Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Hari Pertama

Aku pernah jadi skuad anak indie yang menggemari hujan, senja, dan kopi. Juga puisi, meski aku nggak paham-paham amat. Dulu saat masih kuliah dan aktif di klub teater, aku bisa membuat puisi sederhana. Sekarang? Jiwa senimanku sudah telanjur karatan dan nggak bisa melihat sisi romantis dari kehidupan yang dipenuhi oleh cicilan, tagihan, dan nyinyiran orang.

Dulu aku suka hujan. Kubilang dulu, karena dulu aku bisa menikmatinya dari sudut-sudut kafe. Jendela kaca yang berembun, suasana yang dingin, apalagi bila ditambah secangkir kopi dan musik-musik yang menemani.

Sekarang? Oh, jangan ditanya. Aku benci hujan, apa lagi jika turun di pagi hari, di jam kerja, di Jakarta. Pejuang KRL semakin menggila, berbanding lurus dengan air dan tanah becek yang ikut terangkut ke dalam KRL.

Hujan sudah mulai reda saat aku tiba di stasiun tujuanku: Stasiun Tanah Abang. Tinggal gerimis kecil-kecil saja. Namun, jika bicara tentang penumpang KRL di hari kerja, tentu tak bisa hanya sepotong-sepotong. Akibat hujan deras di pagi hari, penumpang menumpuk di stasiun Tanah Abang tanpa bisa pergi ke mana-mana. Tak mungkin naik ojek online, dan tarif taksi online pun terlihat mustahil untuk digapai. Alhasil, stasiun berubah menjadi stadion sepak bola menjelang final piala dunia.

Sudah setengah jam aku berdiri dengan kaki kesemutan sembari menatap layar ponselku dengan penuh nafsu dendam. Namun, pemandangannya tetap sama. Aplikasi transportasi online yang kugunakan masih menampilkan proses pencarian ojek online. Sudah begitu sejak 30 menit yang lalu, tak ada ojek yang mau menerima order-ku!

Kulirik jam tanganku dengan gelisah. Tinggal sepuluh menit lagi sebelum jam kantor tiba. Percuma aku tadi berangkat pagi-pagi untuk memberi kesan baik di hari pertama kerja. Faktanya, tak mungkin aku datang tepat waktu. Apalagi jika menunggu ojek online menerima order-ku. Yang ada aku baru sampai kantor besok pagi.

Kurogoh dompet dari dalam tas. Kulihat, masih ada lembar terakhir seratus ribuan di sana. Juga ada pecahan berjumlah 50 ribu rupiah. Sepertinya aku tak punya pilihan. Kumasukkan dompet ke dalam tas, lalu aku berlari-lari kecil meninggalkan lobi stasiun, menuju pertigaan tempat para penjual-penjual mulai menggelar dagangan yang sempat tertunda karena hujan.

Harus kurelakan jatah makan siangku hari ini untuk membayar tarif ojek pengkolan, atau aku mungkin akan kehilangan pekerjaan yang baru saja kudapatkan, setelah lebih dari setahun jadi pengangguran dan minim pemasukan.

***

Apa yang lebih buruk dari datang ke kantor dengan penampilan berantakan? Pertama-tama, aku harus mengucapkan selamat tinggal pada setelan warna krem yang terdiri dari celana bahan, kemeja putih, dan blazer. Semuanya kini jadi bermotif batik abstrak, akibat cipratan lumpur dan air hujan di sepanjang jalan dari stasiun tadi. Hujan turun lagi saat aku berada di atas ojek. Pengemudinya menawariku jas hujan. Yap, jas hujan plastik supertipis dengan lubang di banyak sisi.

Rambut keritingku semakin megar tak karuan, dan kitten heels yang kugunakan lembap karena pengemudi ojek yang mengantarku sangat sembrono hingga menceburkan kami berdua dalam lubang jalan yang tergenang. Alhasil, sepatu dan celana panjang bagian bawaku basah sebasah-basahnya.

Namun, itu belum yang paling parah. Aku tiba di kantor pukul 09.10. Terlambat sepuluh menit di hari pertamaku masuk kerja, dengan kostum yang tak bisa dibilang pantas. Bukan, bukan hanya karena penampilanku ambruladul (bolehkah aku menyalahkan hujan lagi?), melainkan karena aku salah kostum. Yup. Salah kostum.

Sementara aku berusaha berpakaian rapi dengan setelan dan kitten heels, orang-orang yang kutemui di kantor justru memakai kaus, celana kargo, dan sandal jepit. Hanya satu orang yang memakai kemeja, yaitu Mas Danu, bagian HRD yang menyambutku saat aku datang. Itu juga kemeja lengan pendek berbahan lentur dengan motif banana. Macam sedang liburan di Hawaii.

Astaga.

Mendadak aku menjadi alien.

"Eva! Wah, what's happened?" tanya Mas Danu saat aku muncul seperti kucing yang kehujanan lalu kejebur got dan terjebak di sana selama dua jam. "Separah itu, ya, di luar?"

Aku meringis. "Ya ... begitulah, Mas. Lebih baik aku nggak cerita, daripada dibilang bikin excuse. Tapi aku minta maaf banget, Mas. Baru hari pertama udah telat."

Mas Danu tertawa. "Santai, santai. Cuaca lagi kayak gini, emangnya harus gimana lagi? Eh tapi ... kayaknya lo perlu ganti baju, deh. Itu ...."

Sedikit awkward, Mas Danu melambaikan tangan asal-asalan kepadaku. Seolah ingin dan nggak ingin menunjukku. Sontak aku menunduk, dan kudapati kemeja putih di dalam blazerku ikut basah dan kini garis pinggir bra yang kukenakan tercetak di sana.

Wajahku merah padam. Kenapa. Aku. Baru. Sadar. Mama, aku ingin pulang!

"Nggak bawa baju ganti?" tanya Mas Danu.

Aku menggeleng, sembari merapatkan blazerku. Kenapa pula aku membawa baju ganti ke kantor?

Mas Danu mengangguk, lalu ia melambaikan tangan, memintaku mengikutinya. Ia masuk ke ruangan di ujung, dan membuka lemari. Lantas ja menarik satu kaus yang masih berplastik.

"Pake ini aja, Eva. Masih baru," katanya.

"Tapi nggak apa-apa gitu, Mas, aku pake kaus ke kantor?"

Mas Danu mengedikkan bahu. "Emang lo ada lihat yang lain pake setelan?" Aku menggeleng. "Santai aja. Di sini lo bebas pake apa aja asal nggak telanjang."

Aku ber-oh panjang, lalu mengangguk-angguk paham.

"Lagian lebih nggak mungkin lo ketemu Pak Aria dan Pak Petra dengan penampilan kayak kucing kecebur got gitu."

Aku tergelak.

"Kok malah ketawa?" Mas Danu heran.

"Kok bisa pas, ya? Tadi aku juga mikir penampilanku kayak tikus got, Mas."

Mas Danu tertawa lagi. Lantas ia menyuruhku segera ganti baju, dan memintaku masuk ke ruangan "phoenix" setelah itu. Aku mengucapkan terima kasih, dan bergegas ganti baju di toilet.

Tak hanya mengganti kemeja dan blazerku dengan kaus, aku juga berusaha memperbaiki penampilanku yang lain. Rambut keriting tipe 3A-ku memang tak akan tertolong. Namun, setidaknya aku bisa memulas sedikit wajahku agar lebih berwarna. Terakhir, kusemprotkan sedikit parfum di leher dan urat nadi.

Dengan penampilan yang lebih baik--dan juga lebih kasual dengan kaus hitam bertuliskan nama kantor baruku Wetimes--aku berjalan dengan percaya diri menuju ruangan yang tadi disebutkan oleh Mas Danu.

Semua ruangan di lantai ini berpintu kaca. Namun, ada scotch aluminium blinds di sekelilingnya, sehingga aku nggak bisa melihat ruangan apa saja yang ada di sana.

Kuketuk pintu ruangan dengan papan tulisan "phoenix" sebelum masuk. Di sana sudah ada empat orang, tiga pria dan seorang perempuan yang berpenampilan sporty. Selain Mas Danu, ada pria dengan rambut berkuncir yang dulu sempat kutemui saat interview. Sedangkan yang satu lagi, pria berpenampilan lumayan rapi dengan oxford shirt dan celana jeans. Cukup trendi, kalau dibandingkan orang-orang lain di ruangan ini.

Melalui mata, aku merasa mereka tersenyum menyambutku. Hampir dua tahun masa pandemi, kini aku jago mendeteksi ekspresi manusia hanya lewat matanya.

"Halo. Selamat pagi," sapaku, berusaha ramah.

"Cocok tuh," komentar Mas Danu. Ini tentang kaus yang kupakai tentu. "Bagusan gitu daripada yang tadi."

Aku tertawa kecil. "Makasih lho, Mas."

"Emang yang tadi kenapa?" tanya cowok yang berkuncir, kepada Mas Danu yang langsung tertawa.

"Tadi dia datang basah kuyup gitu. Kayak kucing habis kehujanan," terang Mas Danu. "Gue kasih aja kaus tim. Kasihan anak orang nanti masuk angin."

Si cowok berkuncir ber-oh panjang. Lalu, seolah mendapat aba-aba, keempat orang itu mengamati penampilanku. Duh, harus banget begitu, ya?

"Oke! Langsung aja kalau gitu." Untung saja Mas Danu segera mengambil kendali. "Eva, kenalin di sini ada Pak Petra, CEO Wetimes," kata Mas Danu sembari menunjuk pria berkuncir di sebelah kanannya. "Udah pernah ketemu, kan?"

Aku mengangguk antusias.

"Nah, yang ini Mbak Medina. Editor in Chief kita." Mas Danu memperkenalkan cewek yang duduk di sebelah kirinya. Aku segera menundukkan badan sedikit, sembari menyebutkan namanya. "Dan yang paling jauh itu, Pak Aria. Head of Business Development."

Cowok berkemeja oxford itu menatapku, dan menganggukkan kepala. Aku balas mengangguk, sembari menyebutkan namaku. Tak ada prasangka apa pun, setidaknya sampai dia bersuara.

"Hai."

Hanya sepatah kata, tetapi mampu menyedot perhatianku sepenuhnya. Suara ini sangat familier. Berat, tapi terdengar empuk. Namun, masker Kf94 yang menutupi wajahnya membuatku tidak bisa melihat dengan jelas. Tapi kalau dipikir-pikir, matanya tidak asing. Di mana aku pernah bertemu dengannya?

"Eva, ya?" Suara itu terngiang-ngiang di pikiranku. Tapi siapa? "Panggil gue Aria aja, jangan ikutin kata-kata Danu."

Sontak Petra, Mas Danu, dan Mbak Medina berdecak.

"Pak Aria jangan denial," tegur Medina. "SOP-nya kan semua yang berusia 30 tahun ke atas dipanggil Pak."

"Gue masih dua sembilan!" protes Aria.

"Ya elah, kurang dua minggu lagi," ledek Petra, yang segera berpaling kepadaku. "SOP di sini memang seperti itu, ya. Yang usianya 30 ke atas, semua dipanggil Pak. Yang dua puluhan dipanggil Mas dan Mbak."

"SOP yang sungguh nggak berbobot," cela Aria. "Hayuk, udah cepet ini brief-nya gimana, sih?!"

Saat itulah, aku sebuah bayangan terbentuk. Suaranya yang berat, cara tertawanya yang empuk, sorot matanya, juga auranya sangat familier. Sepertinya aku tahu.

Kak Benny?

Tapi masa, sih?

Semoga bukan. Jangan sampai. Amit-amit.

"Oke. Jadi, sesuai yang sudah gue jelasin waktu itu, ya, Va."

Aku berusaha keras memusatkan perhatian pada Mas Danu.

"Wetimes VIP Room ini berisi konten-konten premium yang hanya bisa diakses setelah dibeli. Garis besarnya sih cuma itu. Nah, next kita perlu Eva untuk membuat konsep yang lebih practical untuk Wetimes VIP Room ini. Ntar Eva bakal kerja bareng sama Mbak Medina nih untuk urusan content. Terus untuk urusan monetisasi dan arah bisnisnya, Pak Aria yang paling paham. Pak Petra juga bakal banyak ikut campur sih. Intinya, nanti kita bentuk tim khusus untuk Wetimes VIP Room, di mana Eva adalah pusatnya."

Aria? Sebentar. Kenapa dia dipanggil Aria terus sejak tadi?

"Kalau di tempat sebelumnya, Eva ngurusin apa aja?" tanya pria yang dipanggil Aria itu.

Aku menelan ludah. Lalu setenang mungkin kujelaskan pekerjaanku di kantor sebelumnya, yang sebenarnya kurang lebih sama. Bedanya, aku merancang sebuah produk independen yang berkaitan dengan travel in group.

"Bentar. Sori aku potong, dan ini agak OOT," kata Pak Aria tiba-tiba. Ia memandangku dengan mata menyipit. "Kamu itu ... Eva ... Reiva bukan? Teater Marcopolo? Eva yang itu?"

Mati gue.

"Iya, kan? Gue ingat banget sama ini," Aria membuat gerakan di sekeliling kepalanya. Apa? Rambut megarku?

"Apa kabar?" tanya Aria, mendadak jauh lebih antusias dari sebelumnya. Agaknya orang ini sudah yakin bahwa aku adalah orang yang dia maksud, sebelum aku menjawabnya. "Kamu nggak lupa sama aku, kan? Benny?"

Nggak cuma menyebutkan nama lain, Aria bahkan membuka masker yang ia kenakan supaya aku mengenalinya.

"Benny," ulangnya, masih dengan antusiasme tinggi. "Ingat, kan? Kita sama-sama gabung di Teater Marcopolo?"

Aku menelan ludah, lalu berkata, "Maaf, Pak Aria salah orang."

Padahal jelas-jelas ini memang dia. Si berengsek itu.

***

Alohaaaa, watizen yang berbahagiaaaaa~

Kangen aku nggaaaak? 😉😉

Setelah kemarin traveling sebentar ke platform sebelah, aku kembali lagi dengan cerita random yang enggak bisa ditagih update hari apa aja nih (wkwk belum-belum udah ngeles aja~)

Anywaaayyy, sekalian promo nih. Buat yang belum tahu aja, kemarin aku menghilang beberapa bulan setelah Monik-Agni tamat, sebenarnya aku nulis sebuah novel pendek alias novela. Judulnya Dangerous & Sweet. Tayang dan sudah tamat di KaryaKarsa. Buat yang mau baca, link ada di bio aku atau search aja username-ku pramyths di KaryaKarsa yaa.

Nah, sekarang, selamat berkenalan dengan Eva dan Aria!

Semoga kalian suka cerita barukuuuu~

Luv!
❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro