Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Jalan Buntu

Aku nggak mungkin salah lihat. Pria yang ngobrol dengan Mama di teras tadi jelas-jelas Teddy. Mustahil aku salah mengenali bajingan yang wajahnya masih sering menghantui mimpi burukku. Yang mengingatnya, masih membuat jantungku berdebar kencang hingga aku merasa mual.

Pertanyaannya, kenapa? Bagaimana bisa? Kenapa bajingan itu ada di sana? Apa aku salah dengar kemarin ketika Mama bilang sudah putus kontak dengan pria itu? Kenapa Mama berbohong padaku? Kenapa Mama tetap berhubungan dengan bajingan yang sudah memperlakukanku seperti itu? Apa Mama menyepelekan kejadian yang kualami? Kalau iya, apa tujuan Mama mengajakku tinggal di sana dan berbohong soal relasinya sama si bajingan itu? Apa ada tujuan buruk? Apa mungkin ... Bagaimana Mama bisa melakukan itu kepadaku?

Tunggu.

Jangan terburu-buru, Ev. Bisa jadi kejadiannya nggak sesederhana itu. Bisa jadi Mama memang sudah mengakhiri hubungan mereka dan berusaha menjauh, tapi Teddy nggak melepaskan Mama. Bisa jadi, Teddy akhirnya berhasil melacak keberadaan Mama hingga ke Utan Kayu. Bisa jadi ini bukan soal Mama berbohong, melainkan soal Mama yang kesulitan melepaskan diri dari si bajingan itu.

Yah ... apa pun itu, kesimpulannya cuma satu. Mustahil aku tinggal dengan Mama. Seharusnya aku sudah mempertimbangkan ini sejak awal. Meskipun Mama sudah mengakhiri hubungan mereka, bukan mustahil Teddy kembali mencari Mama, seperti hari ini. Aku harus mencari alternatif lain. Aku harus menghindari rumah itu. Bisa jadi Mama sedang butuh bantuan untuk lepas dari bajingan itu, tapi ini bukan tanggung jawabku. Itu bukan urusanku. Mungkin aku terdengar durhaka, tapi ini bukan saatnya aku menolong mamaku, saat aku harus menolong diriku sendiri. 

"Non, ini beneran balik ke sini lagi?"

Pertanyaan driver ojol menyadarkanku dari lamunan. Saat terburu-buru menyuruh bapaknya mengebut tadi, aku hanya bilang "balik aja, Pak.". Dan di sinilah, kami baru saja memasuki gerbang komplek rumah Bude Mara. Motor bapak ojol berjalan lambat melewati taman komplek yang cukup ramai.

"Saya turun sini saja, Pak," kataku.

Sontak driver menghentikan motornya. Aku melompat turun dari boncengan.

"Beneran, Non?" tanya pria paruh baya itu ketika aku mencopot helm. "Non teh nggak apa-apa? Sejak di Utan Kayu tadi Bapak lihat kok agak bingung."

Aku tersenyum. Nggak urung, perhatian bapak driver membuatku lumayan terharu. "Nggak apa-apa kok, Pak. Saya baik-baik saja. Ini ongkos yang tanpa aplikasi, ya. Makasih banyak, Pak."

Sepeninggal driver ojol, aku berjalan gontai dan duduk di bangku kayu pertama yang kutemukan. Sejak tadi aku merasa pijakan kakiku kurang mantap dan sedikit lemas. Keringat dingin sudah berkurang, tapi perasaan ngeri dan sensasi tarikan ketat di belakang leherku masih terasa.

Kuhela napas panjang, dan kupejamkan mata selama beberapa detik. Setelahnya kurogoh ponsel dari dalam tas ransel dan tanganku bergerak sendiri membuka aplikasi WA dan langsung menuju chatroom dengan Benny. Aku sudah setengah jalan menuliskan apa yang kualami barusan saat tersadar. Haruskah aku bercerita ke Benny soal ini? Haruskah aku menambah-nambahi beban pikirannya, padahal aku sudah menyakiti hatinya? Emangnya aku ... se-enggak punya hati itu?

Tangan luruh ke pangkuan. Punggungku pun semakin merosot dari sandaran. Mataku kembali terpejam, seolah dengan begitu aku bisa melihat persoalan dengan lebih jernih.

Yaah ... untung aku belum memberi tahu Mama soal rencana pindahku. Setidaknya aku nggak perlu menjelaskan batalnya rencana itu. Meski dengan begitu, aku harus menemukan tempat tinggal baru. Apakah aku ... Papa? Aku teringat tawaran Papa berbulan-bulan lalu untuk tinggal di Kebun Jeruk. Haruskah aku menerima tawaran Papa dan Tante Aira untuk tinggal bersama mereka dulu?

Oke, layak dicoba. Apa salahnya, Ev? Beliau papamu juga. Kamu berhak mendapatkan kasih sayang yang sama dengan yang didapatkan si Kembar, kan?

Sekali lagi kutegakkan punggungku dan kunyalakan ponselku. Dengan mantap aku menelepon Papa, untuk mengutarakan maksudku.

"Halo, Va," jawab Papa, setelah cukup lama aku menelepon. Terdengar suara riuh rendah di belakang suara Papa. "Papa lagi di Bandung, nih," terang Papa tanpa kuminta.

"Oh? Lagi ada acara apa, Pa?"

"Mau jemput omanya si kembar."

"Oma Santi?" Aku memastikan.

Oma Santi adalah ibu Tante Aira. Beberapa kali aku bertemu dengan beliau, dan kurasa Oma Santi bukan tipe oma-oma favoritku. Meski Tante Aira sangat baik kepadaku, Oma Santi sepertinya menganggapku seperti ancaman. Sepeti tambahan anggota keluarga yang nggak diperlukan dan hanya menjadi beban.

"Iya. Rencananya Oma Santi akan tinggal di Jakarta."

"Oh ... begitu."

"Belakangan Oma Santi sakit-sakitan. Kolesterol, migrain, rematik segala macam. Terus kataraknya juga semakin parah. Oma Santi kan di Bandung tinggal sendirian, nggak ada yang mengurus. Jadi, kita ajak pindah ke Jakarta aja biar ada yang urus. Kalau ada apa-apa cepat ketahuan."

"Oh gitu ...."

"Kamu baik-baik aja kan, Va?" tanya Papa tiba-tiba.

"Ah, iya." Aku mengangguk cepat. "Eva baik-baik aja kok, Pa."

"Hari ini kursus beladiri?"

Aku mengangguk lagi. "Iya, ini baru pulang kursus."

"Bagus, bagus. Yang semangat, ya. Oh ya, tadi ada apa kamu telepon? Kok tumben?"

Tanganku refleks menggaruk kepala. "Nggak apa-apa, Pa. Tadi Eva pengin mampir ke Kebon Jeruk. Kirain Papa di rumah."

"Kalau begitu, minggu depan aja kita agendakan jalan-jalan, Va. Sama Oma Santi juga."

"Iya," jawabku lirih. "Oke, Pa."

Kuakhiri pembicaraan kami dengan keheningan yang aneh. Keheningan yang nggak terhubung orang-orang yang sedang bercanda dan tertawa di sekitarku. Keheningan yang terasa jauh ... jauh di dalam diriku.

Sekarang .... apa, Ev?

Mustahil juga rasanya jika aku tinggal di rumah Papa. Oh, aku yakin Papa nggak akan keberatan. Papa akan menyambut gembira keinginanku untuk pindah. Namun, dengan adanya Oma Santi, rasanya itu bukan opsi terbaik. Bukan hanya karena Oma Santi "kurang ramah" kepadaku, melainkan juga akan terlalu banyak orang yang tinggal di sana jika aku bergabung.

Rumah Papa bukan rumah gedongan yang punya puluhan kamar sehingga bisa jadi hotel dadakan waktu kerabat berdatangan. Rumah Papa adalah rumah tipe 4x6 biasa yang dimodifikasi jadi 2 lantai. Kamar tidur Papa dan Mama di lantai satu berdekatan dengan kamar tidur si kembar. Di lantai ada kamar tidur Gina, ruang cuci dan ruang setlika, serta satu kamar tidur yang sering kupakai jika aku menginap di sana. Dengan adanya Oma Santi, jelas kamar tidur itu akan berpemilik. Mungkin Tante Aira akan menyuruhku tidur dengan Gina. Yaah ... bukannya pilih-pilih, tapi sekamar dengan remaja akhir bukan opsi menarik. Gina butuh privasi dan aku malah khawatir akan membuatnya nggak nyaman.

Sederhananya, nggak ada lagi tempat untukku di rumah Papa.

Kuhela napas panjang. Rasa lelah tiba-tiba muncul dan bertambah berkali-kali lipat. Pandanganku jatuh kepada keluarga kecil yang sedang berpiknik nggak jauh dari tempatku duduk. Keluarga itu terdiri dari ayah, ibu, dan seorang anak perempuan yang kira-kira berusia lima tahun. Mereka duduk di atas tikar, membuka bekal yang disiapkan dari rumah, tersenyum dan tertawa. Terlihat sangat bahagia. Cerminan keluarga adalah rumah yang sesungguhnya.

Hatiku terasa seperti diremas, dan benakku bertanya-tanya: seperti apa rasanya punya tempat untuk pulang?

***

Beberapa bulan yang lalu aku merasa hidupku baik-baik saja. Meski lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sendirian karena pandemi, aku sudah merasa tercukupi. Aku nggak kecil hati saat membaca unggahan orang di sosmed tentang kehangatan keluarga atau kasih sayang orang tua, meskipun jelas-jelas keluargaku disfungsional. Aku baik-baik saja dan yakin bahwa aku bisa hidup sendiri dengan baik.

Nostalgia akan perasaan positif itu menghantuiku saat ini, mengirimkan pertanyaan-pertanyaan dan penyesalan-penyesalan yang menyudutkan. Kenapa sekarang aku nggak bisa hidup sendiri? Kenapa sekarang aku bergantung kepada orang lain? Kenapa sekarang aku seperti tikus pengecut yang nggak berani menapaki dunia sendirian?

Kutatap gerbang rumah Bude Mara yang tertutup rapat. Meski demikian, kehangatannya menyelusup masuk ke dalam hatiku, membuatku merasa nyaman, dan sedikit tipuan akan perasaan "pulang" yang belakangan hilang.

Aku menggelengkan kepala cepat-cepat dan bergegas membuka pintu gerbang.

Ini bukan rumahmu, Ev. Ini bukan tempatmu. Ini bukan pulang.

Aku harus segera cari jalan keluar. Aku nggak boleh membiarkan kenyamanan ini berlarut-larut karena aku bakal semakin takut kehilangan. Lagi pula, masa iya aku sudah pamit ke Bude Mara dan Benny, lalu tiba-tiba bilang batal pindah? Bukan cuma soal malu, tapi itu bakal membuatku kelihatan nggak konsisten, kan?

Aroma masakan langsung menyambutku begitu memasuki rumah. Hal itu membuat kakiku otomatis mengarah ke dapur. Bude Mara dibantu Lik Min sedang sibuk memasak.

"Eh, udah pulang, Eva?" tanya Bude Mara begitu melihatku mendekat.

"Kok kayaknya lagi masak besar, Bude? Ada acara apa?"

"Ah, nggak ada acara apa-apa. Si Aria udah lama banget nggak mampir, jadi Bude paksa dia datang ke sini sore nanti kalau udah sampai Indonesia."

Jantungku mencelus. "Kak Benny sudah pulang dari Singapura, Bude?" tanyaku.

"Iya, pesawatnya siang nanti. Memangnya Aria nggak bilang sama Eva?"

Aku meringis kecut. Rasanya belum terlalu lama waktu Benny selalu memberiku update setiap kali dia ke luar kota. Kapan dia pulang, jam berapa keberangkatannya, gimana cuaca di sana, apa saja yang mereka lakukan, hal-hal lucu yang terjadi, dan tentu saja aku ingin oleh-oleh apa. Benny pergi ke Singapura sejak Rabu, dan dia hanya mengirim chat sekali untuk mempertanyakan keputusan pindahku. Salahku sendiri yang sudah lancang menyakiti hati sebaik itu.

"Eva?"

Aku tergeragap. Bude Mara menatapku dengan kening berkerut.

"Gimana, Bude? Maaf, tadi Eva ngelamun."

"Kamu baik-baik saja?" tanya Bude Mara.

Aku mengangguk cepat. "Sebentar ya, Bude, Eva ganti baju dulu. Nanti Eva bantuin juga."

Aku bergegas ngeloyor ke kamar sebelum membuat ketololan-ketololan lainnya.

Di kamar, aku berlama-lama berganti baju sembari memikirkan kata-kata yang pas untuk bilang kepada Bude Mara. Sudah pasti aku harus menunda kepindahanku sampai aku menemukan jalan keluar.

Sepuluh menit kemudian, aku kembali ke dapur dan mulai membantu Bude Mara. Setelah aku muncul, Bude meminta Lik Min untuk mengantarkan matras-matras yoga ke rumah Bu RT.

"Banyak banget masaknya, Bude?" tanyaku, takjub melihat aneka bahan makanan di meja pantri.

"Ini buat rendang. Yang itu buat tumis buncis dan bawang. Nah, kalau itu buat orak-arik telur," terang Bude Mara. "Ini semua makanan kesukaan Aria, Va."

Aku ber-oh panjang.

"Bude ingat-ingat anak itu udah lama nggak ke sini. Aneh. Sesibik-sibuknya Aria, biasanya dia cepat kangen masakan rumah." Bude Mara tertawa. "Makanya Bude udah ngasih ultimatum supaya dia datang hari ini atau Bude keluarkan dari KK."

Aku tertawa kecil, berusaha menyembunyikan keresahanku. Bagaimana kalau Bude Mara tahu bahwa akulah yang membuat Benny jarang pulang? Mungkin Bude Mara akan mulai membenciku, seperti Benny yang mulai membenciku.

"Apa kamu sedang ada masalah?"

Aku mendongak dari buncis-buncis yang sedang kusiangi. Kukira Bude sedang bicara pada orang lain, tapi kusadari hanya aku orang lain yang ada di sini.

"Bude lihat belakangan kamu murung. Sering diam, kelihatan banyak pikiran," kata Bude Mara sambil mengupas bawang. "Ada apa, Va? Kamu selalu bisa cerita ke Bude."

Aku menelan ludah. Bagaimana caranya aku cerita kalau ini semua tentang Benny?

"Lagi berantem, ya, sama Aria?"

Aku nggak segera menjawab. Yah, harusnya aku tahu kalau aku kesulitan menyembunyikan sesuatu dihadapan psikolog.

"Coba saja cerita apa masalahnya, siapa tahu Bude bisa bantu sebagai orang luar. Pihak netral." Bude tertawa kecil. "Meskipun Aria keponakan Bude, sebisa mungkin Bude akan objektif dalam menilai. Bude janji nggak akan berat sebelah ataupun nyalahin Eva—"

"Nggak perlu, Bude. Memang Eva yang salah," potongku cepat.

Bude terdiam sebentar. "Begitu, ya? Kenapa Eva berpikir begitu?"

Sebelum sempat berpikir, aku sudah mulai menceritakan semuanya kepada Bude Mara. Aku nggak peduli apakah Bude akan menepati janjinya untuk objektif. Aku nggak peduli lagi bagaimana Bude akan memandangku setelah ini. Aku juga nggak peduli kalau Bude akan membenciku karena menyakiti Benny. Biarkan saja. Aku kan memang layak untuk dibenci.

"Apa Aria memaksakan perasaannya ke Eva?" tanya Bude, seselesainya aku bercerita.

Aku menggeleng cepat. "Nggak, Bude. Sama sekali. Kak Benny cuma minta Eva jujur kepada diri sendiri, tapi itu ...."

"Sulit?" sambung Bude Mara.

"Ya." Aku mengangguk. "Dan lagian ... meskipun aku jujur tentang perasaanku, aku tetap nggak pengin menyakiti Ruri, Bude."

Bude Mara mengangguk-angguk. "Bude paham."

"Eva tuh ... gimana bilangnya? Eva merasa kalau Kak Benny dan Ruri itu dua orang baik yang berjasa banget dalam hidup Eva—Bude Mara juga. Kak Benny baik, Ruri baik, jadi menurut aku mereka layak sama-sama. Eva pengin melakukan sesuatu ... sesuatu ... yang ... maksudnya, Ruri jelas sayang banget sama Kak Benny, dan mereka udah kenal lama banget. Bahkan lebih lama dibandingkan Eva kenal Kak Benny ...."

"Ah, namanya juga perasaan manusia, Va. Kadang kita nggak bisa menerapkan 'seharusnya' di sana."

Aku mengangguk. "Dan yang terburuk adalah, bukan Kak Benny yang maksain perasaannya ke Eva, Bude. Justru Eva yang maksain perasaan Eva sendiri, bahwa Eva pengin Kak Benny dan Ruri sama-sama."

"Aria marah karena itu."

Aku mengangguk lagi, dan segera menyadari bahwa yang barusan itu bukan pertanyaan.

"Eva sadar kalau apa yang Eva lakuin memang salah, dan wajar kalau Kak Benny marah banget. Itu juga, Bude, kenapa Eva berpikir ... demi kenyamanan kami berdua, sebaiknya Eva pindah ke tempat lain."

"Semarah-marahnya Aria, dia pasti nggak pengin kamu pindah, Eva."

"Eva tahu, Bude. Eva tahu. Tapi rasanya tetap nggak nyaman, Eva nggak enak sama Kak Benny ... merasa bersalah. Apalagi gara-gara itu juga Kak Benny jarang pulang ke sini."

"Kalau soal itu, menurut Bude, masih bisa dibicarakan. Mungkin ini cuma perkara waktu? Biar Aria berdamai dengan perasaannya sendiri dulu, Bude yakin dia akan kembali ceria. Anak itu nggak pernah marah lama-lama, Va."

Aku nggak menjawab. Kurasa Bude Mara nggak mengerti. Meskipun Benny nggak marah lagi nantinya, bukankah hubungan kami akan tetap sama? Aku tetap nggak bisa bersamanya, meskipun kuakui perasaan itu memang ada. Bukankah hal itu akan buruk dampaknya bagi kami berdua? Bukankah lebih baik buat kami berdua kalau nggak terlalu sering bertemu di luar kantor? Dengan begitu, Benny bisa mengurangi perasaannya sedikit demi sedikit. Sehingga ... aku juga bisa melupakan perasaanku kepadanya.

"Kemarin waktu kami ngobrol di telepon," cerita Bude Mara sambil memasukkan semua bumbu-bumbu ke dalam blender. Suara blender berputar membahana tepat saat Bude Mara lanjut bicara, sehingga yang kutangkap hanya potongan-potongan kata yang nggak bisa kupahami rangkaiannya.

"Gimana, Bude?" tanyaku, setelah bumbu halus dan blender berhenti beroperasi.

"Aria kemarin telepon. Dia membicarakan soal tawaran kerja dari Singapura."

Aktivitasku memotong tahu terhenti. "Tawaran kerja?"

"Itu sebenarnya sudah lama. Kalau nggak salah sudah tahun lalu. Tapi Aria nggak mau ninggalin Bude sendirian. Katanya, kalau tiba-tiba kangen masakan Bude jauh banget jaraknya." Bude Mara tertawa kecil.

Jadi, apa tepatnya yang Benny bicarakan kemarin?

"Kemarin Aria nanya, apa Bude nggak apa-apa semisal dia ambil tawaran itu."

Kenapa ...?

"Kata Aria, sekarang kan udah ada Eva. Jadi, Bude nggak sendirian, dan dia juga nggak bakal terlalu kepikiran karena ada orang yang bisa diandalkan di dekat Bude."

Kenapa ...?

"Ya kalau Bude, sih, nggak pernah menghalangi. Aria berhak dan harus melakukan apa yang dia ingin lakukan dengan hidupnya. Hanya, Bude merasa Eva perlu tahu hal ini." Bude Mara menepuk dahinya. "Ini menyalahi aturan, sih. Semoga Aria nggak marah karena Bude bocorin informasi yang harusnya dia sampaikan sendiri."

Bude Mara menyudahi obrolan tentang Benny dan mulai membicarakan tentang cara memilih terong muda dan tua. Percuma. Pikiranku sudah melayang ke mana-mana.

***

Gara-gara sibuk tanda tangan Bang Leo, aku hampir lupa update Benny Eva 🤣

Enjoy! ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro