Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kamu ke Mana?

Kuusap-usap dahiku untuk kesekian kalinya, diiringi dengan desah tanda kekalutan. Untung saja kali ini kurapikan rambut megarku dengan gaya fully french braids. Kalau nggak, bisa-bisa aku sudah tergoda untuk menggaruk-garuk atau menarik-narik rambutku dengan gaya tarzan.

Hari masih pagi, tapi aku sudah dilanda galau saja. Padahal hari ini alam sangat bersahabat, dan aku tiba di kantor dalam kondisi baik, sepuluh menit sebelum jam resmi dimulai--kantor masih kosong bahkan, dengan kostum yang sesuai.

Ah, persetanlah.

Kuambil ponselku, lalu kucari kontak Benny dari grup WA kantor. Tak kuberi waktu sedikitpun diriku untuk berpikir. Bisa-bisa aku mikir lagi. Mikir terus, nggak kerja-kerja.

Pak Aria, hari ini apa bisa meeting untuk bahas konsep konten VIP?
Saya sudah riset platform sejenis, dan sudah ada ketemu soal konsep monetisasinya.

Kan? Tahu sekarang kenapa aku nggak mau mikir terlalu lama? Pekerjaanku nggak bisa dipisahkan dari Benny slash Aria slash cowok berengsek itu sih.

Lupa sesuatu, aku segera mengirimkan chat lanjutan.

Sama Mbak Medina juga.
Selain bahas soal monetisasi, juga bahas soal konsep konten.
Jam 11 gitu bisa Pak?

"Pagi banget, Va?"

Pundakku ditepuk. Ada Ruri yang baru saja tiba. Kutatap jam dinding kantor. Sudah sembilan lewat 10 menit, masa pagi?

Aku nyengir. "Iya, trauma telat hari pertama."

Ruri tertawa. "Masih baru," katanya. "Di sini baru rame paling setengah 10, Va. Jadi, santai aja, beb."

"Oh gitu." Aku mengangguk-angguk. "Sip-sip. Thanks."

"Ini lucu banget sih kepangannya?" Ruri menyentuh ujung rambutku. "Ini asli, Va?"

Aku tergelak. "Maksudnya apa itu? Iyalah, asli."

"Gue tuh selalu pengin punya rambut keriting kayak gini, Va. Cantik. Rambut gue lurus kayak sapu lidi, monoton banget nggak, sih?"

Belum tahu saja Ruri bagaimana rasanya punya rambu keriting ini setiap kali turun dari ojek online. Atau berapa sisir yang kupatahkan saat berusaha menyisir rambut setelah keramas atau bangun tidur.

Lucu memang. Dulu saat masih kecil, rambut keriting ini sempat membuatku kurang percaya diri. Setiap kali bercermin, aku merasa jelek sekali. Apalagi aku sering diolok-olok temanku karena rambut keriting ini. Aku iri dengan teman-temanku yang rambutnya lurus dan panjang, sehingga bisa diikat dengan berbagai jepit rambut lucu. Aku ingat dulu aku merengek-rengek pada Mama untuk meluruskan rambutku agar sama seperti teman-temanku yang lain.

"Malah ngelamun!" decak Ruri.

Aku tertawa. "Enggak, gue jadi ingat dulu sering diledekin karena rambut keriting ini. Dipanggil kribo lah, dipanggil mi keriting lah. Bahkan sering tuh temen gue iseng buang bungkus permen di rambut gue. Dikirain tempat sampah apa, ya?"

"Serius?" Ruri langsung memasang ekspresi menyesal. "Kok jahat-jahat amat, sih?"

"Eh santai-santai. Namanya juga anak-anak, kan?"

Di bangku SMP aku pernah coba-coba meluruskan rambutku. Namun, karena yang terjangkau oleh tabungan uang sakuku hanya salon murah, hasil yang kudapatkan nggak sesuai ekspektasi. Lurus tapi megar. Paham nggak sih maksudku? Lurus seperti sapu lidi, tapi mencuat kaku seperti rok A-line. Ternyata, rambut seperti itu lebih membuatku nggak percaya diri dibandingkan rambut asliku. Jadi, sejak saat itu, aku menerima dengan lapang dada rambut keritingku dan nggak pernah coba-coba meluruskannya lagi. Bahkan, sekarang aku sangat menyukai rambutku ini.

"Ya udah gue ke ruangan dulu, ya. Ntar makan siang bareng ya, Va?"

Aku mengacungkan jempol sembari mengamati Ruri yang berjalan masuk ke ruangannya. Di mataku, justru penampilan Ruri itu yang keren sekali. Lihat saja sepatu boot besar dan juga jaket kulitnya. Kemarin aku terlongo-longo saat melihat Ruri pulang mengendari motor trail besar lengkap dengan helm full face. Kalau dia nggak buka kaca helm dan menyapaku, aku nggak akan tahu kalau itu Ruri--bahkan aku nggak tahu kalau pengendaranya adalah perempuan.

Di luar penampilannya yang gahar saat naik motor, Ruri adalah sosok yang ramah dan baik hati. Senang rasanya menemukan sosok yang hangat sepertinya. Memang aku nggak pernah punya masalah soal pergaulan, tapi keramahan Ruri membuat hari-hari pertamaku di kantor lebih mudah.

Notifikasi di ponselku membuat fokusku kembali. Dengan dahi berkerut, kubuka balasan chat dari Benny.

Oke, Ev.

Aku menghela napas lega. Satu tantangan terlalui.

Satu chat datang lagi dari Benny.

Btw, udah sarapan? Aku lagi beli pecel. Mau aku beliin sekalian?

***

Kepalaku rasanya seperti panci air yang sudah mendidih sekitar 30 menit yang lalu. Meeting yang tadinya kurencanakan hanya sebagai snack, konsultasi ringan untuk konsep yang sudah coba kurancang, memanjang jadi meeting besar yang melibatkan Petra. Durasi yang kuniatkan nggak sampai satu jam, malah molor sampai melewati jam makan siang.

"Kalau media itu posisinya udah bonafide. Massanya udah banyak, jadi loyalitas mereka juga bagus. Nggak susah ngajakin pembacanya buat langganan paid content," kata Benny. "Bro, umurnya aja sama gue tuaan media itu. Kebayang sebanyak apa massanya?"

"Ya tapi kan segmentasinya beda, Ar. Kita menyasar target audiens yang berbeda. Generasi zaman sekarang bukannya lebih gampang diajak spend money buat paid content, ya?" debat Pak Petra.

"Ya, dengan catatan mereka udah cocok duluan sama kontennya. Atau sama creator-nya. Kalau nggak, ya, ngapain? Coba pikir nih, lo scrolling media sosial terus nemu topik soal tips cari S2 di Belanda. Tapi yang nulis namanya Aria Benaya, yang lo nggak tahu tuh orang muncul dari mana, siapa, beneran pernah kuliah di Belanda apa nggak. Lo tetap mau beli kontennya?"

Petra nggak menjawab.

"Karena ini adalah ruang VIP, mestinya kita punya sesuatu yang lebih buat ditawarkan dong. Sesuatu yang lebih trusted, kredibel, satisfying. Ya nggak, Ev?"

Aku mengangguk. "Betul, Pak."

Harus kuakui, argumen Benny memang masuk akal. Untuk beli sampo yang biasa kubeli saja kadang aku nunggu diskon dulu, mana bisa aku beli konten yang nggak tahu dibuat sama siapa?

"Yup. Jadi, selain konten-konten kelas atas kita, juga perlu gaet sosok dari luar. Misalnya nih, investigasi, ya kita ajak kolaborasi jurnalis senior yang namanya udah dikenal luas. Yang orang-orang tuh pengin tahu gitu apa yang dia pikirin."

Mbak Medina memasuki diskusi. "Tapi kalau kreator luar, gimana kita bisa mastiin style konten kita tetap on track? Maksud gue, Wetimes dikenal dengan style yang berbeda dengan media-media lain. Kalau kita ambil konten dari luar, style kita hilang nggak sih?" Medina mengetuk-ngetukkan ujung pulpen ke dahinya. "Kita angkat investigasi kasus lewat jurnalis senior yang besar di koran Fokus, ya jadinya konten Fokus, bukan konten Wetimes."

Masuk akal juga.

"Gue bukannya pengin semua konten VIP dibuat sama kreator luar, Med. Konten dari internal tetap ada. Kita kurasi betul-betul dari tulisan kita sendiri. Kreator luar itu jadi nilai tambah, buat sarana promosi juga."

"Sori, atau mungkin begini," aku memajukan badan hingga nyaris menempel ke pinggiran meja. "Menurut saya, apa yang Pak Aria bilang masuk akal. Kreator eksternal yang sudah punya nama memang perlu. Seenggaknya untuk tahap awal, tahap awareness, untuk ningkatin daya jual juga. Tapi mempertahankan style juga perlu. Nah, gimana kalau kita ambil jalan tengahnya."

"Gimana tuh, Ev?" tanya Benny.

"Mbak Medina tadi khawatir nggak bisa ngontrol style kreator eksternal, kan? Tapi menurut saya, kita masih bisa ngontrol topik yang akan dibahas. Kita cari topik-topik yang masih masuk di audiens kita, dan kita cari juga kreator-kreator eksternal yang masih 'sealiran' dengan kita. Jadi, kita tetap 'bersuara' meski dengan corong yang berbeda."

Keheningan terjadi saat aku mengakhiri pendapatku. Duh, apa? Apa aku salah bicara? Apa pendapatku mengandung ketololan mahabesar?

"Well, that makes sense," kata Medina kemudian.

Aku menghela napas lega. Sungguh sulit menjadi orang baru di sebuah ekosistem kerja. Aku takut ritme napasku saja menyalahi SOP.

"Oke, oke." Petra mengetuk-ngetuk meja. "Gue paham, gue paham. Solusi Eva masuk akal. Nah, tapi sekarang kita kudu ngomongin hal lain. Bujet. Kalau kreator luar kan pastinya ada extra bujet. Jadi, gue mau Eva nanti coba bikin skema kolaborasi yang paling oke, ya. Coba propose ke kita, dan nanti kita coba buka diskusi sama tim finance."

Aku mengangguk. "Saya usahan by the end of this week sudah bawa konsep kasarnya, Pak. Nanti saya update progress hariannya di grup."

Diskusi seru ini terhenti saat pintu ruang meeting diketuk. Mbak Siti masuk membawa nampan berisi gelas-gelas jus. Tadi kami memang memesan jus dan juga makan siang, karena nggak bisa makan siang di luar.

Wajahku langsung pucat saat melihat jus alpukatku dihiasi dengan susu cokelat yang mencolok mata. Berputar-putar di dinding gelas dengan estetiknya tapi malah memadamkan selera. Masalahnya, aku ini nggak doyan segala macam persusuan. Perutku nggak apa-apa, tapi mulutku nggak bisa menerima. Di saat orang-orang gandrung es kopi gula aren dan minuman boba-bobaan saja aku tetap setia dengan americano iced atau--sesederhana es teh manis saja.

Bodoh banget, Ev. Kok bisa tadi aku lupa pesan tanpa susu.

Saat aku masih menyesali pesananku yang sudah pasti akan mubazir, tiba-tiba Benny yang duduk di sebelahku meraih gelas jusku dan menukar dengan miliknya yang kebetulan juga jus alpukat.

"Punyaku nggak pakai susu," katanya.

"Eh, tapi Pak--"

Terlambat. Benny sudah minum jus alpukat dengan susu yang tadinya milikku.

Padahal aku ingat Benny juga sama sepertiku. Nggak doyan susu. Mungkin Mbak Siti sudah hafal dengan seleranya, sehingga tanpa diminta pun sudah tahu bahwa pesanan Benny pasti tanpa susu.

"Makasih, Pak Aria," gumamku lirih.

Sebenarnya aku ingin menolak, karena hal ini membuatku nggak nyaman dan memancing kecurigaan orang lain. Namun, setelah kupikir-pikir bersikeras menolak di sini malah akan membuat orang makin curiga. Mungkin nanti saja aku mencari waktu untuk membahasnya.

Aku sedikit salah tingkah saat mendapati Petra melihat kejadian tukar jus barusan. Petra menatapku dan Benny berganti-gantian. Untung saja, CEO-ku itu nggak berkata atau bertanya apa-apa.

Meeting yang melelahkan otak itu berakhir sekitar pukul setengah dua. Petra dan Medina bergegas keluar ruangan. Sementara Benny masih duduk santai di kursinya, menungguiku yang masih beberes laptop dan juga buku catatan.

"Ada yang pengin kamu omongin sama aku?" tanyanya tiba-tiba.

"Soal konsep? Kayaknya saya harus--"

"Bukan soal kerjaan," potong Benny. "Ekspresi kamu ... kayaknya mau ngomong sesuatu tapi nggak jadi."

Aku menelan ludah. Kenapa Benny bisa membaca pikiranku.

"Pak Aria--"

"Aku lebih suka kamu panggil Benny kayak dulu. Nggak perlu ikut-ikutan yang lain, kok."

Oke. Terserah. "Kak Benny, boleh minta tolong?" kataku setelah menghela napas panjang.

"Tolong apa, Ev? Kalau bisa, ya aku usahakan bantu," jawab Benny dengan senyum yang terlihat jelas di kedua matanya, meski aku nggak bisa melihat setengah wajahnya.

Aku mendengkus sebal. "Bisa nggak kita pura-pura nggak kenal aja? Jadi, Kak Benny jangan melakukan hal-hal yang nggak perlu kayak tadi."

Mata Benny masih tersenyum, sama seperti sebelumnya. Bahkan saat ia menggeleng dan berkata, "Kalau itu sih nggak bisa. Sorry, Ev."

***

Jakarta memang sudah masuk musim penghujan. Kabar buruknya, seringkali hujan deras datang di sore hari, menjelang jam pulang kerja. Sebagai pengguna KRL untuk sementara, tentu aku jadi harus menunggu hujan reda untuk bisa naik ojol ke stasiun. Karena itu, beberapa hari bekerja di Wetimes, aku sering pulang terlambat. Nggak cuma karena lembur, tetapi juga karena menunggu hujan reda.

"Va, masih rajin aja?"

Aku mendongak dari layar laptop. Mas Danu sudah menyandang tas selempangnya dan memutar-mutar kunci di tangannya.

"Iya nih, Mas. Sekalian nunggu hujan reda."

"Yah ... hujan kayak gini mah bakalan lama. Mau bareng gue? Tapi gue cuma bawa mantol sebiji."

Aku meringis. "Mantap. Nyampe rumah gue nggak harus mandi lagi, ya, karena udah mandi sepanjang jalan."

Mas Danu tertawa. Lalu pamit untuk pulang duluan.

Seperginya Mas Danu, nggak banyak orang yang tersisa di kantor. Kantor Wetimes adalah ruko tiga lantai yang cukup luas. Lantai satu digunakan sebagai lobi dan ruang-ruang meeting. Lantai 2 digunakan untuk kantor para staf, reporter lapangan, dan juga pantri. Lantai tiga digunakan sebagai kantor-kantor para petinggi, dan juga beberapa ruangan meeting.

Saat ini, ruangan utama di lantai 2 saja, tempat kubikelku berada, hanya tersisa aku seorang. Lampu di ruangan finance masih menyala, tapi nggak tahu itu karena masih ada orang atau mereka lupa mematikannya. Aku nggak tahu apakah di lantai 3 masih ada orang. Namun, aku tenang-tenang saja karena Ruri bilang Pak Satpam akan mengecek seluruh ruangan jika semua sudah pulang. Jadi, kuasumsikan bahwa masih ada orang di lantai 3 dan 1.

Kutatap dinding kaca di sisi kananku. Nggak kelihatan karena gelap, tetapi suara gemuruh samar-samar menandakan hujan masih cukup deras. Kali ini kutatap jam tanganku. Sudah pukul tujuh lewat. Kalau begini terus, sepertinya aku memang butuh bantuan darurat.

Kubuka kunci layar ponselku, dan kukirimkan draft chat yang kutulis sekitar satu jam yang lalu.

"Ev. Belum balik?"

Aku mendongak. Benny berjalan ke arahku dengan ransel di pundaknya. Tangannya memegang ponsel dan juga paperbag.

Aku berdecak. Pertanda buruk. Dari sekian banyak pejabat di lantai 3, kenapa harus orang ini yang tersisa?

"Lagi nunggu hujan reda," jawabku.

"Mau bareng aku?"

"Saya udah dijemput."

Kuharap jawabaku cukup dan Benny segera pergi. Namun, kurasa harapan itu terlalu muluk-muluk. Benny justru menarik kursi dari kubikel sebelahku dan duduk di sisi kananku.

"Mau ngapain sih, Kak?" tanyaku agak risi. "Ini udah di luar jam kerja."

Padahal layar laptopku jelas-jelas masih menampilkan Google sheet tentang pekerjaan.

"Siapa yang mau ngomongin kerjaan?"

"Sebaiknya kita nggak ngomongin hal lain selain soal pekerjaan."

Benny tergelak. "Waduh, judes bener."

"Nggak enak dilihat orang lain, Kak."

Aku malas menjelaskan kalau ada yang bertanya bagaimana aku bisa kenal Benny sebelumnya.

"Nggak ada orang, nggak ada yang lihat," jawab Benny santai, sembari meraih pulpen dari mejaku dan memainkannya. "By the way, kamu nggak berubah. Masih aja terlalu mikirin omongan orang."

Aku menatapnya dengan sewot. "Omongan orang adalah pantulan dari citra yang kita bikin. Kalau omongan orang buruk, ya berarti ada yang salah dari cara kita bersikap. Sebuah alasan buat introspeksi."

"Ya tapi kebanyakan orang cuma asal jeplak aja, Ev. Mereka nggak tahu apa-apa, terus asal komentar."

"Justru karena mereka nggak tahu, gue nggak mau mereka jadi bertanya-tanya. Kita nggak usah ngasih bahan omongan. Gue malas ngejelasin hal-hal nggak penting!"

Aih, sial. Keceplosan pake gue-elo. Ya, sebodo teuing lah!

Benny menyipitkan mata. "Oh, ini tuh spesifik ngomongin soal kita, ya?"

Idih. Pake nanya lagi.

"Wah, sedih juga aku dibilang nggak penting." Meski nggak kelihatan, aku tahu Benny sedang meringis. "Kamu dulu itu ke mana sih, Ev?"

Aku nggak menjawab. Tuh, kan? Aku selalu menghindari Benny karena aku yakin dia akan membahas-bahas soal masa lalu. Dan itu super nggak penting!

"Nggak ada urusannya sama Kak Benny, kan?"

"Loh, ya ada, dong. Gara-gara Benny, Eva jadi menghilang ditelan bumi, gitu kata anak-anak Marcopolo dulu." Benny tertawa kecil. "Gara-gara Benny, Marcopolo kehilangan salah satu aktris terbaiknya."

Oh, jadi dia bertanya sekarang, karena merasa aku telah merusak nama baiknya? Karena aku membuatnya dipersalahkan oleh teman-teman kami?

"Kapan-kapan kalau dikasih kesempatan ketemu lagi, gue bakal klarifikasi ke anak-anak teater kalau kejadian waktu itu nggak ada hubungannya sama Kak Benny," kataku.

"Biar apa?" tanya Benny dengan alis terangkat.

Aku ikut-ikutan mengangkat alis. "Ya biar nama lo jadi bersih, kan?"

"Oh, oke. Nama baikku kembali. Tapi gimana sama emosi, kecemasan, dan kekhawatiranku waktu kamu ngilang gitu aja? Tiba-tiba cabut dari teater. Aku nyariin, lho. Aku ke kampusmu, nanya-nanya ke temen kamu. Mereka bilang kamu ambil cuti. Aku juga ke rumah kamu, tapi kayak kosong gitu. Kali kedua aku ke sana, malah ada tulisan dikontrakkan."

Halah! Dasar buaya!

"Nice info, thanks."

Benny tergelak. "Ada yang pernah bilang kalau kamu makin cantik pas lagi judes, ya? Saranku, jangan percaya. Bohong dia itu."

Aku melotot kesal. Makin malam kenapa makin melantur sih orang ini?

Sayangnya, yang kupelototi malah makin senyum-senyum nggak jelas.

"Yah ... apa pun yang terjadi di masa lalu, aku senang banget kita ketemu lagi sekarang, Ev. Kapan-kapan kalau ada waktu, bisalah kita nongkrong dan ngobrol-ngobrol santai. Ya? Lama nggak ketemu, pasti banyak cerita."

Di saat yang sama, ponselku berbunyi. Jemputanku sudah tiba.

"Kak Benny nggak balik?" tanyaku sembari mulai membereskan barang-barang.

"Ini mau balik. Ayo, bareng aja."

"Nggak usah."

"Masih hujan lho di luar."

"Nggak apa-apa, gue dijemput."

Aku nggak tahu apa tujuannya, tapi Benny masih terus menungguku. Dia juga ikut turun saat aku turun ke lantai satu.

"Kamu balik naik apa sih, Ev?" tanya Benny. "Bener nggak mau bareng?"

Aku menjawab dengan menunjuk Nissan Juke yang berhenti di depan kantor Wetimes.

"Taksi online, ya? Ya elah, mendingan bareng aku aja kali. Pasti mahal banget. Katanya mau berhemat sampai gajian?"

Aku tersenyum. "Bukan taksi."

Bersamaan dengan itu pintu kaca depan terbuka, menampilkan seorang pria berpakaian rapi dan berkacamata yang tersenyum padaku.

"Bukan taksi?"

Aku menggeleng. "Pacar gue, Kak," jawabku sembari pamit untuk pulang duluan.

***

Ihiiiiirrrr~
Mon maap yang mendukung Benny-Eva. Lha Eva-nya su punya kekasih 🤣

Selamat menempuh awal pekan! ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro