Bad Liar Part 21
Menjawab panggilan dari sang pengetuk, Yoona segera berguling dari ranjang nyamannya dan meninggalkan majalah fashion yang masih terbuka lebar di atas ranjangnya. Panggilan itu berasal dari kepala pelayan di mansion Laiv. Baru lima hari yang lalu Laiv mengatakan padanya jika Magda adalah kepala pelayan di mansionnya. Pantas saja saat itu Yoona sering melihat Magda berkeliaran. Bahkan wanita itu juga yang pertama kali menyapanya dengan sangat ramah saat ia bangun di sebuah tempat asing yang kini justru menjadi rumahnya.
"Makan siang nyonya." beritahu Magda sopan. Yoona melirik jam besar di dindingnya dan barulah ia sadar jika ia telah menghabiskan waktu berjam-jam untuk berguling-guling di atas ranjang.
"Nanti aku akan turun." balas Yoona tidak yakin. Ia sendiri merasa tidak membutuhkan makan siang karena ia memang kerap melewatkan jam makan siang jika saat pagi ia telah sarapan. Tapi ia sengaja tidak mengatakan hal itu di hadapan Magda agar tidak menyinggung kepala pelayan yang baik hati itu. "Terimakasih telah mengingatkan, Magda."
"Sudah kewajiban saya, nyonya. Kalau begitu saya permisi."
Yoona menatap sebentar kepergian Magda, lalu kembali menutup pintu kamarnya untuk kembali ke atas ranjangnya.
Memang beginilah seharusnya kehidupan seorang nyonya besar dengan suami kaya raya. Yoona baru saja memikirkannya disaat ia tengah melamun sambil mengamati gambar-gambar di dalam majalah fashion yang beberapa halaman menampilkan gambarnya. Sungguh monoton, batin Yoona kesal. Sejak dulu ia tidak dilahirkan untuk hanya bersolek atau bermalas-malasan seperti ini. Tapi memangnya apa lagi yang bisa ia lakukan disaat ia masih memiliki sisa libur dari keseluruhan cutinya. Laiv sendiri memang sejak awal tidak mengambil banyak waktu libur. Jadi pria itu hari ini telah memulai harinya seperti biasa. Pagi tadi Laiv bangun pukul enam dan memberikan kecupan selamat pagi sebelum menghilang di balik pintu kamar mandi. Sebagai istri teladan, ia tentu saja tidak bisa diam saja di atas ranjang saat melihat Laiv telah bergegas mandi. Setelah Laiv menutup pintu kamar mandi, ia langsung melompat bangun dari ranjang mereka yang sedikit berantakan. Tapi itu bukan jenis berantakan yang menunjukan jika semalam mereka baru saja selesai melakukan gencatan senjata. Tidak! Semalam mereka tidak melakukan apapun selain tidur dengan saling membelakangi karena kelelahan. Perjalanan dari Panama memakan waktu yang tidak bisa dibilang singkat.
Selama di perjalanan pulang Yoona sudah banyak menghabiskan waktunya untuk tidur. Tidak seperti waktu berangkat yang dipenuhi oleh antusiasme liburan. Saat pulang Yoona sudah lunglai di atas bahu Laiv karena ia sudah kehilangan seluruh antusiasmenya untuk berlibur, dan digantikan dengan rasa lelah karena harus menempuh perjalanan yang cukup jauh. Jadi setelah mendapatkan istirahat yang cukup selama pagi ini Yoona memulai harinya dengan merapikan tempat tidurnya terlebihdahulu sebelum para pelayan itu masuk dan mengambil alih tugasnya. Yeah, ia tidak ingin menjadi nyonya besar yang manja dan terlalu bergantung pada pelayan. Sebisa mungkin ia ingin tetap menjadi Yoona yang mandiri dengan melakukan aktivitas apapun yang selama ini selalu menjadi kebiasaannya.
Sejujurnya Yoona merasa asing berada di rumah besar dengan banyak kenangan Laiv bersama istrinya. Pagi ini saat turun ke ruang makan, Yoona baru menyadari adanya banyak pigura raksasa yang dipasang Laiv di sepanjang tembok mansionnya. Foto Sarah, lukisan wajah Sarah, dan foto pernikahan mereka yang sempurna. Baru kali ini Yoona merasa tertohok saat melihat itu semua. Padahal dulu ia telah meyakinkan hatinya jika ia akan baik-baik saja meskipun Laiv masih dibayangi oleh masa lalunya. Katakan ia egosi. Semua pria ingin ia kuasai sendiri. Donghae, Laiv, lalu selanjutnya siapa? Aiden? Huh, Yoona mengejek dirinya dalam hati. Betapa naifnya seorang Im Yoona. Selama ini ia menyukai seseorang hanya karena tatapan mata mereka yang tajam, bola mata hijau cemerlang yang menjadi favoritnya, lalu kebaikan hati mereka. Ia akui jika ia adalah tipe wanita yang mudah luluh, meskipun ia juga seorang yang keras kepala. Tapi kebanyakan pria yang memperlakukannya dengan istimewa beberapa kali pasti akan langsung mendapatkan simpatik darinya. Ditambah lagi jika pria itu memiliki mata hijau yang memikat. Sudah pasti ia akan jatuh ke pelukan mereka dengan mudah. Tapi sekarang ia adalah wanita yang bersuami! Sadarlah, Yoong! teriak batin Yoona gusar. Terkadang ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apakah ia dan Siwon sebenarnya sama?
Yoona menggelengkan kepalanya beberapa kali sebelum akhirnya bangkit dari ranjang. Efek dari bermalas-malasan memang tidak baik untuk kesehatan jiwanya. Semakin lama ia berbaring di atas ranjang itu tanpa melakukan apapun, pikiran laknatnya justru membawanya sampai ke topik-topik yang tak pernah ia ingin pikirkan. Secara tidak langsung hal itu justru meracuninya, kemudian membuatnya memiliki pikiran licik untuk berlaku menyimpang. Jadi pada akhirnya Yoona memutuskan untuk keluar dari kamarnya dan berjalan-jalan. Kebetulan ia belum terlalu hafal dengan seluk beluk mansion milik Laiv yang luas ini. Pertama kali ia datang ke sini setelah insiden memalukan itu, ia sempat tersesat. Alih-alih ingin pergi ke kamar mandi, ia justru berjalan tak tentu arah hingga mencapai taman belakang. Tapi setelah itu ia juga tidak hafal dengan jalan kembali ke ruang makan. Sungguh konyol memang. Jika dipikir-pikir ia terlalu sering melakukan sebuah kebodohan di depan Laiv. Dan hal itu jugalah yang membuat Yoona selalu menjustifikasi dirinya jika ia bukanlah istri yang ideal untuk Laiv. Seharusnya wanita itu yang mendampingi Laiv sekarang. Sarah!
Yoona berdiri di lorong dekat kamarnya yang sepi sambil memandang tajam foto Sarah. Wanita itu rasanya terlalu sempurna untuk Yoona yang memiliki banyak kekurangan. Namun sedetik kemudian pikiran jahat Yoona menghembuskan bisikan penuh racun. Yeah, sesempurna apapun wanita itu. Sarah kini telah mati. Wanita itu tidak akan pernah menjadi sempurna tanpa kehadiran jiwanya yang berharga itu. Jadi Yoona dapat sedikit berbangga diri karena nyatanya dirinyalah yang saat ini hidup untuk mendampingi Laiv. Bahkan mungkin dirinya jugalah yang akan mengambil peran sebagai ibu dari anak-anak Laiv.
Entahlah, Yoona cukup percaya diri akan hal itu. Menurutnya ia bisa mengandung dengan mudah. Dan jika dulu ia tidak menundanya dengan Siwon, sekarang mungkin ia telah memiliki anak yag dapat menyelamatkannya dari keterpurukan. Tapi kemudian ia mensyukuri keputusannya dulu untuk menunda kehamilan karena jika anak itu telah lahir di tengah-tengah kehancuran hubungan pernikahannya dengan Siwon, dan jika anaknya tahu hubungan terlarang ibunya dan pamannya, itu pasti akan menjadi situasi yang rumit. Yoona bahkan tak sanggup untuk membayangkannya lebih lanjut. Ia pernah hidup di keluarganya yang tidak lengkap. Jadi ia tidak menginginkan anaknya bernasib sama sepertinya dulu. Meskipun ayahnya tidak pergi untuk wanita lain, melainkan pergi untuk menghadap Tuhan. Tapi itu saja sudah cukup menyakitkan untuk Yoona karena ia harus menahan berbagai macam perlakuan buruk dari teman-temannya yang memandang rendah dirinya.
Selama dua puluh menit Yoona berdiri di sana dengan berbagai pikiran baik dan buruk yang membayangi dirinya. Ia lalu menghembuskan napas pelan saat dirasa jika waktu liburnya ini meracuninya. Tanpa kegiatan dan tanpa teman yang bisa menghiburnya, pikirannya menjadi melayang tak tentu arah dengan mengerikan. Sebenarnya ia ingin menghubungi Rebecca karena ia belum menghubungi wanita itu semenjak pernikahannya. Tapi di jam-jam seperti ini Rebecca pasti sedang sibuk. Wanita itu perlu bekerja keras untuk membiayai pengobatan ayahnya yang sakit. Bukan sakit keras, tapi penyakit turun temurun yang memerlukan perawatan rutin.
Jari jemari Yoona menyusuri besi pembatas tangga yang berbentuk spiral, melingkar dari ujung tangga teratas hingga ujung tangga terbawah. Mansion milik Laiv memang memiliki desain kuno seperti rumah di abad pertengahan yang memancarkan aura suram yang mistis. Kesuraman dan kesunyiannya dirasakan Yoona cukup jelas karena siang ini tidak banyak pelayan yang berlalu lalang. Satu pelayan baru saja melintas di ujung bawah tangga tidak memperhatikan keberadaan Yoona di ujung anak tangga teratas. Pelayan itu terlihat sibuk memindahkan vas yang baru saja dibersihkan, dan setelah itu ia menghilang menuju bagian belakang mansion untuk beristirahat.
Yoona kemudian membatalkan niatnya untuk pergi ke bawah. Langkah kakinya yang ringan justru membawanya ke kamar tamu yang dulu pernah ia gunakan saat pertama kali ditemukan Laiv dalam keadaan tak sadar. Secara keseluruhan kamar itu masih terlihat sama. Seluruh sudut-sudut kamar itu bersih karena selalu dibersihkan dengan teratur. Aroma kamar itu wangi bunga lYoongnder yang menenangkan, dan jendela besar yang langsung menghadap ke taman juga dibuka lebar-lebar di kamar itu. Yoona tanpa sadar tersenyum saat melihat ranjang besar yang dulu pernah diisi olehnya. Apa jadinya jika dulu ia tidak ditemukan Laiv dan tertidur di ranjang itu? Yoona terus memikirkan jawaban atas pertanyaan itu selama beberapa saat. Ia merasakan hidupnya berubah drastis semenjak mengenal Laiv. Secara tidak sadar Laiv telah datang untuk membuat kehidupannya lebih berwarna. Pertama kali ia merasakan mendapatkan perhatian dari pria yang lebih tua dalam kurun waktu yang sangat singkat dari awal pertemuan. Apa yang membuatnya percaya pada Laiv? Entahlah, mungkin ia memang sudah tersihir oleh mata hijau cemerlang itu. Tiap kali ia memandang mata hijau Laiv, ia jadi merasa seperti memiliki Donghae di dalam pelukannya.
"Apa yang nyonya lakukan di sini?"
Yoona tersentak mundur dan melepaskan tangannya segera dari pegangan pintu lemari geser di sebelah pintu kamar mandi.
"Hanya penasaran dengan isinya." jawab Yoona tenang. Secepat mungkin ia mengubah ekspresi terkejutnya dengan ekspresi datar. "Kukira aku memiliki kuasa penuh untuk menggunakan setiap fasilitas di rumah ini."
"Tentu saja nyonya." ucap Magda tak kalah tenang, namun ekor matanya sedari tadi menatap was-was ke arah tangan Yoona yang akan membuka pintu geser itu dengan cepat.
"Aku ingin melihat koleksi apa yang disimpan di dalam lemari ini."
Magda tak bisa menahan Yoona untuk membuka lemari geser itu. Dalam sekali tarikan, Yoona telah mengerahkan seluruh tenaganya untuk membuka pintu geser berwarna gelap yang sejak awal memang telah menggelitik Yoona.
"Jangan nyonya!"
"Kenapa ini tak bisa dibuka?" dengus Yoona gusar saat tak ada sedikitpun pergerakan dari pintu geser yang coba dibuka oleh Yoona.
"Jangan memaksanya, nyonya. Pintu itu sudah lama rusak dan memerlukan perbaikan segera dari tukang kunci. Tapi tuan Laiv tidak pernah membetulkannya karena di dalam lemari itu tidak ada barang-barang berharga yang perlu dikhawatirkan. Lemari itu kosong sejak tuan Laiv membeli mansion ini karena tak banyak tamu yang pernah menginap di sini dan memerlukan lemari untuk menyimpan barang-barang mereka."
"Begitu ya." desah Yoona kecewa. Ia pikir ia akan menemukan pernak pernik peninggalan Sarah yang baru ia sadari sama sekali tidak ada di kamarnya dan Laiv. Hal-hal yang tersisa dari Sarah hanyalah foto-foto yang terpasang di dinding. Lagipula jika foto-foto itu dipindahkan akan terlihat banyak sekali kekosongan di mansion ini. Sebagian besar warna di mansion ini terbentuk karena aura seorang Sarah Birmingham yang sayangnya kini hanya tersisa sebagai sebuah kenangan berbentuk foto.
"Kupikir aku akan menemukan barang-barang menarik. Baju-baju mahal mungkin."
Magda tertawa pelan mendengar komentar yang terlontar dari bibir Yoona. "Saya rasa itu hanya ada dalam dongeng, nyonya."
Jadi pelayan itu berpikir jika Yoona sedang berkhayal sekarang? Baiklah, itu menyebalkan! Dirinya bukan lagi anak kecil yang gemar berkhayal. Ia hanya sedang memikirkan berbagai macam kemungkinan yang terasa menarik untuk dipikirkan disaat ia sedang tak memiliki pekerjaan apapun.
"Baiklah, kalau begitu aku akan kembali ke kamarku. Tolong jangan ganggu aku sepanjang siang ini. Aku ingin tidur." pesan Yoona sebelum berjalan gontai menuju kamarnya di lorong lain mansion itu.
-00-
"Apa aku akan dititipkan di bawah lagi, mom?"
Hill yang tengah meminum susu menghentikan aktivitasnya sambil mengatami Letha yang tampak rapi dengan makeup tipis yang dibubuhkan di wajahnya. Melihat ibunya yang tampak rapi seperti itu, Hill yakin jika Letha pasti akan memiliki acara di luar rumah yang membuatnya harus dititipkan ke tempat penitipan anak.
"Bukankah kau suka berada di sana? Temanmu bernama Ben dan Lani pasti juga akan berada di sana siang ini karena orangtua mereka bekerja." ucap Letha menenangkan. Sedetik kemudian ia melesat masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil dompet dan ponsel yang ia letakan di atas ranjang. Sebelum pergi ia harus memesan taksi online melalui aplikasi di ponselnya agar ia tidak perlu menunggu lama di loby apartemen. Tapi setelah ia pergi untuk menemui Aiden, ia telah memiliki janji dengan seorang yang ia kenal dari koran lokal yang saat ini sedang menjual mobilnya dengan murah. Letha perlu mobil untuk mengantarnya pergi kesana kemari agar tidak perlu bergantung pada angkutan umum. Dan untung saja uang tabungannya selama ini lebih dari cukup untuk membeli mobil dan membiayai kehidupannya dan juga Hill selama satu tahun ke depan sebelum ia mendapatkan pekerjaan.
"Ayo sayang, waktunya pergi ke tempat penitipan."
"Mom pergi untuk bertemu dengan paman Ace ya?"
Bingo! Anaknya memang pintar. Hanya dengan melihat gelagat ibunya yang centil ia sudah bisa menebak jika ibunya pergi untuk bertemu dengan paman Acenya.
"Hill, dengarkan mom." Letha berjongkok di depan tubuh kecil anaknya sambil memegang pundak anaknya sungguh-sungguh. "Mom hari ini memang akan pergi untuk menemui paman Ace. Mommy ingin memberitahu paman Ace jika kita telah pindah ke LA sesuai dengan sarannya beberapa bulan yang lalu."
"Kapan aku bisa bertemu paman Ace lagi?" desak Hill tidak sabar. Sebagai ibu ia bisa memahami antusiasme Hill pada sosok Ace yang merupakan seorang pria dewasa dengan berbagai macam kehebatan yang selama ini ditunjukan Ace. Tanpa sadar Letha mendesah di hadapan Hill. Jika ternyata Ace telah berubah, ia dan Hill tidak akan pernah memiliki kesempatan untuk menikmati kebahagiaan seperti yang telah ditawarkan oleh pria itu. Memang itu salahnya. Ia terlalu lama mengambil keputusan untuk pindah ke LA, dan tidak pernah membicarakan hal ini pada Ace sebelum kepindahannya ke LA satu minggu yang lalu.
"Sebentar lagi. Mommy pasti akan mengajak paman Ace datang ke apartemen kita. Nah, selagi mommy menemui paman Ace, kau bisa menggambar bersama Ben dan juga Lani untuk nanti ditunjukan pada paman Ace, bagaimana?"
Senyum cerah anak itu langsung terbiat saat Letha menjanjikan sebuah pertemuan yang ia idam-idamkan bersama Ace. Dengan semangat empat lima, Hill segera masuk ke dalam tempat penitipan sambil tak lupa melambai pada ibunya yang kini juga balas melambaikan tangan di ujung pintu. Ia harap ia bisa terus melihat senyuman Hill yang seantusias itu karena semua alasan ia melakukan ini adalah karena ia ingin putranya bahagia.
"Jangan nakal, boy. Mommy tidak akan lama."
-00-
Untuk yang ke tiga kalinya Letha berdiri lagi di depan gedung tinggi dengan tulisan Tha Star yang dipasang besar-besar di dinding atas gedungnya. Sambil menghembuskan napas berat, Letha berusaha menenangkan dirinya dari kegugupan yang saat ini melandanya. Terakhir kali ia datang ke sini, petugas recepsionist yang manis itu mengatakan jika Aiden telah kembali dari kegiatannya di luar negeri dan pria itu akan segera aktif bekerja hari ini. Betapa tak sabarnya Letha untuk bertemu Aiden. Dalam pikirannya ia telah menyiapkan berbagai hal yang ingin ia katakan di hadapan Aiden jika mereka bertemu nanti. Sebisa mungkin Letha menghindari kecanggungan saat berbicara di hadapan Aiden karena ia tidak ingin pria itu tahu betapa senangnya ia hari ini karena ia bisa bertemu lagi dengan pria pemilik hatinya.
Bruk
Letha sedikit terpentak ke belakang saat seseorang tiba-tiba menabraknya. Seorang pria dengan tubuh berotot, jas hitam yang dipasang asal di tubuh tegapnya, dan rambut yang telah berantakan karena terlalu banyak diacak-acak oleh tangan lebar pria itu. Ace!
Ia sedikit senang saat menyadari jika pria itu adalah Ace. Namun kesenangan itu dalam sekejap berubah menjadi kesedihan saat pria itu pergi begitu saja tanpa mengenalinya setelah menabraknya dan menggumamkan sebuah kata maaf yang sama sekali tidak terdengar tulus. Seketika hati Letha sakit. Pria yang selama ini telah mengisi sebagian besar hatinya telah kembali menjadi sosok yang acuh dan tak peduli seperti dulu. Bayang-bayang kegembiraan Hill kemudian terasa menghujam jantungnya saat Letha sadar jika kali ini ia akan kembali membuat anaknya kecewa.
"Ace, secepat itukah kau melupakanku?" gumam Letha terluka sambil menatap nanar punggung tegap Ace yang kini telah hilang dibalik pintu utama yang baru saja tertutup.
-00-
"Katakan untuk kembali besok!" ucap Aiden gusar pada petugas recepsionistnya yang baru. Dimanapun Evon bekerja, wanita itu selalu saja mengacaukan harinya. Seharusnya ia pecat saja wanita itu dari kantornya dan tidak memberikan kesempatan untuk bekerja di posisi yang lebih rendah.
"Wanita itu memaksa." balas Evon lemah. Hari ini ia telah melewati hari yang sulit. Dalam sekejap posisinya telah direnggut oleh orang lain. Dan sekarang semua orang yang mengenalnya sedang menatapnya penuh iba karena sang bos The Star dengan terang-terangan menendang dirinya dari posisi sekretaris. Padahal sudah bertahun-tahun ia bekerja bersama Aiden, dan selama ini belum pernah ada masalah seperti apa yang baru saja ia hadapi.
Aiden adalah bos yang acuh. Begitulah yang ditangkah oleh Evon selama menjadi sekretarisnya. Sudah berkali-kali ia mencoba memancing pria itu untuk menunjukan jati dirinya yang sesungguhnya karena banyak rumor yang beredar jika dirinya gay. Tapi siapa sangka jika aksi nekatnya untuk menggoda Aiden dan membuktikan kebenaran rumor itu justru membuatnya kehilangan posisi sebagai sekretaris Aiden. Sekarang keberadaannya di balik meja recepsionist tak ubahnya seperti patung selamat datang yang kerap diabaikan. Bahkan para model yang selama ini telah memendam dendam padanya, kini sikap mereka semakin menyebalkan dengan menunjukan cemooh yang sama sekali tidak ditutup-tutupi.
Evon tanpa sadar mengepalkan jari-jarinya dibalik meja saat sedang menghubungi Aiden dan saat menatap salah satu model, Yashlin, yang sedang berjalan melewati lobi sambil memberikan tatapan mengejek padanya. Sialan!
"Tanyakan apa urusannya untuk bertemu denganku?" Aiden memijit pelipisnya lelah. Harapannya untuk pulang dan tidur dengan nyaman sedikit tertunda karena ia harus kembali lagi ke kantor.
"Masalah pribadi, sir. Wanita itu katanya sudah datang berkali-kali ke sini, tapi anda saat itu sedang mengambil cuti. Jadi sekarang wanita itu memaksa untuk bertemu dengan anda."
"Ck, katakan padanya untuk menunggu sepuluh menit lagi. Aku akan kembali ke kantor."
Akhirnya tak ada pilihan lain selain kembali ke kantor dan menemui wanita itu. Dalam hati Aiden berharap semoga wanita itu buka pengganggu yang hanya sekedar ingin mengganggu hidupnya atau sejenisnya. Saat ini ia sedang tidak dalam mode yang tepat untuk melayani perdebatan apapun. Ia lelah, hatinya juga sedang kacau karena ia memikirkan Yoona. Sialan! Wanita itu berhasil menjeratnya dan membuatnya gila. Apa yang dikatakan Donghae benar, Yoona memang seperti racun yang menggairahkan, namun juga mematikan.
"Dimana wanita itu sekarang?"
"Ada di ruangan anda, mr. Straight."
"Namanya?"
"Aletha Jovon."
Seketika Aiden menegakan tubuhnya dan segera melangkah lebar-lebar menuju ruangannya. Bagaimana mungkin ia bisa melupakan Letha! Ya Tuhan. Sejak kapan ia berada di LA? Bukankah selama ini wanita itu berada di Tacoma? Terakhir kali mereka bertemu, Letha tidak mau dibujuk untuk pindah ke LA bersama putranya.
"Letha?"
"Hai." jawab wanita itu canggung. Raut wajahnya langsung berubah gugup saat Aiden dengan terang-terangan menatapnya lekat menggunakan mata hijaunya. "Apa aku mengganggumu?"
"Sedikit." jawab Aiden acuh tak acuh. Bagaimanapun ia sudah hampir pulang ke rumahnya dan tidur, tapi kemudian wanita itu mengacaukannya. "Kau terlihat lebih kurus."
"Benarkah?" Wajah Letha merona saat ia menyadari betapa perhatiannya Aiden padanya. Sudah lama sejak terakhir kali mereka bertemu, dan saat itu ia memang masih cukup berisi. Baru akhir-akhir ini ia menjadi kurang nafsu makan karena terus memikirkan kepindahannya dan juga Aiden.
"Yah... bobot tubuhmu berkurang... sedikit." jawab Aiden sambil menelisik tubuh Letha dari atas sampai bawah. Tatapan tidak sopan itu membuat Letha semakin gugup berada di satu ruangan bersama Aiden. Walaupun sekarang ia yakin bajunya lebih dari sopan, tapi ia seperti ditelanjangi oleh mata tidak sopan Aiden.
"Hill? Bagaimana kabarnya?"
"Baik." jawab Letha pendek. Kemudian keheningan merayapi diri mereka masing-masing karena tidak ada topik yang mereka bahas. Sebenarnya Aiden saat ini sedang menunggu Letha berbicara karena wanita itu yang sejak awal mencarinya.
"Ada apa?" tanya Aiden akhirnya. Bosan menunggu Letha yang tak kunjung mengatakan maksud kedatangannya di kantor. "Kau bukankah di Tacoma?"
"Kami sudah pindah."
Hening. Letha ingin tahu bagaimana reaksi Aiden mengenai kepindahannya. Ia pikir pria itu akan menunjukan keantusiasannya karena sekarang pria itu bisa berdekatan dengan putranya kapan saja. Tidak seperti dulu. Setiap ingin mengunjungi Hill ke Tacoma, Aiden harus menjadwalkannya beberapa minggu sebelum hari keberangkatannya karena ia memang pria yang sibuk. Tapi Letha sekarang merasa pedih saat tidak melihat adanya tanda-tanda antusiasme di wajah Aiden. Wajah pria itu nyaris sama seperti beberapa menit yang lalu saat mereka bertemu kecuali kerutann di alisnya yang menyiratkan ketidaksukaan. Atau mungkin keengganan dengan berita mengejutkan yang dibawa Letha.
"Itu bagus. Sejak kapan?"
"Huh, apa?" tanya Letha tak fokus. Hal itu membuat Aiden harus mengulang lagi pertanyaannya pada wanita itu.
"Sejak kapan kau pindah?"
"Sekitar satu minggu yang lalu."
Aiden mengangguk sekilas, mengisyaratkan jika ia mengerti dengan keadaan yang sedang dialami oleh wanita itu. "Aku senang kau berada di sini bersama Hill."
"Dia merindukanmu."
"Aku juga."
Letha menyadari jika Aiden tidak terlihat antusias dengan putranya. Padahal selama ini pria itu selalu menunjukan kebahagiaan dibalik wajah datarnya tiap kali mereka membahas masalah Hill. Tapi kini, Letha hanya menemukan kekosongan di mata Aiden. Seperti pria itu tidak lagi berminat pada kehidupannya dan juga putranya. Lalu untuk apa ia berada di sini kalau begitu? Ia tidak bisa lagi kembali ke Tacoma. Ia sendiri yang telah mengundurkan diri dari pekerjaannya yang sebelumnya. Mengatakan pada semua orang jika ia akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik di LA. Tapi nyatanya semua tidak sesuai haraapan. Memang ini adalah salahnya. Ia terlalu percaya diri dengan kondisi Aiden yang akan terus sama. Padahal setiap hari pria itu bertemu banyak orang, bertemu... wanita cantik yang bisa memikatnya kapan saja. Kau bodoh, Aletha! maki Letha keras dalam hati. Andai saja ia bisa memutar segalanya, ia lebih baik tetap berada di Tacoma dan tidak mengharapkan apapun dari Aiden.
"Mengenai kehidupan Hill..." Aiden mengambil jeda untuk menghembuskann napasnya keras. Terlihat sekali jika pria itu sedikit risau untuk mengatakannya pada Letha, namun ia harus melakukannya. "Aku akan membiayai kehidupannya. Sekolah, dan apapun itu untuk masa depan Hill. Aku ingin ia tumbuh menjadi pria bermasa depan cerah."
Tiba-tiba Letha merasa kesal pada Aiden. Kedatangannya ke sini secara tidak langsung dianggap pria itu sebagai ajang untuk dikasihani. Padahal alasan utama ia ke sini adalah untuk menengok pria itu. Tidak lebih!
"Aku masih lebih dari mampu untuk membiayai anakku."
"Hill juga anakku." balas Aiden berat. Hari ini ia terlalu lelah untuk diajak berdebat. Lonjakan emosi yang ditunjukan Letha tiba-tiba membuat Aiden merasa frustrasi akan hidupnya yang terasa rumit dari hari ke hari.
"Aku tidak bermaksud menyinggungmu."
"Aku tahu." sahut Letha ketus.
"Kau tidak tahu. Jika kau tahu kau tidak mungkin menanggapinya sekasar ini. Lagipula aku hanya mencoba menjalankan kewajibanku sebagai ayah."
"Cih, omong kosong! Kau bahkan meninggalkan kami begitu saja. Kau meninggalkanku saat aku dalam masa-masa sulit. Lalu kau kembali untuk merebut perhatian Hill karena kau cacat."
Aiden hanya mampu memejamkan matanya dan menggertakan giginya menahan marah. Kata-kata yang dilontarkan Letha itu sangat kasar, meskipun kenyataannya memang itulah yang terjadi di masa lalu. Si brengsek Aiden sering hinggap dari satu wanita ke wanita lain. Lalu suatu hari tanpa sadar ia menghamili seorang wanita polos bernama Aletha Jovon. Namun dengan brengseknya ia menolak mengakui bayi itu sebagai anaknya dan terus hidup dengan penuh kebrengsekan untuk menikmati kehidupan sempurna. Namun setelah kecelakaan itu merenggut segalanya, ia barulah sadar jika ia tidak bisa terus menerus seperti itu. Ia membutuhkan seorang anak untuk mewarisi kekayaannya, dan kemudian ia teringat pada Aletha Jovon yang dulu mengemis-ngemis padanya untuk mempertanggungjawabkan kebrengsekannya.
"Maaf. Aku tidak bermaksud membuatmu marah karena kata-kataku. Sesungguhnya aku tidak tahu mengapa kau tiba-tiba berubah menjadi seperti ini, Letha. Tahukah kau jika aku sudah berusaha sebaik mungkin."
"Apa yang kau usahakan?" dengus Letha sangsi. Jika yang dimaksud usaha oleh pria itu adalah merebut perhatian Hill dengan membanjiri pria kecilnya dengan berbagai macam kemewahan, maka pria itu tidak bisa menyebutnya sebagai usaha. Itu perilaku seorang penjilat!
"Biar kutebak, kau telah mendapatkan gadis incaran baru?"
"Kurasa itu bukan urusanmu." balas Aiden mulai terpancing. Kemarahan yang coba ia sembunyikan dari Letha sudah tak bisa ditahan lagi karena wanita itu semakin kurangajar dengan kata-katanya. Meskipun wanita itu adalah ibu dari anaknya, bukan berarti ia bisa bersikap sesuka hati padanya.
"Hill menunggumu selama berbulan-bulan, tapi kau tidak pernah datang."
"Aku sibuk."
"Biasanya kau juga sibuk, tapi kau selalu menyempatkan diri untuk datang."
"Maaf. Aku benar-benar sibuk." balas Aiden melembut. Sejak awal ia yang salah. Ia merusak wanita itu, melukainya, dan membuatnya kehilangan anggota keluarganya. Letha diusir dari keluarganya karena si brengsek Aiden. Pantas jika wanita itu menjadi sensitif pada hal-hal yang menyangkut Hill dan juga masa lalu mereka.
"Aku minta maaf. Setelah ini akan kuusahakan untuk menemui Hill. Kalian tinggal dimana?"
"EnclYoong Apartements, aku tinggal di situ sekarang."
"Kalau begitu kau bisa kirimkan..." Aiden terlihat frustrasi untuk hanya sekedar mengatakan pada Letha jika wanita itu tidak perlu membayar biaya sewa apartemennya setiap bulan. Ia ingin wanita itu mengirimkan tagihannya setiap bulan padanya, berikut list kebutuhan wanita itu bersama Hill. Tapi Aiden merasa tidak yakin Letha tidak akan tersinggung dengan kata-katanya.
"Kirimkan apa?"
"Biar aku yang mengurus sewa apartemen dan segala kebutuhanmu dan Hill."
"Sudah kukatan aku bisa mengurusnya sendiri!"
"Aku tahu. Tapi aku hanya ingin menjadi ayah yang berguna untuk Hill. Kumohon Letha, jangan membuat keadaan semakin sulit. Meskipun aku tahu kau tidak ingin mendengar ini, tapi aku sangat lelah. Aku baru kembali dari Balboa, dan aku sudah dihadiahi setumpuk masalah." Aiden menunjuk tumpukan proposal yang belum selesai ia baca karena matanya sudah terlalu pedih untuk melihat tulisan-tulisan yang kecil itu. Ditambah lagi kemarahan Letha yang tak berdasar, itu membuat kepalanya kini semakin berdentam.
"Baiklah, aku minta maaf. Aku tidak bermaksud menyudutkanmu. Hanya saja aku sedikit emosi karena beberapa kali datang ke sini, kau selalu tidak berada di tempat. Dan sebenarnya aku ke sini hanya ingin menengokmu, melihat keadaanmu dan memberimu kejutan jika aku menerima tawaranmu untuk pindah ke LA."
"Kau sudah mendapatkan pekerjaan?"
"Masih dalam proses mencari."
"Kau bisa bekerja di agensiku. Kebetulan kami sedang mencari seorang stylist yang berkompeten di bidangnya."
"Terimakasih. Aku akan memberitahu keputusanku secepatnya. Kebetulan aku sudah memasukan beberapa lamaran, dan minggu depan aku sudah dijadwalkan untuk melakukan interview."
"Baiklah, tidak masalah. Kau bisa bergabung kapan saja di sini. Pintu agensiku selalu terbuka untukmu." Tanpa ingin menyinggung Letha, Aiden berusaha sehati-hati mungkin menawari Letha posisi yang strategis di perusahaannya. Lagipula jika Letha bekerja di perusahannya, ia bisa melebihkan gajinya untuk membuat Letha mau menerima uang pemberian darinya.
"Ada lagi yang ingin kau bicarakan? Sepertinya kau resah sejak tadi."
"Eee... aku..."
"Ya? Katakan saja, jangan sungkan."
"Aku ingin pulang." jawab Letha cepat dalam satu kali tarikan napas. Wanita itu cepat-cepat beranjak dari kursinya dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Aiden.
"Aku minta maaf karena telah berlaku tidak sopan dan mengganggu waktumu. Terimakasih banyak untuk pengertianmu padaku dan segala bantuan yang kau tawarkan."
"Tidak masalah. Aku senang bisa membantu." jawab Aiden seadanya sambil meraih tangan Letha untuk berjabat tangan. Namun tanpa disadari Aiden, wanita itu saat ini sedang menyembunyikan kegugupannya di balik wajah tenang yang ia tunjukan. Senyum tipis yang disunggingkan Letha menyimpan banyak arti di dalamnya. Dan tanpa Aiden sadari, Letha saat ini sedang menatap dengan intens ke balik matanya yang hijau.
-00-
Menyudahi obrolan dengan Rebecca, Yoona segera berdiri dari ranjangnya untuk meletakan ponselnya ke atas meja kecil di samping ranjangnya. Bertepatan dengan itu, pintu kamarnya tiba-tiba terbuka, menampilkan sosok Laiv yang terlihat kelelahan dengan pakaian yang sudah tidak lagi rapi seperti tadi pagi. Jas yang dibawa asal-asalan di salah satu tangan, dasi yang terlihat sudah longgar, lengan kemaja yang digulung tak simetris antara lengan kanan dan lengan kiri. Lalu wajah Laiv juga menunjukan kekusutan yang sama seperti pakaiannya. Rambut gelap Laiv terlihat sudah berantakan tanpa meninggalkan bekas gel sedikitpun. Padahal Yoona yakin jika pagi tadi Laiv mengoleskan gel rambut cukup banyak di rambut gelapnya untuk membuat rambut itu tetap diam di tempat selama ia berkeliaran kesana kemari di luar rumah.
"Hai sayang." sapa Laiv hangat, tapi sarat akan nada lelah di setiap katanya. Dengan langkah berat pria itu berjalan menuju sofa cream di sudut kamarnya, dan langsung menjatuhkan barang-barangnya begitu saja.
"Kau terlihat seperti baru saja tersapu tornado."
"Memang." jawab Laiv lunglai. Saat Yoona menawarkan kenyamanan di pundaknya, pria itu langsung saja mengambil kesempatan untuk menjatuhkan dagunya di atas pundak kecil Yoona yang kokoh. Rasanya begitu nyaman dan menyenangkan saat pulang disambut oleh istri cantik yang begitu perhatian seperti Yoona.
"Kau ingin disiapkan air hangat?"
"Boleh. Tapi tetaplah seperti ini dulu untuk beberapa saat." ucap Laiv cepat untuk menahan Yoona agar tidak terburu-buru untuk mengisi bathube dengan air hangat.
"Bagaimana kalau kita duduk? Kau boleh bersandar di pundakku selama yang kau mau."
"Ide yang bagus!" seru Laiv girang dan langsung menarik tangan Yoona menuju ranjang mereka yang bersih. Untuk sesaat Laiv merasa takjub dengan banyak perubahan yang ia dapatkan setelah menikahi Yoona. Pertama ia tidak lagi pulang dengan kehampaan saat memasuki kamarnya, dan yang ke dua, ranjang itu sekarang memancarkan kehangatan yang begitu menenangkan daripada biasanya.
"Apa yang kau lakukan seharian ini, hmm?"
"Kau pasti tidak akan percaya." gerutu Yoona. "Seharian ini aku sudah seperti kucing pemalas yang hanya berbaring di atas ranjang sambil membaca majalah."
Laiv secara refleks melirik majalah milik istrinya yang masih tergletak di atas ranjang mereka dalam keadaan terbuka. Tebakannya, istrinya itu sudah merasa bosan hanya dalam beberapa halaman karena sebagian besar isi majalah itu adalah dirinya dan juga teman-temannya sesama model.
"Kucing pemalas tampaknya bagus. Apa kucing itu menunggu tuannya pulang sepanjang waktu untuk dibelai?"
Seketika wajah Yoona merona. Kata-kata Laiv secara tak langsung mengingatkannya pada malam-malam panas mereka yang selalu terasa menakjubkan untuk Yoona. Kucing betina manapun jelas tidak akan berpikir dua kali jika memiliki tuan seperti Laiv, karena pria itu sangat pandai untuk membelai.
"Lebih dari itu. Aku menunggumu untuk menceritakan bagaimana harimu di luar rumah? Apakah berat?"
"Sedikit. Ada banyak hal yang perlu diselesaikan. Rapat, pergi ke sana sini untuk mengecek perkembangan proyek terbaru, dan masih banyak lagi."
"Mau kupijat?" tawar Yoona perhatian. Ia melihat bahu Laiv tegang sejak pria itu bersandar di bahunya. Pekerjaannya di luar rumah pasti yang membuat Laiv dan tubuh tuanya menjadi serapuh itu.
"Inilah yang sudah lama kurindukan." ucap Laiv serak saat Yoona mulai memijat bahunya.
"Apa terlalu kencang?"
"Tidak. Lebih ke kanan... ya di situ." ucap Laiv saat Yoona akhirnya menemukan titik yang pas untuk memijat bahunya yang kaku.
"Terkadang aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, bagaimana kau melewati dua puluh tahun tanpa istri atau wanita yang memanjakanmu, Laiv?"
"Aku hidup dalam kehampaan." jawab Laiv terkekeh. Baginya kini masa lalu adalah kumpulan lelucon yang perlu ia tertawakan. Apakah pernah terpikir di benaknya bahwa di tahun ini ia akan memiliki seorang istri cantik yang wajahnya seperti jelmaan mendiang istrinya? Tidak! Andai dulu ia tahu, ia takkan terus meratapi nasib dan rutin menjaga kondisi tubuhnya agar tidak sakit-sakitan.
"Aku turut berduka atas kematian istri dan anakmu."
"Kau sudah mengucapkannya lebih dari ribuan kali, Yoong."
"Benarkah? Kau berlebihan." Yoona memukul punggung Laiv pelan, lalu kembali melanjutkan kegiatan memijatnya yang berhasil membuat Laiv rileks. Rasanya Yoona senang melihat suaminya dapat hidup dengan nyaman di sampingnya. Kadang ia merasa hidupnya seperti dikutuk. Tiap kali berdekatan dengan pria, mereka hanya bertahan dalam beberapa saat. Lalu semuanya akan berakhir dengan saling menyakiti satu sama lain.
"Apa kau bahagia menikah bersamaku, Yoong?"
Masih tetap menggerakan jari-jarinya untuk memijat bahu Laiv, Yoona melirik wajah pria itu sekilas dari sisi kanan kepalanya. "Jika aku tidak bahagia, aku tidak akan menerima lamaranmu. Kenapa kau bertanya seperti itu?"
"Hanya tidak ingin memberatkanmu. Katakan saja jika kau merasa tidak nyaman atau masih mencintai mantan suamimu."
Seketika Yoona membeku. Apa maksud pria itu mengajukan pertanyaan seperti itu?
"Kenapa berhenti, sayang?" tanya Laiv lembut. Pria itu sepertinya tidak menyadari kata-katanya yang menyakiti Yoona. Atau sebenarnya ia sadar, tapi ia tidak ingin terlalu ambil pusing.
"Tidak ada alasan bagiku untuk mencintai mantan suamiku. Kami sudah selesai." balas Yoona dingin. Ia kembali melanjutkan kegiatannya memijat tengkuk dan pundak Laiv, tapi kali ini gerakannya terasa lebih kaku. Dalam sekejap Laiv membuatnya kesal pada pria itu. Bagaimana mungkin Laiv bisa melayangkan tuduhan pada perasaannya. Tidak pernah ada rasa cinta untuk Siwon. Tidak akan pernah, dan ia bisa menjamin hal itu. Satu-satunya hal yang ia rasakan saat surat cerainya resmi ditandatangani adalah rasa lega karena ia terbebas dari belenggu Siwon. Selama ini ikatan pernikahan diantara mereka membuatnya tidak bisa bernapas karena merasa terikat oleh pria itu. Apalagi ia adalah tipe wanita yang menghormati ikatan pernikahan. Terinspirasi dari kisah kedua orangtuanya, Yoona ingin memiliki kehidupan pernikahan seperti itu. Sampai akhir hidupnya, ibunya hanya memiliki satu pria yang ia cintai. Hal itu membuktikan pada Yoona jika kisah cinta orangtuanya sangat manis dan dilingkupi rasa cinta murni yang mengagumkan.
"Apa kau merasa terganggu dengan pertanyaannku?"
"Tidak." jawab Yoona pendek. Laiv tiba-tiba menghentikan gerakan tangannya di pundak dan tekuknya, lalu menarik tangan Yoona agar wanita itu duduk di sebelahnya.
"Kau mungkin berpikir aku keterlaluan karena masih meragukan perasaanmu sekarang. Tapi aku hanya ingin menegaskan semuanya. Aku tidak ingin ada pria lain yang masih mengisi hatimu disaat kau sudah menikah denganku. Donghae, apa dia mantan suamimu?"
Lidah Yoona tiba-tiba menjadi kelu. Ia sama sekali tidak bisa menjawab pertanyaan Laiv yang diajukan pria itu dengan penuh pengharapan. "Ada apa dengan Donghae?"
"Aku hanya ingin tahu. Jika ia adalah mantan suamimu, maka kau masih memikirkannya di dalam alam bawah sadarmu. Sebab..."
Yoona benar-benar manahan napas untuk mendengar kata-kata berikutnya dari Laiv. Keringat dingin tanpa sadar telah membanjiri tangannya dan juga keningnya karena gugup. Apa ia telah melakukan kesalahan hingga membuat Laiv mencurigai Donghae?
"Sebab aku mendengar kau menyebut namanya dalam tidurmu."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro