15. Mengenalmu
.
.
.
.
.
.
Maaf menunggu lama ...
.
.
.
.
.
.
.
.
Sampai di kamar, Naruto menjumpai Sasuke yang kesusahan menenagkan tangis Orion yang mulai merindukan ibunya. Naruto meangkah masuk, mengambilnya dari sang ayah, lalu menenagkan si bayi dengan lembut.
"Kalau dia rewel, kenapa tidak memanggilku?" tanya Naruto.
"Karena aku tidak akan semudah itu mengaku kalah padamu," jawab Sasuke, penuh percaya diri.
Naruto hanya mendesah lesu mendapati tingkah Sasuke yang selalu meposisikan diri mereka sebagai rival. Ayah satu ini sungguh membuat gatal mulut. Kalau tidak karena Orio butuh ketenangan, Naruto dengan senang hati meberikan wajengan pada Sasuke tentang tingkahnya yang kekanakan.
Malam semakin larut. Naruto yang tidur di ranjang sambil menyusi, menyanyikan lagu tidur untuk anaknya. Sasuke yang sedang bersantai di sofa pun merasa damai saat mendengarnya. Mengambil beberapa bir dari dalam kulkas dan menikmatinya.
Setelah beberapa lama Orion tertidur. Naruto beranjak perlahan agar tidak membangunkannya lagi, menyelimuti dan mengecup keningnya perlahan. Naruto bergerak menuju kulkas, mengambil botol jus jeruk dan gelas, menemui Sasuke untuk menemaninya minum.
"Telfon dia," bujuk Naruto, yang mengira Sasuke merindukan Naruko. Menuang satu cangkir jus dalam gelas, lalu memiumnya.
Sasuke yang melihat Naruto bersedia menemaninya minum, merasa sedikit terharu, hingga mulai membuka hatinya.
"Aku sungguh mencintainya apa adanya. Bahkan setelah dia berubah seperti sekarang, aku akan tetap mencintainya." Sasuke meneguk satu gelas kecil minumannya dengan kasar setelah megatakannya.
"Sejak kapan kau mencintainya?" tanya Naruto penasaran.
"SMA," jawab Sasuke santai.
"Benarkah?" Naruto mengira Sasuke akan mengatakan bahwa dirinya jatuh cinta pada pandangan pertama saat Naruko masuk ke perusahaan. Namun ia tidak menyangka, cinta Sasuke pada Naruko dimulai bahkan sebelum ia mengenal si Bos.
"Iya. Aku mencintai Naruto sejak SMA." Sasuke tersenyum malu saat menegaskannya.
"Hahaha ... kau sudah mengidolakan Naru sejak SMA? Aku pikir anak itu sangat pemalu saat SMA. Benar juga istilah jodoh itu tidak ke mana. Tapi kalian bertemu di mana?" tanya Naruto, lebih penasaran lagi.
"Di sebuah pemberhentian bis. Aku baru pulang les, sedangkan Naruto baru puang kerja."
"Siapa yang sebenarnya kau bicarakan?" Kening Nauto berkerut heran. Naruko tidak pernah bekerja saat SMA. Bagaimana caranya mereka bisa bertemu sepulang kerja?
"Naruto. Dia adalah si pekerja keras. Narutoku," puja Sasuke.
Naruto sungguh tidak berani menebak, bahkan mengira-ngira siapa yang sedang Sasuke bicarakan. Walau hati kecilya sedang bersorak gembira karena terkaan yang tiba-tiba terbersit, bawa yang sebenarnnya dibicarakan oleh Sasuke benar-benar Naruto yang asli.
"Sasuke, siapa sebenarnya yang kau bicarakan?" Naruto mencoba membuktikan bahwa teorinya tidak benar.
"Tentu saja Naruto. Siapa lagi?"
.
.
.
.
.
.
.
.
****cup.chocochip****
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Lalu cerita Sasuke mulai mengalir tentang kejadian saat pertemuan pertamanya dengan Naruto.
"Aku bertemu denganya 11 tahun yang lalu. Kami masih kelas sembilan SMP. Setelah merayakan pesta kelulusan dengan teman-teman. Aku menunggu supirku sendirian di sebuah halte. Namun yang aku tunggu tak kunjung datang.
Sasuke muda duduk di kursi panjag pemberhetian bus tanpa bicara. Lamu putih panjang yang terang di atas menjadi saksi bisu bagi Naruto yang juga sedang menunggu kedatangan bus malam terakhir hari itu.
Naruto menghentakan kakinya berkali-kali saat duduk sambil mencengkram dompetnya rapat-rapat. Lalu menatap Sasuke dengan ragu-ragu, seolah ingin mengatakan sesuatu. Setelah pertimbangkan beberapa kali, akhirnya dia berani bersuara.
"Kau juga menunggu Bus?" tanya Naruto berbasa-basi.
Sasuke tidak bergeming, menoleh saja tidak. Masih mempertahankan posisi awalnya, duduk kaku memandang jalan di depannya, dengan wajah putih bersih, dan ekspresi yang sama sekali tidak berubah. Kalau Naruto tidak melihat embun dari napasnya, atau kakinya yang masih menapak di tanah, mungkin dia akan memilih kabur.
"Sepertinya tidak akan datang." Naruto yang tidak mendapat jawaban, akhirnya menjawabnya sendiri.
Naruto penasaran, laki-laki ini tampan sekali. Namun sama sekali tidak merespon kehadirannya. Entah kenapa ia menjadi semakin tertantang untuk membuatnya berbicara. Atau setidaknya melihat ke arahnya.
"Di mana rumahmu?" tanya Naruto.
Sasuke diam saja, merasa tidak perlu menjawab. Wanita di sampingnya sepertinya seumuran dengannya, dan sungguh sangat berisik dari tadi.
"Kau tidak perlu menjawab bila kau takut. Aku tahu, aku hanya orang asing bagimu."
'Kalau tahu, kenapa berisik sekali sejak tadi?' protes Sasuke dalam hati.
Karena sama sekali tidak menunjukan respon, akhirnya Naruto menyerah. Memilih diam di tepatnya. Setengah jam kemudian tanpa satu pun kendaraan yang melintas. Naruto menyadari ada kejanggalan.
"Aku kira aku akan jalan kaki saja. Mungkin ada kecalakaan di jalan hingga kendaraan tak dapat lewat. Apa rumahmu jauh?"
Lagi-lagi Sasuke hanya berpaling.
Naruto membuang napas sabar. Daerah ini cukup sepi saat malam. Tidak baik bagi mereka yang masih SMP untuk di temat ini sendiri, bahkan jika kau laki-laki.
"Kalau begitu aku duluan. Lebih baik kau juga pulang. Daerah ini sedikit rawan," nasihat Naruto, mengambil tasnya, lalu berdiri dari tempat duduk.
Melirik sedikit pada si pemuda, dan sama sekali tidak mendapat sambutan terhadap nasihat yang ia berikan, Naruto tidak peduli lagi. Ia beranjak, pergi untuk pulang berjalan kaki.
Seperginya wanita berisik, Sasuke merasa lega sekaligus takut. Sekarang dia sendirian di pinggiran jalan sepi yang bahkan satu kendaraan pun tidak terlihat melintas. Lalu dari arah barat lima berandalan muncul dengan bau menyengat alkohol tercium dari tubuh mereka. Berjalan sempoyongan sambil tertawa bebas. Mendapati ada sosok lebih kecil dari mereka sendirian di halte bus, para berandal itu mulai medekat pada Sasuke yang masih tidak menunukan gelagat takut.
Sasuke yang telah menyadari adanya bahaya, hendak beranjak dari kursi halte, dihadang oleh mereka.
"Hallo, pakaianmu kelihatan mahal. Kau orang kaya? Serahkan uangmu!"
Saat Sasuke berdiri, tinggi berandalan dan Sasuke hampir sama. Walau kalau dilihat lagi badan para brandalan itu lebih besar karena seusia anak-anak SMA.
"Aku tidak punya uang," jawab Sasuke tanpa rasa takut sama sekali. Walau mungkin dengan resiko dia akan babak belur sebentar lagi.
"Kau pasti punya. Jangan terlalu pelit, atau kau akan tahu seberapa hebat kami." Salah satu brandalan berambut merah mendorong dada kiri Sasuke dengan keras. Menegaskan kuasanya.
"Pegang dia!" kata si rambut merah.
"Jangan mendekat!" protes Sasuke, merasa tidak berdaya karena sendiri, sedang mereka berlima.
Berandal yang lain maju, untuk menangkap Sasuke, sebelum terdengar bunyi pecahan kaca dari belakang mereka
Pyar .....
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Bersambung ........
Ok, selamat meunggu lagi .....
Maaf ya lama ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro