Banding Rasa
"Kak Benny bilang aku kenapa?"
Benny meringis. "CT-nya rendah, gejalanya agak parah, jadi harus bedrest dan isolasi total." Lantas Benny mengetuk-ngetuk dahinya. "Amit-amit jabang bayi, jangan sampai kejadian."
Sudah hampir dua minggu aku berada di rumah Bude Mara, dan aku penasaran apa yang Benny katakan pada orang-orang kantor tentang aku yang menghilang begitu saja. Aku tahu Benny bilang bahwa aku terkena Covid-19, karena saat aku menyalakan ponsel, banyak yang mengirim pesan motivasi dan juga tips-tips agar hasil swab-ku segera negatif.
"Kamu udah pernah kena belum, sih?" tanya Benny.
"Udah. Dua kali malah. Pertama pertengahan tahun kemarin pas yang lagi tinggi-tingginya itu. Tapi untungnya cuma demam sama batuk ringan. Yang kedua awal tahun ini."
Benny manggut-manggut. "Udah vaksin lengkap?"
"Yep. Booster juga udah."
"Syukurlah ...." Benny mengembuskan napas lega. "Aku takut kualat, terus kamu kenapa-kenapa. Katanya, kan, omongan adalah doa."
Aku tahu Benny sedang serius, tetapi aku malah tertawa.
"Kok ketawa? Kamu ingat nggak sih dulu pas kita mau makan mangut lele Mbah Warto hujan-hujan?" tanya Benny.
"Oh, iya bener."
"Di jalan aku, kan, sempet bilang bakal mantep nih kalau udah hujan-hujanan, nerjang banjir, dan sampe sana mangutnya udah habis. Ebuset ... kejadian beneran. Sampe sana bapaknya udah nyapu-nyapu lantai. Habis."
Aku tersenyum tipis. Samar-samar aku masih mengingatnya. Sepanjang perjalanan pulang Benny menyumpah-nyumpah, dan akhirnya kami makan soto ayam random di pinggir jalan karena kelaparan.
"Sampe mana tadi?"
Perhatianku kembali ke laptop. Hari Kamis pagi-pagi, Benny mampir ke rumah Bude Mara dengan kostum olahraga. Katanya dia baru selesai joging dan akan numpang mandi serta sarapan sebelum ke kantor. Dia bela-belain mampir karena kami harus membahas beberapa hal terkait pekerjaan yang urgen.
Selesai sarapan, sementara Bude Mara senam di halaman belakang bersama asisten rumah tangganya, kami tetap duduk di meja makan untuk membahas pekerjaan. Ada jarak satu kursi kosong di antara aku dan Benny. Jarak yang cukup menenangkan dan membuat nyaman.
"Besok ada townhall. Ada product meeting juga. Bisa ikut, kan?" tanya Benny.
"Bisa, kok. Mau ngobrol sama Mbak Medina dan Bang Tigor juga soal teknis."
"Pake telepon biasa aja kalau video call bikin nggak nyaman."
Aku mengangguk. Tepat saat itu, ponselku yang berada di atas meja berbunyi. Mama menelepon untuk yang kesekian kalinya. Aku membiarkannya sampai panggilan itu berakhir sendiri. Namun, nggak sampai satu menit, ponselku berbunyi lagi. Lagi-lagi aku mematikan nada deringnya dan membalik layar ponsel ke bawah. Seandainya bisa, aku ingin mematikan ponselku. Sayangnya, ini hari kerja, dan aku harus selalu online agar tetap reachable meski nggak setor muka ke kantor.
"Kenapa nggak diangkat?" tanya Benny.
Aku hanya menggelengkan kepala. Berhari-hari ini Mama memang berusaha meneleponku, dan aku nggak pernah menjawabnya. Aku nggak tahu apa yang ingin Mama katakan padaku, dan aku nggak kepengin tahu. Terlebih, aku takut.
Kepanikanku muncul saat Mama menelepon untuk yang ketiga kalinya.
"Angkat aja, Ev," saran Benny.
"Buat apa?" Aku balas bertanya cepat, tanpa berpikir.
Benny nggak menjawab. Aku berusaha untuk kembali fokus dengan pekerjaanku, dan sesaat kemudian Benny tertawa. Aku mendongak, menatapnya dengan bingung. Apa yang begitu lucu sampai dia ketawa begitu?
"Tadi aku pengin bilang kalau gimanapun, seorang ibu pasti khawatir dan pengin tahu kondisi anaknya. Biasanya orang-orang bilang gitu, kan?" Benny mengangkat sebelah alis. "Tapi, terus aku ingat kalau ibuku juga nggak peduli dan nggak pengin tahu kondisi anaknya. Ironis nggak, sih? Jadi nggak relate," tambahnya sebelum tertawa lagi.
Aku menelan ludah. Cara Benny mengatakannya santai saja. Tanpa beban, seolah itu adalah hal biasa yang nggak menyakiti hatinya. Seolah hal itu sama remehnya dengan fakta tentang hari ini hari Selasa. Aku jadi penasaran, apa hal itu nggak menyakitkan baginya?
"So, aku nggak bakal bilang begitu," katanya dengan cengiran. "Dan terserah kamu mau angkat telepon dari mamamu atau nggak. Kalau emang bikin nggak nyaman, ya nggak usah."
"Sebenernya, aku takut." Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirku sebelum aku sempat berpikir.
Benny nggak menjawab, tetapi dia memandangku. Memberi perhatian sepenuhnya, menungguku melanjutkan cerita.
"Tiap kali ingat Mama, aku ingat kejadian itu juga. Aku nggak tahu Mama mau bilang apa, dan aku nggak tahu juga harus bilang apa ke Mama. Aku ngerasa ... banyak masalah di antara kami, tapi juga nggak ada lagi yang bisa dibicarain antara aku sama Mama." Aku menelan ludah. "Aku marah, dan aku takut bakalan makin benci sama Mama setelah dengar kata-kata Mama. Kata-kata mamaku kadang bisa nyakitin banget. Dan perasaan ini bikin aku takut. Tanpa ngebenci Mama pun, selama ini aku bukan anak yang baik."
Benny belum memberikan tanggapan. Namun, memang bukan itu yang kuharapkan. Aku lega karena Benny hanya mendengarkan.
"Dari dulu, perasaanku ke Papa dan Mama timpang," lanjutku. "Aku ngerasa lebih nyaman sama Papa dibandingkan sama Mama. Ikatanku sama Papa lebih kuat dibanding ikatanku sama Mama, dan itu bikin aku ngerasa bersalah. Padahal Mama jelas adalah orang yang ngelahirin aku, sementara Papa ...."
Aku menceritakan sekilas tentang simpang siur status kelahiranku dan juga ketidakmiripanku dengan Papa. Benny tetap nggak bereaksi saat kubilang kemungkinan besar aku anak yang lahir di luar nikah, dan entah siapa ayah biologisku.
"Aku juga nggak berani nanya langsung ke mereka soal ini," lanjutku. "Aku takut sama jawabannya."
"Jadi, karena itu kamu pilih ikut mama kamu setelah mereka cerai?" tanya Benny.
Aku mengangguk. "Aku pengin nebus kasih sayang yang timpang itu. Aku pikir, kebersamaan bakal bikin ikatan kami lebih baik dari sebelumnya."
"Dan, ternyata ...?"
Aku menatap Benny yang juga tengah menatapku. Lantas aku mengedikkan bahu dan menjawab, "Gagal. Rasanya malah kayak hidup sendiri."
Ketika masih di Jogja, aku lebih sering menghabiskan waktu dengan nenek dibandingkan Mama yang sibuk bekerja. Begitu pindah ke Jakarta, kehadiran Mama dalam hidupku semakin hilang timbul. Mama datang dan pergi, sesuai kebutuhannya sendiri.
"Aku selalu ngerasa ada jarak di antara kami. Susah banget buat ngomong baik-baik, atau nyoba mahamin Mama. Kadang-kadang, aku malah ngerasa Mama benci aku. Dan sisi jahat di hati aku, sering ngerasa lebih tenang waktu jauh dari Mama. Setelah kejadian ini, aku nggak yakin aku bisa ketemu Mama lagi." Aku terdiam sebentar, berusaha memberanikan diri untuk jujur pada diriku sendiri. "Aku nggak mau ketemu Mama."
Aku menelan ludah yang terasa sangat kental.
"Tapi kayak gitu salah kan, Kak? Gimanapun, dia mamaku. Yang bawa aku ke dunia. Aku nggak boleh ngerasa kayak gini. Salah. Dosa. Mana ada anak yang nggak mau ketemu ibunya sendiri?"
Benny nggak menjawab. Dia hanya menatapku lekat, sebelum menghela napas panjang dan mengusap-usap belakang kepalanya.
"Ev, aku nggak tahu ya ... soalnya, ya kamu tahu sendiri kata Papa dan Mama atau orangtua nyaris nggak ada artinya buat aku. Aku nggak sayang dan nggak benci sama orangtuaku. Simply kuanggap nggak ada aja. Di dunia ini, orangtuaku ya Bude Mara. Papa dan Mama? Nope. Aku nggak butuh mereka, karena tanpa mereka hidup aku juga baik-baik aja. Kalau orang bilang harusnya aku berbakti karena mereka yang bawa aku ke dunia, ya aku nggak pernah minta dilahirkan. Terdengar durhaka? Yups. Tapi begitulah keadaannya."
Aku tertawa kecil. Kalau dipikir-pikir ini lucu. Kesamaan di antara kami adalah keluarga yang nggak berfungsi sebagaimana mestinya.
"Jadi, aku nggak bisa jawab pertanyaanmu yang bener apa salah tadi, tapi kalau kamu tanya aku, menurutku kamu berhak dan mampu bikin penilaian sendiri. Poin-poin dalam penilaian itu, perasaan kamu, pertimbangan-pertimbangan kamu, that's matter. Valid. Karena apa?" Benny menatapku, lalu mengangguk tipis. "Karena kamu subjek pertama yang ngalamin semuanya. Kamu bisa aja tanya pendapatku atau siapa aja, tapi pada akhirnya, keputusan ada di tangan kamu. Ya, nggak?"
"Jadi, menurut Kak Benny, normal kalau aku benci sama Mama?"
Benny tertawa tipis. "Ya aku nggak bisa bilang gitu. Mungkin nggak normal kalau dilihat sama orang lain. Tapi kamu punya alasan dan apa yang kamu alami sama yang dialami orang lain kan beda, Ev," jawabnya. "Jadi, normal atau nggak, nggak usah terlalu dipikirinlah. Kadang-kadang kita emang harus egois, biar bisa bahagia."
Ponselku kembali berbunyi, masih telepon dari Mama. Aku me-reject panggilan itu, dan Benny nggak lagi bertanya-tanya.
"Waduh, udah jam segini lagi," keluh Benny. "Aku ke kantor dulu deh, daripada Petra ngomel-ngomel. Fail yang tadi kalau udah kelar langsung kirim aja, ya. Cc ke Petra juga jangan lupa."
Aku mengangguk.
Benny menutup laptop dan mengambil beberapa dokumen untuk dia bawa ke kantor. Saat Benny mengguling kabel charger laptop, pulpenku tersenggol dan menggelinding jatuh ke atas kursi di antara kami. Refleks aku mengulurkan tangan untuk menangkapnya sebelum jatuh ke lantai. Di saat yang bersamaan, Benny juga berpikir sama dan mengulurkan tangannya, sehingga tangan kami bertemu tepat di atas kursi.
Aku kaget. Dan yang lebih membuatku kaget, Benny juga kaget dan refleks menarik tangannya secepat kilat, bahkan sebelum aku sendiri melakukannya.
"Eh, sori!" katanya buru-buru. "Sori, sori. Nggak sengaja, Ev. Suer!"
Benny menatapku dengan ekspresi khawatir yang berlebihan.
"Are you OK?" tanyanya pelan-pelan.
Lalu aku menyadarinya. Benny khawatir sentuhan nggak sengaja kami akan membuatku nggak nyaman. Trauma itu memang berlangsung cukup lama. Hingga saat ini, sentuhan tiba-tiba masih sering membuatku kaget dan refleks menjengit.
Aku mengangguk. "Nggak apa-apa," jawabku.
Aku juga baru sadar, sentuhan barusan nggak membuatku menjengit.
***
Aku nggak terlalu heran saat Nugie muncul di depan pintu rumah Bude Mara malam ini. Papa pasti sudah menceritakan semuanya kepada Nugie, menilik ekspresinya yang cemas dan kalut.
Kami duduk berdua di ruang tamu Bude Mara. Aku duduk di tengah sofa panjang, dan Nugie duduk di sofa pendek di depanku. Aku sedikit berharap Bude Mara menemaniku di sini, tetapi kali terakhir kulihat, Bude sedang sibuk di dalam ruang kerjanya dan aku nggak berani mengganggu.
"Kenapa nggak bilang apa-apa, Va?" tuntut Nugie. "Tiap kita ngobrol, kamu bersikap seolah nggak ada apa-apa. Kapan itu aku ke rumah dan kamu nggak ada, kamu bilang lagi nginep di kantor. Sibuk sama kerjaan, lagi ini, lagi itu. Ya Tuhan ... kenapa hal seburuk ini aku harus tahu dari Prof Adit?"
Aku sedikit merasa bersalah. Namun, kata-kata Benny tadi pagi kembali terlintas. Perasaan dan pertimbanganku, itu semua valid dan penting.
"Sori, Mas, bukannya aku nggak mau cerita, tapi ... itu berat buat diceritain," kataku. "Kalau aku cerita, aku harus ingat-ingat lagi kejadian itu, dan aku nggak mau."
"Aku tahu," respons Nugie cepat. "Aku tahu kejadiannya pasti ngeri, tapi apa susahnya bilang, Va? Aku kan juga nggak minta diceritain detailnya."
Apa susahnya? Sesusah rasa kejut dan gelisah setiap kali mendengar suara kunci pintu diputar. Aku masih merasakannya sampai sekarang.
"Terus, sekarang gimana? Kamu udah nggak apa-apa, kan?"
Aku butuh banyak waktu untuk memikirkan jawaban itu. Belakangan aku susah mencari satu kata yang tepat untuk menggambarkan situasi atau apa yang kurasakan saat ini. Aku berusaha keras untuk memperbaiki diri, untuk kembali seperti semula. Tentu saja, rasanya semua usaha itu belum cukup berhasil.
Namun, malas mengurai lebih lanjut kamus bahasa dalam benak, kuputuskan untuk mengangguk saja.
"Aku nggak apa-apa, Mas." Mendadak aku teringat sesuatu. "Oh ya, kalau mamaku telepon, bisa tolong nggak usah diangkat aja?"
"Kenapa begitu?"
"Pokoknya nggak usah diangkat. Dan tolong banget, jangan kasih tahu apa pun soal aku, ataupun rumah ini ke Mama."
Nugie memandangku dengan ragu. "Tapi mamamu pasti khawatir, Ev. Gimanapun juga dia mama kamu, kan?"
Tawaku menyembur keluar. Geli. "Kamu bilang gitu karena nggak benar-benar kenal Mama."
"Aku rasa semua orangtua pasti peduli dan pengin tahu kondisi anaknya."
Aku nggak terkejut dengan kata-kata Nugie. Memang seharuanya seperti itu, dan seharusnya, semua orang berpikir demikian. Sayangnya, dalam kasusku, baik aku dan Mama memang nggak seperti kisah kebanyakan. Yang membuatku terkejut adalah, saat itu, Nugie bangkit dari kursinya dan pindah ke sampingku dan tangannya meraih tanganku yang berada di pangkuan.
Sebelum aku bisa mengendalikan diri, refleks kutepis tangan Nugie sembari berkata keras, "Lepasin!"
Nggak hanya itu, aku berdiri dan membentangkan jarak sejauh-jauhnya dari pria yang memasang ekspresi terkejut itu.
Tiga detik kemudian aku sadar bahwa sikapku aneh sekali. Ini Nugie. Bukan bajingan itu. Nugie hanya ingin menunjukkan dukungan. Nugie nggak berniat jahat. Kukatakan hal itu berulang-ulang dalam pikiran, tetapi tubuhku nggak bisa berhenti gemetar. Kuremas-remas tanganku yaang berkeringat dan dingin seperti es.
"Eva?" panggil Nugie pelan. Ekspresi terkejutnya digantikan oleh kebingungan.
Kutelan ludah berkali-kali, napasku memburu. Kupaksa diriku untuk tenang dengan menarik napas panjang.
"Ma--maaf .... Ak--aku kaget," kataku terbata-bata dan susah payah.
"Aku juga kaget, kenapa kamu ...."
Aku menggelengkan kepala cepat-cepat, memotong kata-kata Nugie. "Aku nggak tahu."
Nugie mengerjapkan mata sebentar, lalu kembali ke tempat duduk awalnya. Sepertinya pria itu paham.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Nugie. "Sori, aku nggak tahu kamu bakalan takut begitu. Aku akan diam di sini. Oke? Gimana? Aman?"
Aku mengangguk cepat, tetapi masih tetap berdiri mematung. Dengan matanya, Nugie mengarahkanku untuk kembali ke tempatku semula. Namun, aku masih belum cukup percaya diri untuk duduk kembali. Kepanikan masih membungkusku seperti kabut. Aku ingin kembali ke kamar dan sembunyi dalam selimut.
Beruntung di saat yang bersamaan, terdengar siulan ringan dari arah teras. Begitu saja Benny muncul sembari menyandang ransel di bahu kanan dan memutar-mutar kunci dengan telunjuknya. Langkah ringan Benny sontak berhenti begitu melewati pintu, saat menyadari keberadaan Nugie.
Senyum secara otomatis muncul di wajahnya. "Ada tamu," katanya basa-basi.
Saat Benny menjatuhkan pandangannya kepadaku--yang berdiri kaku menjauh dari sofa dengan tangan bertaut di depan perut--senyum di wajah Benny menghilang.
"Ev?" tanyanya dengan wajah serius. "Kenapa? Is everything ok?"
Secara ajaib, kepanikanku menurun drastis. Perlahan-lahan aku bisa merasakan suhu di tanganku meningkat, dan otot-ototku yang tegang mengendur. Aku mengangguk, lalu kembali duduk dengan di sofa sedikit awkward. Sementara Benny berjalan pelan menghampiri kami dan Nugie menatapnya dengan mata menyipit, berusaha mengingat.
"Yang waktu itu kan ...?" tanyanya ragu-ragu. "Atasannya Eva?"
Benny mengangguk. "Betul. Aria," katanya sembari menjabat tangan Nugie.
"Keponakan yang punya rumah," tambahku lirih.
Mereka berbincang sejenak. Basa-basi. Nggak lama kemudian, Benny bilang akan membiarkan kami mengobrol lagi. Kepadaku, dia bilang, "Ev, aku ke Bude, ya. Are you really OK?"
Aku mengangguk, dan segera setelah Benny menghilang ke dalam, keheningan kembali terjadi di ruang tamu.
Kuhela napas panjang-panjang. "Mas, aku bener-bener minta maaf soal tadi. Aku nggak tahu ... itu tadi refleks--"
Nugie mengangguk cepat. "Nggak apa-apa, aku paham. Kamu pasti trauma. Tapi apa kamu harus tinggal di sini, Va?" tanyanya cepat-cepat.
"Aku nggak mungkin balik ke rumah itu lagi."
Nugie mengangguk lagi. "Jelas. Tapi, kenapa nggak rumah papamu aja?"
"Aku ...." Kugigit bibirku sendiri. Aku memang nggak pernah membagikan kegelisahan ini dengan Nugie. "Aku nggak bisa di sana."
"Kenapa?" tanya Nugie cepat.
Malas berpikir keras untuk alasan yang kubenci, aku hanya menggeleng, alih-alih menjawab.
"Oke, kalau begitu, kenapa nggak cari kontrakan lain?" tanya Nugie lagi. "Aku bisa bantu kamu cari tempat tinggal baru. Di mana aja, selain di sini."
Kali ini mataku menyipit, sedikit heran. "Emangnya kenapa kalau di sini?"
"Di rumah bosmu?" Nugie mengangkat alisnya, seolah heran kenapa aku bertanya. "Di rumah laki-laki yang ... asing? Kamu juga belum lama kenal dia, kan?"
"Aku udah kenal dia dari masih di Jogja."
"Tapi ya tetap aja, kan?" Nugie terlihat gusar. "Apa pantas tinggal di rumah laki-laki lain yang bukan siapa-siapa kamu?"
"Dia nggak tinggal di sini, kok," jawabku, mulai lelah. "Dia tinggal di apartemen sendiri. Itu dia cuma mampir, dan di sini cuma aku sama Bude Mara."
"Tapi apa kamu baik-baik aja?" tanya Nugie lagi. Aku memandangnya dengan sedikit bingung. "Maksudku, respons kamu tadi pas aku deketin ... apa nggak apa-apa kalau ada dia?"
"Aku nggak apa-apa," jawabku.
Aku ingin bilang bahwa Benny-lah yang menyelamatkanku dari bajingan itu. Bahwa Benny-lah yang membawaku ke sini dan memberiku tempat aman dan juga Bude Mara. Namun, bibirku malah terkatup rapat, sementara gejolak ingin masuk ke kamar semakin membuncah. Pertanyaan-pertanyaan Nugie mulai terasa seperti interogasi dan aku membencinya.
Barangkali merasa aku kurang nyaman, Nugie nggak lagi bertanya. Dia bertanya apakah ada sesuatu yang bisa dia lakukan untukku, dan memintaku menghubunginya jika butuh apa pun, sebelum pamit pulang.
Selepas Nugie pergi, aku tetap duduk di sofa dan memandang ke pintu rumah yang masih terbuka. Pertanyaan Nugie menggelitik benak. Apakah aku baik-baik saja dengan keberadaan Benny di sekitarku? Aku berkata jujur ketika menjawab aku baik-baik saja. Yang lebih aneh, aku bahkan merasa lebih aman dan nyaman bersama Benny daripada bersama Nugie. Bagaimana bisa?
***
Alohaaaaaaa~
Semoga kalian masih ingat jalan ceritanya yaa 🤣
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro