Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Egois yang Menyakitkan

Setelah kupikir-pikir, menghindari Benny adalah hal paling mustahil, sekaligus upaya paling bodoh yang bisa kulakukan. Bagaimanapun, bisa dibilang aku tinggal di rumah keduanya. Bahkan, hari-hariku di WeTimes sangat bergantung kepadanya. Apa saja yang kulakukan, dan sejauh mana progress-nya, Benny harus tahu lebih dulu dan juga setuju.

"Ide langganan per enam bulan dapat bonus ebook itu sepertinya menarik. Ada ide ebook apa?"

Lagi pula, Benny tahu aku menghindarinya. Dua hari yang lalu, ketika aku mengirim pesan untuk mengatur agenda meeting hari ini, Benny mempertanyakan sikapku.

Aria (BisDev):
Kamu bakal kayak gini terus Ev?

Awalnya aku nggak paham dengan yang dia maksud "kayak gini", tapi Benny menjelaskan dengan cepat.

Aria (BisDev):
What happened in Jogja stay in Jogja
Setelah apa yang terjadi di atap?
Don't make me laugh
Tapi it's okay
Masih banyak yg harus kita bicarakn, tapi take ur time
Pikirkan baik2 aja
Stok sabarku masih banyak

Aku nggak membalas chat Benny yang nggak berhubungan dengan pekerjaan lagi itu. Setelah hari itu, Benny juga nggak menggangguku lagi.

"Eva?"

Aku tersentak. Lamunanku buyar. Di depanku, Benny menatap dengan pandangan heran.

"Oh, maaf!" seruku merasa bersalah karena melamun di tengah-tengah meeting. "Apa tadi? Oh! Ide ebook? Gimana kalau kumpulan tips? Kita bisa bikin ebook series. Misalnya bulan ini beauty tips, bulan depan gadget, dan lain sebagainya."

Benny mengangguk-angguk. "Mungkin kamu bisa diskusikan dulu dengan Medina," katanya. "Aku rasa dia lebih paham soal konten ebook."

"Oke, Pak."

"Tapi aku rasa, kita butuh alternatif lain untuk mendongkrak subscription. Ada ide lain?”

Aku berpikir sebentar. "Aku masih kepikiran soal endorse dengan selebgram. Belakangan netizen lebih percaya media perseorangan. Jadi, nggak ada salahnya buat kita coba."

"Hmm ...." Benny berpikir sebentar, lalu berdecak. "Menurutku masih belum terlalu jelas prospeknya. Mengingat ini biayanya bakal lumayan, aku juga nggak yakin Petra akan approve. Coba cari alternatif lain. Aku juga bakal cari. Kita diskusikan aja."

Aku mengangguk, lantas Benny mempersilakanku kembali ke kubikel jika nggak ada yang perlu didiskusikan lagi. Meeting kami pun berakhir. Begitu saja. Padahal semalaman aku nyaris nggak bisa tidur memikirkan jalannya meeting hari ini, yang merupakan meeting berdua pertama kali setelah tragedi rooftop. Bagaimana kalau sikap Benny buruk? Bagaimana kalau Benny masih marah padaku, dan semua ide yang kuajukan dia bantai? Itu juga kenapa aku mengajukan agenda meeting dua hari sebelumnya, karena aku takut Benny menghindar karena marah. Yah ... harusnya aku nggak perlu mengkhawatirkan itu. Seperti Benny yang sudah kukenal, dia selalu profesional.

Aku sudah mencapai pintu ketika teringat sebuah hal penting. Sesuatu yang sudah kuputuskan sebagai jalan paling baik. Kuremas handle pintu, juga ujung dari kemejaku. Kumantapkan hatiku sekali lagi. Lantas, aku menoleh kembali pada Benny yang masih sibuk di balik layar laptopnya.

"Sabtu ini sibuk nggak, Kak?" tanyaku, sedikit was-was.

Benny mendongak. "Kenapa?"

"Anu ... temenku yang kerja di Dufan nawarin diskon yang lumayan." Aku meringis. "Tertarik? Udah lama banget dari terakhir kali aku ke Dufan."

"Oke," jawab Benny nyaris tanpa berpikir. "Ayo kita ke sana."

Aku sedikit terkejut, tetapi juga lega karena Benny setuju begitu saja. "Serius? Asyik! Aku ajak Ruri juga, ya."

Benny terdiam sebentar, lalu mengangguk. "Pergi jam berapa?"

Kusebutkan jam yang kuusulkan dan, lagi-lagi, Benny mengiakannya dengan cepat.

Begitu keluar dari ruang meeting, kuhela napas panjang-panjang. Lumayan lega, karena satu langkah rencanaku berjalan lancar.

***

Apakah seseorang biasanya mampu mengingat-ingat kenangan di masa kecil? Dari tadi aku berusaha menggali kotak memoriku, dan aku belum menemukan satu kenangan yang serupa dengan pemandangan di depanku.

Papa, Tante Aira, dan si kembar sedang seru bermain di aneka wahana yang ada di playground ini. Si kembar sangat gembira, begitu juga Papa yang terlihat begitu menikmati saat menemani mereka bermain. Gina juga ada di sana, dan aku mulai bertanya-tanya, apakah Gina juga merasakan kesepian dan keterasingan seperti yang kurasakan.

Tunggu. Aku dan Gina nggak sama. Gina kehilangan papanya karena kematian, bukan karena keinginan. Nggak sepertiku, kehadiran Gina diharapkan. Suami pertama Tante Aira meninggal dunia kira-kira lima belas tahun yang lalu. Meskipun tanpa suami, Tante Aira menyayangi dan membesarkan Gina dengan sangat baik. Hingga akhirnya Tante Aira bertemu Papa, dan Gina mendapatkan sosok ayah yang lain.

Jelas aku dan Gina berbeda. Gina ditinggalkan dalam kondisi disayangi, sedang aku dianggap sebagai beban.

Ya Tuhan, Ev! Kenapa jadi melantur dan membanding-bandigkan diri sama remaja 17 tahun?

"Kak Gina mau kopi susu atau chocolate iced?"

"Coklat aja, Pa."

Papa mengiakan permintaan Gina, lalu berjalan santai menghampiriku yang sedari tadi menunggu di kafe mungil yang ada di area taman bermain.

"Kopi hitam terus, lambungmu nggak apa-apa?" tanya Papa, begitu melihat pesanan minumanku.

Aku meringis. "Kalau dikasih susu, malah lambungku bakal kenapa-napa sih, Pa."

Papa tergelak, lalu bertanya apa aku ingin makan sesuatu yang lain. Aku menggeleng, dan Papa segera beranjak ke kasir untuk memesan.

"Kapan terakhir kita jalan rame-rame fullteam begini?" kata Papa, setelah selesai memesan dan duduk di depanku. "Kayaknya sebelum pandemi, kan?"

Aku mengangguk. "Iya, Pa. Ini juga kan taman bermain sama mal-mal juga baru pada buka lagi."

Papa menatapku lekat. "Kamu baik-baik aja, kan?" tanya Papa tiba-tiba.

Aku mengangguk. Kenapa juga Papa tiba-tiba bertanya apa aku baik-baik saja.

"Betah tinggal di rumah Prof. Mara?"

Aku mengangguk lagi.

"Syukurlah." Papa mengusap kepalaku. "Pokoknya harus begini terus, ya. Papa senang kalau kamu sering-sering datang ke rumah, Va."

Aku meringis. "Diusahain, Pa," jawabku sebiasa mungkin, untuk menyembunyikan fakta bahwa aku main ke rumah Papa hari ini bukan tanpa alasan.

Kutatap ponselku yang tergeletak di atas meja. Ada beberapa pesan yang belum kubalas dan sengaja kuabaikan karena aku nggak tahu harus bilang apa.

Seharusnya, saat ini aku berada di Dufan bersama Benny dan Ruri. Namun, sejak awal memang bukan itu yang kurencanakan. Pada jam seharusnya aku berangkat ke Dufan, aku malah bertolak ke rumah Papa. Satu jam kemudian, menelepon Ruri dan sesuai dugaan, dia sudah sampai di Dufan dan bertemu Benny—yang kutolak saat hendak menjemputku di rumah. Lantas aku minta maaf karena nggak bisa datang akibat panggilan dadakan ke rumah Papa. Itu bohong, jelas, tapi mereka nggak perlu tahu.

Benny sempat meneleponku. Karena nggak mau buat dia curiga, aku pun menjawabnya dan mengatakan hal yang sama. Benny bertanya apakah papaku sakit, dan aku bilang kalau Papa sehat-sehat saja. Hanya, kebetulan Papa ingin mengajak kami semua jalan-jalan. Nggak sepenuhnya bohong, karena saat aku datang, Papa dan keluarga sedang bersiap untuk pergi ke taman bermain.

Good job, Ev. Satu misi sudah terlaksana. Sekarang Ruri pasti sedang bersenang-senang dengan Benny.

Tanpa aku.

"Yang kemarin itu jadi bagaimana, Va?"

Pertanyaan Papa memutus lamunanku, memutus rangkain pertanyaan aneh dan menyiksa, tentang apa yang sedang mereka lakukan di Dufan. Apakah Benny dan Ruri bersenang-senang? Apakah Ruri senang karena bisa "kencan" dengan Benny seharian?

"Laki-laki yang kamu sukai itu," terang Papa. "Kamu kan sudah pisah dari Nugie. Apa kamu pacaran dengan orang itu sekarang?"

"Ah, enggak, Pa," jawabku buru-buru. "Nggak bakalan pacaran."

"Lho, kenapa?"

Aku nggak menjawab. Kugigit bibirku, menahan hasrat untuk bercerita kepada seseorang. Sudah lama aku nggak melakukan itu dan selama ini aku memendam masalah ini sendirian. Namun, apakah perlu memberi tahu update kisah cintaku yang mengenaskan ini kepada Papa?

"Kalau nggak mau cerita ya nggak apa-apa, Va. Tapi kalau kamu mau cerita, Papa bakalan seneng banget."

Kugaruk kepalaku yang mendadak gatal. "Yah ... intinya ... kalau aku sama dia itu ... sulit sih, Pa."

"Karena?"

"Karena sahabatku juga suka sama dia," jawabku, sebelum aku bisa menahan diri lebih lama.

Terjadi keheningan setelah aku mengatakan itu. Mungkin Papa mengharapkan aku memberi tambahan informasi. Atau mungkin Papa cuma menyesal menyuruhku curhat persoalan picisan dan bingung dengan respons yang harus diberikan.

"Dia sendiri bagaimana?" tanya Papa kemudian.

Aku menatap Papa dengan ekspresi nggak paham.

"Iya, si laki-laki ini bagaimana? Apa dia juga suka sama sahabat Eva? Apa dia suka sama Eva?"

Aku menggeleng. "Itu nggak penting kan, Pa? Yang jelas sahabatku udah naksir dia dari lama banget. Lebih lama dari aku."

"Lho, ya penting dong, Nak. Justru berangkatnya dari situ. Sahabat Eva naksir sama laki-laki itu, tapi kan Eva juga. Pertanyaannya, si laki-laki ini bagaimana?"

"Meskipun dia juga suka aku, nggak mungkin aku mengkhianati sahabatku, Pa. Kesannya aku kayak ngerebut dia dari sahabatku, kan? Padahal sahabatku ini jasanya besar banget dalam hidup aku.”

“Sahabatmu itu si Angel?”

“Bukan, Papa belum kenal. Tapi intinya, mendingan aku patah hati daripada harus nyakitin sahabatku sendiri.”

"Kalau laki-laki yang kamu suka, boleh Papa tebak?" tanya Papa tiba-tiba.

Kutatap Papa dengan sebelah alis terangkat. Yang kutatap malah tersenyum. Mana mungkin Papa tahu—

"Anaknya Prof. Mara, kan?"

Mataku melebar. Dari mana Papa tahu?! Apa ekspresiku sejelas itu?

"Wah, pasti benar nih tebakan Papa kalau lihat ekspresi kamu sekarang."

Kesal karena tertebak, aku mendengus keras. "Dia bukan anaknya Bude Mara. Keponakannya."

Papa ber-oh panjang. "Kamu bilang dulu kalian pernah ketemu di Yogyakarta. Berarti sudah kenal lama, kan?"

Aku mengangguk.

"Apa ... koreksi aja kalau Papa salah. Apa hubungan kalian udah mulai sejak di Jogja?"

Aku terdiam sebentar, lantas menyerah. Yah, nggak ada gunanya menyembunyikan hal ini dari Papa. Sebenarnya, nggak ada bedanya Papa tahu atau nggak.

Jadi, aku mengangguk lagi. Satu kekhawatiran menyeruak. Kalau Papa saja yang laki-laki bisa merasakan perasaanku kepada Benny, bagaimana dengan Ruri? Apa aku memang sejelas itu? Apa perasaanku memang semudah itu ditebak?

"Yang namanya perasaan itu nggak bisa dibohongi, Va," kata Papa, setelah diam beberapa saat. "Mau bersikeras juga percuma." Papa terdiam sebentar. "Papa dan mamamu adalah contohnya. Kami mencoba, dan ... yah, kamu tahu sendiri hasilnya."

Rasa penasaranku terpantik. Kumajukan tubuhku sedikit. "Apa Papa dan Mama pernah saling mencintai?"

Papa meringis. "Kamu mau jawaban yang jujur?"

Aku mengangguk, meski aku tahu bisa jadi ini akan sangat menyakitkan.

"Tidak pernah," jawab Papa kemudian, persis seperti dugaanku. "Papa bertemu mamamu dalam satu acara, dan harus diakui bahwa hubungan kami dimulai dengan sesuatu yang salah. Yang tidak sesuai norma."

Hatiku masih mencelus, meski itu bukan kejutan. Ternyata dugaanku dan juga omongan-omongan tetangga yang kudengar sejak kecil itu benar.

"Ketika kamu hadir di perut mamamu, dan ketika Papa memutuskan untuk bertanggung jawab, Papa sudah berkomitmen untuk menjadi suami dan ayah yang baik. Papa berusaha keras untuk mencintai mamamu. Usaha Papa memang gagal, tapi Papa berhasil mengesampingkan perasaan. Terlepas dari cinta yang nggak ada dalam hati Papa, mamamu adalah satu-satunya perempuan dalam hidup Papa saat itu, dan tujuan hidup Papa hanya untuk membuat kalian berkecukupan dan bahagia."

"Tapi?"

"Tapi terbukti bahwa apa yang dipaksakan hanya akan mendatangkan hal buruk. Bukan hanya Papa yang merasakan nggak ada cinta, mamamu juga. Bedanya, mamamu berjiwa bebas, dan bukan tipe orang yang bisa dikekang oleh hal-hal subtil seperti komitmen. Dan hubungan nggak bisa berjalan kalau komitmennya cuma satu arah."

Lantas ketidakcocokan terus mencuat, membuat pertengkaran demi pertengkaran datang. Ketiadaan cinta dan kecocokan serta alasan untuk bertahan, pada akhirnya menciptakan situasi yang kuhadapi saat ini. Nggak berlebihan, kan, ketika kusimpulkan bahwa aku dan Gina jauh berbeda?

Obrolan dengan Papa siang itu memang cukup menyentil, tapi nggak mampu membuatku merasa wajar untuk membiarkan perasaanku kepada Benny. Mungkin Papa benar. Mungkin cinta memang nggak bisa dipaksakan, tapi ketidaknyamanan yang kurasakan ini juga benar. Sekeras aku berusaha berpikir bahwa cinta itu nggak bisa dipaksakan, aku tetap merasa bersalah kepada Ruri karena perasaan Benny kepadaku. Aku tetap nggak mau Ruri patah hati, dan apalagi karena aku.

Aku akan tetap dengan rencanaku yang semula.

Hari Minggu, Bude Mara bilang akan masak-masak dan menyuruh Benny datang. Saat itu, aku sedang chat-an dengan Ruri dan memberitahukan acara Bude Mara hari ini. Ruri bertanya apakah dia boleh datang juga. Tanpa ragu, aku minta izin kepada Bude Mara untuk mengundang Ruri juga. Untung saja, Bude Mara setuju.

Sekitar pukul 11 siang Benny dan Ruri sudah datang. Acara makan siang bersama hari itu berjalan lancar. Kehadiran Ruri yang selalu ceria otomatis membuat suasana jadi tambah rame. Setelah acara makan-makan, aku menawarkan diri untuk memotong-motong buah di dapur. Aku bahkan nggak terkejut ketika Benny menghampiriku. Aku tahu hal ini pasti akan terjadi, dan aku sudah menyiapkan jawaban.

"Papa kamu sehat?" tanya Benny.

"Sehat, kok. Sehat," jawabku dengan senyum lebar, padahal jantungku sedang bergemuruh. "Papa titip salam buat Kak Benny."

"Oh? Thanks. Salam balik," jawab Benny pendek.

"BTW, kemarin gimana pergi sama Ruri? Seru, kan?"

Aku nggak yakin dengan apa yang kulihat, tapi aku menangkap ekspresi Benny berubah selama beberapa sedetik. Matanya menyipit sedikit, seolah sedang menangkap sebuah informasi dan mencoba memahaminya. Namun, lama-lama aku malah merasa konyol sendiri. Ya Tuhan, Eva! Itu cuma sedetik dan kamu nggak sebegitunya memahami Benny!

"Yah ... lumayan. Udah lama nggak ke Dufan juga. Anyway, aku udah tanya ke petugas, dan minggu depan masih bisa."

Kutatap Benny dengan pandangan bertanya. Sungguh aku nggak paham topik obrolan Benny kali ini.

"Promo tiket Dufan," terang Benny. "Katanya kamu pengin ke Dufan? Minggu depan aja, aku temenin."

"Oh! Itu ...." Aku menggeleng cepat. "Nggak usahlah, Kak. Kupikir-pikir, biar diskon, tiketnya masih lumayan pricey buatku. Jadi, kapan-kapan ajalah."

"Aku bisa—"

"Bisa tolong bawa ini ke depan, Kak?" Kuserahkan mangkuk berisi buah itu kepada Benny. "Aku agak pusing. Kayaknya aku pengin tiduran dulu sebentar."

Tanpa menunggu jawaban Benny, aku bergegas mencuci tangan dan meninggalkan dapur menuju kamarku. Tugasku sudah selesai. Aku tahu Ruri nggak bawa motor hari ini, dan aku tahu bahwa Benny pasti akan mengantar Ruri pulang tanpa aku harus ikut campur.

Iya, aku hanya beralasan kurang enak badan dan hanya ingin memberi waktu lebih banyak untuk Benny dan Ruri.

Iya, aku tahu bagaimana pandangan Benny terus mengikutiku hingga menghilang di kamar.

Iya, aku tahu aku tahu orang-orang akan menganggapku bodoh, tapi memang harus kuapakan perasaan nggak nyaman ini? Gimana caranya aku bisa bahagia dan merayakan perasaanku kepada Benny, saat aku tahu bahwa hal itu menyakiti orang yang sudah menyelamatkan hidupku?

Persetanlah. Bukankah Benny sendiri yang bilang kalau apa pun yang kurasakan, that's matter.

***

Segalanya berjalan terlalu lancar sejak hari itu. Nggak tahu sudah berapa banyak rencana untuk memberi kesempatan Benny dan Ruri agar untuk bersama yang kususun dan berhasil kuwujudkan. Ruri saja sadar.

"Lo sengaja ya, Va?" tanya Ruri, ketika aku menata bekal makan siang masakan Bude Mara di meja pantri.

"Sengaja apaan?" tanyaku pura-pura nggak paham.

"Nyomblangin gue sama Aria."

Aku tertawa kecil. "Gue mah cuma ngasih waktu dan ruang, Rur. Selebihnya tergantung lo sama Aria."

"Iye, tapi jangan terlalu terang-terangan dong, Bund. Gue kan jadi nggak enak sama doi."

"Emang gue terlalu terang-terangan?"

Ruri hanya memutar mata dengan ekspresi nggak habis pikir. Untung pembahasan itu nggak perlu dilanjutkan.

"Wih, enak nih."

Benny muncul dari ambang lorong pantri. Kuambil tas bekalku dari kursi untuk memberinya tempat duduk.

"Kok tumben titipin bekal lewat kamu?” tanya Benny sambil menatapku dengan mata berbinar. “Biasanya aku suruh ambil sendiri ke rumah."

Belum lama tadi aku memang mengirim chat kepada Benny, memintanya supaya turun ke pantri untuk makan siang bareng, karena Bude Mara membawakan bekal dua porsi. Sebenarnya bukan Bude Mara, aku sendiri yang berinisiatif membawakan bekal untuk Benny. Dan bukan dua porsi, melainkan tiga.

"Entah. Yuk, makan, Pak. Ayo, Rur. Ini banyak banget, gimana ngabisinnya coba."

Benny mulai mengambil makanan, begitu juga dengan Ruri. Hari ini Bude Mara memasak oseng kacang panjang dengan teri, pindang daging sapi, dan juga terong balado. Semangat memasak Bude Mara sungguh berlebihan. Kadang aku merasa nggak enak karena uang kos bulanan yang kubayarkan jadi terkesan terlalu kecil dibandingkan dengan keuntungan yang kudapatkan.

"Ya Tuhan, masakan Bude Mara tuh emang candu banget!" Ruri berdecak-decak. "Lo kok bisa sih tahan tinggal sendiri, kalau ada opsi bisa makan masakan seenak ini tiap hari, Ar?"

Benny tergelak. "Ya kalau kangen tinggal balik aja, sih. Atau minta tolong Eva buat bawain bekal dari rumah. Kan gampang."

Sambil menikmati suapan demi suapan, aku menatap ponselku dengan serius. Aku menghitung sampai dua puluh kali, lalu bangkit berdiri.

"Eh, enjoy ya, guys," kataku, sambil pura-pura membaca chat. "Aku harus ngerjain laporan bulanan, udah ditagihin sama Pak Petra."

"Lah, makan dulu aja, Ev," protes Benny heran. "Ini jam makan siang."

Kuabaikan ekspresi Ruri yang seolah-olah bilang ‘Lagi, Va?’. "Soalnya udah ditanyain, dan laporannya belum selesai."

"Bedanya berapa menit, sih? Petra pasti pahamlah. Lagian, jam istirahat itu hak karyawan, Eva."

Aku sedikit tersentil dengan cara Benny memanggilku barusan. Kenapa "Eva"? Kenapa bukann "Ev" kayak biasanya? Dan kenapa ekspresi Benny terasa lebih serius daripada seharusnya?

"Aku makan di kubikel aja deh, Kak. Sambil ngerjain. Nggak enak sama Pak Petra."

Tanpa menunggu jawaban Benny, aku buru-buru keluar dari pantri dengan membawa wadah makanku untuk dilanjut di kubikel.

Ruangan lantai dua sepi. Aku bersyukur karena hari ini banyak yang makan di luar. Jadi, rencanaku berjalan lancar. Atau setidaknya kupikir begitu, karena baru saja aku duduk di kursiku dan melanjutkan makan siang sendirian, terdengar langkah kaki tergesa-gesa dari arah pantri. Ketika aku menoleh, Benny muncul dari sana dengan ekspresi yang ... gusar?

Aku terlalu terkejut sampai nggak sempat bertanya.

"Eva, bisa ngobrol sebentar?" tanya Benny dengan nada yang belum pernah kudengar. "Please."

Tanpa menunggu jawabaku, Benny berjalan menaiki tangga, sebuah instruksi tanpa kata agar aku mengikutinya. Kenapa? Ada apa? Apa perasaanku saja atau Benny memang kelihatan nggak senang, bahkan ... marah?

Aku sempat bengong dan bingung sejenak, hanya bisa menatap punggung Benny yang kemudian menghilang. Sempat terpikir buat mengabaikan permintaan Benny, tapi ekspresinya barusan membuatku mengurungkan niat itu. Perlanhan-lahan, meninggalkan makananku yang masih banyak, aku menyusul Benny naik ke lantai tiga.

Pria itu menungguku di ujung tangga yang mengarah ke rooftop. Saat aku muncul, Benny kembali berjalan menaiki tangga, dan keluar di rooftop. Mau nggak mau aku mengikutinya. Begitu aku keluar, Benny menunduk dan menutup pintu rooftop. Jantungku mulai berdebar-debar, mengantisipasi berbagai kemungkinan yang akan terjadi.

Lagi-lagi Benny berjalan mendahuluiku ke arah bibir atap, di bawah kanopi mungil yang melindungi kami dari matahari. Aku mengikutinya dan berdiri di sebelahnya. Namun, Benny hanya berdiri saja di sana, pandangannya menatap jauh ke depan. Meski samar, aku bisa menangkap setitik kekalutan di matanya. Sementara itu, aku mulai kegerahan karena terik matahari di atas kanopi asbes yang membuat jadi pengap—ditambah sikap Benny yang mendadak panas ini juga.

Nggak tahan lagi, aku mulai bersuara. "Kak, aku—"

"Kamu sebenarnya lagi ngapain, Ev?" potong Benny. Secara mendadak dia menoleh padaku. "Belakangan ini, kamu ngapain? Apa yang lagi kamu rencanain?"

Sebenarnya aku gugup, tapi sebisa mungkin berusaha tenang. "Maksudnya, Kak? Aku nggak paham."

"Acara ke Dufan. Makan-makan minggu kemarin di rumah Bude Mara. Makan siang hari ini, dan semua hal sebelum-sebelumnya yang melibatkan Ruri. Semua itu udah kamu rencanain, kan?"

Ya Tuhan! Apa Benny tahu? Apa Benny menangkap rencanaku?

"Dan kamu pikir aku nggak tahu? Setiap ngobrol sama aku, kamu selalu bahas Ruri. Kamu selalu ninggalin aku sama Ruri." Benny menatapku lekat. "Sekarang aku tanya, apa yang sebenarnya lagi kamu rencanain, Eva?"

Aku benar-benar nggak suka dengan cara Benny memanggilku hari ini. Rasa sebal dan nggak nyaman terus muncul karena panggilan itu seolah Benny sedang menciptakan jarak yang lebar di antara kami. Aku ingin dia memanggilku "Ev" seperti biasa.

"Aku nggak rencanain apa-apa, Kak.” Kutepis sampah-sampah di pikiranku, dan kupasang ekspresi ceria. Aku harus tetap dalam rencana. "Kak Benny dan Ruri adalah dua sahabat terbaikku sekarang ini. Emangnya salah kalau aku pengin ngabisin waktu bareng kalian berdua? Lagian Ruri baik dan asyik, dan kalian udah sahabatan sejak lama. BTW, menurutku kalian serasi banget, lho.”

Tepat setelah menyelesaikan kalimat, aku tahu bahwa aku sudah membuat kesalahan besar.

Ekspresi Benny seketika mengeras. Tatapan mata tajamnya menghunjam mataku dengan ekspresi yang ... getir? Marah, kecewa, kesal, nggak habis pikir, dan semua hal negatif yang seperti yang ditumpahkan begitu saja. Aku menunduk dalam, berusaha menyembunyikan kegugupanku yang menjadi-jadi.

"Oh, kamu lagi jodohin aku sama Ruri," kata pria itu dengan nada datar, berkebalikan dengan segala macam ekspresi yang berkecamuk di wajahnya.

"Bukan gitu! Tapi ... kenapa nggak?" Aku menahan gemuruh di hatiku. "Menurutku kalian cocok banget dan ... dan ... Kak Benny nggak mungkin nggak tahu, kan?" Kugigit bibir cukup keras. Namun, ini benar. Aku yakin Benny pasti tahu.

"Tahu apa?" tanya Benny.

"Tahu soal perasaan Ruri." Kini kuberanikan diri menentang mata Benny. "Kamu pasti tahu kalau Ruri naksir kamu. Dari lama banget. Dari SMA."

Benny terdiam, dan hal itu menegaskan dugaanku bahwa Benny tahu perasaan Ruri padanya. Yah ... perasaan itu sudah berjalan bertahun-tahun. Menilik karakter Benny yang memiliki kepekaan tingkat dewa, nggak mungkin dia nggak tahu.

"Ruri bahkan lepasin kerjaannya firma audit besar dan gabung ke WeTimes karena kamu ada di sini," tambahku lirih.

Benny menghela napas panjang.

"Jadi, itu yang bikin kamu menghindar?" tanya Benny kemudian. "Menghindar dari perasaanmu sendiri? Oke, cukup soal perasaan Ruri," putus Benny. "Aku mau tahu soal perasaanmu."

"Perasaanku ... perasaanku kenapa?"

Benny memandangku dengan ekspresi lelah dan nggak habis pikir.

“Aku pengin sama kamu, Ev,” kata Benny begitu lugas, seolah dia nggak akan lelah mengulang-ulang hal itu sampai ribuan kali. “Aku udah bilang, aku suka sama kamu. Aku cinta kamu dari dulu. Coba bilang kalau perasaan kita nggak sama,” pintanya. Sontak aku mengalihkan pandangan, nggak sanggup membalas tatapan Benny. "Bilang kalau kamu, sedikit pun, nggak pengin aku ada dalam hidup kamu."

Aku menelan ludah dengan susah payah. Aku bisa saja berbohong di sini, mengatakan apa yang aku ingin Benny dengar. Namun, setitik ruang di hatiku menahanku. Aku ingin mengatakannya, tapi lidahku seolah direkat. Mencoba mengatakannya membuat ludahku semakin kental, dan bicara pun terasa berat.

"Bilang kalau kamu nggak ada perasaan sedikit pun ke aku."

"Perasaanku nggak penting," jawabku akhirnya. "Apa pun perasaanku ke kamu, aku nggak mungkin mengkhianati Ruri."

"Mengkhianati ... apa?" Benny terlihat terkejut. Dan kini, kesabaran yang selama ini kuanggap identik dengan pria ini seolah menguap. Kejengkelan nyata-nyata menghiasi di wajahnya. "Kamu nggak mengkhianati siapa pun, Eva!"

"Kamu nggak bakal paham, Kak!" seruku, mulai ikut tersulut emosi. "Aku tahu kamu mikir aku konyol, tapi kamu nggak bakal paham. Ruri udah nyelametin aku! Aku nggak pengin dia sakit hati!"

"Tapi—"

"Apa kamu nggak ingat kejadian antara kamu sama Kak Uthe?" tanyaku nggak habis pikir. Dan Benny lagi-lagi terkejut, mungkin nggak menduga aku menyebut nama Kak Uthe. “Kalau ingat, harusnya kamu paham, Kak. Kamu nolak aku karena alasan yang sama.”

Benny terlihat kesulitan menjawab. Mungkin dia masih terkejut karena aku mengungkit kejadian lampau. Mungkin juga kata-kataku menyentil sisi kebenaran yang nggak bisa dia elakkan.

"Sama kayak kamu nggak pengin nyakitin Kak Uthe, aku juga nggak pengin nyakitin Ruri. Meski itu artinya harus nyingkirin perasaanku sendiri." Aku menghela napas panjang. "Aku nggak berharap Kak Benny paham perasaan ini, tapi aku minta Kak Benny hargai keputusanku."

"Terus gimana dengan perasaanku, Ev?!" tanya Benny gusar. "Apa perasaanku nggak penting? Apa yang penting cuma perasaan kamu sama perasaan Ruri? Apa aku nggak dianggap subjek di sini?"

"Kak, maksudku bukan—"

"Jadi, itu keputusanmu? Oke. Aku menghargai keputusanmu. Aku nggak akan mendesak lagi. Terserah kamu. Tapi aku minta kamu jangan coba-coba jodohin aku sama Ruri, atau dengan siapa pun. Stop! Aku benar-benar nggak suka. "

"Tapi menurutku—"

"Sikapmu bikin aku sangat-sangat nggak nyaman.”

Bibirku belum terkatup sepenuhnya, tetapi hasrat untuk mengatakan isi pikiranku menguap begitu saja mendengar nada dingin penuh amarah yang terdengar sangat ... getir. Benny bukan semata-mata terdengar marah, tetapi juga terluka.

“Perasaanku ke kamu, itu urusanku sendiri. Kamu nggak bisa mencampuri perasaanku, Eva." Benny geleng-geleng kepala. "Kamu nggak berhak melakukan itu. Mengerti?"

Benny beranjak pergi setelah mengatakan semua yang ingin dia katakan. Sementara aku masih tertegun di tempat yang sama, memikirkan ekspresi marah dan terluka Benny yang baru pertama kali ini kulihat.

Ya Tuhan, apa barusan aku menyakiti orang paling baik hati yang pernah kutemui?

***

Bonjouur~

Maafkan aku karena kalian harus menunggu sangaaaat lamaa. Kayaknya pembaca YKD ini termasuk golongan pembacaku yang paling sabar deh, mengingat cerita on-going hampir 2 tahun 🤣🤣🤣

Taaaapi tenaang. Habis ini kalian nggak perlu menunggu lama-lama karena naskah YKD sudah tamat. Yeay! Memang kemarin aku sengaja nulis sampe tamat dulu baru posting.

Nah, selanjutnya aku akan rutin update YKD seminggu sekali tiap hari Jumat yaa. Totalnya masih ada 8 chapter lagi sampai tamat.

Kalau kalian enggak sabar, bisa meluncur ke KaryaKarsaku, karena aku sudah post YKD bab 26-34 (tamat). Btw, buat yang mau gas meluncur ke KaryaKarsa jangan lupa baca deskripsi ceritanya dulu ya.

Merci ❤️❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro