Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Melampaui Batas

Dulu waktu kecil, ada sebuah rumah tua di lingkungan tempat tinggalku. Kata orang, rumah itu sudah kosong sejak tiga puluh tahun yang lalu. Konon katanya juga, pemilik rumah itu kemungkinan besar menjadi salah satu korban tragedi 65, karena saat-saat itulah kali terakhir orang-orang desa melihat keluarga tersebut. Karena sudah kosong puluhan tahun, rumah itu nggak terawat. Pagar besinya sudah berkarat dan sobek di banyak sisi. Beberapa bagian dindingnya juga sudah retak parah. Ilalang tinggi menghiasi halaman rumah yang cukup luas itu. Hanya kucing liar dan mungkin aneka hewan melata yang berani dan mau masuk ke sana.

Perasaanku terhadap rumah itu sangat ambigu. Rumah itu sebenarnya sangat cantik. Kesan lawas dan antiknya memancar kuat, dan aku bisa membayangkan betapa nyamannya ditinggali jika rumah itu dirawat dengan baik. Setiap kali lewat di depan rumah itu, aku nggak bisa menahan diri buat menoleh dan memandangi setiap detail fasadnya. Aku takut, tapi juga penasaran. Beberapa kali aku berniat untuk masik dan melihat-lihat suasana di dalam. Namun, setiap kali melewati pagar, rasa ngeri dan takutku memuncak. Akhirnya, aku selalu terbirit-birit pulang.

Perasaan itu, sama seperti yang kurasakan saat ini. Aku sudah berhasil keluar sekitar 100 meter dari gerbang rumah Bude Mara. Namun, kegugupanku muncul. Asam lambungku terasa naik, menyusuri tulang belakang, dan sampai ke kerongkongan. Tanganku basah, dan aku sedikit mual. Alhasil, baru saja keluar dari komplek dan melihat halte TransJakarta, ketakutanku memuncak, dan aku terbirit-birit pulang.

Lik Nah yang tengah menyapu halaman menatapku keheranan.

"Kok balik lagi, Teh?"

Aku hanya meringis sembari menggeleng, lalu bergegas masuk ke rumah dan mengunci diri dalam kamar. Kutarik napas panjang-panjang, kupejamkan mata untuk menenangkan diri. Ternyata aku memang belum siap.

Nggak apa-apa, Ev, nggak apa-apa, bujukku ke diri sendiri. Meski sebenarnya aku lumayan kesal, mengingat ini sudah percobaan yang kesekian. 

Beberapa hari ini, aku bangun lebih pagi dan selalu membuat rencana untuk ke kantor sendiri naik kendaraan umum. Pilihanku jatuh ke TransJakarta. Pertama, ada halte di dekat gerbang perumahan dan ada halte juga di dekat kantor, sehingga aku nggak perlu gonta-ganti armada. Kedua, aku memilih TransJakarta karena biasanya penuh dan ramai oleh penumpang. Aku belum siap naik angkot--aku nggak yakin akan berani naik angkot lagi. Dan aku juga ngeri membayangkan nail ojek atau taksi online, di mana aku hanya berduaan dengan orang asing.  Memang banyak kemungkinan yang terjadi di semua transportasi, tetapi dengan pertimbangan-pertimbangan tadi, pilihanku jatuh ke TransJakarta.

Yah ... apa pentingnya itu semua? Toh, pada akhirnya aku tetap saja gagal. Aku masih saja pengecut payah yang terbirit-birit ketakutan setiap kali mencoba bepergian sendiri.

Bude Mara bilang, aku bisa pelan-pelan. Nggak harus memaksakan diri, toh aku nggak sedang memburu apa pun. Namun, Bude Mara jelas salah. Aku sedang terburu-buru, dan aku segera mengalahkan pengecut dalam diriku ini. Bagaimanapun caranya, aku harus membuang ketakutan itu dan menjadi diriku yang dulu.

Kuhela napas panjang sekali lagi. Lalu kubasuh wajahku dengan air, yang membuatku harus mengulang tahapan makeup tipis yang kupakai tadi. Setelah memastikan penampilanku normal, aku keluar kamar, bertepatan dengan suara mesin mobil yang berhenti di depan rumah, disusul suara salam yang ringan dan hangat.

Benny tahu bahwa aku mencoba "uji nyali" setiap pagi. Namun, seperti kata-katanya kemarin, dia tetap mampir tanpa bertanya sebelumnya apakah aku berhasil atau gagal.

Kata Benny, "Ya kalau kamu udah berangkat, berarti semuanya lancar. Aku tinggal nyusul ke kantor dengan hati senang."

Hari ini pun sama.

"Howdy?" sapa Benny saat melihatku. "Gimana?"

Aku menggeleng. "Gagal."

Benny tersenyum, tangannya terulur mengusap kepalaku ringan. "Nggak apa-apa, besok coba lagi."

Iya, tentu. Tapi bagaimana caranya menyembunyikan wajahku merona nggak karuan ini?

***

Aria (BisDev):
Di kantor masih ada siapa?
Jgn pulang dulu
Tunggu
Aku lagi nunggu ojol gak dapat2

Aku menghela napas panjang. Kutatap sekitarku yang sudah mulai sepi. Hanya tinggal Medina di ruangannya yang sibuk menatap dasbor Google Analytic dan juga Risto, content writer yang katanya berencana menginap di kantor--ada sebuah ruangan istirahat di belakang lobi yang bisa dimanfaatkan oleh karyawan yang ingin menginap.

Di luar, hujan masih lumayan deras, dan aku masih terjebak di kantor, belum tahu bagaimana aku bisa pulang. Benny pergi meeting dengan Petra selepas jam makan siang dan belum kembali. Sementara Ruri sejak kemarin izin WFH karena nggak enak badan. Dan aku, masih pengecut yang ketakutan sendiri. Kejadian di angkot waktu itu juga di tengah hujan, bukan?

Aku bergidik ngeri. Membayangkan saja sudah membuat asam lambungku naik.

Chat dari Benny masuk lagi.

Aria (BisDev):
Aku udh dapat ojek
Tunggu

Aku mengerutkan dahi. Benny memang meninggalkan mobilnya di kantor. Namun, bagaimana mungkin dia balik kantor naik ojek dengan situasi hujan deras seperti ini? Buru-buru aku membalas chat Aria.

Masih deres banget ini kak

Namun Benny nggak membalas lagi. Kurasa dia benar-benar nekat ke kantor naik ojek. Rasa bersalahku menyeruak, seiring perasaan nggak berdaya, payah, dan kebencian pada diri sendiri.

Ngerepotin orang kan, Ev? Pada akhirnya, aku hanya bisa menyusahkan orang lain. Benny harus bela-belain menerobos hujan supaya bisa cepat tiba di kantor dan mengantarku pulang. Bagaimana kalau ada apa-apa di jalan? Bagaimana kalau Benny kena flu atau sakit karena kehujanan? Semua itu nggak bakal kejadian kalau aku bisa mengalahkan rasa takut dalam diriku. Kalau aku nggak payah dan pengecut.

Kugigit bibirku cukup keras. Hidungku panas dan mataku sedikit kabur dengan air mata. Namun, buru-buru kutelan perasaan nelangsa karena nggak berdaya ini. Aku nggak mau terlihat semakin menyedihkan.

Sembari menunggu, kuputuskan untuk menyibukkan diri dengan pekerjaan, tetapi aku terlalu kepikiran Benny. Sehingga alih-alih bekerja, aku malah menatap chatroom WhatsApp kami dengan gelisah. Percuma, nggak ada tanda-tanda online karena Benny pasti sedang di jalan dan nggak mungkin main HP di tengah hujan.

"Iya nih, Pak. Hujannya deres banget."

Setelah 30 menit yang begitu menyiksa, suara Benny terdengar di dari arah tangga di lantai satu. Kepalaku sontak menoleh dan hatiku luar biasa lega. Orangnya belum kelihatan. Agaknya Benny masih berada di lantai satu. Nggak lama kemudian, sosoknya muncul dengan basah kuyup. Ada bagian-bagian dari bajunya yang kering, tapi banyak yang basah. Rambutnya juga basah. Anehnya, dia tertawa.

"Kak, itu basah kuyup--"

"Iya, jas hujan bapaknya versi minimalis dan ekonomis. Lebih banyak bolongnya ketimbang yang enggak," keluhnya. "Untung dia tahu jalan pintas yang lebih cepat."

Aku nyaris ingin menangis karena merasa bersalah.

"Bentar ya, aku cari baju ganti dulu. Kali aja ada sisa kaus tim."

Kubiarkan Benny berlalu ke ruang logistik yang ada di samping pantri dengan kalut yang membuncah. Aku bingung bagaimana harus membalas kebaikan Benny selama ini. Kenapa dia sebaik itu kepadaku? Kenapa dia rela hujan-hujanan demi aku?

Tadi Benny sempat bertanya apakah Nugie bisa menjemputku, supaya aku nggak perlu menunggu lama. Namun, aku nggak bisa bilang bahwa hubungan kami sudah berakhir. Jadi, kubilang saja kalau Nugie sedang lokakarya keluar kota. Alhasil, Benny memaksakan diri untuk cepat-cepat kembali ke kantor dan menerobos hujan. Mungkin seharusnya tadi aku minta tolong Papa untuk menjemputku saja. Bodoh sekali, Eva. Apa boleh buat? Nasi sudah menjadi bubur, Benny telanjur basah kuyup.

Makan itu ketololanmu, Ev.

Kutelan penyesalan dan rasa bersalahku. Kuputuskan untuk segera memberesi barang-barangku. Lima belas menit kemudian, Benny muncul dengan kaos tim WeTimes yang berwarna pink soft.

"Yuk, Ev."

Aku mengangguk. Sebelumnya mampir ke ruangan Medina untuk pamit pulang duluan--Risto sudah menghilang ke ruang istirahat.

Kutatap Benny yang berjalan santai di sebelahku. Bajunya memang sudah ganti, tapi celananya masih cukup basah.

"Bisa masuk angin itu, Kak," kataku, kembali merasa bersalah.

"Nggak, santai aja. Badanku strong, gara-gara dulu keseringan nginep di basecamp teater pas kuliah."

Bisa-bisanya dia bercanda dengan penampilan seperti tikus kecebur got begitu?

"Kenapa naik ojek tadi?" tanyaku.

"Petra lanjut ke Senopati. Mau naik taksi, takutnya kelamaan. Soalnya perempatan deket tempat meeting itu neraka banget macetnya."

"Maaf, ya, Kak," kataku lagi. "Maaf dan terima kasih banyak."

Benny menatapku lalu tertawa lebar. "Iya, iya. Apa, sih? Kaku amat?"

Perjalanan pulang malam itu terasa dingin. Jelas karena hujan di luar membuat AC mobil jadi lebay dinginnya. Benny menyumpahi Danu yang membuat kaus tim berwarna seperti yang dia kenakan. Kaus hitam yang dulu kukenakan di hari pertama sudah habis, stok yang tersisa hanya warna pink atau oranye jeruk.

"Mentang-mentang dia suka baju warna-warni," gerutu Benny.

Aku tergelak. "Emang kenapa sih kalau warna-warni? Kan lucu."

"Penampilanku sekarang lucu?" dengus Benny. "Udah kayak rambut nenek."

"Lucuuu!"

Aku serius. Meski dia mencak-mencak, menurutku Benny dalam balutan pink malah enak dilihat. Yah ... walau kalau dilihat-lihat warna kaus itu memang mirip aromanis.

"Kapan hari pas nonton sama Ruri itu, yang kamu batak ikut, Petra pake yang warna oranye. Kata dia, insecure sepanjang jalan." Benny tergelak.

"Oh, jadinya sama Petra?"

Benny mengangguk. Pria itu terdiam sebentar, lantas berujar, "Can you keep a secret?"

Aku menatapnya dengan sebelah alis terangkat.

"Aku pernah bilang kalau Petra ceweknya banyak, kan?"

Aku mengangguk. Sejak awal, Benny sudah memperingatkanku bahwa CEO kami itu buaya yang hidup di darat. Telah berevolusi dari makhluk setia menjadi pemangsa. Kata-katanya manis, dan ceweknya banyak. Benny bilang, aku harus hati-hati supaya nggak terjerat rayuannya.

"Sebenarnya, Petra itu naksir Ruri."

Oh.

"Mungkin sejauh ini, Ruri satu-satunya cewek yang nolak Petra."

Dan apa kamu tahu siapa yang Ruri mau, Benny?

Haaaah. Kenapa percintaan tiga sahabat ini pelik sekali, sih?

***

Apa yang kutakutkan kemarin benar-benar terjadi.

Sabtu pagi, Bude Mara pamit pergi ke Semarang untuk mengisi sebuah seminar. Namun, aku nggak perlu khawatir karena Lik Nah akan tidur di rumah untuk menemaniku. Sebelum pergi, Bude memasak cukup banyak makanan, dan menyimpan sebagian ke kotak-kotak tupperware.

"Ini nanti buat Aria ya, Va. Dia yang kemarin request dimasakin ayam rica-rica. Nanti dia ambil ke sini."

Aku mengiakan. Berjam-jam setelah Bude Mara pergi, Benny nggak kunjung datang. Karena takut makanannya basi, aku menyimpannya di kulkas. Sayangnya, sampai menjelang sore, Benny tetap nggak muncul. Bisa jadi dia lupa. Jadi, kuputuskan untuk meneleponnya.

"Kak, makanan dari Bude nggak diambil?" tanyaku langsung.

"Makanan ap ... oh! Iya, aku lupa."

Dahiku terkerenyit. Suara Benny terdengar sengau dan lemah.

"Kenapa, Kak? Sakit?"

"Iya, nih. Flu dan demam."

"Karena kehujanan kemarin?"

"Karena ... imun lagi turun?" Benny tertawa kecil. "Makanannya bisa tolong digojekin aja nggak, Ev? Soalnya aku ... nggak usah deh. Biar di sana dulu aja. Besok aja kuambil kalau udah mendingan."

"Tapi gimana kondisinya? Udah minum obat?" tanyaku sedikit panik.

"Udah, udah. Minum paracetamol tadi."

Benny berusaha meyakinkanku bahwa dia baik-baik saja. Namun, hingga satu jam setelah pembicaraan kami berakhir, aku nggak bisa tenang. Aku terus-terusan memikirkan Benny yang sedang nggak enak badan dan sendirian. Itu nggak enak, aku tahu karena aku sering mengalaminya di kontrakan. Lagi pula, Benny sakit gara-gara aku! Kalau dia nggak hujan-hujanan kemarin, dia nggak akan kena flu dan demam.

Nggak bisa menahan diri, aku bergerak tanpa berpikir. Kuraih jaket parka di dalam lemari, kukemasi tupperware-tupperware di dalam kulkas, dan kumasukkan ke dalam tas. Kusertakan juga beberapa sayur dan bahan masakan yang bisa kutemukan di kulkas. Lalu kuambil ponselku dan mulai membuka aplikasi ojek online. Nggak sampai sepuluh menit, driver ojeknya laporan sudah di depan rumah.

"Teh Eva mau pergi?" tanga Lik Nah, terkejut.

Aku mengangguk. "Ke tempat Kak Benny, Lik. Lagi sakit, sekalian antar titipan Bude."

Setitik ragu muncul saat aku melihat tukang ojek online yang menyambutku dengan helm di tangan. Rasa takut juga. Apa aku serahkan makanannya saja dan aku masuk lagi?

Nggak, nggak. Nggak boleh, Eva! Benny sakit gara-gara siapa? Lo nggak segitu nggak tahu dirinya, kan?

Kutepis rasa takutku jauh-jauh, dengan segera aku naik ke boncengan. Come on, Ev. Lo pasti bisa. Lo nggak bakal mati.

"Tolong agak ngebut ya, Pak," pintaku.

Aku nggak benar-benar tahu bagaimana perjalanan ini berlangsung. Bagaimana aku mengatasi rasa takutku dan bagaimana aku membuat diriku tetap waras, hingga aku tiba di tujuan. Jujur saja, aku sedikit takjub dengan diriku sendiri.

Benny terkejut ketika aku meneleponnya dan bilang sudah di lobi. Lima menit kemudian, Benny muncul dengan terburu-buru dari lift. Dia bahkan cuma memakai panjang motif batik, kaus tipis putih, dan sandal jepit. Ekspresinya terlihat khawatir.

"Kok bisa ada di sini? Naik apa? Kamu nggak apa-apa, kan?" berondongnya saat kami di dalam lift menuju ke unit apartemennya.

"Satu-satu," tegurku. "Naik ojek."

"Kamu nggak apa-apa?" ulangnya. Benny menatapku lekat, seolah ingin memastikan nggak ada luka atau apa pun dalam diriku.

Aku mengangguk. "Aman."

Apartemen Benny adalah bertipe alcove yang berbentuk huruf L. Nuansanya cukup hangat dan terlihat jelas bahwa apartemen itu "ditinggali". Begitu memasuki pintu, kami langsung disambut oleh ruang tamu dengan sofa hangat biru tosca di atas karpet bulu berwarna putih. Sisi-sisinya dikelilingi oleh rak tinggi penuh buku. Lalu tepat di seberang ruang tamu terdapat dapur kecil dan set kursi makan dari kayu. Di sudut ruangan, cerukan L yang berbelok ke kiri, dibatasi oleh sebuah tirai tinggi, nampak kamar tidur bersprei biru.

Dalam definisiku, apartemen ini "sangat Benny". Sederhana, tetapi kesan hangatnya memancar kuat.

"Sori, emang kecil tempatnya," kata Benny. "Dan berantakan," tambahnya.

Perhatianku teralih pada Benny. "Gimana?Masih demam?" tanyaku.

Benny menyentuh dahinya sendiri. "Demam lagi sih ini. Efek obatnya udah habis kayaknya."

Aku berdecak. "Ya udah, Kak Benny istirahat aja. Aku pinjam dapurnya boleh? Ini lauk dari Bude Mara. Gimana kalau aku buatin bubur buat dimakan pake ini? Atau mau sup ayam aja? Aku bawa bahan-bahan dari kulkas Bude. Lauk dari Bude bisa disimpan dan dimakan besok."

Benny mengangkat tangannya. "Whoaa ... kalem, Ev," katanya sambil tersenyum. Orang ini lagi sakit, kenapa mood-nya malah terlihat bagus? "Daripada repot, ada opsi delivery. Kita bisa nunggu sambil santai."

"Buruan pilih!" tegasku, kesal. "Bubur atau sup ayam?!"

"Sup ayam aja."

"Oke!"

Dengan segera aku mengeluarkan bahan-bahan yang kubawa di meja dapur. Untung saja Bude punya persediaan sayuran. Nggak kebayang kalau aku harus mampir ke supermarket atau pasar untuk beli bahan dulu.

Setelah memastikan bahan-bahan itu cukup, aku mulai memasak. Sudah lama aku nggak melakukannya, tapi kurasa kemampuan memasakku masih ada.

"Kamu tiduran aja, Kak," kataku.

Namun Benny memilih untuk duduk di kursi makan yang ada di dekat kayu.

"Gimana kamu bisa sampai sini, Ev?" tanyanya, seolah masih nggak percaya. Yah, aku sendiri juga nggak percaya.

"Naik ojek, aku udah bilang, kan?"

"Dan ... gimana perasaanmu?" tanya Benny, seperti biasa.

"Good," jawabku. "Lebih baik dari yang kukira."

"Syukurlah. Keren kamu, Ev! Aku bangga."

Aku mendongak dan menatap Benny yang tengah tersenyum hangat kepadaku. Lantas aku tertegun, menyadari betapa besarnya arti dari apa yang kulakukan hari ini.

Aku tahu, terkadang dibutuhkan motivasi dan dorongan luar biasa besar bagi seseorang untuk mampu mengalahkan rasa takutnya, melampaui keterbatasannya. Ternyata, motivasi dan doronganku adalah Benny. Ironis, karena sekarang, Benny adalah seseorang yang seharusnya mulai kubatasi eksistensinya dalam hidupku.

***


Chapter ini full sama momen Eva-Benny yaa 🤣

Semoga enjoy ♥️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro