37. Senyum
Senyum manis Yasmina terulas saat membuka pintu untuk Kukuh. Hatinya masih kecewa karena pengakuan lelaki itu semalam. Namun, memandang wajah tampan dengan sorot mata lembut yang tengah tersenyum itu, rasa rindu lebih berkuasa. "Ayo masuk!"
"Kamu baik-baik aja? Semalam ada orang menyerangmu?" Kukuh segera mencecar.
"Ah, cuma copet biasa," jawab Yasmina. Ia agak kaget karena reaksi Kukuh yang menurutnya agak berlebihan, namun bisa memahami kecemasan lelaki itu. Bukankah Kukuh telah kehilangan seluruh anggota keluarganya? Pasti berita penyerangan kecil itu membuatnya panik.
Kening Kukuh berkerut. "Kamu ngapain di kantor sampai malam?"
"Enggak ada. Aku cuma cari data."
"Yas, aku ingatkan, jangan berbuat aneh-aneh!"
Yasmina menelan liur diam-diam. Ia kini ditegur oleh Kukuh pula. Padahal, ia belum bercerita tentang kejadian semalam. Dari mana lelaki ini tahu? Semakin mencurigakan saja. "Aku nggak pa-pa, kok. Kamu tenang aja, ya."
Mulut Kukuh terbuka hendak menyanggah, tapi Yasmina segera mengajaknya ke teras belakang. Tempat itu adalah tempat favoritnya saat kecil dulu. Ada kolam ikan besar dan cantik serta koleksi anggrek Meinar. Agak di kejauhan, mereka memiliki rumah untuk berbagai burung. Taman itu sudah mirip suaka burung mini.
"Kamu suka di sini, Kuh?" tanya Yasmina untuk mengalihkan perhatian kekasihnya. Upaya itu berhasil. Mata lelaki itu melebar dan senyumnya terkembang.
"Aku masih ingat dulu beberapa kali ketemu mamamu di rumah ini. Beliau sedang hamil besar. Ternyata itu kamu dan Rosa," kata Kukuh dengan mata menerawang ke masa lampau. "Aku juga datang saat kalian lahir."
Yasmina terkekeh. "Gimana tampangku dulu?"
Kukuh mengerutkan kening sejenak. "Hmm, aku masih TK waktu itu, sudah lupa detailnya. Yang jelas yang satu kecil, yang satu besar dan gemuk. Kamu yang mana?"
"Aku yang kecil."
Alis Kukuh terangkat. "Oh sampai sekarang juga begitu, ya. Rosa tinggi besar."
Yasmina tersenyum dan mengamini. "Waktu kecil dulu kok nggak pernah ketemu kamu? Padahal dari lahir sampai lulus SD aku di sini. "
"Mulai SD aku pindah ke Jogja karena Papa punya proyek besar di sana dan Mama kuliah S2 lalu S3 di UGM."
"Pantas."
"Kamu aja yang nggak ingat. Aku ingat ketemu kamu, kok. Aku umur delapan, kamu tiga tahun. Aku diajak Mama dan Papa menjenguk kelahiran Efrat dan Jordan."
"Masa?"
"Kamu sedang bandel-bandelnya, cemburu pada adik baru."
Yasmina terkenang masa-masa bahagia itu saat sang ibu masih ada dan sehat walafiat. "Masa aku bandel?"
"Ooo, kamu sengaja minta perhatian banget. Kayak pura-pura jatuh lalu teriak, 'Aku jatuh Mamaaa!', atau sengaja naruh jari di engsel pintu lalu panggil-panggil, 'Mamaaa, aku kejepiiiiit!'. Semacam itu."
Yasmina terbahak. Ia masih kecil ketika itu sehingga ingatan yang tersisa saat ini hanya samar-samar. "Kecil-kecil, aku sudah modus banget, ya?"
"Iya. Tapi biarpun begitu, kamu udah kelihatan cerdas."
Mulut Yasmina kontan mencang-mencong karena dipuji cerdas. Jantung Kukuh mendadak terkena setrum yang membuatnya meloncat-loncat tidak karuan. Ingin rasanya mendaratkan kecupan di bibir itu.
"Ternyata sejarah kita panjang, Yas," kata Kukuh sambil meraih tangan Yasmina dan mengelusnya.
Yasmina mengangguk. Ia kembali menatap lelaki itu dari samping. Lekuk wajah yang tertimpa cahaya lampu itu terlihat indah. Senyum bahagia yang tersungging di sana sama sekali tidak tampak dibuat-buat. Ia tahu benar seperti apa senyum palsu karena pernah dua kali berhubungan dengan lelaki hidung belang. Kalau sudah begini, rasa ragunya terkikis sedikit demi sedikit.
Rosa berkata, semua kesalahan itu hanyalah masa lalu. Bukankah semua orang memiliki masa lalu? Semua orang pun pernah membuat kesalahan. Yang terpenting adalah apa yang ia lakukan terhadap kesalahan itu. Ada orang yang menutupi dan lari. Ada pula yang melempar tanggung jawab kepada orang lain. Kukuh dengan jujur mengakui kesalahannya dan berani bertanggung jawab penuh. Komitmen Kukuh pada hubungan mereka juga tidak menunjukkan tanda-tanda goyah. Apa lagi yang ia keluhkan?
"Kuh, soal kamu dan Restu kemarin ... aku sempat kecewa," kata Yasmina dengan suara pelan.
"Iya, aku paham," jawab Kukuh dengan mengangguk kecil. "Kamu masih jijik padaku?"
Yasmina menatap lekat-lekat. "Aku nggak tahu. Hanya saja kamu terlihat beda."
"Beda yang seperti apa?"
Yasmina memandangi jemari mereka yang masih bertautan di pangkuan Kukuh. Ia tidak ingin menyakiti lelaki ini, namun berkata jujur akan mempermudah mereka untuk saling memahami, bukan?
"Mmm, kamu nggak lagi tampak polos tanpa dosa," jawab Yasmina, lirih.
Kukuh mengangguk beberapa kali dengan mata meredup. Tampak sekali ia tertampar dengan perkataan itu. "Iya, aku memang bukan anak polos tanpa dosa."
Rasa iba Yasmina timbul. "Aku nggak pa-pa, kok. Asal jangan ada rahasia di antara kita."
Kukuh menoleh. Itu hal yang sulit, Yas.
Yasmina bisa merasakan keraguan dalam sikap Kukuh. "Kenapa? Masih ada lagi rahasiamu?"
"Ada satu hal yang belum aku bicarakan denganmu."
Yasmina sontak menahan napas.
"Kita bisa ngomong di tempat yang lebih tertutup? Yang nggak ada cctv-nya?"
Akhirnya Yasmina mengajak Kukuh ke kamarnya. Kukuh berkeliling sejenak melihat kamar itu. Tempat tidur, lemari, meja rias, rak hiasan, meja belajar, dan lukisan pemadangan taman burung di belakang rumah masih tertata rapi dan terawat seperti dahulu. Matanya berbinar karena kenangan indah masa lalu.
"Kata Nenek, sewaktu kecil dulu kamu sering menginap di sini," ujar Yasmina. Ia juga larut dalam kenangan masa kecil di kamar ini ketika ibunya masih ada.
"Iya. Dengan kakakku." Mata Kukuh redup saat mengucapkan itu. Mau tak mau, peristiwa kehilangan itu terbayang kembali.
Tahu apa yang tengah kekasihnya rasakan, Yasmina memeluknya dari belakang. "Aku sayang kamu, Kuh," bisiknya.
"Makasih, Yas. Aku juga." Kukuh memutar kursi rodanya menghadap Yasmina. Digenggamnya tangan gadis itu. "Yas, aku mau ngomong sesuatu. Pikirkan baik-baik sebelum kamu memutuskan. Aku nggak ingin kamu menyesal setelahnya."
Yasmina mengambil kursi dan duduk mendengarkan dengan berdebar.
"Yas, dengan memilihku, bebanmu berat banget. Pertama, aku harus memakai kursi roda ke mana-mana. Kamu tahu sendiri bagaimana ribetnya. Kamu juga harus menyaksikan bahwa terkadang aku nggak berdaya dan harus digendong ke tempat-tempat tertentu."
"Kamu tahu aku nggak keberatan soal itu," jawab Yasmina. Matanya berbinar indah membuat Kukuh semakin yakin.
"Kedua, kamu harus menerima masa laluku yang menjijikkan," lanjut Kukuh.
"Aku sudah bilang tadi, biarpun kecewa, aku bisa menerima, kok."
"Ketiga ...." Kukuh terdiam sambil menghela napas dalam-dalam. Inilah bagian tersulit dari semuanya.
"Ketiga?" desak Yasmina karena tidak sabar menunggu dalam diam.
"Ketiga ... aku punya masalah untuk berhubungan intim karena kelumpuhan ini," ujar Kukuh lirih sambil menelisik reaksi Yasmina dengan berdebar. "Kerusakan saraf tulang belakang bukan cuma bikin aku nggak bisa jalan, Yas, tapi juga nggak bisa mengatur alat vital. Aku sedang terapi dengan dokter ahli, tapi kemungkinan aku nggak bisa melakukan hubungan intim seperti yang kamu bayangkan. Ah, aku—"
Kalimat Kukuh terputus. Dadanya sudah naik-turun dengan cepat karena mengungkapkan kenyataan menyakitkan itu menghabiskan semua tenaganya.
"Yas, kamu bisa menerima seorang suami yang serba minus begini? Kalau diibaratkan barang, maka aku ini barang yang hancur, Yas."
Kalimat terakhir Kukuh terasa sangat pilu. Yasmina tahu tidak mudah bagi Kukuh untuk mengungkapkan kekurangan yang sangat pribadi. Ia sendiri pernah beberapa kali mempelajarinya dan tidak khawatir bagaimana mereka akan berhubungan intim nanti. Agaknya, tidak demikian bagi Kukuh.
"Iya, Kuh, aku bisa menerima. Jangan ngomong hancur-hancur lagi. Aku sedih banget mendengarnya."
"Tapi, Yas ak—" Kalimat Kukuh kembali terputus karena Yasmina membungkamnya dengan kecupan.
"Aku sayang kamu, Kuh," bisik gadis itu sambil menangkupkan kedua tangan di pipi kekasihnya.
"Kamu serius, Yas?" tanya Kukuh, sangat lirih karena terlalu bahagia.
Yasmina mengangguk.
"Kamu nggak takut menyesal?"
"Aku akan lebih menyesal kalau ninggalin kamu."
Senyum lega Kukuh terkembang. "Nanti pas jadwal terapi, kamu mau ikut? Dokterku juga ingin bicara denganmu."
Yasmina mengangguk. Kukuh dapat melihat ketulusan gadis itu.
"Yas ... aku ... nggak tahu mau ngomong apa lagi," kata Kukuh. Hatinya sungguh lega.
"Masih ada lagi rahasiamu?" tanya Yasmina.
"Nggak ada," jawab Kukuh asal. Tangannya menepuk paha, memberi isyarat pada Yasmina. Dengan senang hati, gadis itu menuruti dan duduk di pangkuan kekasihnya. Ia senang bisa bergayut pada bahu yang kokoh.
/////////////////
Bab 38-nya up Selasa depan, ya.
Mau hemat baca Yasmina sampai tamat nggak pake nungguin apdetan beberapa purnama? Cuus aja ke KBM atau Karya Karsa.
Buat pengguna Karya Karsa, ada 2 cara:
1. "PAKET YASMINA 30 HARI": cukup dengan Rp22.000,- Sobat bisa baca sampai tamat. Pastikan Sobat semua menggunakan voucher senilai Rp. 20.000,- KODE VOUCHER: yas032022
2. Mau menyimpan Yasmina buat dibaca selamanya? Gunakan "PAKET YASMINA SELAMANYA". Sementara nggak ada voucher untuk paket ini, ya, karena udah murah banget, cuma Rp49.900,- aja. Paket ini bisa di-scroll di Tab PAKET di Karya Karsa.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro