Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 6. Hold My Hand

Revisi onprogress. Semoga menjadi lebih baik dari segi penulisan dan juga alur.

Perkenalkan para Cast Yes, Sir.
Ada Delia, Dean, Ben dan Alena


*****

Alena Adonia

Sambil mencoba membuka kedua mata ini, aku cukup kaget ketika terbangun dan berada dalam kamar hotel yang sangat besar. Pikiranku mencoba mengingat kejadian yang sebelumnya terjadi. Rasanya aku tidak menemukan satu kejadian pun dalam pikiranku, sampai pintu kamar ini terbuka dan menampilkan wajah Dean di sana, kebingungan semakin kurasakan saat ini.

"Dean," bisikku memanggil namanya.

"Yes, Honey. Sudah lebih baik?" Dean mengusap pipiku dengan bantalan tangannya. Begitu lembut dan menenangkan.

"Kamu terlalu lelah, Honey. Itu sebabnya kamu pingsan tadi." Dean seperti tahu apa yang sedang kupikirkan. Karena jujur saja aku benar-benar lupa apa yang terjadi sebelumnya.

"Lalu? Kenapa kamu ada di sini?" Tanyaku padanya.

"Honey, acara yang kamu datangi tadi adalah acara pertemuan seluruh pemegang saham. Mau tidak mau aku juga harus berada di sana. Yang aneh menurutku, kenapa kamu di sana?"

Semua perkataan Dean kembali membuatku ingat tentang beberapa kejadian sebelum aku pingsan tadi. Aku mendatangi acara tersebut bersama, Ben. Lalu sekarang di mana Ben? Apa dia meninggalkanku?

Masih sibuk berpikir, sebuah kecupan manis sukses mendarat di keningku.

"Istirahat lah. Aku tidak ingin kamu sakit lagi."

Perlahan Dean beranjak dari sisiku. Dia berjalan keluar kamar ini, meninggalkanku dalam ruangan yang sunyi. Sendiri. Sepi. Dan dihinggapi ketakutan atas kejadian buruk terhadap orang itu.

Dengan segera aku berusaha untuk mengikuti langkahnya. Bangun dari ranjang ini, dan segera keluar dari kamar. Namun sesaat sebelum kubuka pintu, suara Dean terdengar berbicara dengan seseorang.

"Jadi wanitaku dekat dengannya juga?"

"Iya, Tuan."

"Cepat kamu bereskan masalah ini. Aku tidak mau masalah makin sulit."

Dean mulai memerintah. Tapi masalahnya, apa maksud dari perintahnya itu?

Kutunggu sejenak sampai suara-suara itu lenyap, aku segera pergi dari sini. Keluar dari kamar menuju lift dengan cepat agar tidak terlihat oleh orang lain. Walau tidak yakin bisa lolos dari Dean, namun tanpa kucoba, aku tidak akan tahu jawabannya. Sama halnya dengan semua perintah yang Dean katakan tadi, dengan rasa penasaran tinggi, aku tidak akan mungkin diam saja. Aku harus tahu apa hubungan Dean dengan Ben?

***

Diantar dengan sebuah taksi, sekarang aku sudah sampai kembali di club malam tempatku bekerja. Saat memasuki tempat ini, kembali lagi beberapa orang sibuk melihat ke arahku. Menatapku sambil berbisik yang berhasil membuatku risih.

Aku berusaha tuk tidak mempedulikan mereka semua, tetapi nyatanya aku tidak bisa. Aku tahu isi pikiran buruk mereka, dan kemungkinan pingsanku tadi sudah sampai juga ke telinga mereka semua.

Saat melihat David masih sibuk dengan pekerjaannya, aku mendekatinya. Mengambil posisi ternyaman untuk duduk sambil menormalkan detak jantungku.

"Alena, kamu kenapa? Wajahmu pucat sekali." Saat David melihat ke arahku, beberapa pertanyaan khawatir keluar dari bibirnya.

Dari pertanyaan yang David ungkapkan, ada kemungkinan dia tidak tahu alasan dibalik keadaanku saat ini. Bisa kuartikan gosip yang kemungkinan menyebar tidak begitu detail.

"Aku bertemu kembali dengan pria tua itu. Dia ada di sana. Aku ketakutan, David. Aku takut. Rasa traumaku muncul lagi. Sampai akhirnya tubuhku merespon hingga lemas, dan tak berdaya. Sungguh, demi apapun juga, aku tidak mau bertemu lagi dengannya. Tolong, David. Tolong aku. Sembunyikan aku dari orang itu. Aku benar-benar takut."

Aku terus saja mengadu kepada David, mengatakan secara jelas apa saja yang kurasakan kini. Hingga aku merasakan David memelukku. Menenangkanku dalam pelukannya. Mengelus rambutku lembut sampai tangisanku berhenti.

Dia tahu sekali bagaimana aku mengalami trauma dan menjalani hidup setelah trauma itu terjadi. Karena itulah David pun merasa sedih melihat kondisiku saat ini.

"Tenanglah Alena, tidak ada yang akan menyakitimu lagi."

"Aku harus bagaimana, David?" Kutatap mata biru yang David miliki. Dia seperti berpikir apa yang harus aku lakukan setelah ini.

"Untuk kabur dan menghilang dari orang itu, satu-satunya jalan yang kupikirkan adalah kamu harus berhenti dari pekerjaanmu sekarang. Hilangkan traumamu. Dan mulailah hidup menjadi sosok yang baru. Namun sebelum semua itu kamu lakukan, kamu harus pergi ke dokter, Alena. Kamu harus mengecek bagaimana kondisi dirimu saat ini. Mungkin luka fisik yang kamu alami sudah benar-benar hilang, tetapi luka traumamu belum tentu sepenuhnya hilang. Karena itu aku sarankan lebih baik kamu ke dokter saat ini. Apa perlu aku antar ke dokter?"

Membalas tatapannya yang begitu khawatir kepadaku, kepalaku lantas menggeleng. "Aku tidak bisa berhenti. Aku tidak akan mungkin bisa melakukan semua saranmu itu. Mery pasti akan mengejarku."

"Lalu kamu mau terus bertahan di sini? Aku rasa itu bukan pilihan terbaik. Atau mungkin yang bisa kusarankan, kamu datanglah ke tuanmu kemarin. Mintalah bantuan padanya."

"Tidak. Demi Tuhan aku tidak mau menyusahkan dia dengan semua traumaku ini."

"Lalu?" David semakin bingung dengan pilihanku. "Dean? Bagaimana dengan bantuannya. Kurasa dia akan menolongmu," sambung David.

"Dean sudah menolongku tadi. Dan demi Tuhan, aku tidak ingin Dean tahu trauma yang kumiliki."

Aku kembali menangis, merasakan trauma yang semakin lama semakin menyesakkan dadaku ini.

"Sudah. Sekarang kamu istrahat. Aku akan mengantarkan ke flat. Aku tidak ingin terjadi apa-apa denganmu, Alena. Lihat lah kondisimu sekarang. Kamu benar-benar membuatku khawatir."

David memegang tanganku dan membawaku keluar dari club malam ini. Walau setiap langkah yang kami ciptakan ditonton oleh beberapa orang yang mengenal kami, namun sepertinya David tidak mempedulikan hal itu. Yang ada dalam pikirannya adalah mengantarkan untuk beristirahat.

Sama-sama berjalan menyusuri gang kecil, David menggenggam tanganku selayaknya seorang kakak memberikan perlindungan kepada adik kecilnya.

"Masuklah. Istirahat. Hari sudah pagi. Kamu harus mengisi energimu kembali."

Aku mengangguk, dan berjalan masuk ke dalam flat. Berusaha melupakan ketakutanku agar aku bisa istirahat sejenak.

Kurebahkan tubuhku di atas ranjang, dan dalam sekejab aku sudah terlarut dalam dunia mimpi.

***

"Alena..."

Sebuah suara serak dengan lembut membuatku kembali ke dunia nyata ini. Mataku membuka sedikit, dan melihat ke arah suara itu. Saat mataku beradu dengannya, dia tersenyum kepadaku.

"Honey, are you okay?"

Dean mengelus lembut pipiku. Dan memberikanku kecupan hangat di kening. Entah dia sudah berada di sini sejak kapan. Tapi aku bahagia dia ada di sisiku. Setidaknya aku tidak sendirian dengan semua ketakutan ini.

Kedekatan yang kami miliki, memang sering kali membuat Dean bebas keluar masuk flatku. Bahkan aku tidak kaget lagi jika kini Dean dengan mudah berada di sisiku, memelukku sampai aku terbangun, karena flat ini adalah miliknya.

Ya ... dialah orang yang selalu memberikan bantuan kepadaku saat aku benar-benar membutuhkan. Dan dari dia juga, aku memiliki tempat tinggal yang layak di sini.

"Kamu kenapa semalam? Tolong jangan membuatku takut." Embusan napas panasnya terus menerpa bagian kulit leherku, di mana memang bagian itu adalah tempat favorit bagi Dean.

"Ak ...u tidak apa-apa, Dean."

Dia menatapku, berusaha meyakinkan aku tidak sedang berbohong padanya saat ini. "Aku tidak akan membiarkanmu jatuh pingsan seperti itu lagi."

Tangannya dengan lembut mengelus kepalaku. Matanya yang tajam menatap mataku dalam. Dean seperti sedang menelanjangi tubuhku dengan matanya. "Apa kamu kurang makan? Mulai saat ini aku akan mengirimkan uang setiap saat kepadamu. Agar kamu tidak kurang makan."

Kembali, sikap over protectif Dean membuatku merasa tidak nyaman. Aku suka Dean peduli dan sayang padaku. Namun aku juga tidak suka diberikan perlindungan dengan sangat berlebihan. Bukankah hal itu sama saja dengan masa laluku?

"Dean please, tidak usah seperti itu. Kamu memberikanku flat ini saja sudah sangat cukup!"

Seperti yang kukatakan tadi, Flat yang kutempati kini memang Dean yang memberikannya beberapa bulan lalu. Awalnya Dean ingin memberikanku sebuah apartemen mewah, namun langsung kutolak dengan halus. Karena jujur saja aku tidak ingin dinilai seperti wanita tidak tahu diri oleh orang lain. Dan untung saja Dean menuruti kata-kataku.

"Tapi, aku tidak ingin kamu sakit, Honey."

"Kamu lupa, aku tidak suka semua caramu yang berlebihan?" ucapku mengingatkan dirinya.

Dean menatapku tajam. Kami seperti sedang adu kuat, untuk mempertahankan ego masing-masing.

"Jika kamu tetap memaksa, memberikanku banyak hal, aku akan kabur darimu."

"Wow, sekarang kamu sudah bisa mengancamku."

Dia menggelitik tubuhku, membuatku sangat geli. Aku bergerak ke sana sini agar dia menghentikan gelitikannya.

"Honey, aku ingin kamu jadi milikku selamanya." Tiba-tiba raut wajah Dean menjadi sangat serius.

Dia tidak sakit, kan? Selama aku mengenalnya, tidak pernah ada kata serius dengan wanita dalam kamus hidupnya Dean.

"Ada apa? Kamu baik-baik saja, kan?" Kusentuh keningnya. Dia tertawa dengan apa yang aku lakukan. "Kupikir kamu sakit, Dean," lanjutku.

"Iya, aku sakit karenamu, Honey."

Sebuah cubitan dariku tepat mengenai perutnya yang sixpack itu. Aku menelan salivaku, apa dengan menyentuh perutnya saja tubuhku bisa bergairah? Hahaha, ada apa dengan diriku ini? Kenapa aku terlihat berlebihan kepada Dean?

"Honey, ayolah. Menikah denganku."

Kalimat tiba-tiba itu berhasil membuatku menatap lekat manik mata Dean.

Dia benar-benar sudah gila. Atau dia frustasi karena tidak memiliki stock wanita lagi untuk dikencaninya. Ya Tuhan Dean, jangan jadikan aku korban. Aku memang ingin menikah tapi bukan dengan pria seperti Dean.

Impianku memang terlalu tinggi ingin mendapatkan pria baik-baik untuk menjadi suamiku.

Akan tetapi karena pekerjaanku ini, banyak pria baik yang menjauhiku. Lalu salahkah aku jika masih tetap bermimpi?

"Honey, jawab aku."

Kedua tangan Dean sekarang mencengkram bahuku. "Ingat, aku tidak menerima penolakan."

Kembali terlihat senyuman sinisnya yang membuat banyak wanita bertekuk lutut. Namun sayang senyuman itu tidak berpengaruh kepadaku.

"Maaf Dean, aku tidak bisa. Aku ... aku," perkataanku terhenti saat aku mengingat kembali trauma itu. Rasa takut itu kembali muncul, sampai aku sengaja menutup kedua mata ini agar bayang-bayang itu hilang.

"Tolong jangan jawab terlalu cepat. Aku akan memberikanmu waktu untuk berpikir."

Dia menarik tubuhku kedalam pelukannya. Kepalaku dibenamkan dalam dekapannya. Suara degup jatung Dean sangat berirama. Memberikan ketenangan bagiku. Dia menghadiahkanku banyak kecupan hangat pada kening. Hingga tiba-tiba suara dobrakan pintu membuat aku dan Dean terkejut.

"LEPASKAN WANITAKU!!!"

"BEN...."

Aku sangat kaget melihat Ben dengan beberapa pengawalnya sudah ada di dalam flatku. Dari mata Ben, aku bisa melihat kemarahan yang sangat menakutkan.

Ketika Dean mendatanginya, Ben langsung mendorong tubuh Dean hingga terjatuh ke lantai.

"DEAN...."

Ada apa sebenarnya ini? Kenapa mereka bisa ribut di dalam sini?

Dean bangkit dan memberikan sebuah pukulan tepat mengenai wajah Ben. Ben kehilangan keseimbangan, hingga tubuh Ben membentur tubuh Gery yang berdiri di belakangnya.

Melihat keributan ini semakin menjadi, Gery berusaha memisahkan keduanya.

"CUKUP!!" teriakanku berhasil menghentikan keributan ini.

"JANGAN RIBUT DI SINI!!! TOLONG KALIAN KELUAR DARI FLATKU SEKARANG!!"

Keberanian dari mana yang aku punya hingga bisa berteriak kepada dua pria itu. kami semua sama-sama terdiam. Dengan napasku yang tidak beraturan, dan tubuhku yang lemas, Ben menarik tanganku cepat.

Tapi untungnya, dari sisa-sisa tenaga, aku bisa menepis tangannya dari tanganku.

"LEPASKAN AKU BEN. AKU BUKAN WANITAMU!!"

Rasa sesak di hatiku keluar begitu saja saat aku melontarkan kalimat itu kepada Ben. Tetesan air mataku tidak dapat kubendung lagi hingga dengan seenaknya mengalir indah di atas pipi ini.

Kututup wajahku dengan kedua tangan ketika tatapan Ben dan Dean semakin mengusikku. Jujur saja aku malu, kenapa aku malah menangis dikondisi seperti ini?

Akan tetapi meskipun rasa malu sedang kurasakan, mulutku kembali mengatakan kalimat tadi. Kalimat yang semakin menyakiti hatiku. "Aku bukan wanitamu...."

Aku sengaja menatap mereka secara bergantian, seolah memberikan jawaban atas perlakuan gila Ben yang tiba-tiba datang ke tempat ini, sekaligus memberikan jawaban atas lamaran yang Dean katakan tadi.

Continue.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro