Pikiran Berbahaya
"Eva! Ya ampun, akhirnya kita ketemu lagi!" sambut Danu dengan wajah ceria. Dia orang pertama yang kujumpai begitu masuk lobi kantor hari ini. "Sampe lupa gue sama muka lo," tambahnya sembari tertawa.
Aku nyengir, dan berkata, "Hai, Mas."
"Udah sehat?" tanya Danu, mensejajari langkahku.
Aku mengangguk. "Maaf ya, Mas, gue nggak masuk lama banget," kataku benar-benar merasa bersalah. "Gue berusaha catch up soal kerjaan, tapi yaa ... pasti nggak maksimal."
Danu mengibaskan tangannya. "Santai. Namanya juga Covid. Lo bukan yang pertama," katanya sembari mengedipkan mata. "Dulu malah ada yang nggak bisa kerja hampir sebulan. Btw, lo dirawat apa isoman, sih?"
"Isoman," jawabku, menepis perasaan bersalah yang semakin menjadi-jadi karena sudah berbohong.
Nggak lama kemudian Benny menyusul sedikit terburu-buru masuk melewati pintu depan. Tadi aku memang turun terlebih dahulu, sementara Benny masih berkutat dengan barang-barang di mobilnya.
"Dan," sapanya ke Mas Danu.
"Oi, Ar," balas Danu. "Nggak macet tadi? Ada kecelakaan di tol bukan, sih?"
Kami berjalan bersama menaiki tangga ke lantai dua. Beberapa orang menyapaku, yang lainnya mendatangiku. Mereka menanyakan kondisiku, dan juga mengucapkan selamat karena aku sudah lulus isoman.
"Evaa! Wah, akhirnya lo datang juga!" sambut Rajesh. "Akhirnya ada yang bakal bagi-bagi tips cepat kaya lagi."
Bulu kudukku sedikit meremang saat orang-orang mendekatiku. Namun, mati-matian aku menahan diri. Kuingatkan diriku sendiri bahwa mereka adalah rekan-rekan kerjaku. Mereka bukan orang jahat, dan mereka nggak berniat jahat padaku. Memang sedikit lambat, tetapi cara itu berhasil. Lama kelamaan, aku bisa menanggapi orang-orang yang datang dengan lebih santai. Malahan, aku sedikit terharu dengan sambutan mereka, mengingat aku belum lama bergabung dengan kantor ini.
Ketika beberapa orang bergerombol di dekat kubikelku, berbagi pengalaman terkena Covid-19, pandanganku jatuh kepada Benny yang keluar dari pantri membawa secangkir kopi. Benny menatapku dan tersenyum hangat. Satu jempolnya teracung, memberikan dukungan yang membuat hatiku ikut-ikutan hangat. Setidaknya sampai aku teringat dengan obrolan kami di mobil tadi.
"Intinya gampang sih, Ev. Mau nggak kamu mutusin pacarmu, dan jadi pacar aku?"
Selama lima detik pertama aku hanya bisa bengong. Detik berikutnya, aku tertawa. Tombol switch Benny ini benar-benar tricky. Kadang-kadang aku butuh waktu untuk memproses apakah Benny ini sedang serius atau bercanda.
"Apa sih, Kak? Jangan bercanda, deh!"
Benny tertawa kecil. "Dasar. Aku udah duga kamu bakalan bilang gitu."
Aku mendengus keras.
"Terserah sih," lanjutnya. "Aku cuma mau bilang kalau kamu nggak perlu ngerasa harus melakukan sesuatu kalau kamu sendiri nggak mau. Kamu selalu punya pilihan, kok."
"Walaupun pilihan itu mungkin nyakitin orang lain?"
Benny terdiam sebentar lalu dia garuk-garuk kepala. "Mau bilang iya, tapi aku paham kalau buat kamu pasti nggak sesederhana itu. Karena aku tahu kamu bakalan tersiksa juga kalau nyakitin orang."
Tanpa sadar aku mengangguk.
"Tapi ya balik lagi, Ev, kamu berhak bahagia, dengan apa pun pilihan kamu," lanjut Benny. "Dan jangan lupa, kalau kamu nyerah sama Nugie, masih ada aku. Meski bukan dosen, aku punya banyak kelebihan yang Nugie nggak punya."
Sontak aku berdecak. Ekspresi Benny berkilat antara antusias, jail, dan penasaran.
"Lho, kenapa?" tanyanya dengan nada geli. "Benar, kan?"
"Kelebihan apa kalau boleh tahu?" tanyaku dengan nada jengkel.
Benny berpikir sebentar, lalu menjawab dengan lancar. "Lebih ganteng, lebih humoris, lebih santai, lebih serius, lebih kenal kamu, lebih ... apa lagi, ya? Lebih nyambung?"
"Kok bisa sih ada orang yang percaya dirinya kayak gini?"
Benny tertawa. "Kamu kan kenal aku, Ev. Eh iya, yang tadi aku ralat, deh."
"Yang tadi?" Keningku berkerut.
"Tawaran yang tadi kamu bilang bercanda itu. Kamu kenal aku, dan aku nggak bercanda soal begituan."
Aku menelan ludah. Kenapa Benny suka banget belok tanpa memberi lampu sein? Obrolan kami bisa mendadak berubah tanpa aba-aba. Sebentar serius, sebentar bercanda. Sebentar aku jengkel, sebentar kemudian tersipu-sipu seperti remaja jatuh cinta.
"Pengalamanku membuktikan kalau menunda-nunda sesuatu itu bikin kacau sampai sembilan tahun kemudian," lanjut Benny. "Jadi, yes, harus segera dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnya. Kalau nggak, bisa-bisa kamu ilang lagi kayak gelembung udara."
"Kak--"
"Aku tahu kamu udah punya pacar. Dosen kece yang kamu harepin selama ini. Mungkin aku sok tahu aja pas bilang kamu sama dia nggak cocok kemarin, bla bla bla, apalah. Yang tahu keberanannya ya cuma kamu. Jadi, aku juga nggak muluk-muluk ngarepin kamu mutusin pacarmu, nggak."
"Jadi, maksudnya tuh--"
"Maksudnya, aku cuma pengin kamu tahu kalau aku ada di sini, masih sama kayak Benny yang kamu kenal sembilan tahun lalu. Perasaanku juga masih sama. So ... ingat kata-kataku di taman komplek kemarin?" Benny tersenyum riang. "Itu aku serius. Kapan pun kamu bosen atau capek sama apa yang kamu jalanin sekarang, aku siap jadi opsi."
Kali ini aku terdiam. Takut salah ucap bila aku nekat mengatakan sesuatu.
"Oke. Udah, itu aja. Buat sekarang, simpan aja apa yang aku ocehin tadi. Masukin laci pikiran kamu, nggak usah dipikirin. We're cool." Benny menyeringai. "Kalau kamu tetap anggap aku bercanda juga nggak apa-apa, sih. Chill aja pokoknya."
Bingung harus menjawab apa, kuanggap kata-kata Benny sebagai lampu hijau, dan aku bergegas keluar dari mobil duluan, mengabaikan Benny yang memintaku menunggu.
Aku bingung harus menjawab apa. Aku juga bingung harus bereaksi bagaimana. Memang nggak sulit untuk menerka isi hati sosok ekstrover seperti Benny. Intensinya sangat kentara. Pernyataan ini juga nggak semengejutkan itu, mengingat apa saja yang dia lakukan untukku. Aku hanya terkejut karena dia mengatakannya secepat ini dan selugas ini.
***
Saat jam makan siang tiba, Ruri menarikku dari rombongan yang hendak makan siang di warung belakang kantor. Kata Ruri, dia membawa bekal makan siang yang kebanyakan. Karena itu, Ruri butuh bantuanku untuk menghabiskan makan siangnya.
"Nyokap gue tuh lagi di rumah. Pagi-pagi gue bangun, udah banyak aja makanan di meja," celoteh Ruri, sembari membuka beberapa kotak makan yang dia bawa di meja pantri. "Nyokap gue emang hobinya masak, Va. Dulu sempat kerja di restoran gitu, tapi nggak betah. Lebih suka jalan-jalan kayaknya."
Aku tertawa kecil. "Jadi sekarang lo bawa bekal tiap hari?"
Ruri mengedikkan bahu. "Nikmatin aja deh, ya. Mumpung ada yang masakin. Lagian gue lumayan terbantu karena disiapin bekal. Jadi berkurang beban hidup gue nggak perlu mikirin mau makan siang apaan."
Aku mengangguk. "Bener banget. Lagian ... gila! Ini sih udah kayak makanan restoran beneran, Rur! Berasa lagi prasmanan di kondangan gue!"
Aku berdecak kagum melihat bekal Ruri. Ada empat kotak yang dia bawa. Satu kotak berisi nasi merah, satu kotak berisi acar timun dan wortel serta sambal goreng kentang, satu korak berisi daging yang sepertinya dimasak lada hitam, dan satu kotak berisi buah potong segar.
Ruri terkekeh. "Niat banget nggak sih, nyokap gue?" katanya. "Gue rasa emak gue nggak cuma ngebekelin buat gue, tapi buat teman-teman sekantor."
Saat itu, aku teringat sesuatu. "Bentar deh!"
Aku bangkit dan bergegas ke kubikelku. Kubuka tas kerjaku, dan kuambil kotak makan yang dibungkus paperbag. Aku lupa, Bude Mara kan juga membuatkan bekal untukku!
"Lah, lo bawa bekal juga, Va?" Ruri tergelak saat aku muncul membawa kotak nasiku.
"Iya, hampir aja gue lupa," jawabku sedikit merasa berdosa. Ini jelas bukan hal yang biasa untukku, karena nggak ada yang membuatkanku bekal selama 28 tahun umurku.
"Gila, makan siang kita beneran kayak meja kondangan!" Ruri berkata sambil tertawa. "Gue panggil Danu, deh, tadi kayaknya doi masih di atas. Kali aja belum makan siang."
Ruri langsung menelepon Danu dengan ponselnya. Sayangnya, Danu sedang interview calon anak magang. Dia hanya minta untuk disisakan untuk dia makan nanti setelah senggang. Alhasil, aku dan Ruri makan siang besar dan supersehat karena buatan rumah.
Aku penasaran apakah di atas nggak ada Benny, tetapi aku enggan juga bertanya-tanya. Lagi pula, kalaupun ada, Benny kan juga sudah membawa bekal dari Bude Mara. Lagi pula lagi, mengingat Ruri bersahabat dengan Benny, pasti Ruri sudah menelepon Benny alih-alih Danu jika pria itu ada di atas sana. Plus, aku sedikit canggung mengingat obrolan kami tadi pagi.
"Va, lo beneran udah sehat?" tanya Ruri tiba-tiba.
Aku mengangguk. "Sehat walafiat."
"Syukurlah kalau begitu." Ruri terdiam sebentar. "Va, sebenarnya bukan covid, kan?"
Aku berhenti mengunyah. Ruri menatapku dengan pandangan campur aduk. Antara penasaran, khawatir, segan, takut salah, dan berbagai campuran emosi lainnya.
"Sehari sebelumnya, gue tidur di kamar lo. Kalau lo covid, kemungkinan besar gue juga kena," terang Ruri. "Gue langsung tes begitu dengar lo covid, tapi negatif. Beberapa hari kemudian, gue tes lagi, tetap negatif. Apa imun gue seampuh itu?" seloroh Ruri sembari tertawa kecil, sedikit sungkan. Ekspresinya juga segera berubah. "Gue tuh udah lama pengin nanyain, tapi sungkan."
Aku masih terdiam. Beberapa kali kutelan ludah dengan susah payah. Ada pertanyaan dalam benakku. Apa Benny juga nggak cerita yang sebenarnya pada Ruri?
"Tapi kalau lo nggak mau jawab juga nggak apa-apa, Va. Gue cuma khawatir," kata Ruri lagi. "Intinya, gue mau lo tahu, kalau lo bisa cerita apa aja ke gue. Dan kalau lo butuh bantuan, gue juga siap, Va."
Haruskah aku bercerita semuanya kepada Ruri? Aku bahkan nggak cerita ke Angel, sahabat terdekatku yang sekarang bekerja di Bali.
"Gue tahu rasanya tinggal sendirian. Lo tahu, kan, nyokap bokap gue lebih suka tinggal di gunung kalau nggak jalan-jalan?" Ruri memang pernah bercerita tentang gaya nyentrik kedua orangtuanya. Nggak heran kalau gaya Ruri juga sama nyentriknya. "Jadi, ya kita bisa saling mengandalkan ajalah."
Aku menghela napas panjang. "Iya, Rur, bukan covid."
Ruri terdiam sebentar, lalu berkata lirih, "Gara-gara kejadian kemarin? Lo trauma naik kendaraan umum, ya?" tebaknya. "Kalau lo mau, gue bisa--"
"Bukan cuma itu," potongku.
Lantas, sedikit terbata-bata, aku menceritakan apa yang terjadi di kontrakanku dan bagaimana perasaanku selama dua minggu ini.
"Anjing!" umpat Ruri, saat mendengar ceritaku tengang bajingan pacar mamaku--aku bahkan enggan menyebut namanya.
"Sampai hari ini, gue masih gemetaran kalau kontak sama orang lain," pungkasku dengan napas sedikit tersengal.
Ternyata masih melelahkan.
"Ya Tuhan, Va ...." Ruri menyentuh tanganku. "I am sorry to hear that. Sumpah gue nggak bisa bayangin ... untung aja anak itu datang tepat waktu. Gue nggak tahu apa bilang begi bakal ngebantu, tapi ... stay strong ya, Va. Sial! Kenapa anak itu nggak cerita apa-apa ke gue, sih? Padahal kan gue bisa nemenin elo!"
Anak itu yang dimaksud Ruri tentu saja adalah Benny.
"Terus, gimana perasaan lo sekarang?" tanya Ruri lagi.
"Much better," jawabku sembari mengangguk. "Buktinya gue udah ada di sini sekarang."
"Syukurlah ... dan lo hebat tahu, Va," puji Ruri, terdengar tulus. "Lo bjsa bertahan dan duduk di sini sama gue sekarang, itu hebat."
Aku mengangguk. Benar juga. Kurasa aku perlu mengapresiasi diriku sendiri.
"Tapi lo masih tinggal di rumah yang lama? Apa pindah?"
Aku terdiam sebentar. Bagaimana kalau orang kantor tahu aku tinggal di rumah kerabat Benny? Apakah hal itu akan menimbulkan hal-hal yang nggak diinginkan? Yang merugikan Benny? Aku nggak ingin menyulitkan Benny setelah semua bantuannya. Ah, tapi ini kan Ruri. Sahabat Benny sendiri.
"Sekarang gue masih tinggal di rumah budenya Pak Aria, Rur. Gue belum berani balik ke kontrakan ... dan nggak yakin bakal balik ke sana."
Ruri terdiam sebentar, lantas dia memukul pahanya sendiri dengan gemas.
"Ngeselin bener si Aria. Kok dia diam aja, sih?" gerutunya nggak habis pikir. "Yah, tapi yang penting sekarang lo udah lebih baik dan aman, Va. Tawaran gue tadi masih berlaku. Kapan pun lo butuh bantuan, bilang aja."
Aku mengangguk. Perasaanku sekarang ambigu. Sebagian rasanya seperti aku baru saja selesai menggali sumur sendirian. Anehnya, ada sedikit rasa lega yang juga menyeruak, seolah-olah, bila bebanku adalah sepotong roti, aku sudah membaginya dengan orang lain. Seolah-olah, rasa lelah menggali sumur itu sedikit terobati, karena setelah ini urusan sanitasi akan lebih mudah.
***
Ada untungnya aku kembali ke kantor. Bekerja memang jadi obat mujarab untuk melupakan hal-hal yang nggak pengin kupikirkan. Saking lamanya aku nggak ngantor, pekerjaanku benar-benar menumpuk. Meeting demi meeting datang seharian, sampai-sampai satu-satunya waktu aku bisa bernapas lega adalah saat makan siang bareng Ruri tadi.
"Sampai sekarang udah ada lima konten yang tayang di VIP Room." Aku meng-update pekerjaanku pada Petra. Dia baru datang setelah makan siang, dan langsung mengajakku meeting untuk update progres WeTimes VIP Room. Selain aku dan Petra, ada Benny juga di ruangan meeting ini. "Terus lagi nungguin konten sari Mas Deka Ardiansyah, yang psikolog anak milenial itu. Dia konten pertama yang dari kreator luar. Kita targetkan tayang minggu depan."
"Promonya gimana?" tanya Petra.
"Udah mulai jalan. Saya udah request banyak materi visual ke Mas Dedi. Begitu Mas Deka submit kontennya nanti juga bakal kita buatin materi promo buat diunggah di medsosnya. Oh, ya, yang soal skema harga promo bulan pertama kemarin gimana, Pak?"
"Approved," jawab Benny, mendahului Petra. "Udah dapat lampu hijau dari Willy Wonka."
Jika Ruri adalah finance manager, Willy adalah head of finance--semacam chief financial officer atau CFO kalau di kantorku dulu. Sedangkan Willy Wonka adalah julukan yang Benny berikan kepadanya karena Willy mirip Johnny Depp di film Charlie & The Chocolate Factory.
"Oke. Kalau gitu langsung jalan aja, ya," putus Petra.
Aku mengangguk. "Oh ya, satu lagi, possible-kah kalau kita bikin akun medsos sendiri buat VIP?"
"Nggak bisa nebeng di akun besar official aja?" tanya Petra. "Maksud gue, ngebangun akun medsos kan juga nggak gampang. Sementara kita punya akun official yang udah cukup bagus engagement-nya."
Aku menggaruk belakang kepala. "Betul, pake akun besar nggak apa-apa, tapi ini bisa dipake buat ngebentuk persona WeTimes VIP. Jadi pembaca yang udah langganan juga bisa tahu apa aja yang ada di VIP. Sementara kalau akun official, terlalu banyak yang harus tayang di sana. Slotnya pasti terbatas juga."
Petra menoleh kepada Benny. "Menurut lo gimana, Ar?"
Benny berpikir sebentar sebelum menjawab. "Gue khawatir nggak ada yang megang. Maksud gue, itu butuh sumber daya khusus buat handle. Ya socmed manager-nya, ya desainernya, adminnya Kecuali kita mau hire orang baru, yang ...." Benny menatap Petra sembari mengangkat sebelah alis. "Lo pasti nggak setuju, kan?"
Petra berdecak. "Nggak ada bujet. Sorry to say, urgensinya belum terlalu tinggi menurut gue."
"Bukannya Mas Danu lagi interview anak magang, ya?" cetusku, mendadak ingat.
Diskusi terkait perlu tidaknya akun khusus untuk WeTimes VIP terus berlanjut sampai 40 menit kemudian. Hingga akhirnya, Benny harus pergi karena dia ada jadwal meeting lain dengan anak-anak konten.
"Coba nanti kirimin gue list kreator yang mau kalian propose ya, Va," pinta Petra. "Sekalian sama skema kerja sama per kreator, kalau-kalau ada perbedaan."
Aku mengangguk. Lantas aku merapikan beberapa berkas, sementara Petra sibuk dengan laptopnya. Kurasa dia terlalu malas untuk kembali ke ruangannya di lantai tiga.
Saat aku pamit untuk kembali ke kubikelku, Petra memanggilku.
"Lo baik-baik aja, Va?" tanya Petra.
Keningku berkerut, bingung dengan maksud pertanyaan Petra. "Maksudnya, Pak?"
"Gue udah dengar dari Aria," kata Petra lagi. "I am really sorry to hear that, Va. Kondisi lo udah lebih baik?"
Aku terdiam sebentar. Lalu mengangguk sembari tersenyum. "Jauh lebih baik, Pak."
Benny nggak cerita pada Ruri, tapi cerita para Petra? Ah, tentu saja. Kupikir-pikir itu wajar, karena Benny pasti kesulitan mempertahankan posisiku di kantor tanpa memberi tahu apa pun kepada Petra. Aku bahkan nggak punya surat dokter.
See? Betapa mudahnya pikiranku membela Benny sekarang.
Petra menghela napas lega. "Syukurlah. If you need any help, bilang aja ya, Va."
Aku mengangguk lagi. "Terima kasih banyak, Pak."
"BTW, santai aja sama gue, Eva," kata Petra sembari tersenyum. "Nggak usah kaku. Gue sama Aria tuh udah kayak saudara."
Aku mengerutkan dahi, lagi-lagi nggak paham. Lantas apa hubungannya denganku jika Benny dan Petra sudah seperti saudara?
"Yaah ... mood-nya Aria udah nunjukin semua, sih. Gue ikut senang kalau lo sudah jauh lebih baik."
Seriously, apa bosku ini memang suka ngomong random sejak dulu?
"Ee ... maksudnya?"
Petra mengedikkan bahu. "Dua minggu yang lalu mood-nya Aria hancur banget. Gloomy parah. Cranky, udah kayak cewek pas lagi PMS. Sampe bingung gue ngadepinnya. Tapi belakangan udah better. Hari ini malah doi kayaknya hepi banget." Petra tersenyum aneh kepadaku. "Yup. Gue juga heran kenapa bisa begitu."
Bingung harus merespons apa, aku hanya tersenyum untuk menanggapi gurauan atau apa pun yang Petra lakukan ini, dan bergegas kembali ke kubikelku.
Sore itu, Nugie batal menjemputku karena UKM kemahasiswaan yang dia bimbing mengadakan acara sampai malam. Kata Nugie, kemungkinan aku harus menunggu cukup lama. Alhasil, aku pulang bareng Benny. Dan sepanjang perjalanan, di sela-sela rasa canggung yang hilang dan timbul, benak liarku nggak berhenti memikirkan betapa masuk akalnya tawaran Benny tadi pagi.
***
Holaaaa~~
Ceritanya, aku lagi butuh pecut buat untuk lebih disiplin menulis. So, aku akan meneraplan jadwal update. Untuk cerita ini, update di Wattpad setiap hari Rabu, ya. Untuk Benny's PoV (jika ada) akan update tiap hari Kamis di KaryaKarsa. Hahahha semoga dengan begini kemageranku bisa berkurang, dan jadwal update ini terpenuhi 🤣
Sampai di sini, gimana gaeess?
Sampai ketemu Rabu minggu depan!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro