Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 5. Her Pain

Vote & Komen

****

With blood shot eyes, I watch you sleeping

(Dengan mata merah, kupandangi dirimu yang terlelap)

The warmth I feel beside me is slowly fading

(Kehangatan yang kurasakan di sisiku perlahan menghilang)

Would she hear me, if I called her name?

(Akankah dia mendengarku, jika kupanggil namanya?)

Would she hold me, if she knew my shame?

(Akankah dia mendekapku, jika dia tahu aibku?)

There's always something different going wrong

(Selalu saja ada yang salah)

The path I walk is in the wrong direction

(Jalan yang kutempuh menuju ke arah yang salah)

There's always someone f***ing hanging on

(Selalu saja ada seseorang yang (memintaku) bertahan)

Can anybody help me makes things better?

(Adakah seseorang yang bisa membantuku memperbaiki segalanya?)

_ Tears Don't Fall | Bullet for My Valentine_

Antonio Benedict

Suasana romantis malam tadi sudah beralih menjadi pagi yang ceria. Aku melirik ke sekitar dan melihat keindahan yakni malaikatku yang masih terlelap dalam tidur manisnya.

Menatap wajahnya yang cantik, tanganku sengaja menyelipkan rambutnya ke samping telinganya. Aku menyebutnya bidadari. Dan aku benar-benar menyadari jika kini posisiku bukan lagi butuh karena gairah, melainkan karena cinta. Ya, cinta yang terasa begitu manis dan sangat melekat di hati ini. Membuat kerja jantungku meningkat saat aku bersama dengan orang yang cintai.

Salahkah aku membawanya dalam hidupku? Aku hanya ingin dia selalu di sisiku. Dibawah lenganku untuk selalu kulindungi. Dan mendekapnya mendekat ke arah tulang rusukku.

Mungkin ini jawabanku selama ini. Beribu wanita sudah kujelajahi, tapi baru kali ini aku terperangkap seperti ini.

Sekarang aku telah yakin, dialah orangnya. Wanita yang akan mengandung benihku. Wanita yang akan kujaga sepanjang hidupku. Wanita yang menjadi pusat perhatianku. Dan tentu saja wanita yang sangat bisa memuaskanku di ranjang.

Sekilas kukecup keningnya. Menghantarkan perasaan aneh yang kusebut cinta. Sengaja tak ingin memberitahunya bahwa aku mencintainya. Biarkan ini berjalan seperti apa adanya. Aku ingin dia merasakannya sendiri.

Kutarik selimut tipis yang menutupi tubuh polosnya. Pagi ini aku harus bersiap ke salah satu hotel milik keluargaku. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan agar waktuku bersamanya bisa lebih banyak.

Saat telah siap untuk pergi, kuperintahkan Gery untuk selalu menjaga Alena. Dan memberi ekstra penjagaan pada apartementku.

Kenapa aku terlihat begitu posessive? Semua sudah jelas adanya. Aku tidak ingin milikku direbut oleh orang lain.

Lucu rasanya melihat tingkahku kini. Dulu aku sangat tidak suka jika pria tua bangka itu, ayah, bersikap seperti ini kepada ibu. Dan ternyata sekarang aku melakukannya.

Teringat kenangan dulu ketika ayah pernah menceritakannya padaku, seberapa besar sifat possesifnya pada ibu. Dan faktanya kini sifat itu menurun kepadaku.

Terseyum-senyum penuh arti saat mengingat cerita itu, aku rasanya bisa membayangkan bagaimana percakapan mereka berdua pada saat itu terjadi.

"Kamu kenapa seperti ini? Aku tidak perlu kamu jaga dengan ribuan pengawalmu," rengek Liza.

"Aku hanya menjaga apa yang sudah jadi milikku."

Luiz mendekap erat tubuh Liza. Hingga wanita itu bisa merasakan embusan napas Luiz pada telinganya.

"Baby, dont tease me," rengek Liza

"Kamu tahu, jika seperti ini aku tidak yakin kamu bisa memberikanku anak yang kuat. Yang bisa menjadi penerusku."

"Jangan begitu yakin, sir. Kamu tidak akan tahu masa depan anakmu seperti apa kelak." Liza mengusap dada bidang suami nya. "Aku bahkan tidak pernah bermimpi bisa bersamamu dengan semua yang telah terjadi di antara kita."

"Please, jangan ingatkan aku pada dia!!" Bentak Luiz.

"Tapi harusnya kamu berjiwa besar, kamu sudah kalah dalam perjanjian itu. Dan seharusnya aku tidak berada dalam pelukkanmu. Melainkan berada dalam pelukkannya," goda Liza

"Kamu membuatku marah manis."

Segelintir cerita itu masih terekam jelas dalam pikiranku. Bagaimana kondisi ayah yang rela melakukan apa saja demi melindungi wanita yang dia cintai. Jujur saja sampai detik ini aku tidak pernah tahu seperti apa rasanya berada dalam pelukkan seorang ibu.

Ibuku bunuh diri sehari sehabis melahirkan aku. Ibuku berpikir jika dia pergi dari dunia ini, maka perjanjian itu akan selesai. Tetapi kenyataannya tidak, perjanjian ini semakin rumit dan membuatku ikut tenggelam bersamanya sampai saat ini.

"Tuan. Mobil telah siap."

***

Seharian ini aku hanya berkutik dengan banyak pekerjaan dan orang-orang yang menggunakan seribu topeng untuk menjilatku.

Cuih, apa begitu rendahnya mereka. Menjilatku hanya ingin mendapatkan tahta yang begitu tinggi sehingga semua orang memandangnya kagum. Oh, ayolah. Zaman sudah berubah, apa hanya dengan kedudukan dan harta yang melimpah baru kamu bisa mendapatkan segalanya?

Suara ketukan pintu dari Gery, membuat fokusku langsung tertuju pada arah datangnya pintu masuk. Aku mengerutkan kening sambil mendengar Gery bersuara.

"Tuan, saya mengingatkan nanti malam ada pesta pemegang saham," ucap Gery mengingatkanku.

"Iya, terima kasih," jawabku sembari merilekskan tubuh ini.

Aku sejenak melihat ke arah jendela, dimana hari mulai beranjak sore. Dan beberapa kendaraan di jalan semakin banyak bergerak mengantarkan orang-orang pada tujuan mereka.

Hum, mungkin sekarang aku harus pulang dan merilekskan tubuh serta pikiranku. Sepertinya sedikit bercinta sebentar dengannya bisa mengisi energiku kembali.

Tidak ingin menghabiskan banyak waktu hanya dalam lamunan, aku segera beranjak kembali ke apartemenku. Dan selama perjalanan menuju apartemen, aku memilih tuk beristirahat.

Jelas, bertemu dengan Alena membuatku wajib mengisi full tenagaku lebih dulu. Karena bersamanya, energiku akan terkuras habis dalam kenikmatan yang tiada bisa kugambarkan dengan kata-kata.

Saat tiba di apartement, kulihat dia sedang duduk di atas sofa. Dengan semangkuk sup buah segar di atas pahanya yang mulus. Dia tidak sadar dengan kehadiranku, karena matanya sedang fokus menatap tv yang menyiarkan berita.

Kudekati dia dan duduk di sampingnya. "Kamu suka nonton berita ternyata," godaku padanya.

"Ah? Kamu sudah pulang? Cepat sekali," serunya sambil melihat ke arah jam besar di sudut ruangan ini.

Tidak merespon apapun, hanya menatapnya sambil menunjukkan senyuman jahil di wajahku ini, bisa kurasakan Alena salah tingkah.

"Kamu mau ini?" Dia menyodorkan sup buah kepadaku.

Segera aku menggelengkan. "Tidak buat kamu saja."

"Lalu ... kenapa menatapku seperti itu?"

"Hm. Hanya ingin melihatmu secara jelas. Ternyata kamu cukup cantik!"

"Hanya cukup?"

"Kamu mau aku berkata seperti apa?"

"Keterlaluan kamu, Ben!"

"Hahaha. Cepat sekali merajuk."

Kulihat dia mengerucutkan bibirnya, sampai rasanya aku tidak tahan untuk menahan ciuman ini.

Tetapi Alena bersikap menyebalkan. Saat aku memajukan tubuh, ingin menciumnya, dia segera menghindar. Membuatku merasa malu sendiri. Aku tersenyum lebar, menatapnya yang benar-benar sudah berjarak dari posisiku saat ini.

"Baiklah ... malam ini temani aku," kataku sengaja mengajaknya untuk pergi bersamaku malam ini.

"Temani? Ke mana?" Dia meletakkan sup buahnya di atas meja kecil.

Karena tahu dia mulai penasaran, tanganku kembali berusaha. Aku menarik tubuhnya, mendekat padaku lagi. Sambil menciumi bagian bahunya, aku sadar Alena tengah menatapku.

"Seperti biasa. Ke pesta membosankan. Menggantikan tua bangka itu yang belum kunjung pulang," jelasku pada Alena.

Saat mengangkat pandangan ini, aku melihat Alena merespon dengan sebelah alisnya.

"Tua bangka?" Tanya Alena bingung.

"Ayahku," jawabku

Dia tertawa memegangi perutnya. Kenapa dia tertawa? Memang ada yang lucu?

"Jangan tertawa. Atau kubungkam mulutmu dengan milikku." Aku percaya kini senyum jahat mengisi wajah tampanku.

"Eoh? Jika tidak keberatan aku mau."

Wanita ini benar-benar menggodaku. Aku sangat tahu dia begitu menyukai juniorku. Tapi melihat wajahnya memerah seperti ini, aku sungguh tidak sabar untuk menyerangnya.

Kutarik tubuhnya ke atas tubuhku yang sudah terbaring. Alena tersenyum sembari mendekatkan bibirnya padaku. Lalu sebuah kecupan ringan mendarat di bibirku. Karena merasa tidak puas, lalu kupegang tengkuknya dengan tangan kananku dan mulai mengisap bibir sexy nya.

Sungguh aku sudah tergila-gila dengan sentuhannya. Terutama bibir manisnya ini. Dia mendorong kepalaku, agar mendapat pasokan udara untuk dia bernapas.

Dadanya yang naik turun karena gairah membuatku semakin semangat. Aku langsung mengangkat kemeja putih yang Alena pakai, sebagai pengganti bajunya.

Shit... dia tidak pakai celana.

Seperti dapat membaca pikiranku, Alena memberikan penjelasan atas celananya. "Celana dalamku sudah kotor. Dan aku tidak bawa ganti. Jadi aku ..."

Perkataannya terhenti saat ku tarik pinggulnya mendekat ke arah wajahku. Tanpa basa basi, kuisap bagian sensitifnya yang telah basah. Sengaja aku gigit-gigit kecil bibir kemaluannya. Terasa sangat kenyal dan manis.

Dia mendesah hebat saat lidahku sudah menyentuh klitorisnya. Memilin pelan lalu menghisapnya. Tubuhnya bergelinjang hebat di atas wajahku.

"Oohh, Ben..." desah Alena.

Perlahan lidahku masuk ke dalam lubang intimnya. Terasa basah dan hangat. Ketika aku mulai memutar sedikit lidahku, Alena mendesah semakin hebat.

"Aarrrrgghh... Ben."

Aku yakin wajahnya saat ini pasti sangat merah karena merasakan sentuhanku pada daerah sensitifnya.

Tak begitu lama lidahku bermain di sana. Keluarlah cairan cinta itu, menandakan dia sudah orgasme yang pertama. Segera kubersihkan semua area kewanitaannya dengan lidahku.

"Ehemm...."

Suara dehaman dari seseorang berhasil menghentikan aktivitasku. Pergerakan Alena yang terburu-buru turun dari atas tubuhku sambil menarik ke bawah kemeja yang ia pakai, membuatku penasaran siapa yang berani mengganggu kegilaan kami?

Aku melirik ke arah asal suara dengan tatapan tidak bersahabat.

"Sudah selesai aksimu?"

Pria tua bangka itu sudah duduk di sofa, dekat tempatku dan Alena berada kini. Sejak kapan dia di sini? Apa dia melihat wajah sexy Alena. Sial.

"Cepat kamu bersiap. Kita akan pergi bersama," katanya dingin.

Bersama? Memangnya dia tidak bisa pergi sendiri saja ke sana? Batinku menolak dengan kuat.

"Jika kamu sudah pulang, buat apa aku pergi?"

"Kita akan selesaikan perjanjian sialan itu. Itu kan yang kamu mau?"

Alena hanya menunduk di sampingku. Mungkin dia merasa malu atas perbuatanku dan dia tadi. Tapi apakah dia tidak penasaran mendengar percakapanku dengan pria tua bangka sialan ini?

"Jangan bergerak lambat, Ben. Jika kamu ingin menang."

Ingin menang? Maksudnya? Soal perjanjian pria ini atau soal yang lain?

Saat aku masih diam, membungkam, tua bangka sialan ini mengalihkan tatapannya ke arah Alena. Sambil menatap wanitaku dari atas sampai bawah, aku menyadari sesuatu buruk sedang ia rencanakan dalam pikirannya.

"Hai wanita cantik. Cepat ganti pakaianmu. Kamu harus ikut kami!"

Perintah itu dia berikan sebelum keluar dari apartemen ini. Alena melirikku dengan ekspresi bingung.

"Bersiaplah, aku akan meminta Gery untuk memberikan semua yang kamu butuhkan."

***

2 jam sudah aku menunggu Alena yang tengah sibuk dengan beberapa wanita yang sudah diperintah oleh ayah untuk mendandaninya

Dan lihatlah sekarang, dia berdiri dengan anggunnya menggunakan gaun hitam panjang. Belahan panjang pada kedua kakinya menarik perhatianku cukup besar. Sangat cantik dan anggun. Bagian depan gaun itu memang tertutup rapat, karena aku tidak akan mengizinkan pria lain menatap wanitaku. Ditambah sepasang heels pada kaki jenjangnya, membuat dia semakin terlihat sempurna.

Tapi satu yang luput dari pengawasanku, gaun belakang itu terlalu terbuka. Hingga punggung Alena terekspose sangat jelas.

"Why?"

"Jangan jauh dariku. Aku tidak ingin ada pria lapar yang mendekatimu."

Dia hanya tertawa mendengar perkataanku. Segera kurangkul pinggangnya dan berjalan beriringan masuk ke dalam mobil yang akan membawaku ke sana. Semoga saja aku bisa melindungi wanitaku di tempat umum yang penuh dengan pria-pria gila.

***

Baru saja sampai di tempat acara pertemuan bisnis malam ini, beberapa partner bisnisku langsung menatap tajam ke arah datangnya kami, aku dan Alena. Tak jauh dari kami, pria tua bangka itu, sebut saja ayahku, berjalan dengan gagahnya dan langsung disambut oleh para sahabat yang sibuk mencari muka ke sana sini.

Tidak perlu aku perjelas mengapa banyak sekali orang yang mencari muka dengan ayahku. Karena mereka jelas menginginkan kekuasaan yang ayahku miliki. Tidak hanya dari sektor bisnis, melainkan juga dari sisi kekuasaan wilayah. Bukan bermaksud pamer atau merasa paling hebat, tetapi kekuasaan wilayah yang dimiliki oleh keluargaku memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Maka dari itu terkadang orang sudah takut lebih dulu saat berhadapan dengan keluargaku. Terkecuali keluarga gila itu.

"Aku gugup. Ini bukan kalanganku," bisik Alena kepadaku. Wajahnya memang terlihat sangat gugup. Tapi menurutku sangat wajar. Dia baru pertama kali bergabung, tapi sambutan dari orang-orang yang berada di sini adalah dengan cara menatapnya seakan sedang menelanjangi Alena.

"Kamu harus terbiasa," jawabku santai.

Dari kejauhan salah satu rekan bisnisku mulai mendekat. Dari senyumannya dapat kuartikan jika dia begitu napsu melihat Alena.

"Wow. Ben, who's girl?"

"My fiance."

"Haha, you liar, Ben. I meet your fiance tonight, she come with her father."

"You mean, Delia? No. She's not."

"BEN..."

Mengeluarkan suara begitu kencang, wanita sialan ini berhasil menarik perhatian orang banyak. Padahal baru kami bicarakan, dia sudah memanggil namaku dan langsung memisahkan genggamanku dengan Alena.

Sedikit menghindar kulihat Alena menjauhi kami. Dia hanya tersenyum dan berbalik melihat ke arah lainnya.

"DELIA!!" Teriakanku pada wanita itu membuat semua orang semakin fokus kepada kami.

Ayah dan tuan Danniel ikut merespon. Kedua orang itu sibuk mencari tahu melalui tatapannya.

"Jangan membentakku, Ben."

"Why? Cepat bilang pada kakakmu, jika aku menyakitimu, LAGI!"

Aku kembali fokus melihat ke arah Alena, namun tatapan wanitaku itu tertuju pada satu fokus, dan berhasil membuat wajahnya pucat. Segera kuikuti pandangannya dan tepat terhenti pandangan itu ke arah ayah dan tuan Danniel.

Tangan Alena terlihat gemetar sambil ia berusaha menggapai diriku. Namun karena diriku terbatasi oleh tubuh Delia, Alena hampir saja jatuh ke lantai.

Untung saja, sebelum tubuhnya menyentuh lantai, seorang pria menangkap tubuh Alena. Pria tersebut memeluk Alena dalam pelukannya. Mengusap pipi Alena dengan lembut.

"Kamu tidak apa-apa, honey?"

Honey?

Siapa dia?

Continue...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro