Bad Liar Part 27
Disinilah sekarang Yoona berada, disebuah pesta bertema outdoor yang diadakan oleh mitra bisnis Aiden. Siang tadi ia mendapatkan pesan dari pria itu yang isinya undangan untuk pergi ke pesta bersamanya. Undangan itu ditujukan atas nama Im Yoona sebagai model yang direncanakan akan menjadi next brand ambassador oleh perusahaan itu. Mau tidak mau Yoona harus datang memenuhi undangan itu untuk membuat citra baiknya tetap bertahan seperti itu. Meskipun sejujurnya beberapa hari ini Yoona sedang malas untuk melakukan apapun.
Selama lima hari setelah pertengkarannya dengan Laiv, ia hanya merenungkan nasibnya di rumah. Sama sekali tak ada kegiatan pemotretan. Dan secara ajaib Aiden juga tidak mengganggunya. Pesan yang Aiden kirimkan padanya tadi siang juga merupakan pesan pertama yang dikirimkan pria itu setelah insiden tidak mengenakan di kantor pria itu. Tentu saja ia tidak pernah lupa dengan aksi saling teriak mereka dan aksi apapun yang semuanya berakhir buruk. Rasanya akhir-akhir ini Yoona tidak mendapatkan hari yang indah. Di rumah ia melakukan perang dingin dengan Laiv, sedangkan di kantor hubungannya dengan Aiden juga sama tidak baiknya. Praktis hidupnya kini terombang-ambing tanpa kejelasan. Maksudnya perasaannya sendiri yang membuat semua rasa tidak nyaman itu mengganggu hidupnya. Selain masalah dengan dua pria itu, ia juga masih menghadapi masalah barang-barang milik mendiang Sarah yang belum ia bongkar. Ia terlalu malas untuk memikirkan hal itu. Melihat wajah Laiv di pagi dan malam hari saja membuat Yoona dihantam perasaan kesal. Wajah Laiv selalu mengingatkannya pada peristiwa malam itu. Bagaimanapun tindakan Laiv yang ganjil sama sekali tidak bisa dimengerti Yoona. Dan sialnya pria itu juga tidak berusaha melakukan apapun untuk memperbaiki keadaan.
Ting
Yoona cukup terkejut saat gelas champagnenya tiba-tiba berdenting. Seorang pria telah berdiri di sebelahnya sambil memberikan isyarat ke arah gelasnya.
"Bersulang." ucap pria itu acuh tak acuh. Tanpa peduli pada tatapan tajam Yoona, ia menegak winenya dengan gaya aristokrat, lalu menurunkan gelasnya untuk menatap wajah Yoona.
"Mereka menyukaimu. Sudah dipastikan jika kau akan menerima kontrak dari perusahaan mereka."
"Bagus."
"Karena itu bersikaplah lebih ramah. Meskipun itu hanya dilakukan dibalik kepalsuan." bisik Aiden memperingatkan. Sejak tadi gerak gerik Yoona tidak luput dari mata tajam Aiden. Sembari berbicara dengan orang-orang yang memegang kendali untuk kesuksesan bisnisnya, Aiden diam-diam mengamati pergerakan Yoona. Kekakuan yang ditunjukan Yoona malam ini membuat Aiden merasa khawatir pada wanita itu. Sudah berhari-hari mereka tidak bertemu sejak kejadian itu. Dan kemunculan Yoona malam ini justru membuat Aiden khawatir karena wanita itu tidak terlihat baik-baik saja. Ada masalah yang pasti disembunyikan wanita itu.
"Maaf jika mengecewakanmu, tapi aku tidak pandai berpura-pura." balas Yoona sengit dengan nada rendah. Sambil menyesap minumannya, Yoona memperhatikan setiap tamu undangan yang hadir dalam pesta malam ini. Tak jauh dari tempatnya berdiri, Yoona merasakan tatapan tak bersahabat dari segerombol wanita yang menurut dugaan Yoona adalah penggemar Aiden. Sejak tadi ia sudah menyadari tatapan tak suka mereka saat Aiden mendekatinya, dan hal itu semakin bertambah buruk saat Aiden beberapa kali merendahkan tubuhnya untuk berbisik terlalu dekat di telingnya. Ck, kenapa ia merasa muak dengan hal-hal seperti ini? Selalu membuat ia teringat pada cerita masa mudanya yang tidak menyenangkan.
"Ayo kukenalkan pada mr. Layson, dia pemilik sekaligus komisaris dari perusahaan Emerald yang akan mengontrakmu selama dua tahun."
Tanpa persetujuan dari Yoona, Aiden menarik lengan Yoona mendekat ke arah sekelompok pria paruh baya yang sedang mengobrol di dekat kolam renang. Dalam sekali pandang Yoona sudah bisa menilai bagaimana pria-pria itu. Sekumpulan pria paruh baya ekslusif dengan harta berlimpah yang terlihat masih menawan di usia mereka yang tak lagi muda. Sejenak Yoona teringat pada Laiv yang sudah lama tak menyentuhnya. Sejak mereka melakukan perang dingin, ia memang menutup diri dari Laiv. Ia membatasi diri agar pria itu tidak sampai menyentuh seincipun tubuhnya. Jika Laiv belum mau terbuka padanya, maka ia juga tidak akan mengizinkan pria itu untuk berlaku semaunya padanya.
"Maaf mengganggu waktu anda tuan-tuan, perkenalkan ini Im Yoona."
"Selamat malam tuan-tuan, sebuah kehormatan mendapatkan kesempatan untuk anda."
"Ahh... ternyata kau memang benar, mr. Straight. Ms. Yoona akan menjadi mascot yang sangat bagus untuk perusahaanku. Dexter Layson, senang bertemu denganmu."
Yoona menjabat tangan Dexter dengan mantap dan tanpa kecanggungan sedikitpun. Kepercayaan dirinya mulai terbentuk dengan baik setelah ia mendapatkan banyak kejadian tak menyenangkan di sekolahnya. Saat kuliah, tak ada satupun yang mengenalnya sebagai gadis miskin, sehingga pembullyan jenis apapun tak pernah ia dapatkan lagi selama ia kuliah. Bisa dikatakan masa keemasannya adalah saat berkuliah di sekolah modelling itu. Semua orang mengagumi bakat alaminya. Dan ia sering mendapatkan pujian dari teman-teman maupun mentor yang mengajarinya hingga semakin lama kepercayaan diri itu mulai terbentuk dengan baik.
"Secara khusu mr. Straight merekomendasikanmu untuk mengisi posisi brand ambassador untuk produk shampo yang diproduksi pabrikmu. Dan kulihat, kau memiliki rambut coklat yang sangat mengagumkan."
"Terimakasih banyak atas pujian anda, mr. Layson."
Dan setelah itu Yoona tidak tahu apa yang terjadi padanya. Tubuhnya merasa limbung seketika saat sesuatu yang kokoh menyenggol tubuhnya. Ia merasakan kakinya berputar beberapa kali untuk menyeimbangkan tubuhnya yang hampir jatuh. Tapi tidak! Ia tidak ingin membiarkan tubuhnya jatuh ke atas air yang dingin, dan membuat semuanya kacau.
Byur
Air langsung memenuhi paru-paru Yoona yang tidak pernah siap dengan insiden apapun yang terjadi secara tiba-tiba. Ia dengan sekuat tenaga mencoba bertahan di dalam air yang berusaha menenggelamkan tubuhnya. Tangannya berkali-kali menggapai ke atas, tenggorokannya yang telah terisi air sama sekali tidak bisa mengeluarkan suara yang sudah ia teriakan sejak tadi. Sebentar lagi ia akan mati tenggelam. Dan besok berita kematiannya akan diberitakan secara massal di seluruh media massa. Seorang model ekslusif dari agensi The Star tewas secara konyol dalam sebuah acara jamuan makan malam.
"Yoona! Sadarlah! Hey... kau bisa mendengarku?"
Samar-sama Yoona dapat mendengar suara Aiden yang terlihat panik sambil menepuk-nepuk dadanya. Ingin sekali ia menjawab panggilan itu, tapi tubuhnya seperti lemas tak bertenaga. Dorongan kuat dari dalam peru-parunya membuat napasnya seketika merasa tersenggal. Ia akan mati! Ya ia akan mati sebelum sesuatu yang lembut tiba-tiba menyumpal bibirnya dan meniupkan napas lembut.
"Ayo ayo ayo... sadarlah Yoona! Jangan mati!"
"Uhukk uhuuk..."
Suara batuk itu terdengar seperti terompet kemenangan untuk Aiden yang telah pucat sejak tadi. Kejadian itu berlangsung sangat cepat. Seorang pelayan dengan kardus besar di tangannya tanpa sengaja menyenggol Yoona yang berdiri sangat dekat dengan kolam. Dalam sekejap tubuh Yoona langsung limbung setelah dihantam oleh ujung kardus si pelayan. Aiden ingin memegang lengan Yoona sebelum wanita itu terjatuh ke dalam air. Tapi sialnya sisi kanan tangannya tengah ia gunakan untuk memegang gelas. Gerakan tangan kirinya luput untuk menarik lengan Yoona yang sudah lebih dulu terjun bebas ke dalam air. Dan setelah itu semuanya terasa sangat menakutkan untuk Aiden. Ia langsung saja membuang gelasnya dan menceburkan diri ke dalam kolam untuk menolong Yoona. Beberapa kali kepalanya timbul tenggelam di dalam air. Wanita itu mencoba menggapai-gapai apapun, namun kemudian tenggelam saat tidak ada dorongan lagi untuk mempertahankan diri agar tetap mengapung di tengah air.
"Yoona, kau baik-baik saja? Kau bisa mendengar suaraku?" Aiden berusaha menepuk pipi Yoona lagi dengan gerakan yang sedikit keras.
"Aiden..." gumam wanita itu dengan suara bergetar. Bibir birunya terlihat bergemeletuk saat Aiden memeluknya erat untuk meredakan getaran di tubuhnya yang dilanda ketakutan yang luar biasa.
"Kau aman. Ada aku di sini."
"Aku takut."
"Kita akan pulang." putus Aiden tegas dan langsung menggendong Yoona keluar dari kerumunan para tamu undangan yang memenuhi sisi kolam. Semua orang di sana juga sama-sama shock dengan kejadian mengejutkan yang baru saja terjadi. Dan pelayan yang tadi melakukan kecerobohan kini sedang menanti hukuman dengan wajah pucat di dekat meja bulat berisi cocktail.
"Tidak apa-apa, ini hanya kecelakaan." ucap Aiden menenangkan pelayan itu dan segera melesat pergi ke mobilnya. Suhu tubuh Yoona yang sedingin es membuat Aiden merasa khawatir hingga ia merasa harus segera membawa tubuh Yoona ke tempat yang lebih hangat, Mobilnya.
-00-
Semalaman Aiden harus menjaga Yoona dari kondisi tak sadarkan diri. Dalam kepanikan yang luar biasa, Aiden memutuskan untuk membawa Yoona ke apartemennya. Sama sekali tak terpikirkan di benak Aiden untuk membawa Yoona ke rumah sakit karena ia sudah terlalu kalut dengan keadaan Yoona. Ditambah lagi jika ia membawa Yoona ke rumah sakit, itu hanya akan memancing keributan. Di kota ini orang-orang meskipun bersikap acuh satu sama lain, tapi tetap saja ada paparazzi licik yang gemar mamanfaakan keadaan. Jadi pada akhirnya Aiden membelokan setir kemudinya ke arah apartemennya dan segera mengangkat Yoona keluar begitu mereka tiba di basement apartemen yang sunyi. Salah satu hal yang ia syukuri dari apartemen itu, mereka mengutamakan sistem privasi yang sangat ketat. Tidak ada mata-mata yang berhasil menyusup ke dalam apartemen untuk mengorek informasi yang tidak diperkenankan oleh sang pemilik informasi.
Setelah Aiden berhasil membawa Yoona ke kamarnya, pria itu segera membaringkan Yoona hati-hati ke atas ranjang dan mengambil handuk untuk mengeringkan tubuh Yoona yang basah kuyup. Selain itu ia juga menyalakan penghangat ruangan dengan suhu cukup tinggi hingga berhasil membuatnya kepanasan, tapi sialnya hal itu sama sekali tidak berefek pada Yoona yang masih saja menggigil di tengah ketidaksadarannya. Dalam kefrustrasian yang makin meningkat, Aiden berusaha mengenyahkan berbagai macam pikiran buruk yang bersarang di kepalanya. Ia nekat membuka pakaian Yoona dan menggantinya dengan celana pendek miliknya dan juga kemeja kebesaran miliknya. Tidak ada pakaian lain di lemari kamarnya. Dan hal seperti itu dibenarkan Aiden untuk dirinya sendiri dalam keadaan terdesak.
Berjam-jam berlalu semenjak Yoona dibaringkan dalam kondisi hangat di ranjangnya. Meskipun begitu Aiden tidak bisa tidur sepanjang malam karena memikirkan Yoona. Suhu tubuh wanita itu untung saja berangsur-agsur normal setelah ia melepas pakaian basahnya, menggantinya dengan pakaian baru yang kering, serta membelit tubuh Yoona dengan beberapa lapis selimut hingga Yoona mirip seperti seorang bayi mungil polos yang menggemaskan. Tapi dalam keheningan malam yang membelenggu Aiden, ia tiba-tiba saja memikirkan sosok Yoona sebagai sesuatu yang lain. Seorang wanita dewasa, cantik, dan hanya menggunakan pakaian pria di balik selimut tebal yang membungkus tubuh indahnya. Mustahil bagi seorang pria cacat untuk memikirkan hal itu, tapi sialnya Aiden bisa. Berkali-kali Aiden mengumpat dalam kerisauan yang ia rasakan. Sedikit saja pergerakan Yoona di tempat tidur berhasil membakar gairah Aiden yang sudah lama mati. Dan di tengah kesengsaraan yang ia rasakan, ia merasa kelelahan hingga akhirnya jatuh tertidur tanpa perlawanan di atas sofa. Dalam tidurnya Aiden sempat merasa ada sesuatu yang bergerak di samping tubuhnya, namun ia enggan bangun karena beratnya kelopak mata yang terasa sangat sulit untuk dibuka.
-00-
Letha berusaha menguatkan hatinya yang remuk redam. Tapi hanya ini satu-satunya cara yang bisa ia lakukan untuk Hill. Anak itu terserang demam tinggi sejak dua hari yang lalu. Saat ia pergi ke dokter, dokter hanya mengatakan jika Hill terserang demam musiman yang sudah biasa terjadi di LA pada musim panas. Suhu udara yang tinggi membuat tubuh Hill yang masih kanak-kanak terkadang tidak bisa menyesuaikan diri, sehingga pada akhirnya ia jatuh sakit dan terserang demam. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan oleh Letha seharusnya. Masalah sakit itu telah tertangani dengan baik oleh dokter Violet yang juga telah memberikan obat untuk diminum Hill. Sayangnya saat sakit anak itu biasanya meminta sesuatu yang pasti akan langsung dibulkan oleh Letha. Sama seperti sakit-sakit yang sebelumnya, sakit kali ini Hill juga meminta sesuatu dari Letha. Tentu saja ia sama sekali tidak keberatan untuk memberikan apapun asalkan Hill sembuh dan bisa tersenyum lagi dengan ceria. Sebelum Hill menyebutkan permintaannya, Letha sudah bisa menduga mainan jenis apa yang kali ini akan diminta Hill. Ada iklan mobil remote control yang baru-baru ini ditonton Hill di televisi. Letha sudah memperkirakan jika Hill akan meminta mobil remote control sebagai syarat untuk kesembuhannya. Namun saat pagi ini Hill mengatakan keinginannya pada Letha, hatinya langsung saja mencelos kaku. Secara polos Hill tidak meminta apapun kecuali Ace. Yang mana itu berarti adalah Aiden! Anak itu mungkin sangat merindukan sosok Ace yang dulu sering hadir di kehidupannya sambil menemaninya bermain khas seorang pria dewasa. Ada kalanya seorang anak membutuhkan sosok ayah sebagai figur nyata untuk memberikan dukungan fisik. Dan hal itulah yang saat ini dibutuhkan Hill.
Karena alasan itulah Letha pagi-pagi pergi ke kantor Aiden untuk menemui pria itu. Berharap jika ia datang lebih pagi, itu tidak akan terlalu mengganggu pekerjaan Aiden. Lagipula ia juga tidak berharap Aiden akan menghabiskan banyak waktu bersama Hill. Hanya tiga puluh menit paling lama, dan setelah itu Letha bisa memberikan berbagai macam alasan pada Hill terkait kedatangan Aiden yang tidak bisa terlalu lama. Sayangnya setelah ia menunggu selama satu jam, sekretaris Aiden memberitahunya jika hari ini Aiden sedikit terlambat datang ke kantor. Padahal ia tidak bisa menunggu pria itu lebih lama lagi. Ms. Tatyana yang ia sewa dengan bayaran dua puluh dollar per jam hanya bersedia menunggui Hill selama dua jam. Wanita muda itu telah memiliki agenda penting dengan kekasihnya, sehingga tidak bisa tinggal terlalu lama di apartemen Letha. Dan awalnya hal itu tidak masalah untuk Letha karena ia berpikir hanya akan membutuhkan waktu satu jam untuk menyeret Aiden ke rumahnya. Tapi tiba-tiba semuanya menjadi kacau saat ia mendapatkan kabar dari sekretaris Aiden jika pria itu akan terlambat datang ke kantor. Akhirnya ia terpaksa meminta alamat apartemen Aiden untuk meminta pria itu datang ke apartemennya secara lebih pribadi. Baginya cara apapun akan ia tempuh selama itu demi kebahagiaan Hill.
Jadi disinilah ia sekarang berdiri, di depan pintu apartemen Aiden, dengan gugup dan tangan dingin karena terlalu lama menahan kegugupan. Dilihatnya jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Ia telah menghabiskan waktu dua puluh menit di depan pintu apartemen Aiden tanpa melakukan apapun. Sejak tadi ia hanya bediri, mengusap tangannya yang berkeringat, berjalan mondar-mandir, dan kembali berdiri di depan pintu apartemen Aiden dengan wajah frustrasi. Tiga puluh menit lagi waktu Tatyana untuk menjaga Hill selesai. Bisa atau tidak ia harus segera mengetuk pintu apartemen Aiden dan memohon pada pria itu agar datang ke apartemennya. Demi kesembuhan Hill!
Ting tong
Tangan Letha bergetar saat menekan bel apartemen Aiden yang berbunyi nyaring. Dengan cemas ia meremas-remas tangannya di belakang tubuhnya sambil berdoa supaya pria itu tidak mengusirnya. Oke, mungkin itu pikiran yang berlebihan. Ia tahu Aiden tidak akan mengusirnya. Tapi mungkin pria itu akan memberinya alasan untuk menolak permintaannya. Itu yang ditakutkan Letha sejak tadi. Ia tidak siap mendapatkan penolakan.
Ckrek
Suara grendel dan kenop pintu yang dibuka membuat kegugupan Letha semakin bertambah. Tanpa sadar ia bahkan telah menahan napasnya demi menuggu sang pembuka pintu untuk keluar dan menemuinya.
"Letha?"
Wanita itu mengernyit. Ia menatap sang pembuka pintu yang saat ini tengah menatapnya juga dengan tatapan bingung. Letha tak percaya jika orang yang akan membukakan pintu untuknya adalah wanita yang dulu ia temui di minimarket bersama Aiden. Wanita yang kata pria itu adalah modelnya, kini telah berada di depan wajahnya dengan kemeja Aiden. Tentu saja itu milik Aiden karena ukurannya besar. Lalu celana pendek yang sangat pendek di atas lutut yang nyaris tidak kelihatan karena pajang kemeja yang hampir menelan tubuh mungil wanita itu. Secara cepat otak Letha menggabungkan semua potongan kejadian yang ia alami. Aiden hari ini terlambat datang ke kantor karena pria itu kelelahan setelah menghabiskan malam yang panjang bersama modelnya yang cantik. Tapi tunggu, bukankah Aiden tidak normal?
"Apa Aiden ada?" tanya Letha canggung. Kedatangannya pagi ini mungkin tidak dikehendaki oleh pasangan itu. Sesekali Letha melirik ke dalam apartemen Aiden yang sunyi. Di belakang wanita itu hanya ada lorong panjang yang menghubungkan ke arah ruang tamu. Dari tempatnya berdiri Letha dapat melihat sebuah sofa hitam berada di sana, ada pintu putih juga yang sedikit terbuka dengan pendaran cahaya yang terbias dari sela-sela celah, dan selebihnya Letha tidak tahu lagi apa yang ada di dalam apartemen milik Aiden yang sepi itu. Keadaan di dalam sana terlalu sunyi, menciptakan sebuah prasangka yang cukup mengganggu di benak Letah.
"Eee... sebenarnya ada, tapi dia sedang tidur. Aku tidak tega untuk membangunkannya. Semalam ia nyaris tidak tidur."
"Oo oh, maafkan aku kalau begitu. Aku mengganggu ya." ucap Letha lirih. Hatinya semakin hancur setelah mendengar penjelasan dari wanita itu. Tidak salah lagi jika Aiden memang telah menghabiskan malam yang panjang bersama wanita itu. Bodoh kau, maki Letha dalam hati. Bisa-bisanya ia mengharapkan Aiden menikahinya setelah pria itu bersedia untuk menerima kehadiran Hill. Ingat Letha, pria itu menerima Hill hanya karena dirinya tidak bisa lagi memiliki keturunan!
"Hai... Hallo?"
"Aaa iya, ada apa?"
"Kau ingin masuk ke dalam? Akan kupanggilkan Aiden. Kurasa ia harus tahu jika kau datang."
Wanita itu hampir melangkah masuk ke dalam apartemen, namun langkahnya langsung dicegah oleh Letha. "Jangan! Maksudku tidak usah membangunkan Aiden sekarang. Aku ke sini hanya ingin menyampaikan pesan, jika Hill sakit dan ia sangat ingin bertemu ayahnya." Entah sengaja atau hanya karena dorongan emosi, Letha sengaja menekankan kata ayah dalam kalimatnya di depan wanita itu. Untuk sesaat ia ingin terlihat menang karena ia setidaknya memiliki sebagian dari diri Aiden.
"Sakit? Apa itu parah? Aku akan membangunkan Aiden sekarang kalau begitu. Ia harus tahu jika anaknya sakit." Wanita itu bersikeras untuk membangunkan Aiden, sedangkan Letha justru mulai panik karena ia sama sekali tidak ingin Aiden tahu jika ia pagi ini datang dan melihat pria itu sedang bersama wanita lain. Wanita lain? dalam hati Letha bergumam sedih. Bahkan dirinya juga wanita lain untuk Aiden.
"Tidak, tidak perlu! Sampaikan saja pada Aiden, jika ia memiliki waktu, tolong jenguk Hill sebentar. Kalau begitu aku akan pulang. Orang yang kumintai tolong untuk menjaga Hill akan segera pergi. Sampai jumpa.... Yoona!"
Untung saja Letha mengingat nama wanita itu di detik-detik terakhir sebelum ia berjalan pergi meninggalkan apartemen Aiden. Sungguh ia merasa malu jika harus berhadapan langsung dengan pria itu. Kira-kira apa tindakannya setelah ini? Apakah Aiden akan berubah menjadi mengasihaninya karena ia masih mencintai pria itu, sedangkan pria itu sama sekali tidak? Air matanya langsung meleleh begitu saja saat kakinya menyeretnya masuk ke dalam lift yang baru saja terbuka. Dengan hati hancur Letha merosot di lantai lift dan mengasihani dirinya sendiri yang hancur menjadi butiran debu.
-00-
Yoona menutup pintu apartemen Aiden dan tetap bertahan di tempatnya dengan kening mengernyit sambil menatap pintu. Baru saja Letha datang. Tapi menurutnya wanita itu terlihat aneh. Wajahnya menunjukan kegugupan dan juga keterkejutan saat melihatnya membuka pintu. Yoona lalu melirik penampilannya sendiri dari atas hingga ke bawah, ke arah kakinya yang polos tanpa alas kaki. Seketika ia menepuk jidatnya sendiri dan menyuarakan beberapa umpatan untuk kebodohan yang telah dilakukannya pagi ini. Sungguh ia tidak bermaksud membuat wanita itu salah paham. Pantas saja Letha langsung terlihat pucat setelah melihatnya keluar untuk membukakan pintu. Penampilannya pagi ini sungguh tidak bisa dikatakan pantas. Ia pikir, ia masih menggunakan gaunnya yang basah semalam karena ia sama sekali tidak mengecek penampilannya sebelum turun dari ranjang.
Beberapa saat yang lalu ia terbangun karena suara bell dari pintu depan yang mengusiknya. Ia melihat Aiden sedang tertidur dengan pulas di atas sofa, membuatnya merasa iba hingga ia memutuskan untuk membukakan pintu itu tanpa membangunkan Aiden. Melihat pria itu begitu menjaganya hingga rela tidur di sofa membuat hati Yoona merasa tersentuh. Ia merasa harus berterimakasih pada Aiden karena kemarin pria itu telah menyelamatkannya dari kolam yang dalam, lalu menggendongnya ala bridal style ke apartemennya, dan setelah itu... dan setelah itu... otak Yoona sedikit kabur saat membayangkan kejadian berikutnya yang dilakukan Aiden. Bukankah gaunnya semalam basah? Seketika Yoona ingin berteriak dan mengumpati Aiden dengan seluruh perbuatan yang pria itu lakukan. Seenaknya saja pria itu melepas gaunnya dan mengganti pakaiannya dengan kemeja ini.
"Yoong, siapa yang datang?"
Aiden tiba-tiba muncul di belakangnya dengan wajah khas bangun tidur. Rambut coklatnya kusut di sana sini. Aiden hanya menggunakan selembar celana piyama panjang yang menggantung sempurna di pinggulnya tanpa atasan. Dan jangan lupakan wajah polos Aiden yang terlihat begitu menyenangkan untuk dipandang. Tapi saat ini Yoona tidak akan memandang Aiden terlalu lama karena ia membutuhkan penjelasan dari pria itu lebih lanjut.
"Kau yang mengganti pakaianku?"
"Tentu saja. Siapa lagi? Tidak ada orang selain aku di sini." balas pria itu apa adanya. Kelihatan sekali jika Aiden memang belum sepenuhnya sadar seperti Aiden yang biasanya.
"Kau apa? Sialan! Apa kau meraba-raba tubuhku?"
"Yah... sedikit."
"Astaga Aiden! Kau benar-benar menyebalkan!" Yoona mengamuk dan langsung saja memukuli Aiden membabi buta dengan bantal sofa yang langsung saja ia ambil dari tempat terdekat ia berdiri. "Seharusnya kau biarkan aku menggunakan gaun itu."
"Kau kedinginan dan wajahmu pucat. Siapa yang akan betanggungjawab jika kau mati di apartemenku."
"Biarkan saja kalau begitu!" teriak Yoona kesal. Bantal kecilnya telah berhasil direbut Aiden dan dibuang entah dimana. Pria itu benar-benar menyebalkan, dan Yoona rasanya ingin mencakar wajah tampan itu dengan kuku-kukunya yang panjang.
"Ingat, aku menyelamatkanmu semalam."
"Aku ingat. Aku berterimakasih untuk itu tapi tidak dengan caramu menggantikanku pakaian. Astaga, aku tidak berani membayangkannya." Yoona terduduk begitu saja di atas sofa dengan wajah nanar yang tampak menggelikan.
"Kalau begitu jangan kau bayangkan. Bagaimana jika kau melihatnya secara langsung? Aku tidak keberatan untuk melakukannya lagi."
"Aiden." desis Yoona penuh peringatan. Tadinya ia merasa bersyukur karena ternyata pagi ini ia masih hidup setelah kemarin tenggelam di kolam milik relasi bisnis Aiden. Tapi kemudian ia jadi sedikit menyesal karena kejadian kemarin dimanfaatkan Aiden dengan baik untuk menyentuh tubuhnya. Ia tidak berani membayangkan apa saja yang telah dilakukan pria itu padanya semalam.
"Aku tidak melakukan apapun selain mengganti pakaianmu yang basah. Tidak ada maksud yang lain." ucap Aiden berubah serius. Ia menjadi merasa terganggu saat melihat wajah Yoona yang menyiratkan kefrustrasian mendalam. Rasanya ia seperti baru saja melakukan tindak kejahatan paling fatal dan memerlukan hukuman yang berat.
"Kuhargai pertolonganmu kemarin. Tapi lain kali, kurasa itu tidak perlu."
Aiden hanya mengendikan bahunya acuh, lalu beranjak menuju dapur untuk membuat kopi.
"Kau ingin kopi?"
"Apa kau punya sesuatu di dalam kulkas?" tanpa mengindahkan pertanyaan Aiden, Yoona justru berjalan ke arah kulkas dan membuka isinya dengan mata tajam seperti alat pemindai. "Boleh aku minum jusmu?"
"Tentu. Aku jarang meminumnya. Jika kau mau, kau bisa habiskan semuanya."
"Kau punya ham, keju, telur, dan bacon, mau kubuatkan sandwich untuk sarapan?" tanya Yoona masih berdiri di depan kulkas. Dari belakang Aiden melihat tubuh mungil Yoona yang terbalut kemejanya dengan tatapan kagum yang terlihat begitu memuja. Kemejanya terlihat sangat seksi saat digunakan Yoona, apalagi dengan lampu kulkas yang menyorot samar ke arah tubuhnya yang mungil. Lekuk-lekuknya yang menggiurkan itu segera saja membuat Aiden merasakan gelenyar asing di tubuhnya. Astaga! Ini memalukan. Ia seperti seorang manik dalam posisinya yang seperti ini. Tapi Yoona memang terlihat lebih asetetik dan juga menggairahkan dalam balutan kemejanya. Kaki jenjangnya itu... sialan! ia sangat ingin menyentuhnya.
"Kau ingin ditambahkan tomat dan daun selada?" Tiba-tiba Yoona berbalik, membuat Aiden terkesiap dan seketika berusaha mengalihkan wajah anehnya ke arah teko air yang airnya baru saja mendidih.
"Aku suka sayur. Tambahkan saja sebanyak yang kau mau."
"Baiklah. Kau suka telur mata sapi atau telur orak arik?"
"Telur mata sapi sepertinya lebih enak."
"Baiklah. Aku akan membuat sandwich kalau begitu. Oiya..." Yoona seketika teringat pada Letha yang tadi menitipkan pesan untuk Aiden. Cepat-cepat ia memberitahu Aiden tentang kedatangan Letha pagi tadi dan mengenai kondisi Hill yang sakit.
"Aku akan ke sana nanti." jawab Aiden datar dan seperti tak ada minat sama sekali. Yoona yang melihat itu langsung berkacak pinggang dengan spatula yang masih tergenggam di tangan kanannya. Pemandangan seperti itu sontak membuat Aiden semakin terpana pada Yoona yang justru terlihat berkali-kali lipat lebih seksi. Ia jadi berpikir untuk merekomendasikan Yoona pada perusahaan pembuat alat-alat dapur setelah ini. Menurutnya Yoona terlihat sangat sempurna berada di dapur.
"Jangan kecewakan mereka, terutama Hill. Dan kau juga harus meluruskan kesalahpahaman yang ada."
"Kesalahpahaman apa?"
"Kurasa Letha salah paham saat melihat penampilanku. Yeah, kau tahu sendiri bagaimana pandangan orang lain jika melihatku menggunakan pakaianmu yang terlihat begitu besar di tubuhku yang mungil."
"Menurutku kau cantik, dan juga seksi."
"Astaga Aiden..." desah Yoona frustrasi. Sembari mengomel, ia juga menyiapkan bahan-bahan yang akan ia gunakan untuk membuat sandwich. Gerakan Yoona terlihat begitu teratur dan efektif. Dengan teliti ia memotong tomat dan menyusunnya di dalam piring, lalu mencuci daun selada, mengangkat telur setengah matang milik Aiden, dan memanggang ham yang tadi telah ia keluarkan dari dalam kulkas. Yoona memang sangat sempurna dalam berbagai hal. Bahkan dalam urusan dapur sekalipun, Yoona sama sekali tidak terlihat parah. Andai saja Yoona adalah istrinya, ia pasti akan menjadi pria paling beruntung di dunia.
"Kau ingin menggunakan mustard di sandwichmu?"
"Tidak, hanya mayo saja. Nah, itu cukup."
Yoona segera meletakan botol mayo ke tempat semula dan mulai menata isi sandwich itu satu persatu dengan teliti. Pertama ia meletekan telur, daun selada, kemudian tomat, ham, dan terakhir selembar keju yang langsung meleleh saat terkena panas dari ham yang baru saja dipanggang.
"Semoga kau suka." Yoona meletakan sandwich milik Aiden di depan pria itu dan mulai membuat sandwich untuk dirinya sendiri.
"Kelihatannya enak. Apa kau sering memasak untuk Laiv di rumah?"
"Kau pikir pelayan-pelayan itu mau kuusik saat mereka sedang memasak? Tentu saja tidak! Laiv membayar mereka untuk memasak, jadi aku tidak pernah memasak apapun di rumah. Bukankah sudah kubilang padamu jika satu-satunya pekerjaan yang kumiliki di rumah hanyalah menata seprai kamarku."
"Kau pasti bosan."
"Sangat!" keluh Yoona bersemagat. Sudah lama ia ingin mengatakan hal itu pada Laiv jika ia ingin diberikan kesempatan sesekali untuk mengurus rumah. Setidaknya biarkan ia yang memasak dua kali dalam seminggu saat weekend. Ia ingin akhir pekan terlihat lebih berbeda dari hari yang lain. Terkadang ia bangun di pagi hari tanpa semangat sedikitpun karena ia tahu jika ia tidak akan bisa mengerjakan apapun di rumahnya sendiri.
"Kau sudah coba membicarakan hal itu pada Laiv?" tanya Aiden sambil mengunyah sandiwchnya. Baru saja ia mengambil potongan besar dari sandwichnya untuk digigit dan dikunyah secara perlahan karena Aiden ingin merasakan sensasi masakan Yoona di mulutnya lebih lama.
"Sebenarnya kami sedang melakukan perang dingin sekarang. Ada beberapa hal yang tidak kusukai dari Laiv, dan itu meHaeu pertengkaran."
"Kau yang menyalakan pemantiknya, sedangkan Laiv pasti hanya diam seperti biasa." tebak Aiden asal, namun sayangnya itu benar. Yoona sudah bersiap untuk membantah pernyataan Aiden, namun pria itu segera mendahuluinya dalam satu kalimat cepat mematikan.
"Laiv pria tua yang rapuh. Tega sekali kau menimpakan kesalahan pada si tua Laiv."
"Apa sekarang kau berubah bersimpatik pada Laiv? Apa kau lupa pada kebencianmu padanya, mr. Straight?"
"Aku tidak pernah membencinya." jawab Aiden sambil mengendikan bahu. Sandwich yang ia nikmati pagi ini terasa begitu nikmat. Ia sampai harus menjilati jari-jarinya yang berlumur mayo karena tidak ingin kehilangan sedikitpun kelezatan dari sandwich yang dibuat Yoona. "Aku hanya cemburu padanya." lanjut Aiden dengan mulut penuh sandwich. Potongan terakhir di piringnya ia putuskan untuk melahapnya langsung tanpa membagi-baginya menjadi potongan kecil. Ia pikir ia harus cepat karena sebelum ke kantor ia harus pergi ke apartemen Letha.
"Mau tambah?" tawar Yoona saat ia lagi-lagi tak menghabiskan makanannya. Melihat itu Aiden mendengus, namun ia menyambar juga potongan sandwich dari piring Yoona.
"Kebiasaan buruk."
"Demi reputasi perusahaanmu. Apa kau ingin memiliki model yang gendut dan terlihat berminyak karena terlalu banyak memakan makanan berlemak?"
"Sekarang aku baru memikirkannya." Aiden membuat gerakan sedang berpikir sambil meletakan ujung jari telunjuk ke keningnya yang dijatuhi rambut-rambut coklat yang acak-acakan sehabis bangun tidur. "Tidak masalah jika kau berubah gendut. Di perut." ucap Aiden sambil mengusap perut Yoona beberapa kali. Wanita itu tentu saja terkesiap untuk beberapa saat. Ia tak menyangka jika Aiden akan mengusap perutnya saat ia berjalan mendekati pria itu untuk mendekatkan cangkir kopinya. Dan tanpa mempedulikan keterkejutannya, Yoona segera melangkah mundur dengan gerakan efektif tanpa mengatakan apapun pada Aiden.
"Kau tidak berencana untuk hamil?"
"Kau mengizinkan aku hamil?"
"Kenapa tidak?"
"Pekerjaanku." ucap Yoona getir. Ia tidak pernah menunda kehamilan sebenarnya. Tapi ia jadi teringat pada perdebatannya dulu dengan Donghae. Pria itu dengan angkuhnya memperdebatkan masalah program bayi yang akan dijalaninya bersama Andew. Tapi untung saja itu belum terjadi, sehingga ia aman. Dan saat ia mengatakan mengenai kehamilan pada Aiden, pria itu tidak menunjukann sikap yang kontra sama sekali. Apa itu tandanya jika Aiden tidak melarangnya untuk mengandung?
"Kita bisa mengaturnya jika kau mengandung. Apa sekarang kau sebenarnya sudah mengandung?" tanya Aiden menyelidik.
"Kenapa kau sangat ingin tahu? Itu urusanku dan Laiv." ucap Yoona telak tanpa bantahan. Pernyataan itu otomatis menjadi akhir dari pembicaraan mereka pagi ini. Yoona dengan santai meninggalkan Aiden sendiri di dapur untuk bersiap-siap di kamar pria itu. Dari dalam kamar, Aiden samar-samar dapat mendengar suara Yoona yang meminta izin untuk menggunakan kamarnya. Dan tidak lupa wanita itu menambahkan ancaman padanya jika ia berani membuka pintu kamar itu, atau bahkan sampai masuk ke dalam kamarnya seperti dulu saat mereka di Balboa, ia tidak akan segan-segan menendang pria itu tepat di selangkangannya. Mendengar itu Aiden langsung mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke udara sambil bergidik ngeri.
"Kau memang wanita kejam yang tak berperasaan, Yoong."
Tidak ada balasan apapun dari Yoona setelah teriakannya. Dalam keheningan itu, Aiden hanya menatap dalam ke arah tempat Yoona berdiri. Memandang tempat itu lama, Aiden sibuk berpikir. Pikirannya sekarang mulai dikacaukan dengan kemungkinan jika Yoona hamil.
-00-
Letha bertopang dagu di kamar Hill sambil menemani anak itu bermain dengan dinosaurus-dinosaurusnya. Sudah cukup lama ia di sana sejak Tatyana berpamitan untuk pergi dengan kekasihnya. Hatinya sejak tadi terus bertanya-tanya, apakah Aiden akan datang untuk melihat anaknya? Apakah Aiden mau meninggalkan kenikmatan yang ditawarkan wanita itu di apartemennya?
Semakin memikirkan hal itu, kepala Letha justru semakin pening dan jantungnya berdebar keras. Ia tidak bisa hanya terus menerus mengharapkan pria yang jelas-jelas sudah tidak mengharapkannya lagi. Ini salahnya. Ya salahnya! Sisi lain dari dirinya sedang mencemooh sambil menertawakan kebodohannya dulu. Ia terlalu sombong saat Aiden menawarkan diri untuk meresmikan hubungan mereka yang dulu pernah terjalin, namun tidak pernah dianggap penting oleh Aiden. Dan saat itu, ketika Aiden menginap di rumahnya di Tacoma, Aiden mengatakan ingin membuat sebuah keluarga yang utuh untuk Hill. Pria itu ingin mewujudkan mimpi anak-anak pada umumnya yang selalu menginginkan keluarga yang hangat dengan ayah dan ibu yang lengkap. Betapa bencinya ia pada dirinya sendiri yang saat seusia Hill juga tidak bisa merasakan kehidupan keluarga normal, sehingga ia tidak ingin hal seperti itu terjadi pada Hill, satu-satunya anak yang bisa ia miliki.
Sayangnya saat itu Letha masih belum yakin pada Aiden. Dengan wajah muram, Letha menolak permintaan pria itu untuk menikahinya. Ia beralasan jika ia perlu memikirkan beberapa hal sebelum benar-benar yakin pada niatan tulus Aiden untuk menjadikannya istri. Ya, saat itu Letha masih naif. Ia berpikir Aiden tidak mungkin akan berpaling pada siapapun karena hanya dirinyalah yang bisa memberikan Aiden anak. Tidak ada wanita lain yang bisa, dan itu membuat Aiden mau tidak mau akan tetap mengharapkannya. Tapi sekarang Letha merasa menyesal karena dulu pernah bersikap sebodoh itu. Bagaimanapun Aiden adalah pria tampan yang sangat digilai banyak wanita. Kehilangan dirinya saja tidak akan menjadi masalah untuk pria itu. Toh mencari pewaris tidak perlu anak biologis. Aiden bisa mengadopsi anak menggunakan uangnya yang sangat banyak dan mendidik anak itu sebaik mungkin agar menjadi seorang pewaris yang hebat di masa depan. Dan bersama wanita itu, wanita yang ia temui di supermarket bersama Aiden, ia yakin mereka akan hidup bahagia. Kelihatannya sang wanita juga tidak terlalu ambil pusing dengan kecacatan yang dimiliki Aiden, sehingga tidak ada lagi alasan bagi pria itu untuk menjajakan lamaran di depannya. Atau bahkan memohon-mohon agar lamarannya diterima.
"Mommy... Mommy... Mommy!" itu panggilan ke tiga yang dilontarkan Hill sebelum ia akhirnya berteriak dengan raut gusar. "Ada seseorang yang membunyikan bel di depan." beritahu Hill dengan wajah mengkerut-kerut. Tebakan Letha, sebentar lagi putranya itu akan lebih keras berteriak padanya jika seseorang di depan sana tak kunjung berhenti untuk menekan bel. Dan Letha terpaksa harus memaklumi sikap Hill karena anak itu sedang sakit, tubuhnya pasti terasa tidak nyaman sama sekali.
"Ya, tunggu sebentar!" teriak Letha dari dalam rumah. Ia segera merapikan blusnya yang sedikit kusut sebelum memutar kunci untuk membukakan pintu tamunya. Dan ekspresi wajahnya langsung saja terlihat gembira saat melihat siapa yang saat ini sedang berdiri di depan apartemennya.
"Stacy! Ya ampun, apa kabar?" sapa Letha heboh. Stacy adalah salah satu sahabatnya yang ternyata sekarang juga tinggal di LA. Baru beberapa hari yang lalu mereka bertemu di sebuah kafe dan Stacy berjanji padanya akan datang untuk berkunjung.
"Baik. Akhirnya aku memiliki waktu untuk datang. Anakku sedang tumbuh gigi, ia jadi sangat rewel dan juga manja. Kemarin ia tidak mau lepas dariku. Ia sudah seperti prangko yang terus menempel pada amplop." cerita Stacy kesal. Letha hanya terkikik-kikik kecil mendengar cerita yang dikatakan Stacy. Bagaimanapun anak saat sedang tumbuh gigi, itu merepotkan. Ia bahkan harus mengambil cuti tiga hari saat Hill mengalami hal itu.
"Lalu dimana anakmu sekarang?"
"Ada di rumah bersama pengasuhnya. Ia sudah mau ditinggal hanya dengan pengasuhnya, tapi dengan syarat aku membelikan snack coklat kesukaannya. Dasar bandit kecil itu."
"Anak-anak memang seperti itu. Hill juga, tapi ia sekarang sedang sakit."
"Oya? Kasihan sekali. Apa ia demam?"
"Ya, sangat tinggi kemarin. Tapi sekarang sudah jauh lebih baik, dan ia sedang bermain bersama mainan kesukaannya. Dinosaurus." ucap Letha ringan sambil mengedik ke arah kamar Hill yang pintunya sedikit terbuka. Stacy kemudian meminta izin pada Letha untuk masuk ke kamar anaknya dan melihat kondisi putranya.
Sementara Stacy bermain bersama Hill, Letha menyiapkan minuman dan makanan kecil untuk Stacy. Segelas jus kemasan dari dalam kulkas ia tata di atas nampan, lalu sepiring kue keju yang kemarin ia beli dari toko kue baru yang ia temukan beberapa blok dari apartemennya. Ia berencana untuk memakan kue keju itu kemarin, sayangnya ia lupa karena ia terlalu sibuk mengurus Hill yang rewel. Saat ia hendak mengangkat nampan itu ke ruang tamu, bell rumahnya tiba-tiba berbunyi. Letha lalu meletakan lagi nampannya sambil mengernyitkan alisnya berpikir. Siapa lagi yang datang ke rumahnya? Untuk menghindari kekecewaan, Letha tidak menyebutkan nama Aiden dalam daftar tamu yang akan datang hari ini. Ia sudah tidak mengharapkan pria itu datang. Dan ia menolak kecewa hanya untuk sebuah harapan palsu.
"Hai..."
Sapaan hangat itu membuat tubuh Letha membeku di tempat saat berhasil menarik gagang pintu itu dalam satu kali tarikan. Di depannya berdiri Aiden dengan tubuh kokohnya yang dibalut setelan kerja seperti biasa. Secara keseluruhan Aiden tampak sempurna dan sama sekali tanpa cela. Melihat itu seketika Letha merasa minder karena jika dibandingkan dengan wanita yang tadi pagi membukakan pintu untuknya, penampilannya sungguh jauh dari kata layak. Ia tidak menarik, bahkan mungkin jelek.
"Boleh aku masuk?"
"Te tentu. Masuklah. Apa kau tidak sibuk?"
"Tidak. Bagaimana keadaan Hill?" Tanpa ingin berbasa-basi, Aiden langsung menanyakan keadaan Hill sebagai tujuan utamanya datang ke rumah wanita itu.
"Ada di dalam bersama Stacy. Temanku saat senior high school."
"Oh. Apa Hill masih demam?"
"Sudah tidak. Tapi mungkin tubuhnya masih belum sesehat biasanya, sehingga ia lebih banyak merengek beberapa hari ini. Tunggu sebentar, aku akan memanggil Hill."
Selagi Letha masuk ke dalam kamar untuk memanggil Hill, Aiden sibuk memandangi interior apartemen milik Letha yang sederhana, namun terlihat sangat teratur. Dinding-dinding di sekitar ruang tamu dipenuhi beberapa foto. Ada foto Hill saat masih bayi, foto Letha saat sedang menggendong Hill saat ulangtahunnya yang pertama, lalu ada foto keluarga Letha juga. Ayah ibu Letha terlihat sangat ceria di foto itu, tersenyum ke arah Letha sambil merangkul pundak wanita itu dengan hangat. Sayangnya sekarang Aiden meragukan kehangatan dua orangtua itu. Mereka mungkin tidak lagi mengakui Letha sebagai anaknya. Aiden kemudian memandangi foto selanjutnya yang dipasang di sisi paling ujung dari foto yang lain. Sebuah foto candid yang tampak begitu natural, hangat, dan terlihat begitu mengharukan. Potret Letha dan Hill bersama dirinya. Ya itu dirinya, atau mungkin dirinya yang lain yang dulu bisa begitu hangat saat bersama Letha dan anaknya.
"Paman Ace!" teriak Hill antusias dari ambang pintu. Pria kecil itu langsung berlari dengan kencang dan menubruk paha Aiden sambil menggosok-gosokan pipinya ke permukaan paha Aiden yang tertutup oleh celana berbahan halus yang mahal.
"Hey jagoan. Kemana panggilan daddy yang kemarin?" tanya Aiden sambil mengernyit, berpura-pura marah. Ia langsung meraih Hill dari kakinya, menggendong anak itu dan mendekatkan wajahnya untuk mencium pipi Hill yang terlihat lebih tirus.
"Aku memintanya untuk memanggilmu dengan panggilan biasanya karena aku takut kau tidak senang. Eemm... kekasihmu mungkin juga tidak akan suka."
"Kekasih?" tanya Aiden sambil menaikan satu alisnya. "Yoona maksudmu?"
"Jadi namanya Yoona? Aku lupa namanya." jawab Letha malu. Ia langsung menundukan wajahnya yang bersemu merah agar tidak bisa dilihat oleh Aiden. Pasti memalukan sekali saat tertangkap basah sedang terlihat cemburu seperti tadi. Ya ampun Aletha Jovon! geram Letha dalam hati.
"Yoona bukan kekasihku. Kau tenang saja. Ngomong-ngomong, apa kau terganggu dengan kedatanganku?" Aiden sengaja mengendikan dagunya ke arah makanan dan minuman yang disiapkan Letha untuk Stacy. Nalurinya mengatakan jika kehadirannya dapat membuat dua orang wanita itu tidak nyaman karena tidak bisa berbicara dengan bebas.
"Aku akan mengajak Hill keluar ke taman. Dan selagi kami berbincang-bincang antar pria, kau bisa berbicara dengan temanmu."
"Baiklah. Hill pasti senang sekali karena bisa menghabiskan waktunya denganmu."
"Aku juga senang. Ayo jagoan kita pergi mencari gadis-gadis cantik di luar."
Hill seketika terkikik saat Aiden menggelitik perutnya beberapa kali. Ayah dan anak itu tampak begitu kompak dan mengagumkan saat sedang bersama. Letha bahkan sampai tak bisa menyembunyikan rasa harunya melihat dua pria itu perlahan-lahan pergi dari pintu apartemennya. Betapa ia sangat menginginkan hal itu terjadi untuk selamanya. Tapi ia tidak bisa egois dengan memaksakan hati Aiden yang jelas telah berubah. Tak ada sedikitpun rasa peduli yang dulu pernah pria itu berikan padanya. Sekarang yang Letha lihat dari Aiden hanyalah rasa iba dan juga sebuah kewajiban yang perlu ia penuhi untuk membahagiakan anak satu-satunya. Tidak akan ada lagi keluarga impian seperti yang diinginkan Letha untuk terwujud. Ia telah membuang satu-satunya kesempatan yang ia miliki dulu. Dan sekarang ia hanya mampu bertahan sambil meratapi kebodohannya.
"Itu ayahnya?"
Letha cepat-cepat menghapus air mata di pipinya dan berbalik dengan senyum cerah ke arah Stacy. "Ya, itu ayahnya. Aiden Straight ayah Hill."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro