Part 3. I'm okay
Masih edisi revisi. Tolong disupport yaa.
***
Alena Adonia
Antonio Benedict
Mataku masih sulit untuk terbuka, sakit di kepalaku masih terasa. Apa mungkin saat ini aku telah mati dan akan bertemu dengan ibu? Yang terakhir aku ingat hanya tatapan wajah menyebalkan itu. Lalu apa mungkin dia yang menyebabkan aku seperti ini?
Belum sepenuhnya sadar, aku merasakan sebuah tangan mungil mengusap-usap punggung tanganku dengan lembut. Tunggu dulu. Sapa yang berani melakukan hal ini?
Apa wanita itu?
Karena terlalu ribut dalam batinku, perlahan mata ini sedikit terbuka. Cahaya matahari yang menyilaukan membuatku menyipitkan mata. Kuperhatikan dengan seksama siapa yang berani menyentuhku saat ini.
"Tuan sudah bangun?" suara lembutnya berhasil menarik perhatianku.
Dia terlihat begitu kusut, rambutnya yang panjang dikuncir asal. Dan lihat pakaiannya, dia menggunakan kemeja hitamku hingga menutupi separuh pahanya.
Parahnya lagi, dia tidak menggunakan celana. Hanya pakaian dalam berbentuk bikini saja yang menutupi bagian sensititnya.
Benar-benar menyebalkan. Dia berhasil membuatku naik darah! Bagaimana bisa dia berpakaian sesantai ini dimana banyak sekali anak buahku berada.
"Tuan mau minum?"
"Ehm...."
Dia membantuku. Mengubah posisi dari berbaring menjadi duduk, bersandar pada kepala ranjang.
Aku menatap ke sekitar. Semua barang-barang dan keadaan sekitarku sangat amat aku kenali. Posisiku yang masih berada di rumah membuatku sadar, jika tidak ada yang berani membawa aku ke rumah sakit. Mempunyai phobia dengan rumah sakit, semua orang, bahkan sampai pekerja yang baru di rumahku ini harus tahu aku tidak suka dibawa ke rumah sakit.
Sambil memerhatikan setiap gerakannya, wanita ini memberikan segelas air putih dalam gelas kaca kepadaku. Tanpa pikir panjang, aku habiskan hingga tandas akibat dehidrasi yang kurasakan saat ini.
Mengembalikan gelas kaca itu ke tangannya, aku melihat dia begitu khawatir atas keadaanku saat ini.
"Apa Tuan sudah lebih baik? Tadi Gery sudah meminta dokter pribadi Tuan untuk memeriksa semuanya," ucapnya penuh kekhawatiran.
Gery? Wait ... di mana dia sekarang?
"Di mana Gery?"
"Aku tidak tahu di mana dia sekarang. Yang tadi dia sampaikan ketika membawa Tuan kembali, Gery memintaku untuk menjaga Tuan di sini. Hanya itu saja pesannya. Apakah ada yang salah dari perintah yang Gery berikan?" tanya Alena begitu polos.
Aku menggeleng cepat, segera kuraih ponsel yang terletak di nakas. Beberapa nomor aku tekan, hingga akhirnya dia menjawab panggilanku.
"Apa yang kamu lakukan?"
"Kami sedang di markas, Tuan. Ada beberapa anak buah musuh kita yang harus saya urus."
"Di markas? Apa mereka menyerang kita lagi?"
"Tidak, Tuan. Kami hanya membereskan sisa-sisa keributan yang sebelumnya terjadi."
"Baiklah! Cari tahu di mana keberadaan Dean?"
"Baik, Tuan."
"Dan satu lagi, cari di mana ayahku bersembunyi!" Memberikan perintah tak terbantahkan, aku tahu Gery akan segera memberikan kabar baik setelah menerima perintah dariku. Dia adalah anak buah atau orang kepercayaanku yang tidak mungkin memberikan kekecewaan.
"Baik, Tuan! Akan segera kami informasikan."
Emosiku kembali meningkat ketika mengingat kebodohan ayahku yang memilih kabur ketika ada masalah seperti ini.
Selesai aku memerintahkan segala hal kepada Gery, wanita ini masih saja menatapku dengan begitu penasaran. Kedua alisnya beradu, seakan tengah memahami kata-kata yang aku ucapkan kepada Gery.
"Ada apa?" Tanyaku risih diperhatikan seperti itu.
"Apa benar Tuan tidak apa-apa?" Dia mengulurkan tangannya ke arah kepalaku yang sudah dibalut perban. Dengan refleks aku menepisnya.
"Menjauh dariku!"
"Maaf, Tuan."
Aku lihat dia menunduk dan kini suara isakan terdengar dari mulutnya.
Terkutuk kamu, Ben. Membuat seorang wanita menangis. Akan tetapi mengapa dia bisa menangis seperti ini? Apa karena dia terkejut setelah mendengar bentakan dariku? Ataukah ada hal lain yang menyebabkan dia menangis?
"Hey, why you cry?" Suaraku sedikit melembut agar wanita ini berhenti menangis.
"Aku ... aku ... aku sangat takut, Tuan."
Dengan jelas aku bisa melihat tubuhnya bergetar. Kepalanya tertunduk. Sampai akhirnya kucoba untuk menyentuh dagunya. Agar tatapan kami saling bertemu.
Matanya mengeluarkan banyak air mata, hidungnya memerah, dan bibirnya yang pink, membuatnya terlihat sangat manis.
"Stop crying! I'm okay."
"Are you sure?"
"Yap! I'm okay. Jika kamu takut setelah melihat luka di kepala ini, aku minta maaf. Tapi mungkin kedepannya kamu akan melihat luka lebih besar dari pada ini." Aku ucapkan dengan sangat jelas kepadanya. Setidaknya dia harus bersiap melihatku berdarah-darah saat kembali pulang setelah melawan keluarga gila itu.
"Apa akan ada luka lagi nantinya?"
"Berdoa saja tidak. Sudahlah, jangan menangis. Aku tidak apa-apa."
Dia menatapku dengan sangat tidak yakin. Karena itu, demi meyakinkannya bila aku tidak apa-apa, aku tarik wajahnya mendekat. Kucoba mengecup bibirnya selembut mungkin. Berharap dengan ciuman ini dia jauh lebih tenang.
Namun bodohnya hal yang tidak kupikirkan terjadi. Dia membalasnya dengan lumatan rakus. Bibir atas dan bawahku, dia gigit secara bergantian. Tangannya sibuk menyentuh dadaku, dan telunjuknya berusaha masuk ke dalan kemeja yang kukenakan.
Hahaha, karena dia yang memulainya, aku menikmatinya. Sengaja kutarik tangannya, kemudian aku letakkan di atas milikku.
Tanpa melepaskan ciuman kami, tangannya mulai bekerja. Mengusap, dan mengusap sesuai irama.
"Tuan Ben. Oh maaf...."
Gery yang masuk dengan tiba-tiba ke dalam kamar membuatku menghentikan kegiatan menyenangkan ini.
Shit!!
"ADA APA HAH?" Teriakanku mengagetkan Gery yang masih berdiri di pintu.
"Saya sudah tahu di mana tuan besar berada, dia sedang ada di Macau meninjau cassino yang berada di sana. Dan untuk Dean dia berada di Texas."
Macau, untuk apa ayah berada di sana?
"Kamu tahu untuk apa ayah di Macau?"
"Menurut info, tuan besar sedang mengadakan transaksi besar dengan seseorang di Macau."
Aneh. Transaksi besar apa yang ayah lakukan sampai dia rela terbang ke Macau? Bahkan mengapa waktunya tepat sekali. Tepat ketika keluarga gila itu datang menyerang.
"Baiklah, kamu boleh pergi. Dan satu hal lagi. Biasakan mengetuk pintu dahulu sebelum masuk!!"
Kekehan kecil keluar dari mulut wanita ini. Entah apa yang dia tertawa kan. Sambil menggerakan kedua alis, aku mulai mempertanyakan kepada Alena, memangnya ada yang lucu di sini?
Namun dari jawabannya, dia menutup mulutnya sambil tertawa lagi. Mengedipkan kedua matanya ke arahku.
Aneh...
"Kamu sangat lucu Tuan. Wajahmu seperti anak kecil yang kepergok pacaran oleh ayahnya."
Aku? Seperti anak kecil? Jadi dia menertawakan ini dari tadi. Apa wajahku begitu aneh.
"Stop panggilku Tuan, just call me, Ben," sahutku sambil berusaha mengalihkan pembicaraan.
Bibirnya mengerucut dan kepala mengangguk-angguk tanda dia paham dengan apa yang aku katakan.
Namun yang tidak kuprediksi, tangan Alena terulur kepadaku. Apa mungkin dia berusaha mengajakku untuk berkenalan secara resmi?
"Aku Alena Adonia, just call me, Ale. Kamu tahu apa arti nama ku dalam bahasa Yunani?"
Terlalu banyak bicara! Apa dia sudah begitu nyaman berada di dekatku?
Menunggu respon dariku yang tidak kunjung hadir, Alena menjawab sendiri pertanyaan yang sebelumnya dia tanyakan kepadaku.
"Ah ... kamu pasti tidak tahu. Artinya kecantikan yang cemerlang. Ibuku ingin aku menjadi wanita yang sangat cantik. Dan lihat aku sekarang, aku sangat cantik, kan?"
Ternyata kepercayaan dirinya juga tinggi. Benar-benar tidak terlihat saat pertama kali kami bertemu.
"Kalau kamu? Apa arti namamu?" Tanya Alena antusias.
"Tidak ada. Apalah arti sebuah nama, jika kenyataannya orang tersebut tidak bisa menjaganya."
"Oh? Maksudnya? Kamu menyindirku?" Dia melipat tangannya di dadanya. Seperti ingin menantangku
"Kamu merasa tersindir? Padahal aku tidak ingin menyindir. Karena aku bukan pria yang suka menyindir. To the point is better away."
"Tapi dari nada suara itu, kamu menyindirku!"
"Jangan terlalu menggunakan perasaan," balasku malas. Kubaringkan kembali tubuh ini. Kepalaku masih begitu sakit, mungkin butuh beberapa jam lagi untuk istirahat.
"Istirahatlah, Ben. Aku akan di sini menemanimu."
***
"BEN ...."
"BEN ...."
Oh, Shit! Siapa yang berani membangunkanku? Dengan kondisi kepala yang masih terasa sakit, perlahan aku mencoba membuka kedua mata ini. Lalu yang tidak kusangka sedikitpun, tepat di sampingku ada dia. Wanita iblis yang tidak sedikitpun ingin kutemui lagi.
"SIAPA YANG BERANI MELAKUKAN INI PADAMU?" Suara gadis itu masih menggunakan volume yang sama. Membuat sakit di telinga.
Tubuh kecil yang tidur di sebelahku bergerak karena terganggu oleh suara itu. Alena melihat wanita yang tidak henti-hentinya berteriak. Dari ekspresinya jelas sekali menunjukkan kebingungan. Karena pastinya dia tidak mengenal wanita yang nyatanya masih bebas saja berkeliaran di tempat ini.
"GERY!!!"
"GERY!!!"
Asisten dan juga merupakan pengawal pribadiku itu, Gery, langsung datang ketika aku memanggilnya. Tanpa perlu instruksi apapun, Gery paham aku tidak suka terlalu dekat dengan wanita ini.
"GERY! LEPAS!!!"
"Maaf Nona, tuan Ben ingin istirahat."
"GERY. AKU INI TUNANGANNYA!!!" teriak wanita itu pada Gery.
Tunangan? Apakah status itu masih berlaku? Apa dia tidak sadar, status tersebut hanya keinginan dia semata?
"Delia! Tolong keluar dari sini. Suaramu membuatku gila!!" bentakku kepadanya.
"Tapi, Ben! Aku datang ke sini karena khawatir padamu. Tapi kenapa kamu ...."
Belum selesai dia berkata-kata, aku sengaja melangkah masuk ke dalam toilet. Tidak peduli apapun yang ingin dia katakan, yang jelas sebisa mungkin aku berusaha menghindari perdebatan ini.
Sedikit membasuh wajahku dengan air, berharap pusing di kepala ini segera hilang. Tapi nyatanya tidak semudah itu. Karena pukulan itu, dan teriakan dari Delia, membuat rasa pusing ini semakin menjadi.
"KAMU SIAPA? KENAPA BISA ADA DI SINI?"
Suara itu tidak berhenti. Walau sudah kutinggal pergi, tetap saja Delia, wanita menyebalkan ini tidak mau bergerak dari posisinya.
"Saya ... saya ...."
Mencoba menghentikan perdebatan yang terjadi, aku segera keluar dari toilet dan menatap Delia dengan tajam. "Dia wanitaku," jawabku setelah selesai mencuci muka.
"Are you sure, Ben? But, why? Kenapa kamu masih sibuk bermain dengan banyak wanita, Ben? Bukankah kita akan segera menikah? Tapi kenapa? Kenapa sikapmu tidak berubah."
Dengan kedua mata berkaca-kaca, aku tahu sekali Delia saat ini sedang memulai aktingnya kembali. Terlalu sering melihat aktingnya yang sedikitpun tidak berkelas, sangat membuatku malas.
Tidak ingin melihat semua ini terlalu lama, aku mulai memberikan instruksi kepada Gery, agar membawa wanita ini keluar dari kamar.
"Arggghh, Ben...." Delia ditarik paksa oleh Gery agar keluar dari kamarku. Walau wanita itu merontah dan menolak pemaksaan ini, tetap saja Gery berhasil membawanya keluar.
Apa perlu aku memberikannya tambahan gaji?
"Ada apa?" Kudekati Alena yang terdiam.
"Tidak apa-apa, Tuan."
"Serius. Ada apa? Apa kamu merasa terganggu dengan kedatangannya?"
Terlihat menarik napas, Alena masih mencoba tersenyum padaku. "Apa sebaiknya saya pulang Tuan?"
Tatapan dari manik mata Alena sulit sekali aku artikan. Gerakan dia yang mulai turun dari ranjang membuatku harus menghentikannya.
"Tidak, kamu tetap di sini. Jangan pikirkan wanita itu!" Anggap saja ini sebuah perintah.
"Tapi saya tidak enak, Tuan. Saya mendengar bila dia adalah tunangan anda. Lalu apa tidak terjadi masalah kedepannya, jika saya tetap di sini?"
"Kenapa harus merasa tidak enak? Apa ada yang salah dari perintahku tadi? Ah, jangan bilang kamu takut karena dia mengaku sebagai tunanganku?" Tanyaku padanya.
Sekarang dia diam seribu bahasa. Benar berarti pikiranku. Alena memikirkan perkataan Delia.
Tidak ingin memperpanjang pembahasan yang tidak berguna ini, segera kutarik tangan Alena keluar dari kamar menuju dapur. Setelah tertidur cukup lama, rasanya perutku butuh diisi. Dan aku harap dia bisa menyajikan satu makanan enak untukku. Aku yakin dia cukup terampil. Tidak hanya diranjang, namun di dapur juga.
Sengaja tidak memperdulikan tatapan Delia, aku terus saja membawa Alena menuju ke dapur. Jujur saja, aku tidak peduli jika Delia mau semarah apapun padaku. Karena aku tidak merasa mengundangnya ke sini.
"Masakkan sesuatu untukku," pintaku pada Alena.
Meskipun diawal, Alena terlihat bingung. Namun segera dia bergerak, melakukan sesuai perintahku. Melihat isi lemari es, mengambil semua bahan makanan yang bisa dia olah untukku.
Sibuk menatap kegiatan Alena, sebuah tangan menyentuh dahiku dengan lembut. Tanpa perlu menebaknya, aku yakin ini Delia.
"Ben, siapa yang melakukan ini padamu?" tanya Delia masih terlihat penasaran.
"Seharusnya kamu tidak perlu bertanya kepadaku," sahut ku kesal.
"Ayolah Ben, apa Dean yang melakukannya?"
Aku diam, dan membuang pandanganku ke arah lain. Batas kesabaranku sudah habis.
"Apa dia melakukan ini karena balas dendam? Ben ... tatap aku! Apa aku tidak cantik lagi?"
Tak ada satu katapun yang keluar dari mulutku. Aku sangat malas mendengar perkataannya. Selalu saja seperti ini, memojokkanku dengan kesalahan yang pernah aku buat.
Andai saja waktu dapat diulang, aku tidak ingin dekat dengan siluman rubah ini.
Tak sengaja manik mataku menangkap tatapan sendu Alena yang tertuju ke arah kami, aku dan Delia di sini. Sudut bibirnya berusaha tertarik, saat dia mengetahui jika aku menatapnya.
Ada apa dengan ekspresinya itu?
Continue.
Semangat revisinya. Dan terima kasih buat kalian yg udah mampir, baca cerita ini. Tolong bantu koreksi jika masih ada kesalahan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro