Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Lima

Hari-hari setelahnya berjalan seperti biasa. Mengurus kebun, membawa hasilnya ke pasar, lalu kembali ke rumah. Ya, sedikit berbeda di bagian Parta Rahman. Ia yang biasanya terlihat soliter kini kerap mengunjungi dan berinteraksi dengan kelompok pejuang lainnya. Baik dari organisasi-organisasi kemerdakaan, relawan, dan kelompok Tentara Keamanan Rakyat setempat.

Gilang juga terkadang menemani Parta. Semenjak insiden bapak di depan kamp interniran waktu itu, dan bagaimana propaganda-propaganda yang dilakukan Belanda sedikit merubah pandangan warga sipil terhadap kedatangan Sekutu, seperti membuat mendidih hatinya.

Bahkan mereka berdua sekarang menjadi anggota Laskar Rakyat.

Saat ini, bemo yang mereka kendarai dari pasar sedang melewati jalan utama. Di beberapa kompleks pertokoan yang terlihat, terdapat banyak selebaran poster yang ditempel. Gilang yang meliriknya hanya memutar mata, merasa jengah, sedangkan Parta memilih untuk mengamati jalanan.

Delman dengan pak kusir dan penumpangnya, mobil tentara-tentara Sekutu yang berpatroli dengan pengeras suara, dan ....

"Lang, Lang. Pelankan mobilmu coba." Parta menepuk pundak sang supir, matanya masih menatap fokus seorang bocah, di pinggir suatu jalan. Sosok itu pun lenyap ketika dirinya berbelok menuju sebuah gedung, yang Parta ketahui sebagai salah satu markas Sekutu di Bandung.

Parta lantas berbalik melihat Gilang, iris hitam mereka bertemu. Mobil kembali dilajukan dengan kecepatan semula. "Iya, saya juga lihat."

...

Peluh perlahan turun dari kening ke ujung hidung. Cuacanya terik, di tambah tempat bersembunyi yang sempit, membuat keadaan semakin sumpek. Kaos yang dipakai mereka juga sudah basah oleh keringat. Kalau Parta dan Gilang memilih untuk menunggu secara 'normal', niscaya berada di berdiam diri di satu tempat selama dua jam lebih tidak akan terlihat normal di mata para Tentara Sekutu yang melihat.

Jadi mereka memutuskan untuk menunggu kemunculan bocah itu di suatu gang buntu yang sempit. Tak jauh dari lokasi saat mereka melihatnya pertama kali.

"Kita waktu itu ngelihat dia masuk ke Hotel Homan pas jam berapa, sih?"

"Setelah kita balik dari pasar, Lang. Siang-siang kayak gini."

Saat itu, ketika Parta dan Gilang melihat seorang bocah pribumi yang memasuki areal markas sekutu dengan lancarnya, mereka sependapat bahwa anak kecil itu pasti bekerja di sana, yang mana berarti dia menjadi kunci akses informasi-informasi dari dalam gedung itu.

Namun, Parta belum berniat untuk memberi tahu ini kepada relasi-relasinya. Ia ingin memastikan terlebih dahulu apa yang dilihatnya. Seperti kata Gilang waktu itu, selain dorogan hati, Parta juga harus menggunakan otaknya.

"Eh, eh. Itu bocahnya," melihat seseorang yang ditunggu akhirnya muncul, Parta berucap antusias. Gilang menyipitkan matanya, memang benar, itu bocah yang sama, dan beruntungnya kedua pemuda itu ketika sang bocah tampak berjalan di atas trotoar, akan melewati tempat persembunyian mereka.

"Pspsp!"

...

Tangan Parta dengan telaten bergerak merawat senjatanya, seperti parang, pistol, dan senapan laras panjang bekas pelucutan tentara Nippon dulu. Tak lupa memasok kembali pelurunya. Sekitar seminggu yang lalu, ia dan Gilang telah mendapatkan informasi cukup banyak dari Ajang, jongos kecil yang bekerja di markas sekutu.

"Kebetulan banget, waktu kita dengar rencana TKR sama kelompok-kelompok kemerdekaan lain mau menyerang markas Sekutu, gak lama kita ngelihat si Ajang. Kita juga jadi tahu berapa banyak kemungkinan pemimpin yang ada di sana," Gilang yang duduk di samping Parta bergumam. Mereka berada di ruang tengah.

"Ya. Sesuai rencana yang sudah dimusyawarahkan, malam hari nanti kita bergerak bersama yang lain, jebol dulu pagar di area belakang markas, biar pribumi-pribumi yang bekerja di sana bisa dengan cepat kabur." Parta mengulang kembali rencana yang telah diatur, ia terlihat antusias dan semangat.

Setelah kegiatannya selesai, ia membuka beberapa petak ubin di dekatnya, terdapat sebuah ruang kecil persegi panjang. Parta lantas memasukkan senjatanya, menutup kembali ubin, dan menaruh lap kumal di atasnya. Kalau sewaktu-waktu Tentara Sekutu berencana kembali menggeledah rumah, ia akan membuat lap itu semakin jorok walau hanya dilihat.

Gilang mengangguk. "Betul, saya juga sudah izin pakai ke bapak pakai bemo, untuk bawa mereka. Soalnya, kendaraan angkutan lain pasti dipakai untuk bawa relawan. Kalau minjam mobilnya TKR, akan terlalu mencolok, takutnya juga boros tempat."

"Ta, kamu gimana? Langsung gabung sama yang lain?"

Parta tersadar dari lamunannya. Ia masih berjongkok di depan sebuah pagar kawat berduri yang baru selesai dijebolnya, agar akses kabur para pekerja pribumi lebih mudah. Gilang berada di belakangnya, sudah turun dari bemo, memegang senapannya, sedangkan Panji masih duduk di bangku kemudi bemo.

Parta balas mengangguk. "Iya."

...

Kilatan cahaya di setiap suara tembakan yang terdengar, pekikan berang dan semangat di masing-masing pihak, juga derap langkah dan ketegangan yang menyertainya. Suatu keributan yang kompleks. Kendati demikian, perasaan semangat dan takut bercampur aduk di dalam dada Parta. Begitu juga dengan Gilang, dan pejuang lainnya.

Malam yang terasa panjang.

Dua sejoli itu berhasil pulang dengan selamat saat pagi buta. Puas rasanya dapat menyerang dua markas sekutu sekaligus, juga mendapatkan kembali persediaan senjata. Walaupun tidak memporak-porandakan secara keseluruhan, penyerangan itu ternyata memicu respon sekutu di tiga hari kemudian.

Ultimatum.

Dan ternyata tidak sekali.

"Aaakhh!"

Akhirnya Parta bisa merobek-robek kertas yang berada di tangannya, membuatnya menjadi potongan-potongan kecil tak beraturan. Daripada memekik kesal sepertinya, Gilang hanya berdeham kasar, dia dan pejuang lain yang berjaga di pos juga sudah mendengar pengumumannya dari radio.

"Enggeus gelo Sekutu, minta pasukan nyekel pakarang urang kudu kajaba tepi isuk peuting. Emangna maranehanana pikir maranehanana saha?!"

(Sudah gila Sekutu, minta pasukan bersenjata kita harus keluar sampai besok malam. Memangnya mereka pikir mereka siapa?!)

Keduanya kini tengah berada di salah satu pos perjuangan, bersama beberapa pejuang lainnya. Tempatnya di daerah perbukitan dengan rerumputan dan pohon-pohon yang menjulang tinggi.

Mereka memang ditugaskan di situ untuk mengintai rombongan truk dan tank Sekutu yang akan melewati jembatan tak jauh dari lokasi pengintaian. Jika situasi mendukung, mereka akan meledakkan jembatan dan mengambil persediaan senjata, lalu masuk kembali ke dalam hutan.

Tadi, saat di perjalanan kembali dari Markas Majelis Persatuan Perjuangan Priangan, Parta berpapasan dengan sekelompok Tentara Sekutu. Mereka membagi-bagikan selebaran, dan walaupun pemuda itu tidak bisa membaca, ia sudah tahu isi dari tulisan di atasnya.

Agar semua pasukan bersenjata Indonesia mengosongkan bagian selatan Kota Bandung sejauh 11 kilometer sebelum tanggal 24 tengah malam, untuk menghindari pertumpahan darah. Warga sipil diminta untuk tetap tenang dan tidak meninggalkan rumah selama periode itu.

"Iya, 11 kilometer juga. Apa nggak punya otak, ya, itu seberapa jauhnya? Bakal saya cabik-cabik itu Hawtorn sama serdadu-serdadunya," yang lainnya menimpali dan mengangguk setuju. Sibuk menghina Komandan Sekutu beserta jajaran-jajarannya.

"Kamu enggak dicurigain, 'kan, Ta?" Gilang bergumam pada Parta yang duduk tak jauh darinya, menyimak pembicaraan sembari memakan tiwul pemberian warga yang sempat mendatangi pos.

"Tampangku kan seperti jongos kampung lemah, nggak ada yang bakal curiga." Parta menggeleng, ia juga melirik kaos butut dan celana yang sobek di beberapa tempat yang menutup badannya. Tak butuh waktu lama sampai makanannya habis bersisa selembar daun pisang, ia lantas mengumpulkan perhatian teman-temannya. Memberikan amanat pesan dari markas MP3.

Bahwasanya Bandung akan dibumihanguskan.

...

Parta dan Gilang berjalan beriringan. Keduanya memakai pakaian biasa tanpa membawa senapan, hanya membawa tas bertambal kain, tidak terlihat sebagai sepasang anggota laskar kemerdekaan. Mereka mengunjungi beberapa rumah warga, melaksanakan tugas memberitahukan praktik bumihangus ini, dan daerah-daerah mana yang bisa dijadikan tempat mengungsi.

".... Jadi sudah ada anggota Laswi yang meninjau beberapa tempat posko pengungsian. Nanti rombongan bapak sama yang lain juga bakal dipandu sama beberapa pejuang selama perjalanan." Parta sedari tadi menjelaskan segala hal yang perlu diinformasikan kepada Pak Endang. Gilang hanya berdiri di sampingnya, antara mengamati pembicaraan atau ... mengamati rumahnya. Ia pasti merasa berat hati.

"Ohh, bapak sudah mengerti sekarang ...," ucap Pak Endang. Ia lalu melihat ke arah anak sulungnya. "Kenapa, Lang?"

"Abdi bakal kangen sami bumi, Pak."

(Saya bakal kangen sama rumah, Pak.)

"Iya, tahu. Nanti salam terakhirmu bakal bapak sampaikan ke rumah ini."





























tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro