Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sore di Atap

Pepper spray, check. Pen setrum, check. Personal alarm, check. Baton brick, check.

Aku menghela napas lega dan tenang karena seluruh perlengkapan perangku sudah lengkap. Dengan begini, meski kecemasan masih saja muncul setiap kali hendak keluar rumah, aku tahu ada sesuatu yang bisa kujadikan senjata. Aku nggak lemah dan nggak berdaya. Aku bisa melakukan sesuatu.

Sejak nekat mendatangi Benny ke apartemennya kapan itu, keberanianku muncul dan semakin besar. Aku memang masih belum berani naik angkot, KRL, atau moda transportasi massal lainnya, tetapi aku nggak keberatan naik ojek online. Setiap pagi, aku meluangkan waktu 10 menit untuk mempersiapkan diri. Menarik napas panjang, lalu buang, ulangi sampai dirasa cukup, sebelum keluar rumah untuk menemui driver ojek online yang kupesan. Aku akan duduk di ujung boncengan dan meletakkan ransel yang besar di antara aku dan driver. Dalam pikiran, kuyakinkan bahwa jika driver itu berniat jahat, aku akan menyetrum lehernya dengan pen setrum, lalu kami akan mati bersama karena kecelakaan.

Agak tragis, tapi setidaknya hal itu berhasil dan seminggu ini semua berjalan lancar. Aku mulai terbiasa pulang pergi ke kantor, tanpa merepotkan Benny lagi.

Tentu saja itu kabar yang luar biasa baik. Aku mensyukurinya, sama besar dengan rasa syukurku berhasil selamat dari kejadian-kejadian buruk itu. Namun, di sisi lain, aku juga jengkel dan juga takut setiap kali mengingat apa pemicu keberanianku. Apa yang mampu membuatku melampau batas-batasku, mengatasi segala rasa takut, dan yang mengembalikan kekuatanku.

Benny. Itu semua karena Benny. Aku bersyukur karena kondisiku membaik, tetapi aku juga takut dengan fakta tentang betapa besarnya dampak Benny dalam hidupku.

"Morning, Ev," sapa Benny, saat aku tiba di kantor. Dia sedang berdiri di depan pintu waktu aku turun dari ojol-entah dia juga baru datang atau memang sengaja menungguku. Separuh wajahnya nggak kelihatan karena masker, tapi aku tahu dia sedang tersenyum lebar mengkhawatirkan.

"Pagi, Kak."

"Semuanya baik-Ev! Kok lari-lari, sih? Awas jatuh!"

"Eh, maaf, Kak! Aku kebelet! Udah nahan dari tadi. Sori-sori!"

Aku bergegas menaiki tangga ke lantai dua tanpa menoleh lagi. Setelah menaruh ranselku di kubikel, aku buru-buru kabur ke toilet hanya untuk mendekam di sana tanpa melakukan apa-apa. Hanya menatap pintu toilet perempuan yang tertutup rapat, aku menghela napas panjang.

Setelah berdiam diri lima menit, aku keluar dari toilet dan menuju kubikelku sendiri. Jelas aja Benny sudah nggak terlihat di mana pun. Dia pasti sudah bablas ke lantai tiga. Buru-buru aku membuka laptop, karena aku nggak boleh buang-buang waktu. Pertama, ada banyak hal yang harus kukerjakan untuk mengejar ketertinggalan agar VIP Room bisa launching tepat waktu dua minggu lagu-meeting bersama pukul 11 nanti dan banyak yang perlu kusiapkan. Kedua, aku harus kerja efektif supaya bisa pulang tepat waktu pukul 5 sore nanti, tepatnya sebelum Benny turun dari lantai 3. Kalau beruntung, aku bisa bareng Ruri sampai rumah Bude Mara. Kalau kurang beruntung, aku harus naik ojol sebelum gelap.

Pukul 11 tepat, aku masuk ke ruang meeting dan menunggu partisipan yang lain. Nggak menunggu lama, ruang meeting segera terisi penuh. Kali ini selain meeting rutin mingguan, juga meeting persiapan launching. Jadi, selain aku, Benny, dan Petra, juga ada beberapa panitia launching, tim finance, HRD, dan lain-lain. Petra dan Benny datang paling akhir, turun dari lantai tiga sambil berdiskusi tentang sesuatu. Ruangan meeting kecil jadi terasa penuh sesak, sehingga mau nggak mau aku harus duduk berdempetan dengan yang lain.

Meeting berjalan dengan efektif selama 45 menit. Semuanya aman, lancar, dan terkendali. Hanya tinggal beberapa checklist saja yang perlu kupastikan. Selebihnya, jika semua tetap selancar ini, acara launching WeTimes VIP Room tiga minggu lagi bisa digelar.

Aku bergegas keluar ruang meeting bersama yang lain.

"Ev!" panggil Benny buru-buru.

Sontak aku memejamkan mata. Lalu dengan sangat terpaksa, berbalik dan memasang senyum lebar. Hanya tinggal Petra dan Benny di dalam ruang meeting.

"Ya?"

"Jangan ... eh, anu, kamu lagi buru-buru?" Ekspresi Benny sedikit nggak yakin.

Otakku berpikir cepat. "Mau nyiapin spread sheet yang tadi diminta Mas Willy, sih. Biar bisa segera diproses sama Ruri."

"Oh, gitu .... Ya udah, nanti aja."

Aku nggak memberi Benny kesempatan untuk berpikir dua kali. Bergegas aku keluar dari ruang meeting dan kembali ke kubikelku.

Begitulah hari-hariku belakangan ini berlangsung. Selain sibuk bekerja, aku juga sibuk menghindari Benny. Di jam kerja, itu sangat mudah karena pekerjaanku banyak, dan Benny memang nggak pernah menggangguku saat aku terlihat sibuk. Saat jam makan siang tiba, aku mengiakan ajakan makan siang pertama yang kuterima hanya agar aku nggak ketinggalan sendirian di kantor, meski terkadang aku bawa bekal dari rumah.

Di rumah, situasinya juga nggak jauh berbeda. Sejak aku berani berangkat dan pulang kantor sendiri, Benny nggak sesering dulu mampir ke rumah Bude Mara. Aku juga, bagaimanapun caranya, nggak memberinya alasan untuk melakukan itu.

"Mau pergi, Va?" tanya Bude Mara, hari Sabtu pagi saat aku bersiap-siap di ruang tamu, tengah mengecek perlengkapan pengamanan di ranselku sembari menunggu ojol.

"Iya, Bude. Aku kemarin daftar kursus self defense buat perempuan gitu. Aku rasa itu akan sangat berguna buat aku."

"Ah, gitu. Benar, Bude setuju. Di mana kursusnya?"

Aku menyebutkan sebuah lokasi di gedung olahraga. "Ini cuma lima kali pertemuan. Semisal cocok, rencananya aku akan lanjut dengan kursus bela diri lain."

"Kalau kita tahu cara membela diri, pasti akan merasa lebih aman juga."

Aku mengangguk. Saat itu, telingaku mendengar suara mesin mobil berhenti di garasi. Refleks aku menatap aplikasi ojek online di ponselku, gelisah karena driver-ku nggak segera tiba.

"Sepertinya itu Aria," kata Bude Mara. "Pagi-pagi bener ...."

Tenang, Eva, tenang. Ketemu sebentar kan enggak apa-apa.

Suara salam terdengar dari suara yang familier. Bude Mara menjawab dengan hangat, sementara aku menjawab lirih. Benny segera muncul di pintu dan menyapa dengan riang.

"Pagi banget, Ar?" tanya Bude. "Biasanya juga kamu masih molor jam segini."

Benny nyengir lebar. "Mampir sekalian tadi habis joging." Pandangan Benny jatuh padaku. "Lho, Ev, mau pergi?"

Aku mengangguk. Lalu mengulangi penjelasanku untuk Bude Mara tadi kepada Benny.

"Oh gitu .... Bagus, bagus. Itu emang perlu, sih," komentar Benny. Sementara aku bertanya-tanya nyasar ke mana driver ojolku itu. "Mau berangkat sekarang? Aku anter-"

"Nggak usah, Kak!" potongku cepat, yang seketika kusesali karena terlalu terburu-buru. "Anu, aku udah pesan ojol. Ini ...." Kutunjukkan ponselku. "Nggak tahu ke mana orangnya. Nyasar kali, ya ...."

"Oh gitu. Nanti pulang jam berapa? Mau aku jemput? Lokasinya di mana, sih?"

Saking panik dan berusaha keras mengendalikannya, tubuhku terasa seperti mendadak demam.

"Nggak perlu. Habis dari sana nanti aku ... mau jalan sama Mas Nugie."

"Oh, gitu." Ekspresi Benny sontak berubah, meski dia masih berusaha tersenyum. "Oke. Hati-hati, ya. Kabari aja kalau butuh jemputan."

Aku mengacungkan jempol. Di saat yang sama, driver ojol yang kunanti-nanti akhirnya tiba. Aku segera pamit dan bergegas keluar. Kulewati pintu rumah Bude Mara dengan perasaan bersalah yang membeludak. Bersalah, karena aku berbohong dan membawa-bawa Nugie lagi. Bersalah, karena setelah semua yang Benny lakukan untukku, aku terkesan seolah membuangnya dari hidupku. Bersalah, karena ... aku sedikit sedih.

***

Setiap menjelang akhir pekan, aku selalu putar otak untuk mencari rencana sempurna "menghabiskan akhir pekan yang nyaman dan aman". Setelah dua akhir pekan aku membawa-bawa Nugie dalam kebohonganku, aku bersyukur karena Bude Mara menjadi tuan rumah arisan komplek, sehingga aku punya kesibukan meski nggak keluar rumah. Kabar lainnya, Benny juga sedang pergi ke Bandung bersama Petra. Akhir pekanku terasa damai tanpa harus cari-cari alasan dan merasa berdosa karena sudah berbohong.

Setidaknya sampai setelah arisan selesai, dan aku tengah bersantai mengistirahatkan punggung di kursi belakang bersama Bude Mara, Lik Nah berkata ada yang mencariku. Aku sudah curiga itu Benny-walau setelah kupikir lagi, mustahil Benny nggak langsung muncul di hadapan kami. Namun, bukan Benny yang kutemukan di ruang tamu.

"Mama," gumamku lirih.

Wanita paruh baya yang duduk di sofa itu terlihat berbeda dengan kali terakhir kami bertemu beberapa bulan lalu. Biasanya Mama tampil modis dengan makeup yang pas, sehingga membuatnya terlihat cantik dan jauh lebih muda dibanding usianya. Mama yang kulihat hari ini seperti menua bertahun-tahun. Tubuhnya kurus, wajahnya pucat dan cekung, rambut-rambut putih bermunculan di banyak sisi. Namun, Mama tersenyum. Senyum yang anehnya terasa menghangatkan hati.

"Mama sakit?" tanyaku langsung begitu duduk di hadapannya. Kekhawatiran itu muncul begitu cepat tanpa bisa kucegah.

"Apa? Ah, enggak. Mama sehat-sehat aja kok, Va," jawab Mama. "Kamu apa kabar?"

Aku mengerutkan kening. Tumben sekali Mama ingat untuk menanyakan kabarku.

"Baik," jawabku kaku. "Eva baik-baik aja."

Mama nggak bicara apa-apa lagi. Untuk sejenak, keheningan dan kecanggungan terjadi di ruang tamu Bude Mara. Ini ... sama sekali bukan Mama yang kukenal. Seburuk apa pun hubungan kami, aku mengenal setiap sudut ekspresi Mama dan apa artinya hal itu. Saat ini, Mama terlihat kebingungan. Seolah Mama sedang berusaha mengutarakan sesuatu, tapi nggak tahubm caranya.

Aku berdeham. "Mama mau jalan-jalan di sekitar sini?" tawarku.

"Kamu benar-benar baik-baik saja, Va?" tanya Mama cepat. "Kamu bisa keluar rumah?"

Aku mengangguk. Lalu kuulangi tawaranku dan kali ini Mama setuju. Kami berjalan-jalan di sekitar komplek rumah, menuju taman yang teduh dengan penjual bubur legendaris di salah satu sudutnya, yang sayangnya sudah tutup. Akhirnya kami hanya duduk-duduk di salah satu bangku di taman, menonton sekelompok anak kecil yang sedang bermain kelereng.

"Rumah kontrakanmu udah habis masa sewa, Va," kata Mama tiba-tiba. "Dan Mama enggak perpanjang, karena kamu bilang nggak mau lagi tinggal di sana."

Aku diam saja.

"Sekarang Mama ngontrak di daerah Utan Kayu. Sisa barang-barang kamu dari kontrakan Mama bawa ke sana."

Kuputuskan untuk membiarkan Mama bicara sampai tuntas.

"Kontrakan Mama kecil, tapi bersih dan nyaman. Ada dua kamar tidur. Lingkungannya juga bagus dan hangat. Nggak ada yang tahu alamat baru Mama."

Apa itu artinya Mama sudah melepaskan diri dari bajingan itu? Apa Mama meninggalkannya demi aku?

"Sekarang Mama kerja sama Tante Emi. Kamu ingat kan, Va? Sahabat Mama yang punya usaha katering. Kontrakan baru Mama di dekat rumah Tante Emi."

Aku mengenal dengan baik Tante Emi. Jika ada orang yang cukup waras untuk menilai betapa sikap mamaku sering konyol dan kekanak-kanakan serta punya keberanian untuk mengingatkan, ya itu hanya Tante Emi. Mereka sudah bersahabat sejak muda. Dulu Tante Emi juga yang memberiku resep siomay froozen untuk jualan di masa pandemi.

Aku masih belum mengatakan apa-apa. Kulihat Mama meremas-remas tangannya yang berada di pangkuan.

"Mama ngerti kamu nggak mau hidup sama Mama lagi. Mama ngerti, dan semua memang salah Mama. Semua hal buruk yang kamu alami, itu salah Mama. Papamu benar. Memang Mama ini nggak pantas disebut ibu."

Aku masih diam saja.

"Mama nggak maksa kamu terima Mama lagi, Va. Mama cuma mau bilang, Mama berusaha keras buat memperbaiki diri. Mama masih perlu banyak belajar, tapi Mama berusaha. Dan kapan pun kamu bisa maafin Mama, atau mau tinggal sama Mama lagi, Mama sudah siapkan semuanya."

Aku menelan ludah.

"Cuma kita berdua. Kamu sama Mama, nggak ada orang lain."

Meski hatiku sempat terenyuh dengan kesungguhan Mama-aku lumayan mengenal mamaku untuk menilai ekspresinya-aku nggak bisa menerima tawarannya. Aku bahkan nggak yakin bisa menganggapnya serius untuk saat ini. Bisa jadi Mama hanya sadar sesaat dan kembali seperti semula. Atau bisa jadi bajingan itu berhasil melacak alamat baru Mama dan mendatangi kontrakan itu. Terlalu banyak risiko yang menunggu.

Kulepas kepergian Mama dengan hati yang sedikit ringan. Setidaknya, aku tahu bahwa Mama baik-baik saja. Ada Tante Emi di sana yang akan memastikan itu semua. Namun, ketika sore harinya muncul chat dari Benny, aku mulai memikirkan tawaran Mama.

Aria (BisDev):
Ev, besok ada acara?

Eva:
Emang kenapa Kak?
Kak Benny masih di Bandung?

Aria (BisDev):
Ini udah OTW pulang
Besok ada pertunjukan teater di TIM. Mau nonton bareng? Udjo katanya juga nonton.

Eva:
Duh, maaf Kak. Besok aku udah janjian sama Mas Nugie

Aria (BisDev):
Sama Nugie?

Eva:
Yep. Mau nemenin dia nyari buku

Kubaca barisan chat-ku dengan Benny. Kebohongan yang kususun sungguh membuat asam lambung naik. Lagi-lagi aku menyeret nama Nugie. Namun, aku juga nggak tahu pilihan apa lagi yang bisa kupakai. Nugie adalah alasan ultimate. Minggu lalu aku beralasan jalan sama Nugie padahal aku menginap di rumah Papa. Besok ... entah apa yang harus kulakukan besok, karena aku nggak enak kalau terlalu sering main ke rumah Papa.

Sebenarnya aku ingin bertemu Mas Udjo. Banyak hal yang ingin kuobrolkan dengannya setelah sekian lama nggak ketemu. Namun, untuk saat ini, aku harus benar-benar meminimalisir pertemuan dengan Benny.

***

Acara launching WeTimes VIP Room datang secepat kilat. Sejak kemarin, kantor WeTimes sibuk sekali. Lobi lantai satu disulap menjadi lounge yang nyaman dan homey, memberi kesan tamu sedang berada di ruang tunggu VIP. Sofa-sofa di ruang meeting dikeluarkan, termasuk beanbag-beanbag yang empuk. Di bagian depan terdapat panggung kecil tempat untuk konferensi pers serta pengenalan produk. Di salah satu sisi terdapat meja panjang dengan aneka hidangan. Di bagian yang lain, ada pos-pos produk yang dipandu oleh masing-masing tim.

Biru laut menjadi warna utama acara ini. Tim dekorasi bekerja keras dan berhasil dengan gemilang. Menjelang pukul 15.00, tamu undangan mulai berdatangan. Tamu undangan terdiri dari kreator, selebgram, kontributor WeTimes, praktisi media, dan tentu saja rekan media. Susunan acaranya lumayan ringan dan seru. Diawali dengan talkshow singkat yang menghadirkan Petra, Dianita Hapsari-seorang praktisi media, dan juga Wilhelmina Rays-konten kreator sekaligus BA WeTimes VIP. Lalu disusul oleh peresmian WeTimes VIP Room dan pengenalan produk. Terakhir, yang dinanti-nanti, adalah acara hiburan yang menampilkan Selayang Pandang, sebuah group musik beraliran jazz populer yang sedang naik daun.

Seluruh acara berjalan lancar. Sebagai penanggung jawab event, aku baru bisa menghela napas lega ketika group music itu sudah membawakan lagu ketiga tanpa halangan. Rasanya seluruh tulang-tulang tubuhku yang tadi kaku mendadak rileks. Tengkukku yang tadi berat, sekarang sudah mulai ringan. Meski demikian, aku butuh udara segar, setelah bertemu dan berkumpul dengan begitu banyak orang.

Saat semua sedang asyik menikmati penampilan Selayang Pandang, aku melipir menaiki tangga ke lantai dua. Lalu aku lanjut naik ke lantai tiga, dan berakhir di rooftop. Angin sore lansung menerpa wajahku begitu aku keluar dari pintu rooftop. Rasanya adem sekali. Mendadak aku merasa begitu lega. Segalanya terasa lebih lapang dan tenang.

Aku duduk di bangku semen yang diletakkan di dekat dinding pembatas atap gedung. Ada atap mini yang fungsinya melindungi dari sinar matahari. Langit mulai menguning, dan awan pecah-pecah berada di atas kepalaku. Kalau menatap jauh ke depan, aku bisa melihat landscape kota yang padat dan sibuk.

Danu-lah yang pertama kali memberitahuku tentang rooftop. Kadang beberapa orang melipir ke sini untuk merokok. Namun, semua sedang sibuk di lobi. Aku juga juga nggak bisa lama-lama di sini. Jadi, kunikmati saja kesempatan "healing" singkat ini.

Belum lima menit aku berada di sana, terdengar suara pintu rooftop dibuka. Aku menoleh, dan mendapati Benny keluar dari sana. Sontak aku mendesah kecewa. Bukannya tadi dia lagi sibuk ngobrol dengan tamu-tamu?

"Udah kuduga kamu bakal nyari pelarian," katanya santai.

Di tangannya terdapat dua gelas kertas yang kuduga isinya kopi hitam. Benny berjalan ke arahku. Dan aku mulai berpikir cepat apakah aku harus stay atau cabut dari sini. Namun, aku lelah sekali. Baik dari keramaian di lobi maupun dari aksi kabur-kaburan dari Benny. Aku cuma pengin santai. Sebentar saja.

"Are you okay?" tanya Benny setelah tiba di dekatku. Diserahkannya satu gelas kopi kepadaku.

"Ya. Trims, Kak."

Benny duduk di sebelahku, membawa aroma parfumnya yang disebarkan oleh angin, bercampur dengan aroma kopi.

"Acara kamu sukses, Ev. Congratulations! Good job!"

Aku tersenyum. "Syukurlah. Berkat bantuan semua orang." Aku diam sebentar. "Semoga aku lolos probation."

Benny tertawa. "Oh, iya. Evaluasi probation sebentar lagi, ya?"

Aku mengangguk. "Kalau dihitung-hitung, sudah hampir lima bulan aku bekerja di sini." Dan sudah lebih dari tiga bulan aku tinggal di rumah Bude Mara. "Cepet banget waktu berlalu."

"Kamu ngerasa begitu?" Benny bertanya. "Aku malah sebaliknya. Kayaknya lama banget."

"Kok bisa?"

Benny mengedikkan bahu. "Mungkin karena ada masa-masa yang rasanya pengin aku skip aja. Mungkin karena ada satu tujuan di depan sana yang pengin aku raih, dan bikin frustrasi karena saat ini situasi nggak memungkinkan."

"Oh, ya? Apa itu, Kak?"

Benny menatapku lagi, lalu dia tersenyum. "Adalah pokoknya. Anyway, minggu depan aku sidang tesis. Doain, dong."

"Oh, udah? Tuh, kan, waktu cepat berlalu. Pas aku datang, Kak Benny baru mulai nyusun tesis."

"Ev, itu udah lima bulan lalu, lho," protesnya. "Aku nyusun tesis ini hampir setahun sendiri," keluhnya. "Lambat banget."

Seperti biasanya, obrolan dengan Benny selalu mengalir dan mudah menjadi seru. Dari tesis, kami membahas banyak hal. Mulai dari kursus bela diri yang kuikuti, ide baru Petra yang agak nggak masuk akal, peran media dan prospek advertorial di masa depan, sampai jalannya pentas teater yang tempo hari Benny tonton. Saat sadar, kopi di gelasku sudah tandas. Sementara langit semakin menguning, jam tanganku menunjukkan hampir pukul 18.00.

"Kamu ... nggak ada yang pengin diceritain ke aku?" Tiba-tiba Benny menoleh kepadaku dan bertanya seperti itu.

Aku tersenyum. "Ini dari tadi bukannya udah cerita?"

"Bukan soal itu," sahut Benny cepat. "Bukan soal kerjaan atau hal-hal lainnya."

Kutatap Benny lekat-lekat. Kalau bukan soal itu, lantas soal apa? Kenapa ekspresi Benny jadi serius sekali? Apa yang sebenarnya dia maksudkan? Apa ... jangan-jangan Benny tahu soal Mama? Soal tawaran Mama itu? Aku memang sempat cerita ke Bude Mara soal apa yang Mama bicarakan waktu itu. Apa iya soal itu?

Namun, yang lebih penting dari itu semua, kenapa aku berdebar-debar? Ini kan bukan pertama kalinya aku berduaan dengan Benny. Bukan pertama kalinya dia menatapku tepat di mata, tapi ... kenapa aku nggak bisa berpaling? Kenapa aku tiba-tiba aku ... ingin memilikinya?

Kutepis pikiran bodohku dan kualihkan pandanganku. Namun, mataku malah mendarat di bibirnya. Bibir yang cukup tebal dan sedikit gelap karena nikotin. Dulu ketika kami masih sama-sama mahasiswa, dengan kedekatan yang aneh itu, beberapa kali aku pernah membayangkan ciuman dengan Benny. Seperti apa rasanya?

"Ev, aku nggak pengin bikin kamu takut," kata Benny ragu-ragu, tapi senyum tulus tercetak di wajahnya. "Tapi aku harus bilang, you're so beautiful, do you know that? Kamu membaik dengan cepat, dan aku senang lihat kamu yang sekarang. Stunning and very pretty."

Angin sore berembus lumayan kencang, membawa aroma musk yang segar. Seperti perpaduan mint dan citrus.

Bagaimana rasanya mencium Benny? Lagi-lagi pertanyaan itu muncul.

Senyuman lembut di wajah Benny mulai menghilang, digantikan oleh tatapan campur aduk. Binging, penasaran, dan sorot mata entah apa yang nggak kupahami sepenuhnya.

Bisakah aku mencium Benny?

Sebelum otakku membuat pertimbangan-pertimbangan yang waras, aku sudah melakukannya. Kudekatkan wajahku, dan Benny memahaminya dengan cepat. Bibir kami bersentuhan, dan aku mulai merasa waktu hanyalah materi yang semu.

Aku sempat menduga ciuman ini akan mengerikan, membuatku berkeringat dingin, dan dan ketakutan karena membangkitkan kejadian-kejadian buruk itu. Namun, ternyata ciuman itu begitu lembut, terasa aman, dan nyaman. Aku nggak terpikir kejadian-kejadian buruk itu, karena satu-satunya yang muncul di otakku adalah emosi asing yang begitu membuncah. Aku seperti sedang dipeluk dengan cara yang lebih dalam.

Aku menutup mata, tetapi dalam pejam mataku, wajah teduh Benny tersenyum lembut terlihat dengan jelas. Tawanya yang renyah terdengar di telingaku, tatapan matanya yang hangat, juga embusan napasnya yang terasa familier di setiap sendi tubuhku. Rasanya seperti pulang setelah menempuh perjalanan panjang. Rasanya seperti aku ingin lelap di sini, dan aku takut terbangun karena bisa saja ini semua hanya ilusi.

Tentu saja ini semua bukan ilusi. Ketika kami berhenti, kubuka mataku dan menatap wajah tampan di hadapanku yang berkata lirih, "Ev ...."

Saat itu, kesadaranku kembali. Rasanya seperi digeplak tepat di kepala. Apa yang kulakukan? Eva, apa yang baru saja kamu lakukan?

Aku melejit bangkit dari dudukku. "Maaf, Kak!" seruku panik. Rasa bersalahku langsung membumbung tinggi. Bagaimana kalau Ruri melihat ini? Sontak aku menatap sekitar dan bersyukur karena pintu rooftop masih tertutup rapat. "Maaf! Ini ... ini nggak seharusnya terjadi!"

"Ev-"

"Aku nggak tahu kenapa aku begitu! Otakku pasti-"

"Ev, nggak apa-apa," potong Benny, berusaha menenangkanku. "It's ok, aku--"

"Nggak apa-apa gimana?! Seharusnya itu nggak terjadi!" Kuusap wajahku frustrasi, berusaha menenangkan diri sendiri. "Oke. Oke. Lebih baik aku turun sekarang. Kak Benny turun agak nanti, ya!"

Terburu-buru aku menjauh dari Benny, menuju pintu rooftop.

"Kemarin aku ketemu Nugie."

Secara otomatis, kata-kata Benny menghentikan langkahku.

"Waktu di Bandung."

Aku berbalik. Ada jarak sekitar tujuh langkah di antara kami. Namun, dari ekspresi Benny yang begitu kalut, aku sudah bisa menebak apa yang hendak dia katakan.

"Kenapa kamu nggak bilang kalau kalian udah putus, Ev?"

Tepat seperti dugaanku.

Detak jantungku melesat ke titik tertinggi. Kutelan ludah dengan susah payah.

"Kenapa kamu bohong sama aku kemarin-kemarin?" kejar Benny. "Setiap akhir pekan, kamu bilang pergi sama Nugie. Tapi Nugie bilang udah putus dari sebulan yang lalu. Kenapa bohong?"

Sekali lagi aku menelan ludah. Harus kujawab apa? Kenapa aku bohong kepada Benny? Aku nggak terlalu peduli tentang statusku dengan Nugie, tapi menjawabnya dengan jujur sama artinya mengakui kalau aku menghindari Benny. Bagaimana aku harus mengatakan itu?

"Kamu menghindar kan, Ev?"

Atau mungkin saja Benny sudah tahu.

"Kamu menghindar dari aku. Kamu pilih bohong pergi sama Nugie daripada ketemu aku."

Dia adalah orang paling cerdas yang pernah kukenal. Bukan hal sulit baginya untuk menganalisa keadaan.

"Kenapa?" tuntut Benny. "Pertanyaanku satu. Kenapa?"

Kuhela napas panjang. Come on, Eva, kamu bisa menghadapi ini.

"Iya, kami udah putus," jawabku dengan suara yang sedikit goyah. "Itu benar. Tapi apa aku harus ngasih tahu Kak Benny soal status asmaraku?" Berusaha bersikap santai, aku nyengir kecil.

Namun, Benny justru terlihat terkejut dengan kata-kataku.

"Ev, aku perlu tahu soal itu, kan?" tanyanya nggak habis pikir. "Aku udah bilang soal perasaanku, dan kamu-"

"Meski aku udah nggak sama Nugie, kan nggak berarti aku akan sama Kak Benny juga. What happened in Jogja stay in Jogja. I'm sorry."

Kata-kataku membuat Benny lebih terkejut dari sebelumnya. Sejak dulu, Benny selalu ekspresif. Sekarang, pria itu terlihat terperangah dan tertampar di saat yang sama. Hatiku terasa seperti diremas-remas.

"Then why did you kiss me, Ev?"

***

Olaaaaa~~
I know, I knooooooww. Lapak ini udah jadi sarang laba-laba saking lamanya kutinggalkan. Hahahah

Sebenernya aku udah lama nulis chapter ini, tapi baru sempet ngerapihin. Malam ini aku lagi mblenger revisi sebuah naskah, dan aku butuh hiburan sejenak. Sooo, kutemui kembali Kak Benny dan Dek Eva yang nasibnya ngenes ini ;p

Berhubung aku update lagi setelah sekian lama, ini adalah waktu yang tepat untuk ... baca ulang dari awal. Wkakak. Aku tahu kok pasti banyak yang lupa sama cerita ini saking lamanya nggak update. Maaf yaa, lagi banyak yang harus dikerjain (30% soal naskah, 70% rebahan wkwk)

Oh yaaa, buat yang belum tahu, aku lagi open PO untuk 2 novel baruku yang berjudul Parafrasa Rasa dan Under Your Spell. Untuk info PO lebih lanjut (harga berapa dan pesan di mana) serta teaser cerita bisa kalian tengok di lapak masing-masing yaa~

Terus, buat kalian yang pengin PO novel Tentang Kita yang Tak Mengerti Makna Sia-Sia juga bisa sekalian PO, lho.

Buat yang nggak mau ketinggalan info bisa follow IG-ku @katapradnya yaa.

Luv!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro