27. Hari Pernikahan
Yasmin POV
Udara subuh yang merasuk lewat jendela terbuka itu seakan mencakar-cakar kulitku, aku terbangun dengan pakaian yang ku pakai semalam, dengan memeluk album foto.
Aku mengingat-ingat lagi apa yang ku alami adalah mimpi atau sebuah kenyataan? Kejadian tertembaknya Nizam masih tidak bisa ku masukkan di nalar, apalagi saat mereka mengatakan dia sudah meninggal, tidak mungkin!
Melihat tumpukan hadiah dari Nizam semalam membuat ku semakin yakin bahwa yang sebelumnya hanya sebuah mimpi akibat kegelisahan ku soal Natania dan Maryam.
Aku bergegas mengambil wudhu lalu turun untuk sholat berjamaah karna sampai sekarang aku belum benar-benar hafal semua bacaan sholat, daripada salah maka sholat berjamaah adalah solusi terbaik bagiku. Jujur saja aku terkadang belum bisa percaya jika sekarang aku sudah mulai melaksanakan sholat, bahkan mengenakan hijab. Semua terjadi begitu saja, jika bisa ku putar waktu maka aku akan memilih masjid dan majelis ilmu sebagai tempat pelarian bukannya tempat-tempat terkutuk semacam itu, hanya satu yang tidak ingin ku rubah : bertemu Nizam. Harusnya aku jatuh cinta sejak awal tanpa perlu terperangkap muslihat Alfan apalagi mencintai kakakku sendiri, bodoh tapi menggelitik.
Sholat kali ini berbeda, ada papa-mama juga Mas Danar dan Mentari, mereka masih setia di sini namun tidak bicara apapun denganku, semuanya diam. Mas Danar yang menjadi imam kembali tersedu seperti kemarin hanya saja kali ini terdengar lebih menyakitkan, ayat yang dibacanya pada rakaat pertama adalah ayat yang dia bacakan padaku di mobil, entah itu mimpi atau kenyataan.
Usai sholat aku buru-buru melepas mukena dan kembali ke kamar mempersiapkan diri.
Acara yang di janjikan pukul delapan namun tukang rias tidak kunjung datang, tidak seorangpun yang datang ke kamar untuk membantuku berpakaian. Keterlaluan!
Aku mendandani diriku sendiri, mengenakan pakaian pengantin India seperti mimpi kecilku dahulu.
Aku masih mematut diriku di depan cermin, melihat gaun tosca itu sangat pas membalut indah tubuhku, aku jatuh cinta saat pertama kali melihatnya.
Pukul delapan lewat tiga menit namun tidak juga ada yang menghampiriku padahal harusnya akad dilaksanakan pukul delapan tepat. Ada apa dengan mereka?
Aku memutuskan untuk turun sendiri, mencari tau meski sebenarnya dalam dadaku sesak, takut bahwa ketakutan ku adalah kenyataan.
Aku, pengantin perempuan yang menyusuri satu persatu anak tangga ini sendirian, dengan tatapan nanar kearah orang-orang yang membersihkan rumah, mencopot satu-persatu bunga yang menghias pelaminan sederhanaku.
Aku ingin marah, tapi tenggorokanku kering, aku tidak bisa bersuara, kini dadaku sesak, lututku lemas. Aku berharap terbangun dari mimpi buruk ini namun tidak.
Semua orang menghentikan pekerjaannya menatap iba padaku, pengantin perempuan yang ditinggalkan.
Aku nyaris tersungkur, beruntung papa sigap menangkap tubuh lemahku.
"Yasmin, apa yang kamu lakukan? Ayo papa antar ke kamar." Tawaran papa membuatku semakin sadar bahwa kepergian Nizam adalah kenyataan. Bagaimana bisa dia meninggalkan aku?
"Pa, apa ini semua rencana Nizam untuk mengejutkan Yasmin?" Dalam hati aku merapal do'a semoga saja iya, kalau memang ini keisengan Nizam maka aku berjanji tidak akan marah, asal dia kembali.
"Nak, pelan-pelan kamu harus belajar mengikhlaskan Nizam, biarkan dia tenang," ucap papa yang kini memelukku erat. Aku benci pelukan ini, aku tidak suka dikasihani.
"Nizam gak mungkin ninggalin Yasmin, Pa. Bahkan dalam kondisi Yasmin gak sadar dia ada di bumi ini pun dia selalu nemenin Yasmin." Aku benar-benar tidak bisa mempercayai ini. Rasanya mustahil dia pergi secepat itu.
"Kamu harus menerima kenyataan dan bersabar, dia meninggal di perjalanan menuju ke rumah sakit kemarin sore," Ucap papa dengan mata berkaca-kaca. Aku mencari kebohongan di mata semua orang namun tidak bisa ku dapat kan, semua tertunduk dengan mata merah.
"Bohong." Aku masih ingin menyangkal, bagaimana bisa aku menerima dia meninggal sehari sebelum pernikahan kami, dia pergi saat aku baru saja mulai mencintainya, bagaimana mungkin dia menghilang dari dunia ini saat aku merasa sekarang dia adalah duniaku.
Bisa ku dengar, deru mobil memasuki pekarangan rumahku, rombongan keluarga Nizam sudah tiba rupanya. Aku melepaskan pelukan papa, menghapus jejak air mata dan memasang senyum seperti biasa, aku akan menyambutnya dengan suka cita kali ini.
Ayah dan ibun masuk bersama empat orang yang belum ku kenal, pasti itu saudara dekat Nizam.
Ku kembangkan senyum lebih lebar lagi, tapi ibun malah terlihat menghapus air mata, aku benci semua air mata yang jatuh hari ini.
Mataku mencari-cari kehadiran pengantin pria namun tidak juga muncul sampai ibun berada tepat di hadapan ku.
Ibu Nizam memelukku, sekali lagi ku tegaskan aku tidak suka pelukan semacam ini, aku tidak suka dikasihani. Ini hari bahagiaku!
"Bun, jangan gini. Nizam di mana?" Kita harus berangkat ke KUA sekarang kan? Ini udah telat. Ayo Bun, pa, ma, ayo." Ku tarik pergelangan tangan mama dan papa, aku harus pergi sekarang. Namun ibun mencekal tangan kiriku.
"Yasmin, kita akan pergi tapi bukan ke KUA melainkan ke makam Nizam, kamu harus kuat dan sabar, boleh menangis tapi jangan meratap." Ucap ibun tegas, aku benci pendengaran ku.
"Lihat ibun-" perempuan paruh baya itu mencengkram pundak ku mengarah sempurna ke hadapannya, "Kita berangkat sekarang, kuatkan hatimu, ingat kamu sedang
mengandung kasihan anakmu. Jika kamu tidak bisa mengendalikan diri maka ibun gak akan mengajak kamu ke sana." Sambungnya dengan tegas, aku tak punya pilihan lain, rasa penasaran itu membuat ku mengangguk setuju.
Dalam perjalanan aku hanya beristighfar, jika duka ini akibat dosaku maka sungguh aku benar-benar memohon ampun berharap Allah tidak mengambil Nizam dariku sekarang.
Namun sepertinya tidak, mobil berbelok ke area pemakaman, kini tubuhku gemetaran, jantungku berpacu lebih dari biasanya.
Aku berubah pikiran, jika ini sebuah candaan maka kupastikan Nizam akan ku pukul jidatnya, aku akan sangat marah pada laki-laki konyol itu. Ini sudah keterlaluan, tidak lucu.
Aku turun dari mobil dengan hati-hati khawatir gaun indah yang ku kenakan ini rusak, jauh dalam hatiku masih ada harap akan melangsungkan ikrar suci itu.
Ku jinjing gaun pengantin menyusuri area pemakaman, mengikuti jejak kaki kedua orangtua Nizam. Mentari berjalan di belakangku diikuti Mas Danar, mama, dan papa.
Gundukan tanah merah yang masih basah, bertabur bunga melati putih, lengkap dengan nisan bertuliskan nama 'Nizam Barran Rabbani' berhasil membuatku yang kali ini jatuh tersungkur, lututku lemas, bagaimana bisa ini terjadi padaku?
Nama itu ternyata lebih dulu tertulis di batu nisan, padahal belum sempat tertulis di kartu keluarga kami.
Tidak ada air mata yang jatuh, aku kebingungan, ini mimpi terburuk yang pernah aku alami. Ku usap perut yang mulai buncit, kini dia kehilangan harap dapat cinta dari seorang ayah.
Mentari berjongkok di sebelahku, menarik aku ke pelukannya namun ku tepis pelan.
Ku sentuh hijab yang aku kenakan, mengingat ucapan Nizam kemarin bahwa hijab ini akan menjagaku, ternyata dia tidak lagi bisa.
"Entah kenapa gue ngerasa bakal kangen banget sama tingkah lo. Gue mau bilang ini gak adil, tapi gue udah sadar takdir Allah selalu baik, gue ikhlasin semuanya, Zam. Mungkin gue emang gak cukup baik untuk bisa berjodoh sama lo," ucapku sambil Mengusap nisan putih itu.
Kehilangan demi kehilangan yang ku alami ternyata tidak menjadikan aku kebal, rasanya tetap sama, sakit seperti tertikam pedang berkarat, aku ingin berteriak namun ku tahan, aku harus bisa mengikhlaskan Nizam.
Sebelumnya aku tak pernah benar-benar jatuh cinta, tapi baru saja merasakannya malah harus ditinggalkan dengan cara seperti ini.
Kapalku telah karam sebelum mulai berlayar, aku terbangun sebelum sempat bermimpi, aku tak sempat memulai apapun denganmu namun sudah berakhir dipaksa takdir.
Di hari pernikahan kita, dengan gaun pengantin yang ku pilih dengan khayal indah tak pernah ku bayangkan akan berakhir di tempat ini, menangisi kepergianmu.
"Gue ikhlas nerima takdir ini, Zam."
............
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro