Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tilu

Minggu demi minggu terlewat. Semua pekerja markas yang diselamatkan, satu per satu kembali pulang ke kampung halaman, ada juga yang direkrut menjadi buruh di suatu daerah, hanya tersisa Ajang juga ibunya. Bukannya ingin lebih lama menumpang rumah, tetapi mereka benar-benar tidak memiliki tempat untuk pulang, atau keahlian khusus yang bisa dibanggakan.

Bapaknya Ajang dari Sunda asli, sedangkan ibunya, anak perempuan tunggal dari Jawa. Keduanya memaksakan pernikahan walau tahu hal itu akan menjadi bahan cemoohan keluarga. Lalu mereka tinggal di Bandung, dan terpaksa melepas kontak dengan sanak saudara yang merasa dikecewakan.

Lagi pula, sang pemilik rumah juga merasa tidak keberatan sama sekali.

Selain itu, banyak kejadian yang telah terjadi. Seperti saat Ajang menerima pamflet dari Tentara Kompeni yang berkunjung ke rumah. Ajang memang tidak bisa membaca, tetapi ia tahu isi dari selebaran itu ketika Gilang membacakannya. Meminta agar senjata hasil pelucutan Nippon diserahkan kepada Kompeni, juga pribumi yang mendiami Bandung Utara, dengan batas rel kereta api, harus pindah ke selatan.

Lalu saat berita rusaknya bendungan sungai di daerah Cikapundung terdengar dari radio dan pertempuran-pertempuran lainnya. Saat ini, mereka masih berada di Bandung Utara. Pak Endang masih bersikukuh tetap di sini. Enggan meninggalkan rumahnya untuk dipakai para tawanan kamp interniran yang telah banyak dibebaskan.

"A' Gilang sama A' Parta sudah berhari-hari nggak pulang. Aku penasaran mereka di mana," gumam Dewi sembari menyapu lantai ruang tengah. Ajang sendiri sedang memotong daun pisang dari pohon di dekat rumah, disuruh ibunya. Untuk keperluan memasak.

"Iya ... sibuk perang, mungkin, Wi. Semoga Gusti Agung selalu menjaga mereka." Ajang duduk menyilang tak jauh dari Dewi, masih fokus dengan lembaran hijau di tangannya.

"Mereka ada di markas-markas pejuang, kan sudah bergabung sama laskar. Biar nanti saat ada peperangan, mudah bergeraknya." Dari ruang tamu, terlihat Pak Endang berjalan masuk ke ruang tengah. Rokoknya ia padamkan di asbak di atas meja ruangan, lalu duduk di salah satu bangku.

"Harus, ya, Pak? Dewi takut nanti kalau keadaan nggak berjalan sesuai yang direncanakan, terus—"

"Wush, nggak boleh begitu. Harus tetep positif, sama tadi kata Ajang, do'a ke Gusti Agung biar mereka baik-baik saja. Lagian perbuatan mereka nggak ada yang nyuruh, mereka sendiri yang mau, dan bapak dukung. Kalaupun mereka milih untuk nggak ikut perang, tetep bapak hargai keputusannya." Dewi lalu mengangguk, dan keadaan menjadi hening. Ajang selesai memotong daun pisang dan membawanya ke dapur, Dewi lanjut menyapu, juga Pak Endang yang sibuk membaca koran.

Oh, sepertinya keadaan Ajang dan ibunya cukup membantu, mengingat tak lama ini ia baru mengetahui kalau ibunya Dewi sudah almarhum. Pantas saja Ajang tak pernah melihatnya, dan dia memang tidak berniat untuk menanyakannya. Kata ibu, nggak sopan, mending menunggu sang tuan rumah sendiri yang memberi tahu.

"Pak! Pak! A' Gilang sama Parta pulang!" suara nyaring Panji yang berlari ke ruang tengah terdengar. Tangannya masih memegang lap kumal yang basah bekas menggosok bemo, raut wajahnya terlihat antusias, begitu juga dengan yang berada di ruangan ini dan dapur.

"Saya pulang, Pak." Gilang tak lama muncul di belakang Panji, ia memeluk Pak Endang, juga menyapa Dewi dan Ajang. Begitu pula dengan Parta. Mereka berdua memakai baju biasa, tidak terlihat seperti pejuang.

"Syukur kamu datang dengan selamat. Ada apa, Lang? Ke sini naik apa?" Pria tua di hadapan Gilang memegang kedua pundak anaknya.

"Naik kereta. Maaf, Pak, kita bicaranya di luar dulu, ya," balas Gilang. Lalu ketiganya pergi ke teras depan. Ajang tak tahu pembicaraan apa yang mereka bincangkan, tetapi ia merasa ini adalah sesuatu yang penting. Tak lama menunggu, Pak Endang kembali. Raut wajahnya terlihat cemas, juga pasrah.

"Kita malam ini akhirnya mengungsi ... sampai ke daerah Dayeuhkolot. Nanti Panji yang nyupir, pakai bemo Bapak. Nggak usah berkemas banyak-banyak, bawa yang penting saja. Nanti, bakal ada pejuang yang memandu kita sama rombongan lain. Mobil bisa dipakai buat angkut yang sudah tua dan sakit."

"A' Gilang sama temannya mana, Pak?" Panji bertanya. Pak Endang bilang kalau mereka berdua langsung pergi kembali, tidak bisa berlama-lama di sini.

"Nanti rumah ditempati sama Kompeni, dong, Pak," kali ini Ajang yang berbicara.

"Nggak bakal bisa."

"Kenapa?"

"Soalnya terbakar."

...

Ajang sedang membantu Dewi mengemas beberapa lipat baju, juga benda-benda peninggalan mendiang ibunya. Pak Endang sedang berdiam di kamarnya, mengucapkan salam perpisahan kepada rumah ini. Ibunya Ajang sedang menyiapkan makanan, dan Panji memanaskan mobil.

Apakah Ajang tidak mengemas barangnya sendiri? Ah, sudahlah, bahkan dari awal dia tidak memiliki apa-apa.

Bocah itu kembali menampar wajahnya sendiri, untuk yang kedua kalinya. Dewi yang berada di sebelahnya kembali heran, kemudian ia menyadari sesuatu, lalu tersenyum sembari melanjutkan kegiatannya.

"Nggak boleh iri lagi. Ingat, bersyukur sama Gusti Agung atas apa yang kamu punya sekarang. Masih diberi kesempatan bernapas, misalnya."

"Contohnya jangan begitu juga, lah, Wi," balas Ajang. Ia memasukkan barang-barang yang Dewi serahkan ke dalam tas rajut.

"Tapi memang benar, 'kan?" Dewi akhirnya selesai, ia menutup lemari bajunya, menepuk-nepuk rok yang dipakainya. "Di rumah ini ada kenangan terakhir aku sama ibu. Ya, meskipun nantinya akan terbakar, tapi kisah yang melekat padanya nggak bakal ikut hangus. Hah ... bakal kangen banget aku, Jang."

"Iya, Wi. Aku mengerti, kok."

Lalu atmosfer rumah serasa hangat. Dewi menatap langit-langit rumahnya dalam diam, dan Ajang tidak merasa keberatan untuk menunggunya.

"Yasudah, A' Panji sepertinya udah selesai memanaskan mobil. Ayo."

Lalu mereka berdua keluar. Ajang menaruh barang-barang bawaan ke atas mobil. Ia, Dewi, dan ibu duduk di bagian belakang mobil. Pak Endang akan duduk di bangku sebelah Panji, tetapi pria tua itu belum keluar dari rumah. Apa yang bapak lakukan ...?

Tak lama, akhirnya sosok yang ditunggu muncul. Ia membuang jerigen kosong yang ada di tangannya ke sembarang arah, lalu naik ke mobil.

"Kita berangkat."

...

Langit malam yang sepi, perlahan diwarnai oleh rona kemerahan. Tadi saat hendak pergi dari rumah, sekelompok pejuang wanita mendatangi rombongan Ajang, meminta untuk mengikuti mereka, bergabung bersama rombongan pengungsi yang lain.

Sekarang bemo bapak sudah menampung beberapa lansia di bagian belakangnya. Ajang dan Dewi memutuskan untuk berjalan kaki bersama pengungsi yang lebih muda. Sepanjang mata Ajang memandang, beberapa rumah tampaknya sudah ditinggalkan pemiliknya, tinggal menunggu dibakar oleh para pejuang, mungkin.

Jalan berbatu, jembatan, dan sekarang rel kereta api dilewati roda mobil. Ajang sesekali melihat rumah-rumah dengan kobaran api yang melahapnya, juga asap yang dibuatnya membumbung tinggi ke langit malam. Selain itu, matanya juga menangkap beberapa pejuang dengan senapan mereka, membawa jerigen berisi minyak dengan obor, membakar bangunan-bangunan.

Mereka sudah berjalan lumayan jauh. Rasa pegal mulai merayapi kaki Ajang. Dewi sudah tidak berjalan di sampingnya. Gadis 7 tahun itu menyerah duluan, jadi ia memilih untuk ikut menaiki bemo, dipangku bapak.

Ajang sesekali terbatuk ketika melewati rumah yang sudah terbakar hebat, asap yang dibuatnya mengganggu Ajang hingga matanya perih dan kesulitan bernapas, seperti rumah yang baru saja mereka lewati. Bocah itu menarik kaos coklat bagian bawah hingga menutupi hidungnya, lalu batuk ke arah yang berlawanan.

Lalu di saat itulah ia melihat sebuah siluet, bisa dipastikan seorang pria. Tangannya terlihat melambai ke arah rombongan, dan sepertinya hanya Ajang yang menyadarinya. Lalu seperti sebuah jentikan di depan wajahnya, ia mengenali sosok itu. Ajang lantas menoleh ke sana kemari, mencari seorang pejuang di dekatnya.

Ia mendekati salah satu dari mereka. Sebuah bordiran nama terlihat di kemeja yang dipakai perempuan itu. "Teh Astrid. Saya ngelihat ada orang di sana."






















tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro