42. Laju Mobil
Laju mobil terhenti di car port elegan di depan rumah Iskandar. Kukuh dibantu Hariman menaiki tangga teras. Ia sekarang sudah cukup gesit untuk mendaki anak tangga dengan kursi roda. Selain membuat lengannya bertambah kuat, kemampuan itu juga mengurangi kemungkinan ia digendong di depan umum. Hariman hanya menahan di belakang dan membantu mengangkat sedikit agar kedua roda kemudi kecil mengarah dengan tepat ke anak tangga berikut. Lalu, dengan kekuatan lengan yang terlatih, Kukuh mendorong rodanya naik. Lima anak tangga terlewati dengan cepat.
Yasmina sudah berdiri di ambang pintu dengan kedua mata bengkak. Tanpa bicara, ia mengajak Kukuh duduk di ruang tamu yang luas dan temaram. Mereka duduk berdampingan dalam diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Cuma tiga puluh gambar itu aja? Nggak ada yang lain?" tanya Kukuh memecah keheningan.
Yasmina menatap tak percaya. Setelah menyaksikan kemesraan sejoli itu dalam foto-foto Pramudya, baginya saat ini, Kukuh terlihat culas. "Maksudmu? Masih ada yang lain lagi, Kuh?" tanyanya dengan hati hancur.
Kukuh hanya mengangkat bahu. "Aku nggak tahu seberapa banyak yang diberikan ke kamu."
Yasmina membuang muka sambil mendesah. "Sekarang aku nggak tahu lagi harus memercayai siapa," keluhnya.
"Kecuali gambar orang yang berciuman di atas kursi roda itu, semuanya asli." Kukuh mengakui dengan nada penyesalan.
"Yang di ranjang?"
Dengan pilu, Kukuh mengangguk. Yasmina langsung membuang muka.
"Itu terjadi sebelum aku kecelakaan."
"Masa? Jelas sekali ada tanggal dan jam di situ."
"Coba kamu lihat baik-baik gambar itu sekali lagi," pinta Kukuh.
"Aku nggak sanggup!" cetus Yasmina dengan nada gusar. Bagaimana Kukuh bisa memintanya melihat kembali gambar-gambar mesum mereka? Tidak tahukah hatinya serasa ditusuk belati?
"Kalau mau kebenaran, kamu harus melihatnya lagi," kilah Kukuh dengan tenang. "Coba perhatikan bentuk punggungku di situ. Pantatku masih penuh dan punggungku masih mulus. Otot punggungku masih menggembung di kedua sisi tulang. Kamu sudah sering melihat aku digendong, kan? Bagaimana pantatku? Kempes, kan?"
Kukuh membuka kemeja lalu kaus dalam. "Sini, lihat punggungku sekarang."
Yasmina bergeming, masih tak mau memandang Kukuh. Akhirnya Kukuh memutar kursi roda sehingga punggungnya menghadap Yasmina. "Ada bekas operasi panjang di situ. Itu irisan sewaktu mereka memasang pen di tulang punggungku yang remuk."
Mau tak mau Yasmina menoleh karena kata-kata tegas itu.
"Coba lihat sebagian besar otot punggungku sudah menyusut karena kelumpuhan," lanjut Kukuh. Ia menoleh untuk memastikan Yasmina melihat punggungnya.
Yasmina baru kali ini melihat Kukuh bertelanjang dada. Punggung sebatas belikat dan bahu Kukuh terlihat berotot, begitu pula kedua lengannya. Namun, di bawah belikat, semuanya rata. Kelumpuhan telah menyebabkan otot-otot itu menyusut karena tidak digunakan. Di antara tulang belikat itu terdapat bekas luka operasi yang memanjang beberapa sentimeter.
"Inilah tubuhku yang sekarang, Yas," bisik Kukuh.
Yasmina terenyuh. Tangannya terulur menyentuh bekas luka dan punggung tipis itu. Ia masih mengenali semua sensasi saat pertama kali mengusap punggung Kukuh. Meraba jejak penderitaan itu, air mata Yasmina meleleh. Bagaimana ia dengan gegabah menyimpulkan informasi begitu saja tanpa meneliti kebenarannya terlebih dahulu?
Walau tidak merasakan usapan itu, Kukuh membiarkan Yasmina menyentuhnya beberapa saat lagi.
"Tanggalnya saja yang diubah. Sebenarnya itu terjadi lebih dari dua tahun yang lalu. Aku sedang meminta orang menganalisis gambar-gambar itu," kata Kukuh sembari mengenakan kembali kaus dan kemejanya.
Yasmina menunggu Kukuh selesai memasukkan kemeja ke dalam celana dan memutar kursi roda sebelum menunjukkan gambar yang lain.
"Yang ini?" Yasmina menunjukkan gambar sejoli di atas kursi roda.
"Ini jelas bukan aku. Entah kalau wanitanya. Lihat bagian belakang kursi roda ini. Punyaku nggak seperti itu. Punya mereka ini sepertinya kursi roda yang dibeli jadi. Punyaku dipesan khusus sesuai bentuk tubuh. Pasti harganya nggak ekonomis buat peniru receh begini."
Yasmina hanya berkedip saja mendengar penuturan itu.
"Lihat ruangannya," imbuh Kukuh. "Kalau seperti ini mirip dengan kamar hotel atau apartemen."
"Kenapa kalau hotel atau apartemen?"
Kukuh mengembuskan napas. "Aku nggak pernah melakukannya di hotel atau apartemen. Selalu di rumah."
Walau kejujuran yang disampaikan Kukuh, sekali lagi, hal itu menyakitkan bagi Yasmina. Kukuh hanya mengangkat bahu menanggapi keraguan itu.
"Buat apa di hotel kalau punya rumah dengan keamanan berlapis?" Sejenak kemudian, ia menambahkan, "Ternyata itu pun bocor." Ia berniat membersihkan asisten rumahnya bila terbukti mereka terlibat kebocoran itu.
"Yang di rumah sakit itu, kapan terjadinya?" tanya Yasmina lagi.
"Itu sewaktu Pramudya dan kakekmu mengirim Restu untuk membujukku. Malamnya aku langsung telepon kamu. Ingat?"
"Kamu tampak menikmati," tuduh Yasmina. Ia masih belum sanggup melihat lagi gambar itu. Kejadiannya masih baru.
Untuk hal yang satu itu, Kukuh hanya menjawab dengan helaan napas. Ia memang menikmatinya. Bagaimana menjelaskan pada Yasmina bahwa ia tengah menguji diri apakah ia masih bisa merasakan sensasi sebagai lelaki atau tidak?
"Kukuh, apa kamu menikmatinya?" cecar Yasmina.
"Yas, aku ...."
"Kamu menikmatinya!" potong Yasmina dengan geram.
"Yas, kita belum pacaran waktu itu," balas Kukuh.
"Tapi ... tapi ... kamu sudah memberi harapan. Kamu teleponan mesra denganku." Air mata Yasmina mulai meleleh lagi.
"Itu kan setelahnya. Sebelumnya aku hopeless banget sampai menyuruhmu pulang ke Kairo."
"Aku nggak ngerti kamu ngomong apa!"
Kukuh mengembuskan napas berat. Sepertinya tidak ada jalan lain selain harus menceritakan kisah itu selengkapnya. Dengan menahan malu ia menuturkan peristiwa itu sejelas mungkin.
"Dulu kupikir, karena sebagian besar tubuhku lumpuh dan nggak bisa merasakan apa-apa, aku sudah seperti gedebok pisang, mati. Namun, setelah kejadian itu, aku baru tahu kalau tubuhku masih bisa merasakan seperti dulu. Dari situ aku tahu aku masih bisa. Makanya aku meneleponmu setelah itu karena tahu masih ada harapan untuk bersama sebagai pasangan."
Penjelasan logis ternyata tidak berguna bagi otak perempuan yang terlanjur kecewa. Yasmina justru meratap setelah mendengar penuturan itu.
"Kamu mesra-mesra padaku setelah mencumbu perempuan lain? Kamu tega banget sih, Kuh?"
Kukuh diam saja. Karena Restu dulu kerap merajuk, ia sudah paham bahwa beradu argumentasi dengan perempuan yang tengah emosi itu tak berguna sama sekali.
Yasmina mengambil ponsel, lalu membuka satu gambar yang memperlihatkan Kukuh tengah memegang perut Restu.
"Itu anakmu?"
Kukuh menghela napas berat. "Kalau itu anakku, artinya kita sedang memandang keajaiban dunia kedelapan! Aku mengidap disfungsi seksual, Yas. Kamu tahu apa itu artinya? Aku nggak bisa menunaikan tugas sebagai lelaki." Ada segumpal rasa malu bercampur merana saat mengucapkan itu. "Itulah mengapa aku mengajakmu konseling dengan dokter."
Kali ini Yasmina tidak mau percaya begitu saja. Kata-kata Pramudya tadi amat meyakinkan. Belum lagi soal pencurian data yang dituduhkan sang kakek. Ia hanya memiliki dua kemungkinan. Kukuh memang tidak bersalah, atau Kukuh pembohong yang sangat ulung, yang bisa membuat skenario sedemikian akurat untuk membenarkan kebohongannya. Ia tidak tahu lagi siapa yang harus dipercaya.
Kukuh dapat menangkap kilau ketidakpercayaan itu. Tanpa basa-basi ia membuka ikat pinggang, lalu kancing celana. Saat hendak menurunkan ritsleting, Yasmina mendelik.
"Mau apa kamu?" pekik gadis itu.
"Sini, buktikan sendiri, aku benar disfungsi atau enggak," kata Kukuh.
Sontak Yasmina menjauh dan duduk membelakangi Kukuh. Wajahnya merah padam. Bisa-bisanya Kukuh meminta untuk memegang alat vitalnya? Apa ia sudah gila?
"Ayo, bangunkan dia kalau bisa."
"Kukuuuuh! Kamu sudah gila? Apa aku perempuan murahan?" jerit Yasmina. "Kancingkan lagi celanamu, cepat!"
"Kamu mau bukti, kan? Sini, kebenarannya ada di sini." Terdengar suara ritsleting dibuka.
Yasmina bergeming dan malah terisak-isak. Akhirnya Kukuh tidak tega. Ia menarik kembali ritsletingnya dan memasang kancing dengan benar.
"Sudah. Kamu bisa menghadap ke sini lagi," ujarnya dengan sabar.
☆☆☆
Meinar berupaya menahan amarah Iskandar. Sedari tadi lelaki tua itu ingin menemui Kukuh untuk mengusirnya.
"Jangan, biar aku yang bicara pada Kukuh," bujuk Meinar.
Iskandar mendengkus keras.
"Jangan sampai kita kehilangan Yasmina karena amarahmu. Cukup Ibra saja yang menjauh."
Iskandar tertegun. Untuk kesekian kali ia mengakui kebenaran kata-kata Meinar. Akhirnya, ia membiarkan istrinya menemui Kukuh.
Meinar menemukan Yasmina tengah membelakangi Kukuh dengan wajah bersimbah air mata.
"Yas, Nenek mau bicara dengan Kukuh sebentar, boleh?"
Yasmina mengangguk. Dengan langkah gontai, gadis itu meninggalkan kekasih dan neneknya berdua.
"Kuh, Tante sudah tahu apa yang terjadi dengan kalian," kata Meinar membuka pembicaraan dengan lembut.
Kukuh mengangguk. "Itu semua hanya rekayasa. Saya tidak melakukan apa-apa dengan Restu setelah bersama Yasmina."
Meinar memicingkan mata. "Apa kamu tidak curiga ada yang berniat menyerangmu?"
Kukuh mengangguk lagi. "Sangat. Akhir-akhir ini serangannya semakin meningkat. Saya benar-benar khawatir sesuatu akan terjadi."
Meinar mengangguk membenarkan. "Kamu benar-benar serius dengan Yasmina, Kuh? Kamu benar ingin meminangnya?"
"Iya, Tante, saya serius."
"Kamu mencintainya, Kuh?"
"Sangat."
"Kalau begitu, maukah kamu berkorban sedikit untuknya?"
Napas Kukuh tersekat. Ia sudah tahu arah pembicaraan Meinar. "Apa saya tidak layak untuk Yasmina?" tanyanya lirih.
Meinar menggeleng dengan senyum tulus. "Kamu layak. Sangat layak."
Kukuh menunggu. Ia semakin yakin bahwa bukan kondisi fisiknya yang menjadi masalah bagi mereka.
"Kukuh, situasi saat ini sedang tidak menentu. Seperti kamu, Tante pun merasa akan terjadi hal buruk. Sayangnya, hal buruk itu terkait kamu dan masalahmu."
Kukuh menghela napas kembali. "Saya tahu, Tante."
"Tante minta kamu bisa menjauhi Yasmina sejenak, barang setahun atau dua tahun, sampai semuanya jelas dan aman."
Meinar terdiam sesaat. Ia sungguh tidak tega pada pemuda berkursi roda yang saat ini mulai berlinang air mata. Ia kembali meneguhkan hati bahwa yang diminta itu untuk kebaikan mereka berdua.
"Yasmina akan aman bila jauh darimu, kamu tahu itu, kan?" lanjut Meinar selembut mungkin.
Tidak ada yang bisa disanggah oleh Kukuh. Di saat kepalanya sedang diincar, membuat Yasmina menjauh adalah pilihan yang tepat. Air mata pun berguguran.
"Yasmina sangat mencintai kamu. Tante yakin dia akan menunggu."
Kukuh mengangguk. Tidak ada gunanya bersikeras saat ini. Demi Yasmina, ia akan melakukan segalanya.
"Kamu bisa berpisah sejenak dari Yasmina, kan?"
Kukuh mengusap air mata. Ia mengangguk dengan tenang. "Bisa, Tante."
Meinar memeluknya. "Tante sayang kamu, Kuh."
Kukuh menangis dalam pelukan keibuan itu. "Saya minta maaf, Tante," bisiknya.
Meinar menepuk-nepuk bahu dan punggung lelaki itu. "Ssshhh! Jangan minta maaf. Tidak ada yang perlu dimaafkan. Lakukan apa yang seharusnya kamu lakukan."
Sesudah menumpahkan rasa sayang, Meinar memanggil Yasmina.
"Kukuh mau mengatakan sesuatu padamu," katanya sembari menepuk bahu Yasmina untuk meneguhkannya.
Dengan sorot mata menuntut penjelasan, Yasmina duduk di hadapan Kukuh. Ia keheranan menemukan bekas air mata di netra kekasihnya. Seketika, ia mengendus masalah yang lebih besar.
"Yas, nenekmu memberi saran agar aku menjauh sementara dari kamu," kata Kukuh.
Ada rasa kehilangan yang menyayat. Neneknya memang telah menyampaikan usul itu sebelum Kukuh datang. Dalam hati kecil ia berharap Kukuh tidak menyetujui, namun sayang keinginannya tidak bersambut. Ia harus menelan kekecewaan seorang diri.
"Yas, hanya sementara saja," kata Kukuh dengan perlahan. "Kamu mau, kan? Setahun lagi, kita bisa bersama kembali."
"Banyak yang bisa terjadi dalam setahun!" tukas Yasmina, lalu tangisnya meleleh begitu saja.
Kukuh tersentak. Ya, banyak yang bisa terjadi dalam setahun. Ia tak tahan lagi. Dengan gesit ia memindahkan tubuh ke sofa di samping Yasmina. Direngkuhnya gadis itu.
"Maafkan aku, Yas," bisiknya.
Yasmina tersedu. Ia sedang marah dan ragu sehingga tidak berniat memperjuangkan hubungan itu. Biarlah semuanya berjalan apa adanya, mengalir begitu saja. Bila setelah setahun masih ada rasa cinta dan keyakinan pada lelaki ini, biarlah mereka bersatu kembali. Namun, untuk saat ini ia tidak berani berharap lebih.
"Aku pamit," kata Kukuh kemudian. Dikecupnya pipi dan kening Yasmina sebelum memindahkan tubuh ke kursi roda. Dengan berat hati dikayuhnya kursi roda itu ke luar. Di teras ia berhenti sejenak, menunggu Yasmina menyusul.
"I love you," bisik lelaki itu sesaat sebelum menuruni tangga teras untuk masuk ke mobil.
Yasmina hanya membisu. Hatinya perih menyaksikan kekasihnya melambai dari dalam mobil lalu menghilang di pintu gerbang. Entah mengapa, hati kecilnya berbisik bahwa perpisahan itu akan lama sekali.
/////////////////
Jangan lupa follow dan voment
Buat pengguna Karya Karsa, ada paket murah meriah.
Cukup dengan Rp22.000,- Sobat dapat membaca Yasmina sampai tamat. Caranya:
Pastikan Sobat menggunakan voucher senilai Rp. 20.000,- untuk pembelian "PAKET YASMINA 30 HARI". KODE VOUCHER: yas032022
Tunggu apa lagi, yuk cuuuus ke sana!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro