Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Hiji: Ajang namanya

Matahari siang, walaupun dilihat dari dalam ruangan, sepertinya sangat menyengat kulit. Ditambah langit yang tidak terlalu didominasi awan, hari ini suasananya lumayan terik. Namun, mau sesilau atau segelap apapun sang mentari, pribumi kecil itu akan tetap beraktivitas di bawahnya.

Seperti saat ini, Ajang sedang sibuk mengumpulkan sepatu-sepatu Tentara Kompeni yang akan ia poles dan perbaiki. Beberapa di antaranya ada yang sangat dekil, karena sering melewati medan becek di kampung-kampung, mungkin. Halaman belakang markas memang lumayan luas, sering kali menjadi tempat para pekerja pribumi mencuci seragam-seragam, menjemur, dan lain-lain.

"Ajang, lagi ngapain?" sebuah suara terdengar dari belakang bocah itu. Ibunya terlihat berjalan ke arahnya, tangannya membawa sebaskom baju basah, hendak dijemur.

"Gosok sepatu, Bu." Ajang baru saja selesai menata sepatu terakhir yang akan diurusnya. Kaki kecilnya sekali lagi masuk ke dalam bangunan, lalu kembali dengan beberapa peralatan. Salah satunya adalah semir sepatu, dan benda itu ternyata sudah habis saat Ajang membuka penutupnya.

"Ajang keluar dulu, ya. Beli semir sepatu baru."

"Masih ada sisa uang, 'kan? Jangan lupa izin sama Kompeni."

Ajang mengangguk. "Iya."

Lalu dengan kaos putih kusam dan celana pendek, ia berjalan menuju pagar markas. Tentara yang sedang berjaga di pos lantas membukakan gerbang begitu saja melihat Ajang hendak keluar, sudah sering dilihatnya bocah pribumi itu pergi dari markas, sekedar membeli peralatan bersih-bersih tentu saja.

Lagi pula, apa hal di luar biasa yang bisa dilakukan seorang bocah, 'kan?

...

Hanya memakai sendal jepit yang sudah rawan putus, toko kelontong yang akan Ajang Sutajang datangi lumayan jauh pula. Meskipun begitu, ia sudah membiasakan diri. Kira-kira saat orang-orang bermata sipit itu datang, Ajang dan ibunya dibawa pergi dari kampung untuk bekerja di tempat tadi, sebagai buruh cuci dan bersih-bersih.

Lalu Kompeni-Kompeni yang waktu itu sempat pergi, datang kembali, seperti menggusur para Tentara Nippon. Mengambil alih markas. Untung saja Tentara Kompeni tidak segalak Tentara Nippon. Buktinya, ia dan ibunya masih dipebolehkan bekerja di tempat tadi.

Bercerita tentang pekerjaan, sayangnya bapak Ajang sudah tidak ada, meninggal karena kejamnya pekerjaan romusa. Saat ibunya menjelaskan hal itu, umur Ajang masih 7 tahun, dan dia belum terlalu mengerti. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mulai memahami, dan menerima kenyataannya secara perlahan.

Kakinya masih melangkah dengan kecepatan yang sama di atas trotoar, terlihat beberapa kendaraan bermotor dan delman lewat, juga mobil militer pengangkut Tentara Kompeni yang menggunakan pengeras suara, berpatroli di sepanjang jalan sembari mengumumkan penggeledahan rumah-rumah.

"Pspsp!"

Sebuah bisikan menarik perhatian Ajang. Walaupun samar terdengar, tetapi ia merasa suara itu tak jauh dari tempatnya berdiri. Ajang menoleh ke sana-kemari mencari asalnya. Benar, bisikan itu ditujukan kepadanya, dari arah sana, di sudut jalan. Tatapan mereka bertemu, seorang pemuda melambaikan tangannya, mengisyaratkan bocah 10 tahun itu untuk datang.

"Halo, Kasep. Nama saya Parta, yang di sebelah saya, namanya Gilang." Ternyata ada dua pemuda. Yang memanggilnya tadi berjongkok, mensejajarkan dirinya dengan Ajang. Tatapannya terlihat ramah. Sedangkan yang satunya berdiri, berkacak pinggang. Sesekali matanya menatap awas ke keadaan sekitar, lalu kembali melihat Ajang datar. "Lang, jangan buat takut!"

Yang bernama Gilang memutar matanya, lalu ikut berjongkok, mengulurkan tangannya. Ternyata ia memberikan Ajang sebungkus nasi jagung. "Halo. Nih, buat kamu. Namamu siapa? Saya lihat kamu sering keluar-masuk gedung besar yang di sebelah sana."

Ajang menerima pemberiannya. Sembari menjawab, bocah itu megambil sesuap makanan itu, "Ajang, A'. Iya, Ajang sama ibu memang kerja di sana, tinggal juga."

"Udah lama?" Gilang masih bertanya.

"Kira-kira pas Tentara Nippon datang."

"Oh, udah lama, dong. Ada banyak yang kayak kamu, nggak, di sana? Yang kerja buat Tentara Kompeni juga. Berapa kalau ada?"

"Nggak banyak, sih. Palingan cuma ...." Ajang berusaha mengingat-ingat. Matanya melihat jari-jari tangannya, berhitung sebisanya.

Parta menyunggingkan senyum. Entah itu aura bersahabat atau intimidasi, yang jelas, pemuda berkulit sawo matang di sebelahnya ahlinya menginterogasi seseorang. Kini giliran Parta yang bertanya, "Orang-orang yang seragamnya lebih bagus, berapa orang?"

"Ajang nggak pernah ngitungin, A'."

"Kalau gitu, orang-orang yang seragamnya bagus ini, sering atau jarang kamu lihatnya?"

"Engg, pas pagi sama sore doang yang sering. Siang Ajang bersih-bersih, malamnya nggak boleh keliaran. Ibu suruh tidur." Ajang mengelap pipi, menggeser sisa-sisa nasi ke dalam mulutnya. Parta melirik Gilang sekilas, lalu arah pandangnya kembali bertemu Ajang.

"Oh, ya, jangan bilang siapa-siapa kalau kamu ketemu sama kami. Mau nasi jagung lagi nggak, Jang? Tapi besok-besok kamu ke sini lagi, ceritain ke saya ruangan-ruangan di tempat itu."

"Oh, bisa. Nanti Ajang minta A'a tentara buat ajak Ajang keliling lebih dalem." Parta dan Gilang mengernyit bersamaan.

"A'a tentara?"

"Iya. Dia, teh—ah, Ajang harus beli semir sepatu sekarang. Nanti bisa dimarahin kalau nggak cepet-cepet balik." Dua pemuda di hadapan bocah itu pun mengangguk, membiarkan Ajang berlari kecil menuju tujuan awalnya. Saat ia melewati jalan itu untuk kembali ke markas, hanya nihil yang didapatnya. Parta dan Gilang sudah tidak ada.

...

Bocah itu melewati gerbang masuk. Yang berjaga di pos sudah bukan tentara yang sama. Pria itu menghentikan Ajang, menatapnya dari ujung ke ujung sebentar, lalu mengalihkan pandangannya. Ajang lantas masuk ke dalam, langsung ke bagian belakang hotel. Ibunya sudah tidak ada di tempat semula, barangkali berteduh dari panas menyengat matahari.

Mendaratkan bokongnya, tangan kecilnya mengambil satu per satu sepatu yang tadi ditata. Yang tidak terlalu kotor, hanya ia siram. Yang berlumpur dan rusak, akan lebih lama penanganannya. Dari bayangan hitam yang sejajar dengan tubuhnya, sekarang sudah di samping badan, Ajang akhirnya selesai mengurus pekerjaannya.

Jangan heran dari mana dia mendapatkan keahlian ini, menjadi anak satu-satunya di keluarga, membuat Ajang menerima berbagai pelajaran, baik dari almarhum bapak maupun ibunya. Dulu, saat keluarganya masih bekerja untuk keluarga Kompeni, bapaknya selalu telaten dan bersungguh-sungguh mengurus kebun majikannya. Sedangkan ibunya, menjadi mbok di rumah itu, melakukan pekerjaan-pekerjaan wanita seperti mencuci, menjahit, memasak, dan sebagainya.

Sekitar beberapa tahun setelahnya, saat orang-orang sipit mulai memasuk Indonesia, keluarga Kompeni ini kembali ke negara asalnya. Bapak, kata ibu, diminta bekerja sama Nippon. Saat beliau pulang dan dimakamkan, Ajang dan ibunya waktu itu dari kampung dibawa pergi ke sini. Katanya, memang ibu yang minta untuk dipekerjakan. Tidak apa tidak dibayar, asalkan mereka punya makanan dan atap untuk berteduh.

Namun, suatu hari, setelah Tentara-Tentara Kompeni dan Nippon bertemu di sini, semuanya dikendalikan oleh Kompeni. Kalau disuruh memilih, yang mana yang lebih baik antara Kompeni atau Nippon, Ajang akan lebih memilih Kompeni. Mereka tidak suka menganggu ibu, tidak juga bersikap keras, bahkan terkadang ibu diberi uang oleh Kompeni. Ya, Ajang tidak bisa menghitung dengan baik, jadi dia tidak tahu bayarannya itu banyak atau sedikit, tetapi tetap saja. Lebih baik.

"Ajang. Ayo masuk, bantuin ibu di dapur!" sebuah suara terdengar, menyadarkan Ajang dari lamunan. Ia masih terduduk, memegangi kotak semir sepatu baru yang sudah habis seperempatnya. Kepalanya menoleh ke samping, pintu belakang markas.

"Iya, Bu."
















tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro