif, tapi ia perlu membuktikan sesuatu.
"Ada apa memangnya? Aku melihat wajahnya." jawab Yoona sedikit dingin. Sekarang ia sepenuhnya meletakan burger itu ke atas nampan tanpa ingin menyentuhnya. Mendadak ia kenyang. Dan es krim yang tadi terlihat menggiurkan di mata Yoona, kini tidak lagi terlihat begitu karena bentuknya sudah berubah menjadi cair karena udara panas LA yang luar biasa.
"Apa kau melihat wajahnya? Membuka selimut yang menutupi seluruh tubuhnya?"
"Apa kau gila?" umpat Yoona marah. Tobbie terlihat terkejut mendapati reaksi dari mantan kakak ipar Donghae yang terlihat sedikit berlebihan.
"Jika kau berada di posisiku saat itu, kau pasti tidak akan berani untuk membuka selimutnya. Ada darah di pakaian yang dikenakan Donghae. Darah dalam jumlah banyak yang mengerikan. Aku tidak ingat bagaimana pastinya, tapi saat itu aku merasa mual dan pingsan. Hingga keesokan harinya aku tidak berani membuka peti matinya, begitu juga kakek Lee dan Siwon. Tidak ada diantara kami yang ingin melihat Donghae dalam keadaan seperti itu. Lebih baik bagi kami untuk hanya mengenang saat-saat terbaik Donghae daripada saat-saat terburuknya."
"Maafkan aku. Aku tidak bermaksud mengorek luka masa lalumu. Apa kau mengenal kebiasaan-kebiasaan Donghae?" Tobbie langsung mengubah topik pembicaraannya untuk menjauhkan Yoona dari rasa sedih atas kematian Donghae. Tapi sayangnya ia belum bisa menjauhkan wanita itu dari pertanyaan seputar Donghae.
"Tidak terlalu. Aku tidak sedekat itu dengannya." jawab Yoona muram. Ia sengaja mengalihkan tatapan matanya ke arah lapangan parkir McDonalds yang penuh oleh orang-orang kelaparan. Untuk sesaat ia perlu pengalihan dari wajah Tobbie yang sekarang terlihat menyebalkan di matanya.
"Kau tahu jika Donghae menyukai aksesoris di tangan, seperti gelang-gelang atau barcelet berbahan perak."
"Aku sering melihatnya memakai itu. Favoritnya adalah barcelet berbentuk rantai karena aku sering melihat itu melingkar di pergelangan tangannya yang kerap kali tersamarkan oleh jas formalnya yang panjang."
"Tepat sekali. Kalau begitu kau pasti juga melihat gelang yang sama seperti yang dipakai oleh Aiden."
"Aiden?" Yoona rasanya sangat jarang memperhatikan Aiden. Selain karena mereka lebih sering berdebat daripada beramah tamah, ia juga lebih baik tidak menatap Aiden terlalu intens karena itu hanya akan membuat hatinya terombang ambing bingung. Ia takut akan memakan umpan yang dilemparkan Aiden karena sekarang ia sedang memiliki masalah dengan Laiv. Tapi sebisa mungkin ia tidak akan mengulangi kesalahan yang sama seperti dulu. "Aku tidak pernah memperhatikan. Tapi mungkin saja itu terjadi karena mereka bersahabat."
"Kau pikir Aiden dan Donghae saling bertukar gelang seperti apa yang dilakukan genk gadis-gadis ingusan saat akan berpisah dengan sahabat baiknya selama liburan musim panas? Lucu sekali. Donghae jelas bukan tipe yang seperti itu. Apalagi gelang itu adalah hadiah dariku saat ulangtahunnya."
Butuh beberapa saat untuk Yoona mencerna semua kata-kata Tobbie. "Jadi kau pikir Aiden adalah Donghae yang sedang menyamar? Huh, itu jauh lebih lucu dari sekedar pertukaran gelang yang kau bilang hanya dilakukan oleh gadis-gadis ingusan." dengus Yoona kesal. "Lagipula gelang seperti itu banyak dijual dimanapun. Dan Aiden lebih dari mampu untuk membeli gelang dengan bentuk yang persis seperti yang kau berikan pada Donghae. Mungkin saja Aiden hanya ingin mengenang saat-saat Donghae hidup dengan menggunakan gelang yang sama seperti milik Donghae. Pikiranmu itu sangat konyol dan sama sekali tidak pantas untuk dibicarakan pada seseorang yang baru saja kehilangan anggota keluarganya." ucap Yoona marah. Ia cepat-cepat membereskan barang-barangnya dan menatap wajah Tobbie tajam setelahnya. "Maaf, aku masih ada urusan. Senang bertemu denganmu, mr. Reig. Semoga perjalananmu lancar."
"Tunggu."
Yoona menggeram marah di tempatnya sambil melirik tidak suka ke arah tangannya yang baru saja dicekal Tobbie.
"Aku minta maaf karena telah membuatmu tidak nyaman dengan pembicaraan ini. Tapi aku hanya ingin memastikan. Dan jika aku salah, sekali lagi aku minta maaf."
Yoona langsung menyentak pergelangan tangannya dari cekalan Tobbie dan pergi begitu saja tanpa kata. Menurutnya pria itu sangat memuakan. Ia pasti sudah terlalu banyak menonton film kartun hingga pikiranya masih terjebak di dunia khayalan anak-anak dan tidak berkembang sebagaimana mestinya pikiran pria dewasa.
-00-
Aiden mengelus puncak kepala Hill dengan sayang. Tepat seperti dugaannya, Hill memang masih sakit dan belum benar-benar sembuh. Setelah satu jam mereka bermain di taman, Hill sekarang telah jatuh tertidur di pundaknya. Anak itu tadi tidak seaktif biasanya. Saat ia mencoba mengesankan Hill dengan kemampuannya bermain basket, anak itu hanya bertepuk tangan tanpa menunjukan wajah antusias. Tapi apapun itu, Aiden merasa lega karena ternyata Hill baik-baik saja. Hanya perlu sedikit lagi waktu istirahat, obat, dan makanan bergizi, maka Hill akan segera pulih dari sakitnya.
"Oh, aku baru saja akan menyusul kalian." Letha tampak terkejut saat Aiden tiba-tiba telah berdiri di belakangnya yang baru saja mengunci pintu apartemen. Melihat Hill sedang tidur dengan nyaman di pundak Aiden, Letha bergegas membuka lagi pintu apartemennya dan segera membuka pintu itu lebar-lebar untuk Aiden.
"Temanmu sudah pulang?"
"Sudah, sepuluh menit yang lalu. Setelah membereskan gelas dan piring, aku berniat menyusul kalian. Apa dia merepotkan?"
Letha membimbing Aiden menuju kamar Hill di sebelah kamar utama yang merupakan kamarnya. Pemandangan khas anak laki-laki langsung terlihat di mata Aiden begitu Letha membuka pintu itu dan menyuruhnya untuk meletakan Hill di atas ranjang bermotif tokoh kartun kesukaannya, iron man.
"Dia sama sekali tidak merepotkan. Tapi yah... dia masih sakit. Dia tidak seantusias biasanya." Aiden mundur beberapa langkah untuk mengamati wajah damail Hill yang sedang tertidur. Anak itu jika dilihat-lihat sama sekali tidak mirip dengannya. Ia lebih banyak membawa gen dari Letha daripada seorang pria brengsek sepertinya.
"Memang. Tapi setidaknya semangatnya kembali setelah bertemu denganmu. Terimakasih banyak."
Lena menaikan alisnya sekilas, lalu mengendikan bahu. "Bukan masalah. Kau tinggal meminta, dan aku akan datang. Anak itu berhak mendapatkan kasih sayang orangtua yang lengkap."
"Eee... kau ingin minum kopi?"
"Boleh. Kalau begitu aku akan menunggu di depan."
"Oo oh, tentu. Tunggu sebentar." ucap Letha gugup. Setelah itu ia segera melesat secepat kilat menuju dapur dan menyiapkan kopi yang paling enak untuk Aiden.
Sementara itu, sambil menunggu Letha datang dengan kopinya, Aiden berkali-kali menghembuskan napasnya berat sambil menatap nanar ke arah foto candid mereka bertiga. Ia merasa seperti ditikam tepat di jantungnya saat melihat kebahagiaan yang dulu pernah tercipta, sekarang mungkin akan ia hancurkan. Tapi jika ia bisa memilih atau menentukan jalan hidupnya sendiri, ia jelas tidak mau menjadi seorang perusak. Ia lebih senang menjadi pria baik hati yang namanya akan selalu dikenang karena kebaikannya. Sekarang, membayangkan hal itu membuat perut Aiden mulas. Ia sangat gugup untuk membayangkan bagaimana reaksi Letha jika ia mengatakan yang sebenarnya. Ia tidak bisa bersama wanita itu. Tidak seperti dulu lagi. Sekarang ia telah berubah. Banyak hal-hal mengerikan yang terjadi dan kemudian mengubah hidupnya, mengubah cara pandangnya pada dunia ini. Dan meskipun saat ini bukan saat yang tepat untuk membicarakannya pada Letha, tapi dengan terpaksa Aiden harus melakukannya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya nanti atau besok atau lusa. Seperti hatinya yang saat ini telah berubah haluan secara drastis karena mengikuti ritme hidupnya yang berubah.
"Semoga kau suka. Bukan kopi dengan kualitas terbaik, tapi aku berusaha membuatnya sebaik mungkin." Letha meletakan secangkir kopi di depan Aiden dengan aroma khas yang begitu menggelitik indra penciuman Aiden. Dari jauh Aiden tahu jika itu adalah jenis kopi pahit yang menjadi kesukaannya. Tapi apakah kepahitan kopi itu dapat mengalahkan kepahitan hidup yang mempermainkan mereka?
"Kurasa buatanmu pasti enak. Terimakasih." Aiden membiarkan suasana diantara mereka hening beberapa saat. Ia ingin memberi kesempatan pada Letha untuk memulai pembicaraan karena ia sendiri sebenarnya masih berusaha merangkai kata-kata di dalam kepalanya.
"Eee... apa kantormu baik-baik saja kau tinggalkan? Ini sudah sangat siang untuk pergi ke kantor." Letha sengaja melirik ke arah jam dinding yang saat ini telah menunjukan pukul setengah dua siang. Namun Aiden hanya mengendikan bahunya acuh tanda ia tak peduli sama sekali.
"Ada sekretarisku yang bisa menghandle semuanya. Ngomong-ngomong apa kau sudah memutuskan untuk bekerja dimana?"
Menanggapi pertanyaan itu, Letha menghembuskan napasnya berat dan terlihat gundah. Sudah beberapa hari ini ia memikirkan hal itu, dan sekarang sepertinya adalah saat yang tepat untuk membicarakannya. "Aku sudah dihubungi oleh dua perusahaan yang kukirimi portofolioku selama beberapa tahun bekerja di Tacoma. Mereka mengatakan menyukaiku dan mereka juga menungguku untuk datang ke kantor mereka. Tapi...."
"Tapi?" tanya Aiden menunggu.
"Tapi aku merasa tidak nyaman saat melakukan wawancara di dua perusahaan itu. Sebenarnya perusahaan itu menawarkan gaji yang cukup besar dan tunjangan-tunjangan yang menggiurkan. Hanya saja aku tidak menyukai ritme kerjanya dan jam kerja yang sangat ketat. Padahal aku sewaktu-waktu harus keluar untuk menjemput Hill ke sekolah. Tahun depan ia sudah mulai bersekolah. Mungkin untuk beberapa bulan di tahun ini aku akan aman, tapi aku tidak bisa menjamin hal itu ketika Hill mulai bersekolah. Jadi aku belum memutuskan akan mengambil pekerjaan itu atau tidak."
"The Star selalu menawarkan kelonggaran untukmu. Demi kenyamananmu dan Hill, bekerjalah di The Star. Kumohon." ucap Aiden setengah memohon. Letha rasanya tak bisa menolak tatapan penuh permohonan Aiden yang begitu mengganggunya. Ia sudah merasakan efek yang sangat buruk dari menolak seorang Aiden. Penyesalan yang ia rasakan dulu ataupun sekarang, itu sama sekali tidak ingin ia ulang untuk saat ini. Sudah cukup ia merasakan kekecewaan beberapa kali karena menolak kebaikan Aiden.
"Baiklah. Aku akan segera mengirimkan portofolioku ke perusahaanmu."
"Tidak perlu." tukas Aiden cepat. Ia mengibaskan tangannya santai dan tersenyum penuh arti ke arah Letha. "Kau langsung saja datang ke kantorku untuk menandatangani kontrak. Aku mempercayai kemampuanmu." tambah Aiden mantap.
"Terimakasih. Dan soal pembicaraan waktu itu..."
Aiden mengernyitkan dahinya. Namun dalam sekejap ia tahu arah pembicaraan Letha yang pasti sedang membahas hal itu. "Tentang biaya hidupmu dan Hill? Aku tidak akan mengubah keputusanku. Kalian adalah tanggungjawabku."
"Tidak. Tidak perlu. Sungguh. Kau sudah cukup baik mempekerjakanku di perusahaanmu tanpa harus mengikuti berbagai prosedur yang ada. Jadi kau tidak perlu menanggung biaya hidup kami."
"Tidak! Aku harus melakukannya." ucap Aiden telak dan tidak ingin dibantah. Kedua mata hijau Aiden menatap Letha tajam, meminta wanita itu agar tidak membantahnya terlalu jauh karena ia telah memutuskan hal itu sejak lama. Lagiupula dengan membiayai kehidupan Letha dan Hill, ia bisa merasa sedikit lega. Rasa berdosanya pada mereka akan sedikit berkurang karena ia telah memberikan apa yang seharusnya mereka dapatkan.
"Aiden..." desah Letha berat. Butuh beberapa detik untuk memutukan apakah ia perlu mengatakan hal ini atau tidak. Tapi setelah berdebat cukup panjang dengan dirinya sendiri, akhirnya Letha memutuskan untuk mengatakannya pada Aiden. "Kami bukan tanggungjawabmu. Sudah lama kami hidup mandiri. Dan selama itu aku terbukti mampu bertahan dengan usahaku sendiri. Jadi..."
"Jelas kalian adalah tanggungjawabku. Apa kau masih ingin mengelak dari fakta yang ada bahwa Hill adalah darah daging Aiden Straight. Walaupun aku memang belum mengumumkan secara resmi, tapi aku akan melakukan hal itu secepatnya. Aku ingin orang-orang tahu jika ada seorang anak yang menjadi darah daging seorang Aiden Straight."
"Apa kau melakukannya karena ingin menghapus berita miring tentangmu. Berita mengenai bahwa kau adalah seorang gay?" tanya Letha skeptis. Bukan salahnya jika ia menjadi skeptis karena ia tersinggung dengan kata-kata Aiden. Seenaknya saja pria itu mengklaim anaknya setelah dulu ia terus diabaikan dengan menyakitkan.
"Mungkin itu salah satunya. Tapi lebih dari itu, aku ingin keberadaan Hill diakui."
"Sudahlah Aiden. Jangan paksakan dirimu sendiri untuk melakukan sesuatu yang kau lakukan hanya karena tanggungjawab. Tanggungjawab yang seharusnya kau penuhi sudah lama kau lewatkan. Jadi ini bukan tanggungjawab lagi."
"Maafkan aku Letha. Andai aku bisa menikahimu, mungkin hal ini tidak perlu terjadi."
"Aku tahu." ucap Letha getir. "Wanita itu jauh lebih sempurna daripada aku. Yoona memiliki kecantikan luar biasa bak dewi. Kau hanya akan menyia-nyiakan hidupmu jika memaksakan diri untuk menikahiku. Lagipula kau memiliki uang yang sangat banyak, yang bisa kau gunakan untuk mengadopsi anak dan mendidiknya untuk menjadi penerus kerajaan bisnismu."
"Ini bukan masalah uang, Letha." geram Aiden muram. Ia sudah hampir kehabisan kesabaran dan juga stok kata-kata di otaknya. Mendadak ia buntu. Dan terpaksa ia memberitahukan hal menyakitkan ini pada Letha. "Aku tidak lagi sama seperti dulu. Maafkan aku."
Letha hanya terpaku menatap Aiden dan perlahan-lahan bulir air matanya turun. Mendengar pria itu mengatakannya secara langsung ternyata lebih menyakitkan dari apa yang ia bayangkan selama ini. Tanpa pria itu memberitahunya, ia sudah tahu jika Aiden memang telah berubah. Tidak ada lagi kilat penuh kelembutan yang dipancarkan Aiden untuknya dan untuk Hill. Semua yang dulu ia rasakan untuk Aiden juga mendadak lenyap entah kemana. Selama berhari-hari ia mempertanyakan dirinya sendiri, mengapa pria itu berbeda. Tatapan matanya tidak menyiratkan Aidennya yang dulu. Dan parahnya lagi, Aiden sekarang memperlakukannya sebagai orang asing. Ada apa denganmu, Aiden? tanya Letha getir dalam hati.
-00-
Lampu di ruangan itu menjadi satu-satunya lampu yang masih terlihat terang diantara ruangan yang lain. Selain di ruangan itu, lampu sudah dipadamkan dan diganti dengan lampu redup yang hanya berfungsi sebagai penerangan di malam hari. Laiv yang berada di ruangan yang paling terang itu tampak lelah. Beberapa kali ia memijit pangkal hidungnya saat sedang membaca grafik-grafik, laporan, dan apapun yang ditumpukan sekretarisnya di atas meja. Rasanya hari ini terlalu panjang untuk dilewatkan. Merasa menyerah dengan kantuk yang menggelayuti matanya, Laiv akhirnya meletakan bolpoin yang digenggamnya lalu bergegas untuk pulang. Dengan malas ia merapikan mejanya yanga sangat berantakan dengan kertas-kertas yang belum selesai ia baca. Tapi siapa yang peduli dengan kertas-kertas itu? Jika mereka hilang karena terbawa angin, ia hanya tinggal meminta sekretarisnya untuk mencetaknya ulang. Dan setelah itu masalah beres.
Setelah mematikan laptop dan menyimpan tabletnya ke dalam tas kerja, Laiv segera melangkah keluar dari ruangannya. Suasana remang-remang langsung menyambut Laiv saat ia melangkah keluar dari ruangannya yang terang benderang. Sambil menghembuskan napasnya, Laiv berjalan dengan tenang menyusuri lorong-lorong menuju ke arah lift. Hanya lift miliknya yang masih dibiarkan aktif. Ia tidak pernah membiarkan petugas manapun mematikan panel listrik yang terhubung dengan ruang kerjanya karena ia biasa bekerja hingga larut malam seperti ini. Lift otomatis terbuka ketika sensor di atas pintu lift memindai keberadaannya di sana. Laiv merasa lebih baik saat bersandar di dalam kotak lift yang terang. Tentu saja hal itu bukan karena ia takut. Ia hanya merasa lega karena dapat menumpukan tubuhnya pada sandaran lift untuk sesaat. Dan sepuluh detik kemudian lift berdentang nyaring. Ia telah tiba di loby kantornya yang sangat sepi. Lagi-lagi ia mendapati lampu temaram yang menjadi penerang di loby kantornya. Tapi ini memang atas kehendaknya. Pengeluaran kantor jadi berkurang beberapa ribu dollar setelah mereka mengganti lampu-lampu terang dengan lampu temaram untuk penerangan di malam hari. Lagipula tidak ada siapapun yang bekerja di malam hari. Jadi untuk apa lampu terang masih dinyalakan?
Akhirnya Laiv tiba di halaman parkir yang khusus menampung mobil miliknya. Ini adalah tempat parkir khusus direksi yang letaknya lebih tersembunyi dari tempat parkir utama yang biasanya digunakan untuk karyawan, namun tempat parkir itu juga jauh lebih sepi. Sengaja Laiv memilih tempat itu agar ia tidak perlu terlihat mencolok jika harus pergi sewaktu-waktu karena tempat parkir miliknya juga berdekatan dengan pintu keluar samping yang lagi-lagi hanya diperuntukan untuknya.
Saat Laiv telah membuka pintu mobilnya, Laiv tidak melihat ada siapapun di pos penjaga. Tapi ia tidak terlalu memikirkan hal itu karena petugas penjaga biasanya sedang melakukan patroli malam di jam-jam seperti ini. Ia kemudian segera melemparkan tas kerjanya ke kursi penumpang di belakang dan bersiap masuk ke dalam mobilnya. Tapi suara desingan angin yang berhembus kencang tiba-tiba menggetarkan kulit Laiv hingga pria itu berhenti sejenak untuk mengamati keadaan sekitar yang sangat sepi. Tidak ada siapapun, batin Laiv acuh tak acuh. Ingin rasanya ia menertawakan dirinya sendiri yang baru saja merasa takut. Entahlah, ini sedikit aneh. Reaksi tubuhnya sungguh sedang dalam mode siaga untuk sebuah alasan yang tidak jelas. Tapi Laiv memilih untuk tak memikirkannya lebih lanjut karena ia harus pulang sekarang. Tidak ada waktu untuk memikirkan ketakutannya yang tak berdasar. Lebih baik ia memikirkan masalahnya dengan Yoona yang sebenarnya sangat mengganggunya sejak kemarin. Sayangnya ia terlalu pengecut untuk menyelesaikannya dengan Yoona. Ia membiarkan Yoona untuk menenangkan dirinya sebentar sebelum ia mengerahkan segala usaha untuk meluruskan setiap kesalahpahaman yang terjadi diantara mereka.
Srek
Suara gesekan sepatu di atas tanah beraspal terdengar begitu dekat di telinga Laiv. Awalnya ia mengira itu adalah suara langkah kaki para penjaga keamanan yang telah kembali dari berpatroli. Baru saja Laiv akan berbalik dan menyapa mereka, tapi sebuah sabetan benda tajam dan dingin tiba-tiba mengejutkan Laiv yang tidak siap. Reflek ia memegangi sisi kanan perutnya yang terluka akibat sabetan pisau panjang yang digenggam oleh pria bertopeng itu.
"Siapa kau!"
Tidak ada jawaban dari pria itu, tapi ia terus maju dan mencoba menyabetkan pisau itu lagi ke arah Laiv. Dalam sekejap mereka berdua telah bergulung-gulung di atas tanah untuk memperebutkan pisau yang sedang digenggam oleh si penyerang. Laiv yang telah terluka mencoba sekuat tenaga untuk bertahan. Ia tidak ingin mati. Belum! Ia harus menyelesaikan semua masalahnya dulu sebelum pria itu boleh membunuhnya.
Dug
Satu tendangan keras berhasil membuat pria itu terpental mundur dan merasakan rusuknya ngilu. Agaknya pria itu tidak menduga jika target perampokannya kali ini dapat membalasnya dengan sama brutalnya, sehingga saat melihat ada kesempatan, pria itu memilih lari dan meninggalkan Laiv begitu saja yang masih tergletak di atas tanah sambil mengerang.
Luka dari sabetan itu terus merembes di kemeja cream yang hari ini Laiv kenakan. Rasa sakitnya sungguh luar biasa, terasa menyengat dan juga panas disaat yang bersamaan. Laiv masih mencoba mempertahankan kesadarannya disaat ia sadar jika ia telah kehilangan cukup banyak darah, meskipun ia berhasil membuat pria itu kabur dengan tangan kosong.
"Tolong..." rintih Laiv dalam keheningan malam. Jika ia mati sekarang, ia pasti akan meninggalkan banyak tugas yang belum berhasil ia selesaikan. Arwhnya tidak akan tenang. Itu adalah pernyataan pertama yang muncul di benak Laiv. Sayangnya kesadarannya perlahan-lahan mulai berkurang. Ia merasakan kepalanya berdenyut dengan sangat menyakitkan, disusul dengan matanya yang semakin lama semakin tidak bisa melihat benda-benda di sekitarnya dengan jelas. Dan yang terakhir, ia benar-benar merasakan kegelapan hingga akhirnya tak sadarkan diri dengan darah yang terus merembes dari perutnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro