21. Proposal (1)
Proposal penelitian itu tergeletak di meja dengan berbagai coretan dan catatan tangan di banyak tempat. Yasmina mendesah dan berdecak berkali-kali. Dosennya sangat jeli dan memiliki pemikiran yang begitu luas dan dalam. Upaya kerasnya selalu tidak cukup untuk mengimbangi standar tinggi sang profesor. Latar belakang masalah, teori terdahulu, dan research gap yang ia ajukan sebagai dasar dikritik habis-habisan. Yasmina harus menelusur ulang dasar teorinya. Keresahan itu bertambah manakala Iskandar berulang kali menghubungi.
"Yas, kamu sudah baca email Kakek, 'kan?" suara karismatik itu menggaung di telinga.
"Sudah, Kek."
"Ada masukan?"
"Sebenarnya ada, sih, Kek. Tapi aku nggak tahu apa gunanya. Proyeknya sudah berjalan, 'kan?"
"Ayolah, sampaikan saja pendapatmu. Kakek butuh masukan dari otak segar."
"Ah, Kakek. Nanti aku email, ya?"
Tak dapat dipungkiri, Iskandar memang jago memotivasi. Ia membujuk dengan memintanya memberikan review. Mau tak mau ia tenggelam juga dalam dunia energi terbarukan. Ia harus mengakui, semakin ia dalami, semakin ia tertarik. Kakeknya sungguh cerdik!
"Kek, aku boleh tanya sesuatu?"
"Boleh, boleh."
"Aku masih gelap soal pengalihan aset Phoenix itu. Kenapa menjadi masalah besar untuk Madava? Kakek kan bisa mencari investor lain untuk menggantikan dana Phoenix."
"Kalau sudah dapat, Kakek tidak akan mengutus kamu ke sana."
"Hasil berunding dengan Andreans gimana?"
Terdengar desahan panjang di sana. "Kakek sudah bertemu Andreans, mereka tetap akan menarik diri dari Madava. Alasannya jelas, energi terbarukan bukan core bisnis mereka."
Yasmina merasa bersalah. "Maafkan aku, Kek. Aku gagal membujuknya."
"Oh, soal itu Kakek tidak menyalahkanmu. Sudah Kakek bilang, dia lebih keras dari batu."
"Kakek benar. Kukuh kalau sudah ngomong 'tidak' mirip sabda saja, nggak bisa diubah."
"Yas, sebenarnya Kakek tidak mempermasalahkan Kukuh mau menjual Phoenix atau tidak, asal jangan menguntak-atik dana untuk Madava. Kakek juga heran, kenapa dia ngotot menarik semua asetnya dari Madava. Kamu tahu sesuatu soal itu?"
"Dia cuma bilang mau mundur dari dunia bisnis."
"Kamu percaya?"
Yasmina terdiam sejenak. Dalam hati ia mengakui kebenaran yang disampaikan sang kakek. "Apa ada alasan lain?"
"Yas, Kakek tahu kamu mulai dekat dengannya. Kakek senang akhirnya kamu bisa melupakan masa lalu. Kakek juga senang ternyata pilihanmu Kukuh, anak kolega Kakek sendiri. Dia lelaki yang baik dan setia, Kakek tahu benar."
Yasmina menelan ludah. Saat bersama Derry dan Johan dulu, kalimat serupa pun sering ia dengar. "Tapi apa, Kek?"
"Coba kamu pikirkan baik-baik. Siapa yang akan rugi bila penarikan aset itu terjadi?"
"Hmm, sudah pasti Kakek. Kemudian rencana jangka panjang tentang energi terbarukan."
"Kamu tahu, sebagian dana Madava berasal dari dana IDF. Kalau gagal, IDF akan merugi, dan tidak dapat membayar benefit kepada investor dari berbagai negara. Akhirnya apa? pemerintah harus menalangi. Kamu sudah paham arahnya?"
"Ah, masa hanya karena kegagalan Madava akibatnya semasif itu, Kek? Nilai investasi IDF di luar Madava besar, 'kan?"
"Tentu saja bisa masif. Itu menyangkut kepercayaan investor pada IDF. Kamu tidak mau menaruh uang pada agen yang memperlakukan uangmu dengan salah, bukan? Orang jatuh karena tersandung kerikil, bukan menabrak gunung."
Yasmina terdiam berpikir.
"Nanti kalau kita ketemu, Kakek ada bercerita panjang lebar padamu."
"Kakek bikin aku penasaran."
"Lebih enak bicara langsung, Yas. Lebih mesra, 'kan?"
"Kakek!"
"Sudah sejauh apa hubunganmu dengannya?"
"Siapa?"
"Kukuh."
"Menurut Kakek bagaimana?"
"Ya, kalau kamu suka, teruskan saja. Hanya saja, kamu perlu cermat. Kalau ada hal-hal aneh, segera beritahu Kakek."
"Ah? Kakek mau aku jadi mata-mata? Aku nggak mau, Kek. Nggak bisa."
"Bukan begitu. Kakek tidak ingin kamu kecewa untuk ketiga kali. Kakek hanya mengingatkanmu untuk berhati-hati."
Yasmina kembali terdiam.
"Sebenarnya Kakek sedih dia salah langkah," ujar Iskandar dengan suara yang dalam.
"Maksud Kakek?"
"Tidak semudah itu menjual aset ke pihak luar. Dia tidak memperhitungkan efek psikologis dan politisnya."
Jemari Yasmina otomatis bergerak cepat melakukan pencarian di tablet. Ia menemukan berita-berita itu. Sentimen negatif yang menyebut Kukuh dan Phoenix tidak nasionalis, pro Amerika, serta anti gerakan pelestarian lingkungan. Kakeknya benar.
"Coba dia menurut padamu. Dia tidak akan dipojokkan seperti itu," lanjut Iskandar.
Yasmina tak berkedip menatap berbagai pemberitaan itu. Di satu sisi ia turut merasakan beban yang Kukuh tanggung. Namun, di sisi lain ia tidak yakin dengan sepak terjang lelaki itu.
"Yas," panggil Iskandar dengan nada mengiba. "Kakek sudah tua. Kakek berharap kamu mau pulang untuk menemani Kakek."
Cukup lama Yasmina termenung di depan tumpukan literatur bahan-bahan proposal. Matanya menatap berkas-berkas itu, namun hatinya melayang ke tempat lain. Materi disertasi itu kehilangan daya tarik, kalah bersaing dengan pemberitaan Kukuh beserta Phoenix-nya.
☆Bersambung☆
Part (2) akan diposting sore ini.
Jangan lupa tinggalkan vote dan comment ya gaes
❤️❤️❤️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro