Part 8. Wounded
Masih hasil Revisi, btw guys karena dulu aku buat 1 bab panjang banget, beberapa ada yang kujadikan 2 bab, ya. Jadi kemungkinan bakalan lebih banyak tambahannya. Selamat baca, selagi gratisss
-----
Alena Adonia
Sudah seminggu sejak kejadian itu aku tidak pernah melihat Ben kembali. Kehidupanku pun mulai kembali seperti dulu. Bekerja di club malam menjadi pilihan satu-satunya. Namun kini semuanya kubatasi. No sex for everyone. Walaupun aku masih berada dalam neraka dengan bentuk mewah ini, namun beberapa kali aku hanya memilih menemani pria-pria hidung belang hanya untuk sekedar minum.
Yah, walaupun Mery sangat kecewa, tapi inilah pilihan terbaiknya. Sekalipun dia berkata jika aku adalah tambang emasnya, atau asset berharga miliknya, tetap saja aku tidak ingin melakukan sesuatu hal lebih dari sekedar menemani minum untuk beberapa waktu.
Untung saja Mery memahami kondisiku. Dia cukup memberikanku waktu agar aku kembali pulih. Walau aku tidak tahu kapan aku akan pulih seutuhnya.
Mungkin jika sebelumnya aku pernah mengalami luka fisik akibat pria tua bangka itu, kini lukaku tak ada obatnya. Sakit namun aku tidak tahu bagaimana cara mengobatinya. Hingga akhirnya aku sadar, aku tidak sedang baik-baik saja.
Andaikan Dean ada di sini, mungkinkah akan jauh lebih baik? Atau aku malah semakin terluka? Entah. Aku benar-benar bingung dengan kondisiku kini.
Jika berlama-lama aku begini, mungkin orang lain akan takut menemuiku. Mereka pikir aku adalah mayat hidup yang bergentayangan di bar.
"Alena..."
"Yes, David," jawabku tidak bersemangat.
Menatapku penuh arti, David kembali berucap, "Ke mana Alenaku? Ke mana Alena yang selalu berseri? Ke mana Alena yang selalu kuat? Apa seperti ini sebenarnya dirimu?"
Terlihat memaksakan senyum, kubalas tatapan kedua mata David yang tertuju kepadaku. "Alena sudah mati, di depanmu hanya seorang wanita bodoh, David. Jadi tolong jangan sibuk bertanya-tanya mengenai karakterku dimasa lalu."
Aku meneguk habis gelas keempat yang dibuatkan oleh David. Rasa panas seperti terbakar karena mengkonsumsi terlalu banyak alkohol berhasil membuatku melayang. Bahkan dari tatapan yang kutujukan kepada David, aku melihat David membelah diri. Banyak sekali David yang berdiri di depanku, dan menatapku penuh arti.
"Hei, stop. Jangan terlalu banyak. Jika Dean melihatmu seperti ini, aku yang akan menerima hukumannya."
Bibirku meringis ketika David menyebut nama Dean kini. Kupikir lama kelamaan Dean pun sama saja. Dia sama sekali tidak peduli padaku. Bahkan kini dia sedang berada di Paris untuk membuka perusahaan baru di sana. Lalu apa gunanya aku mengharapkan Dean datang saat ini?
"Oh, ayolah, Alena. Stop semua ini. Jika kamu tidak sanggup lagi, kembalilah ke tempat di mana dirimu berasal. Ayahmu pasti menerimamu kembali. Aku yakin itu. Lagi pula dia bukan mengusirmu, kan? Tapi kamu yang kabur darinya. Jadi ketika dirimu balik ke sana, dia pasti akan menerimamu dengan baik. Karena jelas dia tidak mau kehilangan putri kandungnya sendiri."
"Tidak David, New York adalah rumahku. Aku tidak akan mau kembali ke Yunani lagi."
Kulirik David yang tak berkedip memandangku. "Kenapa, Alena? Kenapa kamu egois sekali? Sungguh, New York bukan tempat yang baik untukmu. Rumah adalah tempat untuk dirimu berlindung. Bukan malah sebaliknya."
"Kamu tidak tahu apa-apa, David. Dan kamu belum mengenal seperti apa keluargaku di sana."
Walau kulihat David kecewa, sungguh aku tidak peduli. Karena aku tidak akan pernah bisa mengikuti kata-katanya tuk kembali ke Yunani.
"Baiklah jika menurutmu di sini rumahmu. Maka kembalilah menjadi Alena yang dulu. Jika pekerjaan ini tidak membuatmu nyaman, cari lah pekerjaan yang lain."
Semua nasehat dari David tidak berdampak apapun bagiku. Karena sesungguhnya aku pun bingung apa yang terjadi dalam hidupku kini.
Kami pun saling tatap. David menggeleng seolah memberitahu jangan seperti ini lagi. Dia sangat kecewa sekali padaku. Tapi aku bisa apalagi selain menikmati kesakitan ini.
Terdiam sejenak, sebuah notifikasi pada ponselku berhasil mengalihkan tatapan ini. Aku terdiam saat membacanya.
"Siapa?"
David curiga saat notif pesan masuk ke dalam ponselku.
"Mery."
Aku rasa sudah saatnya kamu melayani tamu penting. Aku tidak mau mendengar kamu menolak lagi.
Aku menatap tak percaya atas isi pesan tersebut. Bukannya dia mengizinkanku untuk istirahat sejenak. Tapi mengapa kini perempuan tua itu berubah pikiran.
Ingin rasanya aku mengamuk pada Mery. Tapi aku tidak bisa melakukan apapun. Apalagi jika mengingat masa lalu itu, semua seolah sudah diatur oleh Tuhan.
Pertemuan pertamaku dengan Mery memanglah tidak disangka sedikitpun. Dia memang yang menolongku setelah aku lolos dari pengawalan ketat ayah yang memiliki kekuasaan cukup penting di Yunani.
Ayahku adalah seorang perdana menteri. Dan beliau punya banyak cara menahanku untuk tetap dalam sangkar emasnya.
Mungkin bagi sebagian orang, hal itu adalah wajar. Dimana orangtua tidak ingin berada jauh dari anaknya. Namun siapa yang kuat hidup layaknya robot yang diatur sesuai perintah?
Jujur saja aku tidak bisa hidup seperti itu. Aku butuh kebebasan. Aku butuh ruang kehidupanku sendiri, tanpa dicampuri oleh ayahku.
Tapi sayangnya ayahku tidak paham tentang hal itu. Hingga akhirnya aku memilih kabur, dan meninggalkan semuanya untuk sampai di sini.
"Mrs. Tolong saya, tolong saya," rintih alena.
"Kamu kenapa?" Mery melihat Alena pucat, napas Alena memburu seperti sedang dikejar-kejar sesuatu.
"Selamatkan saya mrs. Selamatkan saya. Sembunyikan saya. Saya mohon. Saya tidak ingin orang-orang menemukan saya dan mengenali saya. Jadi saya mohon, mrs. Tolong sembunyikan saya."
"Baiklah. Aku akan membantumu. Tapi janji kepadaku jangan pergi dariku."
"Ingat, aku pernah menolongmu. Menyembunyikan dirimu. Memberimu makan dan pakaian yang layak. Seharusnya kamu beruntung tidak menjadi seorang gelandangan di negara ini. Bahkan Bahasa Inggris yang kamu miliki sangat tidak baik. Dan ingat, kamu pernah menandatangi perjanjian ini."
Rasa sesak di dadaku semakin menjadi ketika aku mengingat perjanjian bodoh itu. Di mana Mery memanfaatkanku saat pertama kali kami bertemu. Dia memintaku menandatangani sebuah surat, dimana aku terikat olehnya sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Argh, sial memang. Jika seperti ini apakah tidak sama saja. Aku memang berhasil kabur dari jeratan ayahku. Namun parahnya aku malah masuk ke dalam jeratan Mery, yang membuatku menjadi budak napsu para pria di tempat miliknya ini.
Menyedihkan sekali rasanya. Apalagi kalau dipikir-pikir, masih jauh lebih baik aku berada dalam sangkar emas, dan tinggal dekat dengan ayahku. Dibandingkan aku berada di negara ini.
Andai ayah tidak melakukan kerja sama terkutuk itu dengan salah seorang saudagar kaya, mungkin ibuku tidak akan meninggal. Dan andai saja aku tahu siapa saudagar kaya itu, aku pasti akan membunuhnya dengan tanganku sendiri.
"Kamu akan melakukannya lagi?" David terlihat semakin khawatir.
"Memangnya ada cara agar aku bisa menolak? Tidak ada, David. Ke mana pun aku pergi, aku tidak bisa mengelak dari perintahnya."
Saat aku hendak ke toilet untuk bersiap menyambut tamu itu, suara seorang pria mengintrupsi.
Aku sempat terdiam dan melihat ke sosok pria yang tadi sudah memanggil namaku.
"Alena..." suara tegas dan sangat berwibawa kembali memanggil namaku.
Saat aku menyadari siapa pria itu, aku langsung memundurkan langkah. Tanganku bergetar takut. Dan hampir saja aku terjatuh karena berdiri dengan sangat tidak seimbang.
Oh Tuhan, mimpi apa aku semalam, sampai bertemu dengan dia lagi?
"Mr. Gerald ..." sapa Mery dengan senyum di wajahnya. "Saya pikir anda menunggu di hotel. Nanti akan saya antarkan Alena ke sana."
Mendengar namaku disebut oleh Mery, aku tahu inilah neraka untukku. Sekalipun Mery pernah menolong hidupku, namun kali ini dia benar-benar menjerumuskanku ke dalam neraka yang paling dalam.
"Aku sendiri yang akan menjemputnya..."
"Tidak Mery... tidak..." bisikku melemah.
Sayangnya Mery terlalu licik. Dia sama sekali tidak peduli dengan trauma yang kumiliki. Perempuan tua ini hanya mengenal uang. Dia tidak mau tahu, alasan apapun dibalik pundi-pundi uang yang ia dapatkan. Sekalipun aku terluka dan mendapatkan trauma panjang, Mery sungguh tidak peduli. Selama dia lihat aku masih bisa berdiri, aku akan terus diperintah olehnya.
"No sex, Mery, aku mohon," rintihanku semakin kencang. Aku benar-benar waspada kini.
"Alena, jangan memalukan diriku. Ingat semua perjanjian itu," bisik Mery di telingaku
Perlahan air mataku mulai jatuh, aku menangis masih dengan beberapa langkah menjauh.
"Ada apa?"
"Tidak ada apa-apa mr. Gerald, Alena hanya meminta waktu sebentar agar mempercantik dirinya."
Setelah mengucapkannya, Mery langsung menarik tanganku. Membawaku ke dalam toilet, dan menatapku dengan sangat sadis.
"ALENA ADONIA SAMARAS!!"
Bagaimana bisa Mery tahu nama keluargaku? Padahal selama ini aku sengaja menyembunyikannya. Agar tidak ada yang memanfaatkan ayahku ketika tahu putrinya menjadi wanita pemuas napsu di tempat ini.
"Turuti semua perkataanku. Ingat kamu masih terikat sebuah perjanjian denganku." Mery mengusap rambutku. Berbisik dengan senyuman licik, aku sadar Mery tidak mungkin bisa kukalahkan. "Apa kamu ingin Antonis Samara kehilangan putri satu-satunya?"
Setelah mengancamku, dia meninggalkanku dengan senyum kemenangan.
Terkutuk lah kamu Mery!!
Mau tidak mau, suka tidak suka semuanya harus kuhadapi. Semuanya adalah hasil pilihanku sejak awal. Meninggalkan ayahku lalu memilih tinggal di neraka ini.
Harusnya aku tidak perlu takut atas apapun yang akan terjadi. Karena hidupku sudah hancur berkeping-keping. Dan kini sesungguhnya aku hanya sedang menunggu Tuhan untuk mencabut nyawaku.
Setelah cukup mengumpulkan tenaga, aku keluar dari toilet dan masih melihat pria itu duduk beserta beberapa pengawalnya.
"Kamu sudah siap Alena?"
Aku hanya bisa mengangguk. Berjalan mengikuti langkah pria tua ini masuk ke dalam sebuah limosin dan pergi menuju hotel. Disepanjang perjalanan aku hanya diam, tidak menolak ataupun berusaha untuk kabur dari semua ini. Aku berusaha menikmati detik-detik terakhir kehidupanku. Karena setelahnya, aku yakin kondisiku akan jauh lebih buruk dari sebelumnya.
Sesampai di hotel, memori kelam itu kembali masuk ke dalam pikiranku. Memori menyakitkan yang tidak mungkin bisa kulupakan. Dan pastinya akan terulang lagi malam ini.
Terlihat sengaja membiarkan aku masuk lebih dulu ke dalam kamar mewah ini, dia langsung menciumi bahuku. Memeluk tubuh ini dari belakang, sambil sibuk menjamah beberapa bagian tubuhku yang disukainya.
Aku tidak meresponnya. Tubuhku benar-benar ketakutan. Aku ingin berontak. Tapi rasanya kedua kakiku terpaku di tempat. Hingga akhirnya kegelapan menyelimutiku.
Aku ambruk begitu saja. Dalam hati aku sibuk bertanya-tanya, apakah Tuhan sedang membantuku kini?
"ALENA ... KAMU KENAPA?"
Sebelum kegelapan benar-benar membawaku pergi, aku bisa mendengar suara tuan Gerald panik. Dia pasti kaget melihat tubuhku ambruk begitu saja.
Butuh waktu cukup lama hingga aku sadar kembali. Kulihat sekeliling, ternyata aku masih berada di tempat yang sama. Hanya saja, kini aku tengah berbaring di bawah selimut yang menghangatkan tubuh ini.
Tak jauh dari posisiku, ada seorang yang kuduga adalah dokter sedang berbicara dengan tuan Gerald.
Ketika tuan Gerald akan keluar, mengantarkan dokter tersebut untuk pergi, suara seseorang yang terdengar familiar di telingaku mendekat. Dia berbicara dengan tuan Gerald, dan tidak menyadari keberadaanku.
"Dean...." Kupanggil nama itu pelan, sampai pria itu melirikku dengan ekspresi kagetnya.
"ALENA!!"
Dean langsung mendekat. Dia melihatku dengan tatapan penuh khawatir. Pandangan kami saling beradu, seolah tengah membicarakan kesakitan yang sedang kurasakan kini. Sampai terdengar suara langkah kaki masuk ke dalam kamar ini lagi, Dean mengalihkan tatapannya pada tuan Gerald.
"AYAH KENAPA ALENA BISA BERADA DI SINI?"
Wait?
Kenapa Dean memanggilnya dengan sebutan ayah? Jangan bilang mereka adalah ....
"Ayah??"
Aku mengulangi panggilan itu. Berharap aku salah mendengarnya.
"Dean. Dia...."
"Yes, honey, he's my father"
Tidak bisa berkata-kata lagi, aku sangat berharap Tuhan mencabut nyawaku sekarang. Ternyata pria yang sejak lama melindungiku adalah anak dari pria tua bangka yang membuat hidupku trauma.
***
Waktu berlalu sangat cepat. Setelah kejadian mengejutkan itu, aku belum menceritakan apapun kepada Dean. Walau beberapa kali dia memaksa, dan penasaran atas alasan mengapa aku bisa bersama ayahnya, aku benar-benar mengunci mulutku rapat-rapat. Hingga akhirnya dia hanya tahu jika ayahnya adalah pahlawan yang menolongku ketika aku pingsan. Padahal jika Dean tahu jika ayahnya adalah monster, apa dia tetap percaya pada kata-kata ayahnya?
Sekalipun aku merasa kesal dengan gosip yang Dean percaya, namun sedikit banyak aku masih merasa beruntung. Karena Dean berhasil menjauhiku sejenak dari kegilaan Mery. Sibuk mengaku pada Mery jika kini aku bersamanya, Mery cukup percaya atas kebohongan yang Dean buat.
Padahal sejak kejadian itu, tidak sama sekali aku bersama Dean. Aku lebih memilih kembali ke flatku, dan Dean entah pergi ke mana lagi. Dia tidak mengatakan apapun, yang jelas untuk biaya booking diriku ini kepada Mery, Dean sudah membayarnya selama beberapa waktu kedepan.
Selain itu, aku masih merasa beruntung karena hanya David yang tahu kondisiku kini. Pria itu sangat baik dan benar-benar mendukungku untuk keluar dari neraka itu. Dia bahkan siap memohon kepada Dean agar rela membawaku pergi jauh dari Mery. Namun sayangnya aku yang tidak mau David melakukan hal itu. Apalagi setelah aku tahu bila Dean adalah anak dari tuan Gerald, sungguh aku tidak ingin berurusan lebih jauh dengan keluarga itu.
"Hi, sudah sembuh?" Tanya David ketika kami membuat janji bertemu di sebuah restoran siang ini.
"Sudah lebih baik. Apa aku mengganggumu?"
"Tidak, Alena. Santai saja. Kamu sama sekali tidak menggangguku. Lagi pula aku senang kamu mengingatku jika sedang dalam kondisi yang kurang baik. Karena bisa diartikan kamu percaya padaku, Alena."
Seolah terbiasa mendengar ceritaku, David langsung menebak sesuai apa yang terjadi kini.
"Aku...."
Belum sempat aku menceritakannya, tangisan ini hadir kembali. Hatiku terasa sangat sakit ketika mengingat pria itu. Pria yang sudah pergi dengan membawa semua perasaan di hati. Entah apa namanya perasaan ini, yang jelas hidupku terasa semakin hampa semenjak dia tidak pernah mencariku lagi.
"Alena, ada apa? Apa Mery menyakitimu lagi?"
"Bukan. Bukan dia."
"Lalu siapa?"
"Ben. Pria itu. Pria yang sudah pergi itu berhasil membuatku gila. Tolong aku, David. Tolong aku untuk katakan kepadanya Jika aku merindukannya."
Sambil terisak, aku mencoba untuk mengatakan semua yang kurasa kini. Kulihat sempat ada ekspresi kaget di wajah David, namun setelahnya sahabatku itu pintar sekali mengubah ekspresinya.
"Tenanglah, Alena."
Terlihat begitu mengkhawatirkanku, David berpindah tempat duduk ke sampingku. Dia merangkulku, memelukku erat sambil berusaha menenangkan perasaanku ini.
Beberapa kata-kata yang David katakan, memang bukanlah yang terbaik. Tapi aku semakin sadar, aku bersandar padanya seperti seorang adik kepada kakaknya sendiri. Mungkin seperti itu juga yang David rasakan kepadaku. Dia seperti sosok kakak yang siap menjadi pendengar keluh kesah adiknya.
"Sstt, tenanglah Alena. Semua akan baik-baik saja. Walau jujur saja aku pun tidak tahu harus berbuat apa untuk menolongmu. Tapi aku yakin, yakin sekali, dia tidak akan meninggalkanmu. Tidak ada orang di dunia ini, yang sudah mengenalmu, dapat dengan mudah melupakanmu. Tidak akan pernah ada orang seperti itu, Alena."
David mengecup lembut keningku. Tangannya dengan perlahan usap-usap bahuku, sampai aku merasa jauh lebih tenang.
"Benarkah?"
"Iya. Dia pasti akan kembali, tanpa perlu repot-repot kamu mencarinya."
"Kamu yakin Ben seperti itu?"
"Aku yakin sekali, Alena."
"Terima kasih banyak, David. Kamu membuatku jauh lebih tenang."
"Tidak perlu berterima kasih, aku.... "
Kalimat David terpotong begitu saja saat tubuhnya ditarik agar menjauh dari tubuhku. David dipukul berkali-kali oleh pria itu. Hingga darah membanjiri wajahnya.
"STOP. HENTIKAN!!"
Aku panik, teriakanku sama sekali tidak bisa menghentikan perkelahian ini. Hingga kusadari, pria yang sibuk memukul David adalah Ben. Sosok pria yang sudah membuat perasaanku tidak menentu.
Ben menatap tajam kedua mataku. Menguncinya. Mengantarkan kerinduan yang selama ini kami rasakan. Tanpa saling berbicara, kami tahu satu sama lain saling membutuhkan. Ego yang tinggi lah yang sebelumnya memisahkan. Andai aku dapat jujur dengan semua perasaan ini. Mungkin kejadian ini tidak pernah terjadi.
"Ben..." suara seorang wanita menghentikan tatapan kondisi dimana pelepasan rindu terjadi. "Ada apa sebenarnya, kamu bisa membunuhnya, Ben."
Ketika aku mencoba mengenali siapa wanita itu. Aku dibuat kaget dengan fakta yang terjadi.
"ALENA...."
Dia berteriak. Memanggil namaku dengan lantang.
"Benar kamu Alena Adonia Samaras?"
"Cecillia," aku bergumam lemah ketika yakin dia adalah salah satu orang yang ingin kuhindari.
Continue..
Cecilia
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro