Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kesadaran

Sejak dulu aku berpikir bahwa mind reader itu bukan anugerah, melainkan musibah. Dan kini aku tahu alasan mengintip atau mencuri dengar pembicaraan orang lain adalah hal yang buruk. Dua hal itu memang bisa mengungkap fakta atau memberikan pengetahuan baru. Masalahnya, ada hal-hal yang memang sebaiknya nggak perlu kita dengar. Ketidaktahuan yang bisa menjadi baju zirah perlindungan.

Apa yang kudengar barusan di pantri, aku nggak tahu apakah termasuk hal yang seharusnya kudengar atau jadi rahasia selamanya. Opsi kedua akan memberiku keuntungan sahabat baik yang siap diandalkan kapan saja. Opsi pertama, menyadarkanku bahwa sahabat baik selamanya itu nggak pernah ada.

Fakta apa yang baru saja kudengar? Satu sisi diriku ingin berpikir bahwa aku salah dengar. Mungkin bukan Ruri yang ngobrol dengan Petra di pantri dan mungkin bukan aku yang dimaksud dalam obrolan itu. Kemungkinan itu begitu menggoda, dan rasanya aku ingin bersembunyi di sana, agar nggak perlu mendapati hal-hal yang menyakitkan.

Kabar buruknya, yah ... aku tahu pikiran itu salah. Pikiran itu lagi-lagi adalah bentuk sikap pengecutku yang memilih untuk lari dari masalah. Aku tahu bahwa Petra dan Ruri memang membicarakanku. Aku tahu bahwa apa yang kuanggap benar sebenarnya salah. Bahwa apa yang kurasa kukenal, ternyata sama sekali nggak kupahami.

Sekarang aku harus memproses dan menerima fakta besar yang luar biasa menakutkan itu: sikap Ruri padaku semuanya palsu. Bagaimana bisa? Selama ini Ruri selalu baik. Dia orang pertama yang menyapaku di hari pertama aku bergabung dengan WeTimes. Ruri juga selalu mengajakku bergabung saat makan siang, saat hangout, dan saat ada pembicaraan seru apa pun. Seluruh keakraban dan kehangatan itu ... bagaimana mungkin semuanya hanya settingan?

Kupikir Ruri adalah sahabatku. Setelah sekian lama, kukira aku akan mendapatkan sahabat baik untuk kali pertama. Betapa menggelikan bahwa itu hanya harapan yang terlalu muluk. Semua yang Ruri lakukan dan katakan, ada maksud dan tujuan: untuk mengendalikan hatiku—seperti yang dia katakan sendiri. Ruri bahkan nggak ragu-ragu menyebutku seorang people pleaser! Seperti itukah anggapannya tentangku selama ini?

Lantas semua titik persoalan mendadak menjadi terang benderang dan masuk akal.

Ruri tiba-tiba sering datang berkunjung ke rumah Bude Mara setelah tahu aku tinggal di sana. Karena Ruri ingin menjaga jarakku dengan Benny.

Ruri menceritakan tentang perasaannya kepada Benny padaku dengan begitu blak-blakan. Karena Ruri ingin aku menjauh dari Benny.

Ruri menceritakan tentang pengkhianatan sahabat di masa lalu. Karena Ruri ingin mengingatkanku agar nggak mengkhianatinya setelah semua hal baik yang dia lakukan untukku.

Lalu ... apa jangan-jangan Ruri juga nekat mengejar angkot dan menyelamatkanku, karena melihat peluang yang menguntungkan dirinya sendiri saat itu?

Ah, nggak mungkin. Kugelengkan kepala cepat-cepat. Aku nggak boleh berpikir sejauh itu. Lagi pula, apa pun maksud dan tujuan Ruri, faktanya dia sudah mengubah keadaan. Dia menyelamatkanku. Nggak mungkin kan kalau Ruri sengaja mengatur dan bersekongkol dengan sopir angkot ... ya, tuhan! Stop, Eva, stop! Aku nggak boleh melanjutkan pikiran-pikiran buruk ini. Otakku pasti tersugesti berpikir yang jelek-jelek setelah mendengar kata-kata Ruri tadi. Aku nggak boleh memberi makan kemarahan dengan kecurigaan-kecurigaan yang nggak perlu, sehingga hanya melahirkan penyakit hati.

Kutegakkan punggungku, terasa mentok sebab tas ransel menghalangiku dari sandaran kursi. Kutepuk-tepuk dadaku pelan. Rasanya ini begitu menyesakkan. Aku kecewa, terlebih, aku merasa sangat marah. Sesepele itukah Ruri memandangku? Selemah itukah aku sampai Ruri berpikir untuk memanipulasiku?

Yah, apa yang salah dari itu? Faktanya aku memang lemah, sepele, dan gampang dimanipulasi, kan?

"Lah, kok lo udah di kantor, Va?"

Aku mendongak perlahan, menatap Ruri yang berjalan pelan dari arah pantri dengan senyum lebar. Hatiku terasa perih oleh sesuatu yang nggak kupahami.

"Lo baru nyampe?" tanya Ruri lagi, menghampiri kubikelku.

Aku nggak menjawab, tapi Ruri terlihat nggak butuh jawaban. Mungkin karena dia melihat ransel yang masih tercangklong di punggungku sehingga yakin perkiraannya benar.

"Udah makan? Anak-anak pada makan di Anne's Kitchen itu."

Aku ber-oh pendek dan bertanya kenapa dia nggak ikut, berpura-pura bersikap wajar walau satu-satunya hal yang kuinginkan saat ini adalah menjauh darinya. Melihatnya saja terasa sangat menyakitkan.

"Gue kan bawa bekel, Va. Biasalah, emak gue lagi kerajinan. Eh, lo udah makan, kan? Karena lo nggak ada, tadi gue makan sama Petra, kirain lo datang habis lunch soalnya."

Kutatap mata Ruri yang berbinar-binar ceria, berusaha menemukan sesuatu. Apa yang sesungguhnya ada di pikiran Ruri saat dia bersikap baik begini?

"Oh iya, gue bawain tuh lipstik yang kemarin lo tanyain."

Apa dia diam-diam menyumpahiku, mentertawakanku, atau memaki-makiku? Apa dia bergidik jijik dan muak karena harus berbaik-baik padaku? Kenapa dia tega melakukan hal sejahat ini kepadaku?

Benakku bergejolak. Rasa marah, kecewa, dan juga malu berputar-putar di perut seperti adonan kue yang diberi baking soda. Mengembang, dan dadaku semakin merasa sesak. Mendadak aku merasa mual tanpa sebab yang jelas.

Tepat ketika aku berpikir untuk menyerah dengan emosi, suara-suara berisik muncul dari lantai satu. Satu demi satu yang tadi pergi makan siang sudah kembali. Langkah-langkah santai terdengar mulai menaiki tangga.

"Eh, Ar!" Dengan mudahnya Ruri terdistrak dengan kemunculan Benny di ujung tangga. "Udah baca chat gue?"

"Chat yang mana?" Benny balas bertanya.

"Yang pementasan teater weekend ini. Nonton, kuy! Teman gue ada yang jual tiketnya."

Sejenak aku merasa pandangan Benny jatuh padaku, sebelum pria itu menggeleng.

"Skip dulu," katanya tanpa berhenti melangkah menuju tangga ke lantai tiga.

"Ih, kenapa, sih?" Entah menyadari hal itu, atau sejak awal dia sudah merencanakannya, Ruri kembali berpaling kepadaku. "Lo juga suka teater kan, Va? Yuk, lo ikut juga, ya. Bisa, kan? Sabtu lo nggak ada acara, kan? Nanti gue yang pesenin tiketnya."

Aku diam saja.

"Eva mau nih, Ar."

What?

"Ya? Gue pesan tiga tiket, ya?"

"Nggak, Rur. Sorry."

Benny benar-benar nggak menoleh lagi. Langkahnya tegas, tegak lurus menaiki tangga ke lantai tiga.

Sejenak, Ruri terlihat terpaku menatap punggung Benny yang semakin menjauh. Berikutnya, dia menatapku dengan ekspresi heran.

"Kenapa sih dia?" tanyanya. Meski nggak dibilang secara langsung, aku bisa menangkap keheranan dan kegusaran dalam suaranya. "Gue kok ngerasa belakangan Aria jutek banget, ya? Lo tahu kenapa, Va?"

"Apa?" Aku terkejut sedikit. "Gue—"

"Bukan jutek sih, tapi lebih dingin gitu ke gue. Tapi ... bukan dingin juga. Apa ya ... jaga jarak?" Ruri berpikir keras. "Dulu-dulu gue chat random selalu dibalas, sekarang jarang. Dia balas ada kadarnya gitu. Datar banget. Lo tahu nggak sebabnya apa, Va?"

Aku punya dugaan, tapi aku nggak ingin mengatakannya.

"Terus tumben bener dia nggak mau nonton pentas teater. Biasanya rajin. Duh ..." Ruri garuk-garuk kepala. "Mana gue udah beli tiket lagi."

Mataku sontak menyipit. "Lo udah beli tiket? Sebelum Benny setuju?"

Ruri tertawa kecil. "Iya. Udah beli. Kirain dia pasti mau kalau nonton teater."

Lagi-lagi aku terdiam. Sungguh aku ingin mengakhiri pembicaraan ini, tapi Ruri sepertinya enggan beranjak dari samping kubikelku.

"Well ... Va, lo mau bantuin gue nggak? Tolong bujuk Aria supaya mau dong? Ya? Please?" pinta Ruri. "Kalian dulu ikut komunitas teater yang sama, kan? Aria pasti lebih dengerin lo."

Kutentang kedua mata Ruri lekat-lekat. Wajah itu penuh dengan senyum lebar dan ekspresi malu-malu yang sekarang terlihat begitu ... palsu. Ekspresi ramah ini terlihat begitu penuh tipu muslihat. Begitu egois dan licik. Bagaimana bisa aku nggak melihat hal ini sebelumnya?

Kuhela napas panjang-panjang. Lantas aku menggeleng. "Gue rasa udah saatnya kita menghargai keputusan Benny."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro