Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

45 Days After: Week Two

Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Aku mendapatkan tugas visit ke rumah pasienku yang jaraknya cukup jauh dari Seoul. Selama ini aku belum pernah pergi ke luar kota sendiri. Aku selalu bersama Yuri atau Taeyeon, tapi saat ini mereka juga sedang sibuk dengan tugas mereka masing-masing, sehingga aku tidak bisa meminta tolong mereka untuk menemaniku. Hmm... apa aku harus meminta tolong Jessica? Kurasa ia pasti tidak akan keberatan jika aku memintanya untuk menemaniku pergi ke Jeonju menggunakan kereta.

"Hai.. Sicaa! Apa kau sedang sibuk saat ini?"

"Tidak, aku hanya mengerjakan laporan penelitian dari dosenku, ada apa?"

"Emm... apa kau mau menemniku pergi ke Jeonju besok lusa?"

"Lusa? Maafkan aku Yoong, kurasa aku tidak bisa. Lusa aku ada jadwal untuk mengikuti seminar di gedung pusat. Tapi jika setelah hari itu, aku bisa menemanimu."

Sayang sekali, aku tidak bisa menunda waktu visitku karena ini adalah pasien penting. Pasienku ini adalah seorang gadis remaja berusia empat belas tahun yang sedang mengidap penyakit kanker darah stadium dua. Kemarin aku mendapatkan laporan jika kondisinya terus menurun setelah pulang dari rumah sakit, jadi aku mendapatkan tugas untuk mengecek kondisinya lusa. Dan jika Jessica tidak bisa menemaniku, lalu siapa yang harus kuajak ke Jeonju?

"Yoong, kau masih di sana?"

"Ya, aku masih di sini Sica. Aku tidak bisa menunda waktu visitku karena ini pasien yang penting. Apa yang harus kulakukan?"

"Donghae? Kenapa kau tidak mengajaknya saja? Bukankah ia selalu memiliki waktu luang."

Apa? Donghae? Ya ampun, kenapa aku sama sekali tidak mengingatnya? Ia pasti mau menemaniku pergi ke Jeonju untuk visit ke rumah pasienku. Lagipula kami ke sana akan pergi menggunakan kereta, jadi aku tidak akan membuatnya lelah karena harus menyetir mobil sendiri.


"Ahh... Donghae ya... Itu ide yang bagus, aku akan mencoba menghubunginya nanti. Sekarang ia pasti masih asik bergelung di dalam selimutnya."

Aku melirik arlojiku sekilas sambil mendengus gusar. Pukul sepuluh tepat, dan kuyakin Donghae belum beranjak sedikitpun dari ranjang nyamannya. Aku sudah sangat hafal bagaimana kebiasaan Donghae yang sangat menjengkelkan itu. Selama kami tinggal di desa, aku sudah sering memarahinya agar ia bangun lebih pagi. Namun tetap saja ia akan bangun dengan sangat siang, lalu minum kopi sambil menghisap rokok hingga berbatang-batang. Ya Tuhan, semoga saja ia memiliki umur yang panjang dengan pola hidup yang sangat tidak sehat seperti itu.

"Terimakasih Jessica atas idemu, aku akan segera menghubungi Donghae setelah ini. Sampai jumpa, semoga harimu menyenangkan."

Aku menutup sambungan teleponku sambil tersenyum penuh keyakinan. Entah kenapa aku sangat yakin jika Donghae pasti akan mengiyakan ajakanku tanpa banyak beralasan seperti yang lain. Sudah kubilang jika hubunganku dan Donghae ini membuat kami lebih dekat, bahkan sangat sangat dekat hingga kadang aku merasa jika kami tidak memiliki batas lagi. Apapun yang kualami selama ini beberapa telah kuceritakan pada Donghae. Bagaimana keluarga, kebudayaan di keluargaku, dan betapa berisiknya ibuku selama ini yang selalu menyuruhku untuk segera menyelesaikan pendidikanku. Yahh... bisa dikatakan jika saat ini Donghae adalah buku diary berjalanku. Begitupun sebaliknya. Aku juga sering menjadi tempat curhatnya dalam berbagai kesempatan. Ia beberapa kali menceritakan keluarganya yang menurutnya sedikit membosankan, apalagi ia tidak terlalu dekat dengan kakaknya. Jadi... ah ya, Lee Donghae itu adalah anak bungsu. Ia memiliki seorang kakak laki-laki bernama Lee Donghwa yang tidak terlalu dekat dengannya. Jika ia pulang ke rumahnya di Mokpo, mereka hanya sedikit sekali mengobrol. Bahkan obrolan mereka hanya seputar obrolan ringan seputar kehidupan sehari-hari yang mereka lakukan selama ini. Tapi aku sendiri merasa maklum jika ia menjadi seperti itu, karena sejak lulus dari senior high school ia telah tinggal sendiri di luar kota untuk melanjutkan studinya. Saat ia tinggal di Mokpo, kakaknya justru tinggal di luar kota untuk menyelesaikan studinya. Jadi dua orang bersaudara itu jarang sekali berada di satu atap yang sama jika Donghae tidak pulang saat akhir pekan. Ditambah lagi mereka berdua memiliki pola pikir yang sangat bertolak belakang. Donghae yang.... yah... sedikit liar dan terlalu mandiri, memutuskan untuk mengambil jalan yang sedikit berbeda dari apa yang selama ini telah dilakukan oleh kedua orangtuanya. Sedangkan kakaknya lebih penurut pada orangtuanya, sehingga kehidupan yang dimiliki oleh kakaknya jauh lebih mulus daripada kehidupannya yang dipenuhi oleh kerikil tajam. Tapi apa yang dialaminya selama ini justru membantunya untuk tumbuh menjadi pria tangguh yang kuat. Bagaimanapun nantinya ia akan menjadi pemimpin di keluarganya, jadi pengalaman apapun yang ia miliki hingga sejauh ini menurutku itu sangat penting. Tidak ada yang salah dalam jalan hidup yang ia pilih, hanya saja ia mungkin terlalu berani dalam mengambil keputusan, sehingga di usianya yang masih muda, ia harus merasakan kesuksesan dan juga kesulitan yang cukup ekstrem. Donghae memang telah memiliki usaha sendiri, dan beberapa dibangunnya berdasarkan pengalamannya bekerja bersama beberapa orang. Namun ia juga memiliki banyak tagihan di bank. Jadi karena ia tidak memiliki modal yang cukup, ia terpaksa meminjam beberapa puluh juta won dari bank yang setiap bulannya harus ia lunasi. Namun karena pinjaman yang ia ambil memiliki bunga yang cukup besar, maka ia akhir-akhir ini sedikit kesulitan untuk melunasinya. Terlebih lagi kondisi perusahaannya yang sedang tidak stabil karena ia tidak memenangkan tender bulan lalu, membuatnya sedikit kesulitan untuk mengatur keuangannya saat ini. Tapi yang membuatku gemas adalah meskipun ia mengaku sedang dalam kesulitan keuangan, ia tetap saja menghabiskan waktunya untuk pergi ke perkumpulan tidak penting bersama teman-temannya. Dan tentunya setiap ia pergi bersama teman-temannya, ia akan menghabiskan uang untuk membli kopi hingga bergelas-gelas, kemudian rokok, kemudian... ahh... entahlah, banyak hal tidak sehat yang ia lakukan selama ini hingga terkadang aku miris saat membayangkan bagaimana kehidupannya.

"Hei, kau dimana? Kau pasti baru saja bangun."

Aku mengernyitkan dahiku dalam saat Donghae akhirnya menjawab panggilanku setelah beberapa kali nada dering yang terdengar membosankan di ponselku.

"Hmm... tidak."

"Bohong! Suara serakmu tidak bisa membohongiku tuan Lee. Dasar pemalas! Cepat bangun dan jangan jadi pria pemalas. Jika kau terus seperti itu tidak akan ada wanita yang bersedia untuk menjadi kekasihmu. Kau akan menjadi pria menyedihkan hingga tua." Cibirku terdengar jahat. Kudengar Donghae hanya terkekeh pelan di seberang sana sambil berdeham beberapa kali untuk menghilangkan sensasi serak dari suaranya.

"Jika tidak ada wanita lain yang bersedia menjadi pasanganku, aku akan memaksamu untuk menjadi pasanganku. Bukankah mudah?"

"Enak saja, aku sudah memiliki pasanganku sendiri. Kau cari saja wanita lain yang bersedia untuk menjadi teman hidupmu, yang pastinya akan membosankan dan penuh emosi karena sikapmu yang seperti ini."

"Jangan mengatakan jika seolah-olah calonmu itu sudah pasti. Bagaimana jika jodohmu adalah aku?"

Hah? Ada apa dengan pria ini? Apakah terlalu lama tidur membuat kinerja otaknya menjadi tidak beres seperti itu?

"Kau baru saja terbentur ya?"

"Tidak, ada apa memangnya?"

"Kenapa hari ini kau aneh? Oh ya, aku hampir lupa."

Aku memukul keningku sendiri sambil berjalan diantara puluhan anak-anak jurusan kesehatan yang tampak menatapku dengan aneh. Mungkin mereka pikir aku gila karena tiba-tiba saja memukul keningku sendiri saat sedang menghubungi seseorang seperti ini.

"Apa?"

"Aku lupa mengatakan padamu jika tujuanku menghubungimu karena aku ingin meminta tolong padamu."

"Meminta tolong apa?"

"Temani aku pergi ke Jeonju lusa. Kau bisa kan? Kumohon.. aku tidak memiliki teman untuk pergi ke sana. Aku khawatir akan tersesat jika aku pergi sendiri karena sebelumnya aku selalu visit ke luar kota bersama teman-temanku. Tapi kali ini mereka sedang sibuk, sehingga aku tidak memiliki siapa-siapa untuk menemaniku ke sana."

Aku berusaha menunjukan suara rendahku padanya agar ia sedikit bersimpati padaku. Oh ayolah, katakan iya Lee Donghae! Aku saat ini benar-benar membutuhkan bantuanmu. Dan jika kau mengatakan tidak, siap-siap saja kau akan kehilanganku sebagai teman!

"Baiklah, aku bisa."

"Kau serius?"

Aku hampir saja mengagetkan semua orang di sini dengan suaraku yang tak terkontrol itu. Tapi untungnya aku berhasil menyumpal mulutku yang mengerikan ini dengan buku-buku tebal yang saat ini sedang kupeluk menggunakan tangan kiriku. Ya Tuhan, aku rasanya masih ingin berteriak karena Donghae mau menemaniku ke Jeonju. Ia memang teman sejati yang dapat diandalkan. Tidak sia-sia aku memiliki teman pengangguran sepertinya. Hahaha.. maafkan aku Hae, meskipun kau tidak pengangguran, tapi pekerjaanmu yang santai itu membuatku selalu berasumsi jika ia adalah seorang pengangguran.

"Ya, aku bisa Yoong. Kapan kita akan pergi ke Jeonju?"

"Lusa.. kau bisa?"

"Aku bisa, aku belum memiliki jadwal apapun di minggu ini."

"Baiklah, kalau begitu kita akan pergi ke Jeonju jam delapan pagi menggunakan kereta."

"Jadi kita akan naik kereta, kau tidak ingin pergi menggunakan mobilku?"

"Tidak, aku tidak mau merepotkanmu dan membuatmu lelah, jadi kita lebih baik menggunakan kereta saja." Putuskan final. Sepertinya Donghae di seberang sana tidak ingin membantahku. Terbukti dari caranya menanggapiku yang hanya sebatas itu, tidak memaksa-maksa untuk tetap menggunakan mobilnya atau yang lain.

"Jangan terlambat, kau selalu tidur seperti orang mati. Aku benci menunggu orang karena tidur."

"Kalau begitu kau bangunkan aku."

"Bagaimana caranya?" Tanyaku bodoh. Aku benar-benar tidak yakin dengan permintaannya, karena dulu saat kami tinggal di satu tempat yang samapun, aku selalu gagal untuk membangunkannya. Tetap saja rencana kami untuk pergi harus tertunda hingga dua jam karena dirinya yang sulit sekali dibangunkan. Namun anehnya, saat ia harus pergi ke luar kota untuk menyelesaikan urusan pekerjaannya, ia pasti dapat bangun dengan lancar. Bahkan sebelum aku bangun, ia telah pergi meninggalkan desa. Jadi intinya, jika ia memiliki tekad yang kuat, ia pasti dapat melakukannya dengan mudah. Namun jika tidak, jangan harap ia dapat bangun dengan mudah.

"Kau bisa menghubungiku berkali-kali dan memastikan jika aku telah bangun."

"Oh, apakah kau yakin itu akan berhasil? Kenapa aku meragukannya."

"Kalau begitu kau menginap saja di apartemenku, dan bangunkan aku secara langsung."

"Apa? No! Apartemenmu pasti jorok dan kotor, aku tidak mau. Lagipula aku masih tidak yakin dengan sifatmu. Bisa saja kau ternyata orang yang jahat dibalik sikapmu yang terlihat baik-baik ini. Sekarang aku ingin bertanya, apa kau adalah orang yang jahat?"

"Menurutmu?"

"Jahat."

"Kalau kau merasa aku jahat, kau bisa pergi dari hidupku dan anggaplah kita tidak pernah saling kenal satu sama lain."

Apa Donghae marah? Kenapa jawabannya terdengar sangat sensitif seperti itu. Seperti ia sedang merajuk karena merasa tersinggung dengan ucapanku. Tapi aku hanya ingin memastikan sifatnya yang misterius itu. Bukankah manusia kadang berubah-ubah. Aku takut salah menilai sikapnya terlalu cepat karena kedekatan kami kemarin selama di Suwon.

"Kenapa kau tiba-tiba menjadi seperti itu? Tapi baiklah, aku benar-benar akan pergi jika kau memang sudah terlalu jahat. Jadi, keputusannya besok kita akan pergi ke Jeonju pukul delapan menggunakan kereta. Dan aku akan membangunkanmu pukul enam! Awas saja jika kau tidak segera bangun, aku akan mendatangi apartemenmu dan menggedor pintu kamarmu dengan keras."

Lee Donghae terdengar sedang tertawa dengan ancamanku. Apa ia pikir aku bercanda? Aku benar-benar serius Hae. Aku sungguh akan menggedor apartemennya jika ia tidak segera bangun karena sekarang aku sudah mengetahui alamat apartemennya. Yunho semalam menghubungiku, ahh.. kami sebenarnya sering berkirim pesan akhir-akhir ini. Entah darimana ia mendapatkan nomor ponselku, tapi menurut pengakuannya, ia mendapatkan nomorku dari teman senior high schoolku, Choi Sooyoung. Yahh... itu cukup masuk akal, mengingat aku dan Sooyoung hingga saat ini masih aktif berkirim pesan. Jadi karena aku dan Yunho sama-sama mengenal Sooyoung dengan baik, maka kami jadi memiliki bahan obrolan yang cukup menarik. Awalnya aku dan Yunho hanya membicarakan masalah kehidupan perkuliahan, membicarakan Sooyoung, lalu obrolan kami semakin lama semakin berkembang. Ia yang saat bertemu denganku lebih banyak diam, ternyata adalah pria yang cerewet dan juga lucu. Ia sering melontarkan beberapa candaan yang mampu membuatku tertawa terpingkal-pingkal hingga ibuku memandangku aneh karena tiba-tiba tertawa keras saat sedang bermain ponsel. Lalu ia juga sempat mengajakku ikut berlatih sepak bola bersamanya. Jadi ternyata Donghae dan Yunho selama ini aktif mengikuti olahraga sepak bola di sebuah klub. Dan dulu Yunho pernah menjadi anggota tim sepak bola nasiona, namun entah karena apa, ia memutuskan untuk tidak melanjutkannya. Sedangkan Donghae, pria itu hanya menjadikan sepak bola sebagai salah satu olahraga rutin yang harus dilakukannya supaya tubuhnya yang terlanjur rusak itu tidak semakin rusak. Yeah, bagaimana tidak, setiap hari ia menghisap puluhan batang rokok, lalu meminum segelas kopi hitam pekat yang terlihat sangat mengerikan. Jika saja tubuh Donghae di belah, mungkin seluruh organ vitalnya telah berubah warna menjadi hitam pekat.

"Yoong.. kau masih di sana?"

"Ya, aku masih di sini. Ada apa? Akan kututup teleponnya sekarang, sebentar lagi aku akan bertemu dosen. Sampai bertemu lusa, dan jangan sekali-sekali untuk mengingkari janjimu."

"Siap ibu ratu."

Klik

Aku tidak lagi mendengarkan celotehannya yang entah apa, dan hanya segera mematikan sambungan telepon kami karena saat ini aku telah berada di depan ruangan dosen Hana, dosen yang membimbingku dalam mengerjakan essay. Semoga saja bulan depan aku sudah mendapatkan izin untuk mempresentasikan hasil essayku di hadapan dewan dosen, sehingga masa studiku dapat segera selesai, dan aku dapat segera mengurus rencana pernikahanku yang semakin lama semakin terasa sangat dekat.

-00-

Sudah kuduga jika hal ini pasti akan terjadi. Lee Donghae menyebalkan itu hari ini terlambat bangun dan membuatku harus menunggu di sini dengan panik. Sekarang jam telah menunjukan pukul setengah sembilan, dan parahnya Donghae baru saja bangun lima belas menit yang lalu setelah aku melakukan panggilan sebanyak lima puluh kali pada ponselnya. Sial! Aku benar-benar akan membencimu Lee Donghae jika kau tidak datang sepuluh menit lagi. Aku sudah ketinggalan kereta. Kereta berikutnya baru akan datang pukul setengah sepuluh, itu berarti aku akan tiba di Jeonju lebih siang dari perkiraanku. Padahal rencananya pukul tiga nanti aku akan pergi makan bersama Taeyeon dan Yuri untuk merayakan kembalinya kami dari desa. Tapi melihat bagaimana keadaanku sekarang, aku menjadi tidak yakin jika aku dapat pergi makan bersama kedua temanku itu. Sudah pasti aku akan tiba di Seoul lebih sore, atau mungkin malam.

"Yoong.. hosh hosh hosh... maaf..."

Aku melirik sebal kearah pria ngos-ngosan di depanku ini sambil menunjukan wajah cemberutku padanya. Untung saja ia datang kurang dari sepuluh menit, jadi aku tidak akan repot-repot untuk membencinya. Tapi apa, ia datang dengan keadaan seperti ini. Napas ngos-ngosan, wajah kusut, rambut berantakan, dan pakaian yang tidak terkancing dengan benar. Sebenarnya apa saja yang telah ia lakukan sebelum sampai di sini? Ya Tuhan...

"Kau tidak mandi ya?"

"Aku mandi, cukup untuk membersihkan diri." Jawabnya masih dengan suara memburu. Ia kemudian mendudukan dirinya di sebelahku sambil menghembuskan napas sebanyak-banyaknya untuk menghilangkan sensasi ngos-ngosan yang masih terdengar dari hembusan napasnya.

"Sudah kubilang kau seharusnya menginap di apartemenku, jadi aku tidak akan bangun kesiangan seperti ini. Lagipula Yunho tidak ada, jadi kau dapat menggunakan kamarnya."

"Justru karena Yunho tidak ada aku tidak mau menginap di apartemenmu. Hanya berdua denganmu di sana, itu terdengar sangat mengerikan. Bagaimana jika kau tiba-tiba berubah menjadi jahat dan memanfaatkan keadaan?"

"Huh, kau ini berpikiran apa? Aku bahkan tidak pernah berpikir untuk berbuat hal-hal buruk padamu. Lagipula kau juga tidak menarik."

"Apa? Apa yang baru saja kau katakan?"

"Hah, tidak ada... lupakan saja!"

Aku mendengus gusar mendengar ucapannya yang menyebalkan itu. Ia pikir aku tidak mendengar kata-katanya yang menyebalkan itu? Huh, tentu saja aku mendengarnya, bahkan dengan sangat jelas! Jika aku tidak menarik, Minho dan Yunho tidak mungkin akan tertarik padaku. Bahkan dirinya sendiri juga tidak akan selengket ini padaku. Sebentar-sebentar ia selalu meminta tolong ini dan itu saat beradi di posko. Dan terkadang ia juga membuatku harus berperan menjadi ketua kelompok karena ia malas menghandle tugas-tugasnya selama di Suwon. Hmm... bukankah ia sangat menyebalkan.

"Jadi kapan kita berangkat? Aku sudah berada di sini sekarang."

"Ck, keretanya baru berangkat pukul setengah sepuluh. Apa kau sudah makan?"

"Sudah, kau sendiri?"

"Bukankah kau tahu jika aku tidak pernah makan, aku malas makan."

"Jangan malas makan, kau akan sakit jika tidak makan. Apalagi kau juga sering berhubungan dengan pasien-pasien kanker di rumah sakit. Jangan sampai sakit dan tertular."

"Owhh... kau manis sekali, apa kau mengkhawatirkanku?"

"Ya... aku lumayan mengkhawatirkanmu, karena kau akan menjadi teman diskusiku untuk mengerjakan essay."

"Hmm.... kukira kau benar-benar mengkhawatirkanku."

"Aku memang benar-benar mengkhawatirkanmu. Sudahlah, lupakan saja. Aku ingin membeli kopi, kau mau ikut?"

Kulihat Donghae mulai mengeluarkan rokoknya dari dalam saku celana, lalu mulai menjepit sebatang rokok diantara bibirnya yang selalu berwarna pink. Oh God, kenapa aku justru terpana pada bibir merah mudanya? Tidak tidak tidak! Yoona, jernihkan pikiranmu, please. Itu hanya bibir Lee Donghae, bukan bibir pria-pria seksi yang selama ini kau lihat di televisi. Tapi, hell! Lee Donghae memang semengagumkan itu dengan sebatang rokok yang terjepit diantara bibirnya. Lalu gayanya saat menghembuskan asap rokok itu membuatku mau tidak mau harus mengakui karismanya yang sangat mematikan itu.

"Yoona? Hei... kau mau ikut aku membeli kopi atau tidak?"

"Aa apa? Oh tidak. Aku di sini saja."

Sial! Apa yang baru kupikirkan tadi? Bisa-bisanya aku mengagumi gaya menghisap rokok seorang Lee Donghae. Baiklah, sekarang aku harus kembali fokus pada tujuanku, dan segera menyelesaikan tugas visitku hari ini. Aku tidak boleh memikirkan hal-hal lain yang tidak penting seperti sebuah bibir atau apapun itu! Lee Donghae, enyahlah kau dari kepalaku!

-00-

"Berapa lama lagi kita akan tiba di Jeonju?"

Aku yang sebelumnya sedang mengamati pemandangan pegunungan dari kaca di sebelahku langsung melirik sekilas pada arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.

"Kira-kira satu jam lagi. Kenapa, apa kau mulai bosan?"

Sejak tadi kurasa Donghae terus bergerak-gerak gelisah di sebelahku. Di sini tentu saja ia tidak bisa merokok, dan hal itu tentu saja membuat seorang perokok sepertinya menjadi sangat gelisah dan juga mengganggu. Bayangkan saja, saat aku sedang sibuk membaca buku-buku kesehatanku, ia terus saja menggangguku dengan pertanyaan-pertanyaan tidak pentingnya. Lalu saat aku sedang mengamati indahnya pemandangan hijau di sebelahku, ia terus saja menyenggol lenganku atau menginterupsi keheninganku ini dengan pertanyaan-pertanyaan seputar jam yang tidak ada habisnya itu. Ya Tuhan, mungkin keputusanku untuk mengajaknya ke Jeonju memang salah. Seharusnya aku mengajak Jessica saja, atau Minho, atau siapapun orang-orang yang tidak akan berisik seperti Donghae.

"Kenapa kereta ini terasa sangat lambat?" Gerutunya kesal. Aku yang sejak tadi merasa terganggu di sebelahnya menjadi semakin kesal dengan gerutuannya yang tak masuk akal itu. Bagaimana mungkin kereta listrik super cepat ini terasa begitu lambat? Justru aku merasa kereta ini terlalu cepat dan kadang membuat jantungku berdesir aneh saat aku merasakan betapa cepatnya kereta ini berjalan.

"Kau saja yang merasa bosan, sejak tadi kereta ini berjalan dengan sangat cepat. Tunggulah satu jam lagi, dan kau dapat menghisap seluruh rokokmu itu tanpa batas. Atau bahkan kau dapat mengunyahnya langsung jika kau mau." Cibirku kesal.

"Aku ingin kopi, kenapa tidak ada yang menjual minuman di sini?"

"Ya Tuhan, kenapa kau berisik sekali sejak tadi tuan Lee, bukankah aku sudah menawarimu kopi saat petugas makanan datang, tapi kau justru menolaknya. Sekarang tidak akan ada lagi kopi karena sebentar lagi kita akan sampai." Jawabku gusar. Salahkan dirinya yang tidak mau membeli apapun saat petugas pembawa kereta makanan menawarkan berbagai macam makanan dua jam yang lalu. Ia dengan gaya angkuhnya justru terus bermain ponsel sejak tadi, dan mengabaikanku yang sudah berusaha mati-matian membujuknya untuk membeli makanan.

"Aku tidak tahu kau sempat membujukku untuk membeli makanan."

"Itu karena kau terlalu sibuk dengan kekasihmu."

"Kekasih? Kekasih apa?"

"Tentu saja kekasihmu. Aku tidak tahu ada berapa banyak kekasihmu di luar sana, karena kupikir kau adalah seorang player. Sekarang kau tidak sedang berkirim pesan denganku, jadi itu pasti dengan kekasihmu. Oh... bagaimana kabar Hyura?"

"Kenapa tiba-tiba menanyakan Hyura?"

"Hanya ingin, kau lama tidak membahasnya."

"Untuk apa?"

Ya Tuhan pria ini! Semakin lama aku semakin mengenal sifatnya dengan baik. Dan ini adalah kekesalan pertamaku dengannya yang membuatku sangat gemas padanya. Sejak pagi ia terus saja membuat gara-gara denganku. Baiklah, aku hanya harus bersabar menghadapi sikapnya yang semakin lama terlihat semakin kekanakan ini.

"Wanita itu, bukankah dulu selalu menempel seperti lintah padamu?"

"Ia sedang sibuk bersama kekasihnya. Jika kau melihatku sedang bermain ponsel, itu bukan berarti aku sedang berkirim pesan dengan wanita lain. Aku hanya sedang membuka kunci, melihat menu-menu di layar ponselku, lalu kembali menguncinya."

"Hah, terdengar seperti bukan gayamu. Apa kau akan semembosankan itu saat berjauhan dengan rokok-rokokmu? Ayolah Hae, jangan sia-siakan kehidupanmu untuk hal-hal yang tidak sehat. Kau harus lihat pasienku nanti. Ia hanyalah seorang anak kecil yang belum memiliki banyak dosa, namun di usianya yang sekecil itu ia telah diberikan sebuah penyakit yang sangat mengerikan seperti kanker. Sedangkan kau, kau di sini sangat sehat, dapat bekerja, bersenang-senang, dan melakukan banyak hal lain di luar sana, tapi kau justru menyia-nyiakannya untuk menyakiti dirimu sendiri. Cobalah untuk lebih sehat mulai saat ini, dan jadilah pria yang bermanfaat untuk orang lain."
"Terkadang aku sering bertanya-tanya pada diriku sendiri, apakah aku akan seterusnya hidup seperti ini? Aku sebenarnya ingin berubah, namun aku belum mampu untuk melakukannya. Apa kau membantuku?"

"Aku?"

Aku menunjuk diriku sendiri seperti orang idiot di hadapannya, masih seperti tidak percaya jika ia memilih aku sebagai seseorang yang harus membantunya untuk berubah. Memangnya aku sehebat itu? Aku tidak pernah merasa mampu untuk mengarahkan seseorang untuk menjadi lebih baik. Sepertinya aku lebih suka menunjukan apa saja hal-hal yang selama ini kulakukan, dan berharap jika orang lain akan menirunya jika hal itu dirasa baik.

"Ya, kau Yoona... Aku yakin kau bisa mengubahku menjadi lebih baik."

"Huh, pikiran macam apa itu? Aku bukan siapa-siapa Hae, bahkan kau pernah mengatakan padaku jika aku ini masih kecil. Kapasitasku tidak sebesar itu untuk merubahmu. Kau yang lebih tahu bagaimana dirimu selama ini. Lagipula kau memiliki Yunho dan teman-temanmu yang lain, mereka lebih dari cukup untuk membantumu agar berubah menjadi lebih baik."

"Jadi kau tidak mau membantuku untuk berubah?"

"Bukan tidak mau, tapi... ah sudahlah, jangan membahas hal itu lagi, sebentar lagi kereta akan tiba di stasiun."

Aku berusaha menghentikan topik pembicaraan kami yang berat ini dengan bertingkah menyebalkan di hadapan Donghae. Maafkan aku. Bukan karena aku tidak mau membantumu Hae, tapi aku merasa tidak sehebat itu. Aku justru takut akan mengarahkanmu menjadi lebih buruk, dan tidak sesuai dengan harapanmu. Tapi jika aku mampu, aku pasti akan membantumu Hae. Pasti!

-00-

Akhirnya tugas visitku hari ini berjalan dengan lancar. Syukurlah kondisi pasienku berangsur-angsur telah stabil, meskipun kemarin sempat mengalami demam, tapi hari ini ia mengaku keadaannya telah lebih baik. Mungkin karena harus beradaptasi dengan kondisi di rumah sakit yang steril, dengan kondisi rumahnya yang serba apa adanya. Yuhi memang berasal dari keluarga miskin yang sangat pas-pasan. Ibunya hanya seorang ibu rumah tangga, sedangkan ayahnya bekerja serabutan. Sedangkan di rumah, Yuhi tinggal bersama dua orang adiknya, satu orang kakak laki-laki, nenek, dan paman. Bayangan rumah sempit Yuhi membuatku merasa harus banyak-banyak bersyukur atas keadaan yang saat ini kumiliki. Aku tinggal dengan kedua orangtua lengkap dan kondisi ekonomi yang sangat cukup, bahkan berlimpah.

"Aku merasa kasihan dengan kondisi Yuhi."

"Apa sakitnya sangat parah?"

"Sangat, ia mengidap kanker darah stadium dua dengan risiko tinggi. Lihatlah kondisi rumahnya, keluarganya, dan semuanya. Apa kau tidak ingin merubah dirimu agar menjadi lebih baik. Jika itu bandingkan dengan keadaanmu selama ini, kurasa apa yang kau alami belum sebanding dengan kondisi mereka." Ucapku terdengar seperti orang bijak. Hahaha... aku tidak bermaksud untuk menghakiminya, aku hanya ingin ia berubah. Aku menyayanginya, bahkan juga peduli padanya. Aku tidak ingin ia terus tumbuh menjadi pria urakan seperti ini. Suatu saat ia akan memiliki keluarganya sendiri, menjadi kepala rumah tangga, memiliki anak, isteri, dan banyak hal yang akan ia lalui sebagai seorang pria dewasa. Jika ia terus mempertahankan pola kehidupannya seperti ini, aku kasihan dengan kehidupannya kelak.

"Aku tahu Yoong, apa yang kurasakan memang belum seberapa. Tapi bagiku itu juga terasa sangat berat."

"Bukankah semua orang memang memiliki beban mereka masing-masing, hanya tergantung bagaimana cara mereka menyikapi. Kau sebenarnya tidak akan merasa sepusing ini jika kau tidak memulai sesuatu yang terasa sulit untuk kau gapai. Apalagi selama ini kau juga selalu memutuskan sendiri apapun langkah yang ingin kau ambil. Sejujurnya itu tidak buruk Hae, tapi kau memerlukan saran-saran dari orang lain. Kau perlu berdiskusi dengan kedua orangtuamu sebelum memutuskan untuk melakukan sesuatu yang besar karena kuyakin mereka jauh lebih mampu untuk memberimu banyak nasihat dan pertimbangan. Aku mengatakan ini bukan karena aku ingin menghakimimu, tapi justru karena aku peduli padamu. Bukankah kita ini teman, teman yang baik tidak akan membiarkan temannya tersesat. Justru teman yang baik akan mendorong temannya untuk menjauh dari jurang masalah."

"Terimakasih Yoona, kau memang teman terbaik. Aku sangat beruntung dapat mengenalmu. Keputusanku untuk berkuliah di sini ternyata sangat tepat. Jadi mungkin memang inilah teka teki besar yang tersembunyi dibalik keputusanku untuk melanjutkan studiku di sini."

"Apa? Kau benar-benar terlihat lebih berkharisma saat mengucapkan hal-hal berat itu." Ejekku konyol. Ia tampak bersungut-sungut dengan ejekanku, dan kami berdua segera melanjutkan perjalanan kami menuju stasiun.

Sore hari di Jeonju sangat sejuk dan nyaman, namun saat ini langit sudah tampak kelabu, dan mungkin akan segera menumpahkan hujan. Aku dan Donghae harus cepat-cepat tiba di stasiun sebelum hujan... Hujan! Ya ampun, kenapa hujannya datang di saat yang tidak tepat seperti ini. Bahkan aku dan Donghae baru saja akan berjalan menuju pintu masuk stasiun, namun hujan telah lebih dulu turun, dan membuat kami harus berlari-lari seperti orang gila untuk mendapatkan tempat berteduh.

"Yah.. hujan..." Keluhku kesal. Aku sebenarnya tidak membenci hujan, tapi aku tida suka saat tubuhku kehujanan dan basah, karena tubuhku seperti akan berubah menjadi lengket ketika terkena guyuran air hujan.

"Kita tunggu sebentar di sini, pasti tidak akan lama."

Aku sedikit menghargai usaha Donghae untuk menenangkanku dengan tersenyum lembut kearahnya. Padahal hanya tinggal menyebrangi jalan besar ini, maka kami sudah tiba di pintu masuk stasiun Jeonju. Namun belum sempat aku dan Donghae berlari ke seberang, hujan sudah lebih dulu datang dan membuat kami harus terjebak di pinggiran sebuah toko yang sedang tutup seperti ini.

"Kuharap hujan ini tidak akan lama, teman-temanku nekat menungguku pulang di Kafe Orange."

"Jadi kau buru-buru ya?"

"Hmm, begitulah. Aku sebenarnya sudah meminta mereka untuk tidak menungguku karena aku tidak yakin bisa datang ke sana. Terlebih lagi hari ini kita berangkat ke Jeonju terlalu siang, jadi memang sudah tidak ada harapan lagi untuk mendatangi undangan mereka. Namun Taeyeon mengatakan jika ia akan tetap menungguku karena mereka memundurkan jadwal pertemuan kami di kafe itu."

"Tenang saja, hujan ini pasti tidak akan lama. Hey, jangan berdirilah lebih dekat denganku, lenganmu basah terkena cipratan air hujan."

Donghae sedikit menarik bahuku mendekat kearahnya, lalu aku dengan sedikit kaku mulai menempel pada tubuhnya yang hangat itu. Lalu kami berdua mulai terdiam satu sama lain sambil menikmati guyuran hujan yang terlihat semakin deras. Hembusan angin yang kencang juga semakin memperparah keadaan kami di sini karena meskipun aku telah menempel pada Donghae, tetap saja percikan air itu mengenai ujung baju kami.

"Maaf, aku membuatmu kehujanan." Ucapku merasa bersalah padanya. Jujur aku merasa tidak enak pada Donghae, karena sekarang ia jadi terjebak hujan bersamaku, alih-alih seharusnya ia dapat beristirahat dengan nyaman di apartemennya.

"Kenapa harus meminta maaf, ini justru menyenangkan. Akhirnya kita dapat menikmati hujan berdua."

Aku terkekeh geli menanggapi jawabannya yang terkesan seperti sedang menghibur diri itu. Dulu setiap ia ingin mengajakku pergi saat di desa, aku selalu menolaknya karena aku tidak mau kehujanan seperti ini. Kebetulan di dua minggu terakhir kami berada di Suwon, setiap siang menjelang sore, hujan pasti akan selalu turun dengan lebat di sana. Jadi jika Donghae ingin mengajakku pergi di atas pukul satu siang, aku selalu menolaknya dengan alasan aku tidak mau terjebak hujan dengannya. Saat itu Donghae biasanya akan mengatakan jika kami dapat berteduh saat hujan turun. Namun aku tetap saja tidak mau pergi bersamanya. Dan sekarang pada akhirnya aku dan ia benar-benar terjebak hujan bersama-sama di Jeonju.

"Padahal dulu aku selalu menolak ajakanmu karena aku takut terjebak hujan. Sekarang aku justru benar-benar terjebak hujan bersamamu. Hae, bajumu basah."

Aku mengusap sedikit ujung lengannya yang terlihat sangat basah karena cipratan air hujan yang turun semakin deras. Posisi kami yang berteduh di bawah atap sebuah toko yang tutup ini seperti tidak banyak membantu karena sebagian baju kami telah basah, lalu sepatu kami juga. Padahal saat ini aku sedang membawa laptop di tasku, jadi aku harus benar-benar membuat tasku tetap kering bagaimanapun caranya.

"Kau juga basah Yoong, kau mau pakai jaketku?"

"Tidak perlu, aku juga membawanya di tasku. Nanti aku akan memakainya untuk menyembunyikan bajuku yang basah ini." Tolakku halus. Seharusnya ia sendiri yang menggunakan jaket itu karena baju kaosnya yang tipis itu telah basah oleh cipratan air hujan.

"Ngomong-ngomong soal pasienmu tadi, apa semuanya akan terlihat sama sepertinya?"

"Maksudmu?"

"Apa semua pasienmu di rumah sakit juga terlihat seperti Yuhi?"

"Mmm... sebagian besar ya, rambut mereka kebanyakan telah rontok, kulit mereka pucat, dan mereka terlihat sangat kurus meskipun telah makan dengan teratur. Sekarang kau lihat kan bagaimana sulitnya hidup mereka, seharusnya kau lebih bersyukur dengan hidupmu."

"Kau benar, aku memang seharusnya lebih bersyukur untuk hidupku. Tapi aku tidak bisa berubah dengan cepat, kau harus membantuku untuk berubah perlahan-lahan."

"Baiklah, tapi kau harus menurut padaku. Apapaun yang kukatakan, kau harus melakukannya. Apa kau bisa?" Tantangku dengan senyuman miring. Ia tampak menatapku intens dengan mata sendunya, lalu ia tersenyum manis kearahku dan menganggukan kepalanya dengan penuh keyakinan.

"Akan kucoba. Asalkan kau selalu berada di sampingku, aku pasti dapat melakukannya."

"Hey, kenapa alteregomu muncul lagi? Kau terlihat menggelikan saat mengucapkan hal itu."

Aku menyenggol lengannya jenaka ketika ia mulai mengeluarkan hal-hal menggelikan yang sebenarnya manis, namun aku merasa itu seperti bukan gayanya. Lee Donghae yang dingin dan acuh tak acuh kurasa lebih baik daripada Lee Donghae yang berubah menjadi manis seperti ini.

"Sekali-sekali kau memang harus melihat sisi lain dari diriku Yoong." Cengirnya tanpa dosa. Kami berdua kemudian saling tertawa bersama-sama diiringi suara deru air hujan yang semakin lama semakin deras. Tidak apa-apa kami terjebak di tengah hujan seperti ini, asalkan aku bersama Donghae, aku akan merasa selalu aman ketika di dekatnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro