Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Hari-Hari Senyap

Kesadaranku belum seratus persen untuk benar-benar memahami apa yang terjadi. Setelah melihat Om Tedy berdarah-darah, Benny membantuku berdiri dan berjalan tertatih-tatih. Tubuhku setengah melayang. Pemahamanku hanya sepenggal-sepenggal. Sesaat aku masih terseok-seok berjalan keluar kamar, sesaat kemudian aku sudah berada di mobil Benny, dengan balutan selimut tebal yang sepertinya diambil dari kamar. Kurasa Benny mengatakan sesuatu beberapa kali, tetapi aku nggak bisa memahami kata-katanya dengan benar.

Dalam rentang waktu yang tak bisa kuemengerti, tiba-tiba saja aku sudah berada di depan sebuah rumah dengan pintu ganda berwarna kayu. Rumah siapa? Benakku bertanya-tanya. Namun, Benny membuka pintu tanpa mengetuk. Ia kembali mengatakan sesuatu, tetapi aku masih nggak bisa menangkap kata-katanya. Lantas, aku melihat seorang perempuan setengah baya menghampiri kami.

"Aria!" Suaranya terdengar lembut, cemas, dan kaget sekaligus. "Apa—"

Benny dan perempuan itu bercakap cepat yang nada-nadanya terdengar rendah di telingaku. Nggak lama kemudian, perempuan paruh baya itu meraihku dalam pelukannya. Awalnya aku berjengit, tetapi kemudian aku termangu. Pelukan ini terasa hangat hingga membuatku sedih. Hingga akhirnya aku hanya bisa menangis dan terus menangis. Aku lupa kapan terakhir kali merasakan kehangatan seperti ini, rasanya hal-hal baik terjadi berabad-abad lalu. Karena menoleh ke belakang, yang kuingat hanya kengerian.

"Nangis aja nggak apa-apa, Sayang. Nggak apa-apa ... Ya Tuhan, kamu pasti takut sekali, Nak ...."

Aku mengangguk dengan napas tersengal-sengal. Aku nggak tahu bagaimana, tetapi aku merasa aman dan nyaman dalam pelukan perempuan ini. Aku merasa tenang, dan aku nggak lagi sendirian. Seolah-olah, segala hal akan baik-baik saja mulai dari sekarang.

Setelah pelukan dan tangisan yang berlangsung entah berapa lama, kesadaranku mulai utuh. Pelan-pelan, aku mulai mengenali sekelilingku. Benny, duduk agak jauh di sisi kananku, di ujung sofa. Matanya terlihat merah dan ekspresi gusar masih terpancar kuat. Di sofa lainnya, di sebelahku, perempuan sepuh dengan rambut putih digelung itu menatapku dengan sorot hangat. Aku nggak yakin, karena sosok yang kuingat jauh lebih muda, tetapi kurasa perempuan ini adalah Bude yang merawat Benny.

Otakku mulai menyatukan kepingan-kepingan informasi. Bayangan tentang Om Teddy yang terkapar di lantai ... Benny yang menatapku dengan khawatir, dan rumah ini ... aku ada di rumah Benny? Dengan segera pemahamanku mulai muncul. Lagi-lagi pertolongan Tuhan datang di saat yang tepat. Benny pastilah menyelamatkanku dari bajingan itu dan membawaku ke rumah ini.

Kuusap sisa air mataku dengan ujung selimut yang masih membungkus tubuhku. Saat itu, aku menyadari bahwa piama biru yang kukenakan benar-benar berantakan. Tiga kancing atasannya lepas, dan bawahannya hilang, menyisakan celana dalam yang membuat jantungku serasa digebuk. Rasanya ada yang retak dalam diriku, dan kini retakannya menyebar menjadi kawah yang kelam. Kutarik selimut itu erat-erat, dan air mataku kembali merebak. Aku ingin menenggelamkan seluruh tubuhku dalam selimut ini selama-lamanya.

Remasan di pundakku membuatku tersentak. Terkejut, refleks aku menampiknya dengan kasar dan berjengit ketakutan. Namun, seketika aku merasa bersalah saat menyadari bahwa Bude Benny-lah yang menyentuh pundakku.

"Maaf ...." bisikku lelah dengan segala hal, termasuk diriku sendiri.

"Nggak apa-apa, Nak," jawab Bude Benny lembut. "Bude mengerti. Apa yang kamu alami sangat berat dan mengerikan, tapi Bude yakin Eva kuat. Ya, Nak?"

Aku nggak menjawab. Kemudian Bude Benny memperkenalkan dirinya sebagai Bude Mara, dan beliau membawaku ke sebuah kamar yang terletak agak jauh di dalam rumah.

"Eva istirahat dulu di sini. Ada kamar mandi di dalam. Bude siapkan baju ganti, ya."

Aku mengangguk. Namun, Bude Mara nggak segera meninggalkanku. Sekali lagi, beliau malah meraihku dalam pelukan yang hangat dan menenangkan.

"Eva, di sini dulu saja sama Bude, ya? Jangan pulang ke rumah dulu. Di sini aman ... cuma ada Bude. Oke?"

Dalam pelukannya, benakku berkelana. Apakah Mama pernah memelukku seperti ini, Ma?

***


Aku selalu sadar akan pergantian hari. Aku nggak pernah keluar kamar, tetapi aku bisa menandai pergantian hari dengan sinar matahari yang menerobos tirai jendela kamar. Sayangnya, aku lupa apa makna hari Senin, Selasa, Rabu, dan lain-lainnya.

Waktu bagiku berjalan seperti kilasan-kilasan. Aku menghabiskan banyak waktu di kamar mandi. Dalam satu hari, aku bisa mandi hingga enam kali, karena tubuhku selalu terasa kotor. Sekeras apa pun aku membersihkannya, sebanyak apa pun sabun yang kutuang, selama apa pun waktu yang kuhabiskan untuk berendam, aku merasa tubuhku masih berlumur lumpur dan bau busuk yang membuatku mual.

Jika nggak di kamar mandi, seringnya aku hanya telentang di ranjang dan menatap langit-langit kamar, sibuk melontarkan pertanyaan-pertanyaan mengerikan dalam pikiranku.

Apakah bajuku terlalu menarik perhatian? Apa yang salah dengan celana jeans dan sweter longgar serta setelan piama lengan panjang? Atau ... apakah dandananku terlalu mengundang? Aku bahkan nggak berdandan saat bajingan itu datang ke rumah. Apakah sikapku genit dan menggoda? Aku bahkan nggak pernah tertarik ngobrol dengan Om Teddy dalam kesempatan apa pun. Aku nggak mendatangi tempat-tempat yang berbahaya. Aku ada di dalam rumah, rumahku sendiri yang pintunya kukunci rapat-rapat. Dengan semua itu, mengapa hal seperti ini masih terjadi padaku? Mengapa hal buruk ini terjadi beruntutan bahkan dalam waktu belum dua puluh empat jam? Apa yang ... begitu salah dengan diriku?

Duniaku menyempit dalam waktu singkat. Aku bahkan nggak mampu membayangkan bagaimana caranya keluar dari kamar berukuran 3x4 ini. Aku takut. Aku khawatir karena rumah yang kuanggap zona nyaman dan zona amanku pun ternyata nggak aman. Lantas, ke mana lagi aku harus berlari dan bersembunyi?

Aku tahu, aku harus menyelamatkan diri dari impitan dinding yang kian menekan ini. Aku tahu aku harus berdamai dengan keadaan dan melangkah keluar. Aku harus beradaptasi dengan ketakutan-ketakutan baru ini, dan dengan demikian aku bisa menghadapi dunia. Aku tahu hanya aku yang bisa melawan rasa takut ini. Aku tahu bahwa aku harus segera bangkit dari kubangan ini. Namun, setiap harinya, setiap kali aku membuka mata, pikiranku selalu mengatakan hal yang sama: satu hari lagi. Satu hari lagi saja. Begitu seterusnya.

Sejak hari pertama, Bude Mara selalu masuk ke kamarku setiap jam makan, mulai pagi, siang, dan sore. Bude juga selalu menemaniku dan mengajakku ngobrol, meski aku hanya mendengarkan suaranya dari balik selimut. Hari kedua, Bude Mara membawakan setumpuk baju bersih yang beliau masukkan ke lemari baju di kamar itu. Katanya, itu adalah baju-baju lamanya saat masih muda. Hari ketiga, Bude Mara membakan buku-buku yang katanya mungkin akan aku sukai sehingga aku mulai punya kesibukan lain di luar mandi dan meratapo keadaan. Bude juga membawakan ransel yang kukenali sebagai milikku, tetapi hingga kini belum kulihat apa isinya. Hari keempat, Bude Mara menawarkan diri untuk mengajakku jalan-jalan yang kutolak dengan agak terlalu keras. Aku nggak berani keluar kamar, apa lagi keluar rumah. Hari kelima, aku mendengar suara obrolan rendah dari luar kamarku. Potongan-potongan kalimatnya hilang timbul.

"Bude khawatir, Ar. Dia nggak mau keluar kamar, nggak mau ngomong."

Saat itu, aku menyadari bahwa aku punya kemampuan baru yaitu menumpulkan inderaku. Kupejamkan mata, kutulikan terlingaku, kuputuskan hubungan inderawikimu dengan sekitar, hingga akhirnya aku jatuh dalam lelap.

Lalu pada suatu pagi, mungkin hari keenam atau ketujuh, suara ketukan terdengar di pintu kamarku. Bukan ketukan tegas dari Bude Mara, melainkan ketukan pelan dan ragu-ragu.

"Ev?" Terdengar suara yang familier. "Ini Benny."

Aku nggak menjawab. Kugigit bibir keras-keras hingga berdarah.

"Nggak usah dibuka pintunya," kata Benny buru-buru. "Kunci aja, nggak apa-apa. Aku duduk di depan pintu, dan kita bisa ngobrol begini aja. Kamu dengar suaraku, kan?"

Aku masih nggak ingin menjawab.

"Gimana kabarmu?" tanya Benny. "By the way, itu aku bawain paketmu yang dikirim ke kantor. Kata Pak Darto udah datang dari hari Rabu."

Kata "kantor" seolah menjadi guyuran air dingin tepat di atas kepalaku. Ini hari apa? Sudah berapa lama aku mengurung diri di dalam kamar? Tujuh? Delapan hari? Lalu bagaimana dengan pekerjaanku? Apakah aku sudah dipecat karena melalaikan pekerjaan tanpa kabar? Apakah Danu, Petra, dan mereka yang beririsan pekerjaan denganku kelabakan karena aku menghilang? Apakah aku sudah mengacaukan ritme dan timeline proyek yang berjalan? Aku nggak tahu ... aku bahkan nggak punya ponsel ... di mana ponselku?

Mataku terpejam lelah. Kacau sekali .... Aku mulai yakin bahwa aku sudah menjadi pengangguran lagi. Ya Tuhan, aku bahkan belum tiga bulan bekerja.

"Maaf, karena aku nggak bisa banyak bantu, Ev. Aku cuma," suara Benny terdengar sedih dan nggak yakin. "nggak tahu apa yang harus dilakukan. Kalau ... kalau ada sesuatu yang kamu butuh, yang sekiranya bisa aku bantu, tolong bilang, Ev. Serius ... aku benar-benar pengin bantu."

Aku menelan ludah menyadari satu hal. Sebenarnya ... bagaimana dia bisa muncul di rumahku hari itu?

"Tapi Bude bisa bantu kamu, Ev." Kali ini suara Benny terdengar lebih ceria, semangat, dan yakin. "Aku udah cerita belum, ya? Bude itu psikolog. Bude punya klinik di daerah Kebun Jeruk. Sekarang udah persiapan pensiun, makanya lebih sering di rumah. Jadi ... aku mau bilang kalau ... kalau kamu butuh ... intinya, kamu bisa cerita apa pun ke Bude. Apa pun yang kamu rasakan. Apa pun yang kamu butuhkan. Oke?"

Aku menelan ludah. Satu kesadaran lagi menyeruak dalam benak. Sudah berapa lama aku merepotkan Benny dan Bude Mara? Dan ... sampai kapan aku harus merepotkan mereka yang notabene bukan siapa-siapaku?

Fakta ini kemudian menamparku. Sementara aku tenggelam di kamar berukuran 3x4 ini, dunia ini tetap berputar. Kebutuhan hidupku harus tetap dipenuhi, dan kemungkinan besar aku sudah nggak punya penghasilan. Aku kan nggak mungkin menggantungkan hidup kepada Benny, Bude Mara, dan orang lain siapa pun itu secara terus-terusan. Apa pun yang terjadi, seberapa hancurnya aku, dunia ini tetap berjalan sebagaimana adanya. Aku harus melanjutkan hidup. Aku harus segera bangkit, aku harus kembali, dan aku harus bekerja. Karena, siapa lagi yang akan membiayai hidupku jika bukan aku sendiri?

"Ah, maksudku bukan .... Begini, Ev. Bude selalu bilang pengin punya anak perempuan. Katanya aku terlalu kaku biat diajak ngegosip. Jadi ... kamu bisa anggap Bude sebagai teman curhat. Bude bisa dipercaya, tenang."

Dengan pemahaman baru dalam benakku, aku berdiri. Langkahku tersaruk-saruk saat mendekati pintu. Kenopnya terasa dingin sampai ke tulang hingga tanganku terasa kebas. Sudut hatiku berkata memperingatkan, "Mundur, Va. Jangan keluar. Jangan buka pintu itu. Di sini saja, karena di luar nggak aman."

Kugelengkan kepalaku berulang-ulang dan kupejamkan mataku. Dengan satu helaan napas panjang, aku menguatkan diriku sendiri. Aku harus bisa. Harus.

"Ceritakan apa yang kamu rasain ke Bude, supaya Bude bis—"

Sepertinya Benny benar-benar duduk di depan pintu kamarku seperti yang dia katakan. Karena begitu pintu kubuka, Benny terjengkang ke belakang. Punggungnya menabrak kedua kakiku, yang sontak melangkah mundur.

"Sori!" kata Benny buru-buru bangkit dan mundur beberapa langkah, menciptakan jarak sekitar 3-4 langkah dariku. "Sori-sori! Astaga, kaget aku ...."

Aku nggak menjawab. Lidahku lagi-lagi terasa kelu, hal yang kuperhatikan belakangan sering terjadi saat orang lain mengajakku bicara. Tiga atau empat detik aku berdiri kaku, dan Benny yang berdiri di depanku menatapku lekat. Rasa bersalah menghiasi wajahnya, lalu berganti dengan ekspresi cemas, dan sesaat kemudian, senyum lembut muncul di wajahnya.

"Apa kabar?" tanyanya, masih dengan senyuman di wajah.

Dan yang terlintas di kepalaku saat itu hanya satu. "Aku dipecat, ya?" tanyaku dengan suara serak karena pita suara yang jarang digunakan.

Awalnya Benny nggak menjawab. Ekspresinya sedikit bingung dan nggak yakin dengan apa yang dia dengar.

"Aku udah bolos berhari-hari tanpa kabar. Kerjaanku terbengkalai. Aku ... pasti dipecat, ya?" ulangku sekali lagi.

Aku nggak tahu juga kenapa aku menanyakan hal ini, karena jawabannya sudah pasti. Namun, aku hanya ingin memastikannya, untuk bisa menentukan langkah selanjutnya.

Namun, Benny menggeleng. "Nggaklah. Kamu sudah siap balik kerja?"

"Aku bisa balik kerja?" ulangku dengan nada tolol. "Di WeTimes?"

Benny mengangguk. "Kerja dari rumah dulu aja, nggak usah ke kantor. Aku bisa jelaskan sedikit progres kerjaan yang perlu kamu tahu. Mungkin ... di ruang tengah?" tanyanya, dengan tangan menunjuk ke belakang tubuhnya, ke ruang tengah.

Aku menelan ludah. "Aku ... laptopku ...." Bagaimana bisa aku bekerja kalau aku nggak punya apa-apa? Ponsel dan laptopku masih di rumah, dan aku nggak yakin bisa menginjakkan kaki di rumah itu lagi tanpa kehilangan kewarasan.

"Bude belum bilang?" Benny bertanya. "Laptop dan ponselmu ada di dalam ransel. Kapan itu aku ambil ke rumahmu. Aku nggak tahu apa yang kamu butuhin, jadi aku cuma bawa barang-barang seadanya. Kunci rumah juga aku taruh di dalam ransel."

Entah kenapa, aku sedikit malu. "Maaf, aku belum buka ...."

Benny tersenyum. "Iya, santai aja. Coba kamu cek dulu ranselnya, dan ambil laptopnya biar kita lebih gampang sinkroninasi kerjaan. Yuk, aku tunggu di depan, ya."

Di titik itu, aku baru ingat bahwa secara teknis, Benny adalah atasanku. Benny punya wewenang untuk memberikan penilaian atas kinerjaku dan menyarankan HRD untuk memecatku bila perlu. Mengingat hal ini, bagai kerbau dicocok hidung, aku bergegas mengambil ransel yang Benny maksud dan memeriksa isinya. Laptop dan chargerku ada di sana. Begitu juga dengan ponsel, dompet, dan pouch merah berisi makeup.

Kubiarkan ponselku tetap di dalam ransel. Sementara itu, aku mengambil laptop dan charger-nya dan bergegas keluar kamar. Dua langkah keluar dari kamar, aku menoleh ke belakang, menatap garis batas pintu kamar. Ternyata aku bisa melaluinya. Hatiku sedikit lega menyadarinya.

Benny menungguku di meja makan yang ada di ruang tengah. Bude Mara nggak kelihatan, mungkin masih istirahat atau justru sudah pergi ke klinik.

"Tapi ini hari Sabtu, Ev," kata Benny saat aku muncul. Ia sendiri sudah membuka laptop dan ada beberapa dokumen berserakan di meja. Ransel hitam besar tergeletak di samping kakinya. "Kamu yakin mau kerja?"

Aku mengangguk. "Aku udah libur terlalu lama."

Saat aku membuka laptop, pikiranku sudah mulai mengalkulasi jumlah hari aku bolos dan memperhitungkan berapa banyak pekerjaanku yang terbengkalai. Namun, saat Benny mulai membahas pekerjaan, aku mulai nggak paham dan semakin nggak paham.

"Aku belum ngerjain ini," kataku, sembari menunjuk laporan tentang daftar content creator yang fix untuk diajak bekerja sama. "Ini juga. Dan ini ... seingatku, aku baru bikin coret-coretan berantakan. Belum aku kerjain bener-bener."

"Aku yang ngerjain," jawab Benny. "Ya nggak semua bisa ke-handle sih, tapi aku optimis kita masih bisa on-track."

"Kak Benny yang ngerjain?" ulangku sekali lagi.

Maksudku, ini benar-benar pekerjaanku. Benar-benar detail dari jobdesc yang kuterima saat tanda tangan kontrak. Itu artinya aku benar-benar meninggalkan kewajibanku dan membebani Benny dengan setumpuk pekerjaan yang bukan kewajibannya.

Benny mengangguk. "Yap, dan nggak gampang. Well ... jujur aja aku benar-benar keteteran. Jadi, aku bersyukur banget kalau sekarang kamu udah bisa balik kerja."

Aku menelan ludah. Padahal bisa saja Benny memecatku dan mencari orang lain untuk menggantikanku tanpa perlu merepotkan dirinya sendiri dengan mengerjakan sesuatu yang bukan tugasnya.

"Maaf, Kak," kataku lirih, benar-benar merasa bersalah dan jadi orang paling merepotkan sedunia.

"No, no, it's ok," jawabnya cepat-cepat. "Yang penting buatku sekarang kamu baik-baik aja."

Lantas Benny kembali bicara panjang lebar tentang pekerjaan. Tentang update dan request terbaru dari Petra dan yang lain-lain yang aku ketinggalan. Saat dia berbicara seperti ini, aku menyadari bahwa ini kali pertama Benny menemuiku sejak hari mengerikan itu. Selama ini, aku hanya bertemu dengan Bude Mara. Seolah-olah hanya Bude Mara yang tinggal di sini. Dan tadi ... Benny bahkan melarangku membuka pintu, dan pilih ngobrol jarak jauh dengan pintu tertutup. Apakah dia ... enggan bertemu denganku?

"Aku nggak pernah lihat Kak Benny," kataku sebelum sempat mengendalikan bibirku.

"Maksudnya?"

Oh ya, itu pernyataan yang aneh mengingat aku memang mengurung diri dalam kamar selama ini. Namun, aneh rasanya mengingat fakta bahwa hari ini adalah kali pertama Benny mengetuk pintuku untuk menjalin komunikasi denganku. Padahal Benny yang biasanya nggak pernah kehabisan cara untuk mengajakku ngobrol dan membahas hal-hal yang nggak penting.

"Aku sampai lupa kalau Bude Mara itu tantenya Kak Benny. Kukira cuma Bude Mara yang tinggal di sini."

"Oh ... ya itu bener, sih. Aku emang nggak tinggal di sini," jawab Benny, tanpa menatapku. Ia sedang menambahkan catatan tanggal deadline di dokumen pekerjaan yang dia bawa untukku.

Keningku berkerut. "Maksudnya?"

Benny mengalihkan pandangannya dari dokumen kepadaku, lalu tersenyum. "Di sini cuma ada Bude Mara sama Lik Nah, asisten rumah tangganya. Aku di apartemen, di Benhil. Lebih dekat dari sana kan ke kantor kita. Tapi aku lumayan sering nginep di sini nemenin Bude."

Bibirku membulat membentuk huruf o, lantas aku mengangguk tipis. Begitu rupanya.

"Cuman selama kamu di sini, aku emang sengaja nggak mampir dulu. Oh, aku mampir sebentar semalam ... selebihnya, aku percayakan kamu ke Bude Mara. Maaf, ya, bukannya aku nggak peduli atau gimana, tapi setelah semua yang kamu alami, aku pikir kamu bakal nggak nyaman kalau ada ... well ... laki-laki."

Mungkin Benny benar. Dari dalam kamarku, sesekali aku mendengar suara laki-laki dari depan rumah yang kata Bude Mara adalah tukang sampah, tukang sayur, atau beberapa tetangga yang sering berkunjung dan ngobrol dengan Bude sembari menyiram tanaman. Mendengar suara-suara itu saja, terkadang jantungku berdebar keras dan secara spontan aku terbirit-birit mengunci pintu kamar.

"Lagi pula, aku yakin sosok seperti Bude yang lebih kamu butuhkan sekarang. Dan aku ngerasa kalau aku emang nggak bisa bantu, seenggaknya aku nggak memperburuk keadaan—"

"Kak," potongku buru-buru. "Kok bisa hari itu kamu ada di rumahku?"

Benny nggak segera menjawab. Matanya memandangku lekat seolah nggak yakin apakah aku benar-benar ingin membahas hal itu. Namun, aku balas menatapnya dengan yakin. Aku harus tahu, mungkin itu bisa membantuku beradaptasi dan melawan ketakutan itu juga.

"Ruri ...." Benny berhenti sebentar, dan sebenarnya satu kata itu cukup membuatku bisa menebak yang selanjutnya. "Awalnya aku nggak tahu dan kukira kamu cuma nggak enak badan kayak yang kamu bilang di chat. Terus sorenya, aku ketemu Ruri dan dia cerita soal kejadian yang kamu alami di angkot. Aku benar-benar cemas. Aku telepon kamu berkali-kali, ingat?"

Aku mengangguk. Aku ingat bahwa memang ada beberapa missed calls dari Benny saat aku ketiduran.

"Tapi kamu nggak respons. Aku makin khawatir, dan akhirnya mutusin buat ke rumahmu. Awalnya aku cuma ngetuk pintu, tapi aku curiga waktu tahu pintu itu nggak dikunci. Saat itu, aku dengar ... yah ... itulah."

Aku menelan ludah. Telapak tanganku terasa dingin dan bekeringat.

"Sebenarnya ... boleh aku tahu siapa bajingan itu, Ev?" tanya Benny dengan kesan dia sudah menahan diri untuk nggak bertanya.

"Pacar mamaku," jawabku dengan suara serak.

Benny terlihat terkejut dan ... juga marah. "Kamu mau ngelakuin sesuatu? Bilang ke papamu? Mamamu? Atau mungkin ... kita lapor polisi? Belum terlambat untuk bikin bajingan itu dihukum berat."

Aku nggak menjawab. Keringat dingin di tanganku semakin banyak. Rasanya basah dan lembap.

"Aku nggak tahu," cicitku dengan suara yang terdengar panik. "Aku nggak tahu."

Tanpa sadar, aku menggosok-gosokkan telapak tanganku ke paha dengan berlebihan. Beberapa kali aku menggelengkan kepala, mengusir kilas bayangan yang mengerikan tentang kejadian itu.

"Oke, oke," kata Benny cepat, tangannya sempat terulur untuk menyentuh tanganku yang masih kugosok-gosokkan di atas paha, tetapi entah kenapa dia membatalkannya. "Kita fokus ke sini aja," putusnya sebelum lanjut berceramah tentang apa yang harus kulakukan terkait persiapan launching WeTimes VIP.

Setelah beberapa saat—juga karena memaksa diriku untuk menyimak penjelasan Benny—aku mulai tenang. Tanganku sudah mulai hangat dan lembapnya berkurang. Saat itu, aku kembali memikirkan kata-kata Benny sebelumnya, di luar soal pekerjaan.

"Kak," panggilku. Benny mendongak dan mengangkat sebelah alisnya. "Makasih."

"Sama-sama, Ev."

"Makasih buat semuanya," tambahku buru-buru, takut Benny salah menangkap maksudku. "Makasih udah nyelametin aku hari itu ... udah bawa aku ke sini ... makasih buat tumpangannya, pengertiannya, dan ini juga ... aku nggak tahu gimana caranya .... Jangan bilang Kak Benny nggak bisa bantu apa-apa, karena bantuan ini benar-benar .... Kalau Kak Benny nggak datang hari itu, aku nggak tahu ..... Pokoknya ....."

Kalimatku tumpah ruah nggak terkendali. Struktur kalimatku dikacaukan oleh ribuan hal yang muncul dalam pikiranku secara bersamaan, dan emosiku tumpang tindih untuk menyusun kalimat dengan baik dan benar.

Setelah ocehan yang panjang lebar serta mungkin susah dimengerti, Benny tersenyum dan berkata, "Iya, santai, Ev. Dulu aku nggak bisa nemenin waktu kamu mengalami hari-hari yang buruk. Sekarang, aku nggak bakal biarin kamu sendirian. Jadi, kalau kamu butuh apa pun, bilang aja. Oke?"

***


Kok tumben aku update cepet? Ya soalnya aku juga cemas dan gelisah mikirin nasibnya Eva 😭😭

Silakan diminum obatnya, gaes, biar kalian nggak perlu berlama-lama overthinking 😵‍💫🤢

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro