Ruri yang Lalu
Katanya benak manusia itu seperti gunung es di tengah laut. Yang terlihat hanya ujungnya, sementara yang tersembunyi di bawah laut jauh lebih besar. Itu artinya kuasa alam bawah sadar ini sangatlah besar. Jika benar demikian, apa akhir-akhir ini aku mulai dikendalikan oleh alam bawah sadarku, sehingga aku melakukan hal-hal yang semestinya nggak kulakukan?
Sialan, Eva. Bagaimana bisa aku melakukan hal yang konyol semacam itu? Bagaimana bisa aku malah mencium Benny saat seharusnya dia adalah nomor satu di daftar orang yang nggak boleh kucium? Sekarang, kalau sudah begini, aku harus gimana kalau ketemu Benny? Apa aku bisa menahan rasa malu dan nggak enakku, untuk bisa hidup seperti biasa? Terlebih, apa aku masih bisa menahan perasaanku sendiri?
"Non, masih kerja aja. Hayuk, yang lain udah ready!"
Aku mendongak dari tampilan spreadsheet excel yang sedari tadi kupelototi tanpa hasil. Danu berdiri di samping kubikelku sembari berkacak pinggang. Kemejanya yang berwarna pink cerah terlihat mencolok. Rambut jambulnya pun melambai-lambai penuh semangat.
"Lunch team," tambahnya, mungkin karena aku terlihat nggak paham. "Lo bisa ikut, kan?"
"Oh, iya ya! Bisa. Sori, Mas. Gue lupa."
Kutatap jam tanganku. Lima belas menit lagi sudah masuk waktu makan siang. Sekeliling lantai dua pun sudah kosong. Kemungkinan besar mereka sudah di lobi dan siap berangkat. Nggak mau jadi bahan tungguan, aku buru-buru menyusul.
Seperti dugaanku, kebanyakan tim sudah menunggu di lobi. Masing-masing bergerombol dengan, dan Danu wara-wiri dengan ponsel di tangan. Gerombolan pertama yang kuidentifikasi duduk di sofa lobi. Anggotanya Benny, Petra, Willy, Medina, Ruri. Mereka sedang ngobrol seru.
Ketika aku menuruni tangga, Benny menoleh dan mata kami bertemu. Namun, aku buru-buru memalingkan pandang dan berjalan lebih cepat.
"Va! Sini!" panggil Ruri. "Sini, mobil Aria masih longgar."
Tepat saat itu, sebuah MPV hitam berhenti di depan lobi. Agaknya satu taksi online pesanan Danu sudah datang.
"Gue bareng itu aja, Rur," kataku, sambil mempercepat langkah. Semoga masih ada sisa slot tempat duduk di sana. "Kayaknya masih ada tempat."
"Lho, kenapa?"
Aku meringis sambil mengangkat laptop. "Biar cepet nyampe dan bisa buka laptop lagi."
"Ya Tuhan ...."
Aku cuma tertawa dan nggak lagi mengindahkan Ruri, serta lebih bergegas menghampiri taksi online yang menunggu di depan lobi.
"Eh, Va, lo bareng sini?" tanya Danu ketika aku mendekat. Kujawab dengan anggukan. "Nggak di mobil Aria—"
"Gue sini aja, Mas," potongku, langsung masuk ke baris kedua jok mobil, di sebelah Tiko yang sibuk menelepon.
Danu terlihat hendak bertanya lagi, tapi urung karena taksi online kedua yang dipesan sudah datang. Danu pun mulai berteriak-teriak mengatur rombongan. Dari dalam mobil, kulihat rombongan Benny mulai beranjak menuju parkiran.
Kupejamkan mata. Entah mengapa, belakangan melihat Benny membuat hatiku sakit. Seolah ada tonjokan keras di ulu hati, padahal aku nggak merasakan gejala-gejala asam lambung lainnya.
Sebenarnya, aku bingung gimana harus menghadapi Benny sekarang. Bukan cuma karena canggung, tapi ada rasa sesak di dada. Gabungan antara rasa bersalah dan juga ketakutan yang seperti menyumbat syaraf yang menghubungkan otak dengan bibir. Rasa bersalah karena kebodohan yang kulakukan di rooftop hari Jumat yang lalu, dan aku sadar kalau hal itu memang nggak adil buat Benny. Juga rasa takut karena setiap melihat Benny, aku jadi menginginkan hal-hal yang harusnya nggak boleh kuinginkan.
Benny sendiri ... yah, aku nggak mau nebak-nebak apa yang dia pikirkan. Yang jelas, weekend kemarin dia nggak datang ke rumah Bude Mara. Apa pun alasannya, aku bersyukur, karena rasanya aku belum sanggup pura-pura nggak terjadi apa-apa di hadapan Bude Mara. Kan nggak mungkin juga aku ngumpet di dalam kamar kalau tahu Benny datang.
"Mbak, temanku ada yang nanya soal cara jadi kreator WeTimes VIP Room."
Untung saja Tiko menyela isi pikiranku yang ruwet. Sepanjang perjalanan ke resto kuhabiskan untuk menjelaskan tentang program WeTimes VIP ini sejelas-jelasnya, sebelum dilanjutkan dengan aneka gosip. Salah satunya, apa Aria dan Ruri pacaran. Hatiku rasanya seperti diremas, tapi kali ini aku pilih pura-pura sibuk membalas chat, scrolling Instagram, buka marketplace, apa saja, supaya nggak perlu dilibatkan dalam obrolan.
***
Beda dengan bulan lalu yang cuma ke warung bakso, lunch team kali ini lumayan fancy. Danu memilih sebuah restoran seafood di sebuah mal. Restoran itu lumayan terkenal, terutama karena tempatnya yang super-cozy.
Sama seperti sebelumnya, setelah semua selesai makan, Danu memberi waktu satu jam bagi yang pengin mencari sesuatu atau sekadar cuci mata di mal. Kali ini aku memilih untuk pindah ke kafe yang ada di samping restoran. Kafe itu kecil dan sepi, seperti salah tempat karena ada di samping restoran besar. Tapi, jelas saja kafe itu memenuhi semua yang kubutuhkan—dterutama bagian sepi pelanggan.
Kupesan secangkir americano iced dan kupilih tempat duduk di area balkon yang sebenarnya untuk smooking area. Namun, karena hanya aku pengunjung yang datang, kurasa akan lebih bagus jika aku bisa menghirup udara segar. Aku nggak tahu yang lainnya pergi ke mana, dan aku juga nggak kepengin tahu. Tadi aku pergi secepat Danu menyampaikan instruksi, sebelum ada seseorang yang mengajakku ke suatu tempat dan aku nggak tahu cara nolaknya.
Namun, ternyata ada yang mengikutiku ke kafe.
"Evaaa!"
Suara panggilan familier membuatku mendongak. Aku menoleh, dan mendapati Ruri masuk ke balkon dengan cengiran lebar.
"Perasaan gue aja, atau lo emang lagi menghindari orang-orang?" tembaknya langsung.
Jelas saja aku gelagapan. Tebakan Ruri begitu akurat, dan dilihat dari sisi mana pun, itu bukan hal yang positif.
"Gue ...." Aku bingung sendiri.
"It's okaaay!" Ruri duduk di hadapanku dengan senyum cerahnya. "Karena ... itu, ya?" tambahnya dengan ekspresi maklum yang terlalu kentara. "Lo masih nggak nyaman di tengah keramaian?"
Sontak aku merasa lega. Cengiran terulas di wajah saat aku mengangguk. "Ya, lo tahu sendirilah. BTW, lo kok di sini? Nggak ikut jalan-jalan sama yang lain?"
"Lagi nggak mood." Mata Ruri menyusuri daftar menu di balik meja bar, yang terlihat dari dinding kaca. "Gue gabung sama lo di sini nggak apa-apa, kan?"
"Ih, ya nggak apa-apalah!" sahutku cepat. "Kenapa pake nanya?"
Ruri tertawa. "Oke, gue pesan sesuatu dulu deh."
Aku mengiakan, dan berusaha menerima kenyataan bahwa agenda menyendiriku harus dibatalkan.
Nggak apa-apa, yang penting bukan Benny.
"Kerjaan lagi banyak apa gimana, Va?" tanya Ruri ketika dia muncul lagi dan duduk di depanku, lalu mengeluarkan kotak rokok dari jaketnya. "Eh, gue ngerokok nggak apa-apa ya, Va?"
Aku mengangguk cepat. "Santai."
"Atau lo mau juga?" Ruri mengulurkan kotak rokoknya.
"Nggak, ah. Bau asap, nggak suka."
"Sialan. Jadi, lo mau bilang kalau gue bau?"
Aku tergelak. "Selama lo bawa parfum, amaan."
"Amanlah. Parfum itu kebutuhan primer gue setelah nasi," jawab Ruri sambil tergelak. "Ketiga deng, setelah rokok."
"Dasaarr!"
"Oh iya, Va, yang kursus beladiri itu gue udah daftar, lho."
"Yang bener?"
Ruri mengangguk. Beberapa hari yang lalu ketika aku cerita mau daftar kursus bela diri untuk pertahanan diri, Ruri bilang berminat ikut juga. Aku sempat nggak percaya. Kupikir, dengan penampilan Ruri yang begitu tomboy dan macho ini, pastilah Ruri sudah menguasai seenggaknya satu cabang olahraga bela diri.
"Gue bisa Muay Thai," kata Ruri saat itu. "Tapi kan nggak ada salahnya belajar yang lain."
Mau nggak mau, aku jadi menyesal kenapa aku nggak terpikir buat belajar bela diri sejak dulu. Jika aku bisa membela diriku sendiri, mungkin saja hal-hal buruk itu nggak perlu terjadi.
"Jadi, ntar lo bisa pulang-pergi bareng gue, Va," kata Ruri saat ini. "Gue jemput di tempat Aria."
Sekarang aku curiga kalau Ruri ikut cuma buat menemaniku saja.
Kutatap cewek macho ini dengan sedikit takjub. Apa yang kuperbuat di masa lalu hingga dipertemukan dengan orang-orang baik seperti Benny, Bude Mara, dan Ruri begini?
"Lo kenapa baik banget sama gue sih, Rur?" gumamku, lagi-lagi merasa bersalah mengingat ketololan yang kulakukan hari Jumat lalu di rooftop.
Ruri tertawa kecil. "Pede gila Anda. Nggak sama lo doang kali, Va. Gue emang baik sama semua orang," ledeknya jemawa, sebelum tawanya pelan-pelan menghilang. "Lebih tepatnya, berusaha baik ke semua orang. Sebagai bentuk pertahanan diri."
Aku mengerutkan dahi. "Maksudnya?"
Ruri nggak segera menjawab. Pandangannya lurus menatap lepas ke kejauhan, sementara bibirnya terus mengisap dan mengembuskan asap rokoknya.
"Pengalaman gue soal hubungan dengan orang lain itu buruk, Va. Ruri yang lo lihat sekarang, adalah Ruri hasil dari pengalaman-pengalaman buruk itu. Ruri yang berusaha buat nggak ngelakuin kesalahan yang sama, dan dikecewain lagi."
Aku membuka mulut untuk bicara, tapi kemudian bingung harus mengatakan apa. Informasi ini sedikit membuatku kaget. Kupikir Ruri adalah tipe orang yang selalu happy go lucky, yang nggak pernah berlebihan dan tetap bisa positive thinking ketika menanggapi sesuatu dalam hidup.
"Lo bisa cerita ke gue kali, Rur," saranku kemudian. "Lagian lo udah tahu pengalaman-pengalaman buruk yang gue alami. Biar imbang."
Ruri menatapku sambil geleng-geleng kepala. "Pengalaman lo lebih ke mengerikan sih, Va. Kalau pake teori mendang-mending, gue kalah telak."
Aku tertawa getir. Nggak salah juga Ruri bilang begitu. Pengalamanku lebih dari buruk. Pengalamanku mengerikan.
"Dulu gue pernah punya sahabat. Deket banget." Ruri memulai ceritanya. "Kami senang bareng, sedih bareng, marah bareng. Ibaratnya, nggak ada yang ditutup-tutupi lagi di antara kami, dia tahu semua keburukan gue dan sebaliknya. Lo paham maksud gue, kan?"
"Paham," jawabku sembari mengangguk.
Kapan terakhir kali aku punya sahabat seperti itu, ya? Rasanya ... nggak pernah. Sahabatku banyak, tapi rasanya nggak ada yang sampai sedalam itu. Persahabatan yang kujalani sifatnya temporal. Aku nyaris nggak pernah kontakan lagi dengan sahabat-sahabatku di bangku kuliah, SMA, apalagi SMP. Padahal dulu kami akrab banget dan ke mana-mana bareng, seolah nggak bakal terpisahkan. Aku memang jago berteman, tapi nggak pandai menjaga pertemanan itu.
"Terus suatu hari, gue kenalan sama cowok. Dia baik banget. Kalau anak zaman sekarang bilangnya green flag bangetlah." Ruri tertawa kecil. "Gue suka sama dia, iya. Dan gue juga awalnya ngerasa dia juga sama. Ya lo pasti pahamlah gimana. Gue yakin kok kita tuh sebenarnya bisa tahu kalau ada orang yang suka sama kita. Cuman kita sering pura-pura nggak tahu aja."
Aku tertawa, dan mengamini kata-kata Ruri. BTW, kenapa kisah Ruri tentang cowok ini agak mirip dengan kisahku dengan Benny, ya? Dulu aku juga yakin banget kalau perasaan Benny padaku juga sama.
"Intinya, gue udah siap bangetlah buat nerima kalau dia nyatain perasaan. Tapi lo tahu kelanjutannya gimana, Va?"
Aku menggeleng.
"Sahabat gue marah besar dan bilang kalau gue ngerebut cowok yang dia suka. Ternyata, si cowok green flag itu cuma berengsek lain yang hobinya tebar pesona ke semua orang. Baik ke semua cewek dan bikin mereka baper parah. Selain deketin gue, dia juga deketin sahabat gue. Green flag apanya. Super red flag ini sih."
Aku menelan ludah. "Terus?"
"Ya terus cowok itu jadian sama sahabat gue. Oke, gue bisa terima. Nggak apa-apa. Tapi ternyata, hal itu nggak bikin sahabat gue nggak cukup bahagia. Dia masih marah dan bahkan ngebenci gue. Nggak tahu kenapa, dia selalu curiga gue bakal ngerebut cowoknya itu. Persahabatn berakhir dan hubungan kami jadi buruk. Dia mulai mengumbar rahasia-rahasia busuk gue, ditambahin bumbu-bumbu penyedap lainnya pastinya." Lagi-lagi Ruri tertawa getir. "Hasilnya, gue jadi musuh masyarakat."
"Ya Tuhan ... kok jahat banget, sih?"
"Berbulan-bulan gue jadi korban bully di sekolah gara-gara itu, Va. Gue dikenal sebagai pelakor—waktu itu belum ada istilah pelakor, tapi ya kira-kira semacam itulah. Semua orang benci sama gue, terutama cewek-cewek. Semua rahasia buruk gue jadi konsumsi umum. Kepercayaan diri gue habis. Malah gue ada di tahap kalau ge pantas diperlakukan kayak gitu. Kalau gue pantas dimusuhi, dan gue emang salah karena ngerebut gebetan sahabat gue sendiri."
"Enggaklah. Mana bisa dibilang ngerebut?"
Ruri mengangguk. "Itu juga yang selalu dibilang sama Aria dan Petra. Merekalah penyelamat gue dari hari-hari suram itu. Berkat mereka juga, gue berhasil bangkit dan percaya diri lagi."
Aku terdiam. Bingung harus merespons apa. Jujur aku nggak menyangka Ruri menyimpan cerita sedih seperti ini. Ternyata memang benar, bahwa semua orang punya cerita, dan orang lain nggak tahu apa-apa.
"Karena itu juga, sekarang gue belajar jadi orang baik aja, Va. Gue pengin berbuat baik sama semua orang, dan gue harap dengan begitu orang-orang juga baik sama gue. Gue nggak mau dikhianati lagi, Va. Itu nggak enak banget." Ruri berhenti sebentar. "Terutama dikhianati sama sahabat gue sendiri. Rasanya jauh lebih sakit."
Aku menelan ludah lagi dan lagi. Perkataan Ruri terasa lebih menusuk daripada yang seharusnya. Gimana kalau Ruri sampai tahu kejadian rooftop itu? Gimana kalau Ruri sampai tahu tentang perasaan Benny padaku? Gimana kalau Ruri tahu bahwa aku mungkin sudah mengkhianatinya?
Setidaknya percakapan ini membuatku paham sesuatu. Terus-terusan memikirkan hal yang sudah terjadi jelas nggak bakalan berguna. Apalagi mengakuinya kepada pada Ruri bahwa aku sudah mengkhianatinya. Namun, aku masih bisa melakukan sesuatu untuk memperbaiki semua ini.
Aku harus membantu Ruri agar bisa bersama Benny. Ruri orang baik, begitu juga Benny. Mereka layak bersama, dan hanya itu yang bisa kulakukan untuk dua orang baik penyelamat hidupku.
***
Yuhuuuu~~
Semoga kalian masih sabar menunggu kelanjutan kisah Eva.
Kalau nggak melenceng dari kerangka, Yang Kuingat Darimu kurang 9 bab lagi. Doain mood nulisku selalu kinclong seperti kulit oppa-oppa Koriyaa yaaa~~
🥰
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro