45 Days After: Week One Part 2
Drrt drrt
Hmm.. biar kutebak, itu pasti pesan darinya. Siapa lagi kalau bukan Lee Donghae. Sudah dua hari ini ia intens mengirimiku pesan. Terkadang kami membahas masalah laporan, membahas kecemburuan Minho yang lucu, dan kadang juga membahas hal-hal lain yang tidak berguna.
Bagaimana cara membuat essay? Aku tidak bisa...
Dasar! Padahal membuat essay tidak terlalu rumit menurutku. Hanya perlu berkonsentrasi pada topik yang akan menjadi inti dari essay kita, maka semuanya sudah beres. Tapi Lee Donghae, sejak tadi ia terus membahas masalah essaynya yang tidak lolos-lolos. Dalam dua bulan ini ia telah ditolak sebanyak tiga kali oleh dosennya karena topik essay yang terlalu umum. Bahkan aku sendiri sampai bosan mendengar keluhan penolakannya yang telah ia ceritakan padaku saat kami tinggal di desa bulan lalu. Dan tadi... oh, hari ini ia telah menyeretku untuk turut andil dalam masalah laporan bakti sosial yang merepotkan. Huh menyebalkan! Aku yang seharusnya hanya menjadi rakyat jelata di kelompokku, tiba-tiba harus ikut andil dalam urusan laporan yang seharusnya dikerjakan olehnya, Tiffany, dan Jessica. Mereka bertiga adalah para petinggi di kelompok kami yang memegang jabatan penting. Namun Tiffany justru menghilang begitu saja dan selalu berkelit jika Jessica menanyakan masalah laporan keuangan padanya. Padahal seharusnya ia bertanggungjawab pada seluruh uang kami selama tinggal di desa. Dan kabar terbaru yang baru kuterima dari Jessica, Tiffany saat ini sedang sakit. Ia mengalami gangguan pencernaan karena terlalu banyak makan coklat. Salah sendiri ia memakan sebatang besar coklat dalam satu waktu tanpa membaginya dengan yang lain. Dulu saat tinggal di desa ia juga sering melakukan hal itu. Jika ia memiliki makanan, maka ia akan menyimpannya di dalam kamar, lalu memakannya bersama-sama dengan Luna dan Krystal. Aku jarang sekali mendapatkan makanan darinya, justru ia yang sering menghabiskan makananku dan Jessica. Padahal kami berdua jarang-jarang membeli makanan. Kami lebih sering mendapatkan asupan gizi dari pria-pria baik hati itu.
Ya ampun, kau payah sekali pak ketua! Membuat essay itu sangat mudah. Kau hanya perlu menentukan topik yang akan kau bahas, lalu selanjutnya kau hanya perlu merangkainya menjadi sebuah essay yang bagus.
Aku mendengkus membaca pesannya yang masih tercetak jelas di layar ponselku setelah aku membalasnya. Mungkin apa yang dikatakan oleh Yeri benar, ia tidak akan melepaskanku dengan muda dan akan semakin bergantung padaku. Ini jelas tidak akan selesai begitu saja meskipun tugas kami di desa telah berakhir. Huhh... bagaimana ini? Aku takut akan semakin terjerat padanya, dan kami akan semakin sulit untuk melepaskan diri satu sama lain. Aku sendiri mungkin juga sudah terlalu terbiasa dengan keberadaannya, sehingga saat ia tidak muncul dalam sehari atau beberapa hari, aku akan merasa kehilangan sosoknya.
Bantu aku membuat essay, aku sungguh tidak bisa melakukannya sendiri.
Kenapa kau meminta tolong pada anak kecil sepertiku? Apa kau tidak memiliki teman di kelas yang dapat kau ajak berdiskusi? Setidaknya mereka berada di satu jurusan yang sama denganmu. Sedangkan aku, aku hanya seorang mahasiswa biasa dari jurusan kesehatan. Aku merasa tidak pantas untuk menjadi teman diskusi dalam karya essaymu.
Kurasa teman-temanku tidak ada yang berminat untuk menjadi teman diskusiku. Mereka tidak paham dengan topik yang akan kuteliti.
Nah, aku juga sama. Aku tidak paham dengan topikmu.
Aku berusaha berkelit darinya agar ia tidak terlalu berharap banyak padaku. Aku takut tidak bisa membantu untuk essaynya karena aku sendiri juga tidak terlalu mahir dalam menulis essay. Tapi ia tetap saja memaksaku untuk menjadi teman diskusinya dan membantunya mengerjakan essay yang seharusnya menjadi tanggungjawabnya sendiri. Padahal teman-temannya yang lain juga mengerjakan sendiri, tidak mengandalkan orang lain sepertinya. Huh Donghae, sampai kapan ia akan terus seperti itu padaku.
Kau pasti bisa Yoong, kau adalah wanita paling yang cerdas yang pernah kutahu...
Jadi sekarang ia mulai berani menyanjungku untuk mendapatkan apapun yang ia mau. Pria itu benar-benar! Sebenarnya tidak masalah jika ia ingin berdiskusi denganku, tapi hubungan kami ini membuatku bingung. Terkadang ia terlihat seperti pria yang menyukaiku, ohh... atau bisa disebut mencintaiku. Tapi terkadang ia akan bersikap biasa layaknya teman. Terkadang aku menginginkan kejelasan dari hubungan ini, namun aku tidak pernah bisa untuk melakukannya. Terlalu malu untuk menanyakan pada Donghae langsung apakah ia menyukaiku atau tidak. Dan kurasa jika ia memiliki perasaan itu, ia tidak akan berani untuk mengungkapkannya padaku. Aku terlanjur menceritakan masalah perjodohanku padanya. Dan dari semua cerita yang kukatakan padanya, ia pasti dapat menyimpulkan jika aku ini adalah jenis wanita yang tidak ingin terikat pada pria manapun selain ikatan pernikahan. Yeah, cukup kolot memang pemikiranku ini. Tapi saat ini aku benar-benar tidak sedang mencari kekasih. Yang kubutuhkan saat ini adalah seorang pendamping seumur hidup yang akan terus memberikan cinta padaku tanpa batas.
Aku tahu aku cerdas. Kau saja yang terlambat menyadarinya...
Maaf, tapi takdir memang telah mempermainkanku. Hehehe
Huh, jika bukan karena bakti sosial kemarin, kita tidak akan pernah saling mengenal seperti ini. Takdir sungguh sangat misterius. Terkadang aku berpikir jika kegiatan kemarin benar-benar telah memberikan warna baru untukku. Aku yang sebelumnya tidak pernah mengenal dunia anak-anak bisnis seperti kau, Jessica, dan Hyukjae, kini sedikit banyak terpapar oleh gaya berteman kalian. Kami di jurusan kesehatan tidak pernah benar-benar melakukan pertemanan yang sangat intens seperti milikmu dan teman-temanmu. Pertemanan kami hanya dilandasi oleh rasa saling membutuhkan karena tugas kuliah. Di luar itu, kurasa aku kurang bisa memiliki ikatan dengan teman-temanku.
Yeahh... pesan terpanjang lagi. Selama aku berhubungan dengannya, terkadang bukan hanya Donghae yang berkeluh kesah. Akupun juga turut membagikan kisahku padanya. Kisahku dengan teman-temanku di jurusan kesehatan yang bagiku terasa membosankan. Kupikir anak-anak di kelasku tidak tahu cara menikmati hidup seperti Donghae dan teman-temannya. Mereka tidak merokok, mereka juga jarang berkumpul di malam hari hanya untuk membahas hal-hal yang tidak penting. Kehidupan kami anak-anak jurusan kesehatan benar-benar berbeda dengan kehidupan Donghae. Dan aku merasa sedikit menyesal karena dulu pernah membenci kegiatan bakti sosialku dan merasa menyesal karena aku tidak pernah benar-benar menikmati hidupku seperti anak muda pada umumnya.
Takdir memang selalu misterius Yoong.
Kalau begitu terimakasih karena kau telah menjadi partner in crime dan partner in discussion, kecuali tentu saja partner of life....
Aku terkekeh geli membaca pesanku sendiri. Kalimat terakhir itu terasa menggelitik benakku. Partner of life? Tentu saja kami tidak akan menjadi pasangan hidup karena aku jelas-jelas telah dijodohkan oleh orangtuaku. Mungkin hanya tinggal menunggu waktu yang pas saja bagi mereka untuk mengenalkan pria itu padaku. Tapi entah kenapa aku sekarang merasa sangat nyaman dengan Donghae. Aku takut perasaanku untuknya juga berkembang semakin jauh. Mungkin inilah yang dimaksud cobaan, disaat aku seharusnya menjalani kehidupanku dengan lurus, aku justru menemukan seseorang yang tiba-tiba menyusup kedalam hidupku dengan berbagai hal baru yang terasa menyenangkan untukku.
Partner of life serahkan saja pada Tuhan, mungkin saja kita memang ditakdirkan untuk menjadi partner of life nantinya...
Ya Tuhan! Apakah ia sedang memberikan kode? Lee Donghae, apa-apaan kau ini? Kau membuatku semakin bingung sekarang. Di satu sisi perasaanku mengatakan jika kau menyukaiku. Tapi di sisi lain aku merasa takut untuk meyakininya karena aku tidak yakin dengan perasaanku. Jika ia menyukaiku, aku takut tidak bisa membalas perasaannya. Aku terlanjur berucap di hadapan orangtuaku jika aku akan menikah dan memberikan cintaku pada pria yang akan menjadi pasangan hidupku. Dan sekarang jika Donghae memiliki perasaan lebih untukku, apa yang harus kulakukan? Padahal aku berencana untuk menikah dalam waktu dekat ini. Orangtuaku sudah tidak sabar untuk melihat putrinya yang cantik ini bersanding dengan pria pilihan mereka, dan segera memberikan beberapa cucu untuk mereka. Yeahh, aku mengatakan beberapa karena aku sendiri ingin memiliki beberapa anak. Aku tidak ingin hanya memiliki dua atau satu, seperti apa yang pernah Donghae ceritakan dulu. Jadi saat kami sedang membicarakan masalah anak, ia mengatakan padaku jika ia hanya ingin memiliki dua anak, laki-laki dan perempuan. Ia merasa tidak berani memiliki banyak anak karena ia takut tidak bisa menghidupi mereka semua. Apalagi orangtuanya juga hanya memiliki dua anak, jadi ia tidak pernah mendapatkan gambaran kehidupan sebuah keluarga dengan banyak anak. Dalam beberapa hal mungkin kami sama dan sangat cocok satu sama lain, namun kami memiliki dua hal yang tidak pernah bisa sepemikiran dan sejalan. Ya, itu masalah anak dan masalah makanan. Selera makan kami sangat berbeda. Jika Donghae adalah penikmat masakan otentik korea, sedangkan aku lebih menyukai masakan berbahan pasta dan masakan-masakan eropa yang kaya akan rempah.
Hmm.. jadi kau mau menjadi partner of my life? Tapi aku ini sangat berisik dan galak, kau pasti tidak akan tahan bila menjadi pasangann hidupku =p
Setelah berpikir cukup lama, akhirnya aku mendapatkan ide balasan yang terlihat lebih masuk akal untuk menanggapi pesannya yang entah hanya candan atau memang benar-benar pesan dengan maksud tersembunyi. Terkadang ia memang suka seperti itu. Memasukan banyak kode di dalam setiap balasan pesannya. Pernah sekali aku mendapatkan pesan candaan awalnya. Jadi saat itu kami sedang membahas Minho. Sejak ia mengetahui sikap aneh Minho yang ternyata sedang mencoba mendekatiku, ia menjadi suka menggodaku. Terkadang ia menyebut Minho sebagai kekasihku atau pria spesialku. Ia terkadang mengatakan jika Minho, kekasihku, atau apalah itu saat ia sedang menungguku untuk makan bersama di meja makan. Lalu aku membalas pesannya dan mengatakan jika ia mungkin akan cemburu jika aku benar-benar memiliki hubungan spesial dengan Minho. Dan ia kemudian membalas pesanku dengan kalimat aneh seperti, kalau begitu aku harus menjaga perasaannya agar ia tidak tersakiti. Dan saat itu aku dengan bodohnya tidak dapat menangkap maksud dari pesannya, sehingga aku hanya membalasnya dengan emot tertawa terbahak-bahak. Namun setelah beberapa hari, barulah aku sadar jika maksud dari pesannya itu adalah supaya aku tidak terlalu dekat dengan Minho, atau mungkin memiliki hubungan dengan pria itu agar ia tidak tersakiti. Hell! Bukankah aku sangat tolol dalam urusan cinta?
Berisik dan cerewet tidak apa-apa, asal itu demi kebaikan bersama XD
Tapi kau sering mengeluh saat Krystal mulai bersikap berisik. Sikapmu itu kuasumsikan jika kau tidak menyukai wanita cerewet.
Krystal? Kurasa itu pengecualian, aku...hahh... tidak pernah bisa memahami sikapnya yang aneh itu.
Seems you are so frustating with her..... hahahha
Aku tertawa terbahak-bahak saat mengingat kehidupan kami di desa dulu. Krystal yang terkadang menyebalkan, sangat tidak disukai oleh pria-pria di kelompok kami. Meskipun Donghae jarang berinteraksi dengan Krystal dan sangat menghindari berinteraksi dengan wanita itu, tapi tetap saja ia tidak luput dari kata-kata pedas Krystal yang berhasil membuat Donghae setengah mati membenci wanita itu. Bahkan jika boleh meminta, Donghae sangat ingin menyingkirkan Krystal dari kelompoknya. Sungguh itu adalah salah satu ingatan terlucu selama aku tinggal di desa. Memang seharusnya aku harus banyak-banyak bersyukur untuk kegiatan bakti sosialku yang ternyata sangat menyenangkan itu. Dan yang terpenting, karena bakti sosial itu aku dapat menemukan warna baru untuk hidupku.
-00-
Pukul sepuluh, dan hari ini aku akan mengunjungi Jessica lagi di ruangannya. Semakin lama aku mengenalnya, aku merasa seperti telah memiliki ikatan batin yang kuat dengannya. Sehari saja tidak melihatnya, rasanya aku akan sangat merindukan Jessica. Padahal ia pasti hanya akan berada di ruangannya selama seharian, lalu pulang di saat langit telah berubah menjadi gelap.
"Yoona!"
Aku mendongakan wajahku dan langsung menemukan pria itu, Lee Donghae! Yeah, siapa lagi jika bukan pria itu karena sejauh ini hanya dia satu-satunya pria yang kukenal di sini. Dengan kaus santai, rokok, dan juga kopi hitam kesukaannya, ia tampak sedang bersantai di salah satu meja kantin bersama seorang pria yang kuyakini pasti adalah temannya. Aku kemudian memutuskan untuk mengampirinya sebentar. Sepertinya tidak buruk jika kau menyapanya, lalu pergi ke ruangan Jessica setelah ini. Lagipula ia mungkin saja ingin membelikanku segelas minuman segar. Aku haus!
"Apa yang kau lakukan di sini?"
"Seharusnya aku yang bertanya padamu, apa yang dilakukan mahasiswa kesehatan di gedung mahasiswa jurusan bisnis?"
Aku terkekeh pelan di depannya sambil sedikit mengedikan bahuku. Terkadang aku memang sedikit konyol dengan pertanyaannku. Tapi itu bagus karena itu dapat mencairkan sedikit suasana canggung diantara kami.
"Aku ingin menemui Jessica. Tapi kurasa ia sedang menemui dosen."
Beberapa menit yang lalu Jessica baru saja membalas pesanku jika ia tidak ada di tempat, jadi lebih baik aku memang menemui Donghae dulu di sini sebelum pergi ke ruangan Jessica.
"Oh.. duduklah Yoong, kau ingin minum?"
Aku tersenyum kecil sambil mendudukan diriku di sebelahnya. Kulihat pria di sebelah Donghae sedikit melirikku sebelum kembali disibukan dengan gamenya. Yahh.... pria-pria jaman sekarang. Mereka lebih suka menyibukan diri dengan bermain game daripada melakukan hal-hal lain yang berguna.
"Ada minuman apa saja di sini? Kau ingin membelikanku minum?"
"Yahh, katakan saja apa yang kau inginkan?"
"Mmm... orange juice?"
"Orange juice? Tunggu sebentar, kurasa ada."
Donghae segera bangkit berdiri dan berjalan menuju kulkas besar yang berada di sudut kantin. Pria itu benar-benar penuh perhatian dan sangat baik. Beruntung sekali aku dapat mengenalnya dan berteman dengannya hingga sejauh ini.
"Hai..."
Saat aku sedang sibuk dengan pikiranku sendiri, tiba-tiba pria yang sebelumnya duduk di sebelah Donghae menyapaku. Ia menatapku dalam dengan kedua bola mata bulatnya, lalu mengulurkan tangan untuk berkenalan.
"Jung Yunho..."
"Oh hai, aku Yoona. Kau temannya Donghae?"
Lagi.. aku mengeluarkan pertanyaan bodoh yang seharusnya tidak perlu kutanyakan. Tapi bagaimana, hanya itu satu-satunya pertanyaan yang dapat menyelamatkan kami dari suasana canggung ini. Setidaknya pertanyaan bodoh itu dapat obrolan kami dapat sedikit berlanjut setelah ini.
"Ya, aku teman satu apartemen Donghae."
"Jadi Donghae tidak tinggal sendiri di apartemennya?"
"Tidak, sebenarnya itu apartemenku. Lalu aku mengajak Donghae untuk bergabung karena kurasa apartemen itu terlalu besar untuk kutinggali sendiri. Oh ya, kau dari jurusan mana?"
"Aku dari jurusan kesehatan. Ngomong-ngomong senang berkenalan denganmu. Aku tidak tahu jika Donghae ternyata juga memiliki teman." Candaku sambil tertawa. Kulihat Yunho juga ikut tertawa dengan candaanku yang tidak penting itu. Tapi sudahlah, itu lebih bagus daripada kami terjebak dalam kebisuan yang pastinya akan lebih aneh dari ini.
"Oya, bagaimana kegiatan bakti sosial kemarin?"
"Menyenangkan." Jawabku dengan senyum lebar. Bagaimana tidak, selama bakti sosial aku justru mendapatkan dari sikap kekanakan Minho, dan aku mendapatkan teman-teman baru seperti Linda, Yeri, dan Donghae, yang tentunya mereka berasal dari latar belakang pendidikan yang berbeda denganku. Sehingga aku merasa saat ini hidupku lebih berwarna. Sayang aku mengenal mereka di saat-saat terakhir masa studiku.
"Apakah menyenangkan memiliki ketua seperti Donghae?"
"Kurasa kau sudah tahu jawabannya, sangat menyenangkan!" Ucapku dengan tawa yang cukup keras. Ups, di sini aku dapat tertawa sekeras dan selebar apapun tanpa ada yang mengomentariku sebagai wanita berisik atau semacamnya. Di sini semua orang tampak tak peduli dengan manner dan semuanya dapat bersikap senyaman mereka masing-masing. Sangat berbeda dengan kehidupanku di rumah ataupun di lingkungann jurusanku, mereka semua sangat mengutamakan manner dan kesopanan, sehingga aku tidak pernah bisa merasa sebebas ini.
"Satu orange juice pesananmu."
"Waahh terimakasih, kau baik sekali. Aku sepertinya harus sering-sering datang kemari untuk mendapatkan minuman gratis."
"Hanya minuman? Tidak masalah, datanglah sebanyak yang kau mau ke sini."
"Cih, dasar sombong!" Cibirku kesal. Aku lalu segera meraih minumanku dan segera meminumnya dengan cepat karena ternyata aku sangat haus. Hari ini cuaca Seoul sangat panas, dan aku yang baru saja pulang dari rumah sakit merasa benar-benar membutuhkan segelas minuman dingin untuk membasahi kerongkonganku yang panas ini.
"Oya, kau ternyata tidak tinggal sendiri di apartemenmu?"
"Tidak, aku bersama Yunho."
"Kenapa kau tidak pernah memberitahuku?"
"Karena kau tidak pernah bertanya."
Aku langsung memberikan tatapan kesalku padanya sambil memukul bahunya pelan. Lee Donghae memang menyebalkan! Ia selalu memiliki kata-kata yang membuatku ingin mengumpatinya, meskipun kata-kata itu sebenarnya tidak mengandung nada emosi atau apapun itu. Tapi.. ya sudahlah, untuk apa aku memikirkan hal-hal tidak penting seperti itu? Lebih baik aku mengajak Yunho mengobrol daripada ia terlihat kebosanan seperti itu.
"Dasar kau menyebalkan. Oh ya, ngomong-ngomong kau kemarin mendapatkan tempat di desa mana?"
"Aku di Sokcho."
"Wow, itu lumayan jauh. Tapi sepertinya menyenangkan."
"Yah, cukup menyenangkan. Teman-temanku juga menyenangkan. Tunggu, sebelumnya kau mengatakan jika kau berasal dari jurusan kesehatan, apa kau mengenal Choi Sooyoung?"
"Sooyoung? Ya, dia temanku. Dulu kami berada di satu senior high school yang sama, lalu saat kuliah tanpa sengaja kami masuk di jurusan yang sama. Tapi kami memang berbeda kelas saat ini."
"Wah, kebetulan yang sangat menarik. Apa di kelas Sooyoung sangat pendiam?"
"Lumayan, ia cukup pemalu. Tapi sebenarnya ia adalah teman yang asik. Jika kau sudah mengenalnya dengan dekat, kau pasti tahu seberapa berisiknya ia. Bahkan ia juga terkadang bersikap memalukan di depan umum."
Kami berdua sibuk tertawa dan membicarakan banyak hal, hingga aku lupa pada satu makhluk di sebelahku yang sejak tadi hanya diam. Lee Donghae benar-benar hanya diam sambil memainkan ponselnya yang sepertinya cukup membosankan karena ia memainkannya tanpa minat. Ck, apakah ini keanehan lain dari Lee Donghae? Ia terlihat begitu aneh karena seperti tidak akrab dengan teman satu apartemennya sendiri.
"Hey, kenapa kau diam saja?"
"Aku sedang bermain game. Jessica baru saja melintas di bawah sana, kau tidak ingin bertemu dengannya?"
"Oh ya, setelah ini aku akan pergi ke ruangannya."
"Jangan membuat Jessica menunggumu, pergilah sekarang."
"Kau mengusirku?" Lirikku kesal. Kenapa tiba-tiba ia menjadi aneh seperti ini? Apa ia marah karena aku mengabaikannya? Tapi kenapa juga ia harus marah, aku hanya sekedar mengobrol bersama Yunho. Dan ternyata ia cukup menyenangkan untuk diajak berbicara. Apalagi kita memiliki satu teman yang sama, jadi hal itu yang membuat kami menjadi lebih akrab seperti ini.
"Baiklah, aku pergi dulu. Sampai jumpa."
"Yoona... tunggu sebentar."
Aku menaikan alisku heran kearah Yunho, tapi aku segera menghentikan langkahku yang hampir saja keluar melewati pembatas pintu. Ah.. untung saja aku tidak sampai tersandung pembatas itu, memalukan jika hal itu terjadi padaku!
"Ya?"
"Kau suka nonton film?"
"Lumayan, tapi aku lebih menyukai drama amerika. Action." Tambahku antusias. Tiba-tiba saja aku teringat pada tumpukan dramaku di komputer. Aku belum sempat menontonnya sejak pulang dari desa. Yahh.. aku mulai disibukan dengan kegiatan kampusku yang sangat mengerikan ini. Bahkan aku merasa ritme kehidupanku menjadi kacau lagi karena aku terbiasa dengan kehidupan santai di desa.
"Aku juga menyukainya, kapan-kapan bagaimana jika kita menontonnya bersama. Kau bisa datang ke apartemen kami."
"Ahh... bolehkah?"
Aku sedikit melirik Donghae yang tampak acuh tak acuh dengan ponselnya. Ia pasti sedang bermain game lagi. Dasar!
"Silahkan saja datang jika kau mau, pintu apartemenku selalu terbuka untukmu." Jawab Donghae tanpa melihatku. Ia seolah-olah malas untuk menjawabnya. Tapi biarkan saja, jangan pikirkan Donghae yang aneh itu.
"Baiklah, aku pasti akan datang suatu saat ke apartemenmu. Mungkin untuk minggu ini aku belum bisa, karena aku masih sibuk mengurus banyak hal di gedung fakultasku."
"Tidak masalah, hubungi saja Donghae jika kau akan datang ke apartemen kami."
"Tentu, kalau begitu aku pergi dulu."
Aku melambaikan tanganku pelan pada Yunho dan segera pergi menuju ruangan tempat Jessica berada dengan langkah terburu-buru. Ya ampun, Jessica pasti akan mengomeliku karena aku terlambat dua puluh menit. God! Ini gara-gara Yunho. Tapi ia pria yang baik, dan juga menarik. Mungkin aku bisa menjadikannya teman dekatku seperti Donghae. Yah... aku akan menjadikan Yunho sebagai temanku juga mulai saat ini. Hmm... Lee Donghae, kita lihat bagaimana reaksimu setelah ini?
-00-
Hah... menyebalkan sekali. Aku tidak mendapatkan nomor antrean untuk mengumpulkan laporan di aula universitas. Padahal aku telah datang pagi-pagi sekali ke sini, dan melewatkan banyak hal yang seharusnya kulakukan sejak tadi. Sial! Ini karena Lee Donghae menyebalkan yang tidak segera bangun dan mengantre nomer. Bukankah aku hanya rakyat jelata? Aku seharusnya tidak berhubungan dengan hal-hal rumit ini.
"Hey, bagaimana? Kau sudah mendapatkan nomornya?"
"Nomor? Kita kehabisan nomor. Kita kurang cepat."
"Seharusnya kau langsung mengambilnya dan tidak perlu menungguku. Kau tahu sendiri jika aku sangat sulit untuk bangun pagi." Ucapnya tanpa rasa bersalah. Apa-apaan pria ini. Ia menyalahkanku atas tugas yang seharusnya ia selesaikan? Lee Donghae! Aku membencimu!
"Aku menunggumu karena itu tugasmu. Bukankah tugasku hanya menemanimu saja. Jadi jangan salahkan aku. Sekarang bagaimana kita harus mengatakan berita buruk ini pada Jessica? Ia pasti akan mengomel selama seharian karena kita gagal mendapatkan nomor antrean, dan kita terpaksa menunda pengumpulan laporan ini hingga minggu depan."
"Ck, mau bagaimana lagi, kita terpaksa mendengarkan omelan Jessica kalau begitu."
Aku mendengus gusar mendengar jawabannya dan memilih untuk duduk sejenak di kursi tunggu untuk menormalkan kejengkelanku pada Donghae. Kenapa semua pria selalu saja menganggap mudah hal-hal yang sangat penting seperti ini. Jika aku menunda pengumpulan laporan ini, maka nilaiku akan terlambat keluar. Padahal aku membutuhkan transkrip nilai itu untuk mendaftar ujian akhir. Aku tidak mau menundanya lagi karena aku sudah ingin cepat-cepat angkat kaki dari universitas ini. Siapapun pria yang dijodohkan denganku di luar sana, ia telah menungguku. Yeah.. setidaknya itulah yang terakhir aku bicarakan dengan ibuku dua hari yang lalu. Ibu memintaku untuk segera lulus agar aku dapat segera bertemu dengan calonku dan kami akan membicarakan rencana pernikahan kami yang entah akan dilaksanakan kapan, aku tidak peduli. Rasanya pernikahan ini seperti tidak ada rasanya apapun untukku, hambar! Sangat hambar, hingga aku tidak ingin ambil pusing pada kehidupanku di masa depan. Jika memang ibuku menginginkan hal itu, maka aku tidak memiliki hak untuk menolaknya. Yeah, asalkan ibuku bahagia.
"Hey, kau mau kemana?"
Donghae memanggilku saat aku tiba-tiba berdiri dan berjalan kearah ruangan sekretaris umum universitas. Aku merasa tidak bisa hanya menunggu dengan pasrah hingga minggu depan tanpa melakukan usaha apapapun. Jadi setidaknya sekarang aku akan masuk kedalam ruangan sekretaris itu, dan meminta sedikit keringanan agar aku dapat mengumpulkan laporanku hari ini.
"Kau ingin merayu sekretaris Shin yang jelek itu."
"Sshhh... diamlah jika kau tidak memiliki ide brilian. Hari ini juga aku ingin mengumpulkan laporan ini, jadi aku harus menemui sekretaris Shin secara personal."
"Tapi kau tidak bisa melakukannya dengan cara seperti itu Yoong, jangan menurunkan harga dirimu sendiri hanya demi sebuah nilai. Kita masih memiliki waktu hingga minggu depan."
Apa-apaan sih pria ini? Kenapa dia sangat berlebihan seperti itu. Memangnya ia pikir apa yang akan aku lakukan dengan sekretaris Shin? Dasar gila!
"Selamat pagi paman Shin, bolehkah aku masuk?"
"Oh Yoona, masuklah. Lama tidak melihatmu."
"Maaf paman, aku memang sangat sibuk akhir-akhir ini. Aku baru saja kembali dari kegiatan bakti sosial di desa. Duduklah." Bisikku pada Donghae yang sejak tadi justru terlihat terheran-heran sambil berdiri di belakangku. Ya Tuhan, ada apa dengan pria ini? Kenapa aneh sekali sikapnya?
"Kau pasti ingin meminta bantuan pada paman, ada apa?"
Aku tersenyum malu di depan paman Shin dan mulai menjelaskan semuanya pada paman. Untung saja aku memiliki paman Shin yang hebat ini, sehingga urusan apapun tidak akan jadi masalah. Sekarang aku dapat mengumpulkan laporanku dengan mudah tanpa harus mengantre seperti yang lainnya.
"Letakan saja di meja paman kalau begitu, semuanya juga akan dikumpulkan di sini. Tapi paman tidak mau jika ruangan paman menjadi ribut oleh suara berisik dari para mahasiswa itu, jadi paman meminta beberapa staff untuk membuat nomor antrean agar tidak ribut."
"Waahh... terimakasih banyak paman, aku sekarang tidak perlu menunggu hingga minggu depan, karena aku kehabisan nomor antrean."
Aku benar-benar merasa lega setelah bertemu dengan paman Shin. Pamanku yang satu ini memang selalu bisa diandalkan ketika keponakan cantiknya ini membutuhkan bantuan. Tapi tidak setiap saat aku menggunakan cara-cara curang seperti ini. Jika aku dapat melakukannya sendiri, aku tidak akan meminta tolong pada paman Shin.
"Kenapa kau tidak mengatakannya sejak awal jika sekretaris Shin adalah pamanmu?"
"Kau tidak bertanya..." Balasku santai. Ia memang tidak bertanya sejak tadi, dan justru ribut mengatakan hal-hal yang tidak-tidak. Otak pria memang selalu tidak beres sepertinya. Tapi ngomong-ngomong mengenai otak pria, aku jadi memiliki ide untuk memberikannya pertanyaan.
"Diantara cinta, harta, dan wanita, mana yang lebih berpotensi untuk menjatuhkanmu?"
"Hah, kenapa kau tiba-tiba menanyakan hal itu?"
"Hanya ingin bertanya. Sejujurnya aku memiliki banyak daftar pertanyaan untukmu, tapi aku akan mengeluarkannya satu persatu. Sudahlah, jawab saja pertanyaanku."
"Emm.. kurasa tahta. Aku sudah pernah mengalami ketiganya."
"Benarkah? Tapi aku tidak heran jika kau memang telah mengalami ketiganya. Jadi apa yang terjadi pada tahta?" Tanyaku ingin tahu. Sepertinya ini akan sangat menarik. Seorang Lee Donghae yang pendiam dan misterius, ternyata pernah jatuh karena sebuah tahta.
"Aku pernah kehilangan teman karena aku mengkhianati mereka."
"Mereka? Jadi itu tidak terjadi pada satu orang?"
Donghae menggeleng pelan dengan senyum masam yang terlihat aneh di wajahnya. Yahh... meskipun Donghae memang jarang tersenyum, tapi aku lebih menyukai melihat senyum manisnya atau senyum tanpa bebannya yang meneduhkan.
"Kuakui jika itu salahku. Saat aku mendapatkan proyek baru, aku tidak mengatakannya pada dua temanku yang lain. Dan entah mendapatkan informasi darimana, mereka mengetahuinya. Lalu hubungan kami memburuk hingga saat ini."
"Wow, kalian para pria ternyata lebih sensitif daripada para wanita. Bagaimana mungkin kalian dapat terus bermusuhan seperti itu?"
"Kami para pria terkadang sama saja dengan kalian, para wanita. Hanya saja kami lebih suka diam jika kami tidak menyukai sesuatu atau sedang marah, sedangkan kalian akan terlihat lebih meledak-ledak dan juga berisik."
"Hey, apa kau sedang menyindirku sekarang?" Protesku kesal. Kuakui aku memang sangat berisik. Tanyakan saja pada Donghae, sudah berapa banyak kecerewetan yang kulakukan padanya. Sangat banyak! Bahkan aku selama ini juga sering mengganggu hidupnya yang tenang. Ritual mengobrol kami setelah kembali dari desa tidak bisa hilang begitu saja. Tapi saat ini kami lebih sering berbicara melalui telepon. Biasanya kami akan mengobrol dari pukul sebelas hingga pukul dua, terkadang juga hampir mendekati pukul tiga pagi. Memang kami ini sangat gila jika sedang membicarakan sesuatu. Tidak pernah tidak sebentar. Bahkan meskipun tanganku sudah merasa pegal karena terus memegangi ponsel, dan Donghae juga merasakan pegal pada lehernya, kami tetap saja mengobrol hingga akhirnya pihak operator yang memutus sambungan telepon kami karena lamanya kami berbicara.
"Apa aku terlihat sedang menyindirmu? Kau saja yang terlalu menggeneralisasikannya padamu. Lagipula aku suka dengan sifat berisikmu, kau berisik untuk sesuatu yang baik."
"Ohh... kau manis sekali pak ketua, sungguh aku terharu dengan kata-katamu itu. Tapi sejujurnya aku hanya ingin menjadi teman yang baik. Saat pertama aku melihatmu, aku berpikir jika kau adalah pria yang buruk. Tapi setelah kita mengobrol satu sama lain, barulah aku tahu jika kau ternyata sangat baik. Jadi aku sangat menyayangkan sikapmu jika kau berubah mejadi orang yang buruk."
Aku tersenyum kecil di depannya sambil bertopang dagu dengan tangan kananku. Kurasa saat ini ia sedang mencerna baik-baik ucapanku sambil memikirkan entah apa yang ada di dalam kepalanya. Semakin lama, sekarang aku dapat membaca tiap ekspresi yang tercetak di wajahnya. Saat ia sedang senang, marah, atau sedih, aku dapat merasakan itu semua dari wajahnya. Dan pertemanan kami ini kurasa telah berkembang menjadi semakin rumit. Entahlah, aku merasa kami sekarang akan terasa lebih sulit untuk menjauh satu sama lain. Intensitas kami berkirim pesan atau berbicara melalui telepon saat tengah malam terasa tidak wajar untukku. Padahal teman-temanku yang lain tidak seperti itu. Mereka mengatakan jika hubungan pertemanan mereka dengan teman-teman kelompok bakti sosial mereka telah usia semenjak mereka kembali ke Seoul. Tapi aku? Aku masih sering mengobrol bersama Yeri, Jessica, Donghae, dan terkadang juga Hyukjae. Kami berlima masih cukup dekat seperti saat kami tinggal di posko. Hanya yang membedakan saat ini kami tidak lagi tinggal serumah, sehingga kami lebih banyak disibukan dengan kegiatan kami masing-masing.
"Yoona..."
"Ya?"
"Selama kita masih dapat berkomunikasi, kuharap kita akan tetap dekat seperti ini."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro