One Shot
Yang Akan Pergi © Yue. Aoi
Genre : Friendship
Disclaimer : Genshin Impact belongs to Mihoyo
.
.
Raut wajah bard berpakaian serba hijau itu menampilkan keterkejutan untuk sesaat ketika mendengar berita mengenai apa yang terjadi pada archon di negara tetangga, Liyue. Rasanya sulit untuk percaya bahwa si kepala batu --begitu julukannya untuk sang arch, maksudnya mantan Geo Archon, memutuskan untuk menyerahkan gnosisnya, lalu hidup sebagai Zhongli.
Dirinya dan lelaki itu merupakan The Seven formasi awal yang masih hidup, sedangkan yang lainnya telah berpulang. Sudah lama sejak dirinya memutuskan membebaskan rakyatnya untuk hidup sesuai keinginan mereka, namun tidak dengan Morax. Setiap tahun, lelaki itu muncul di hadapan rakyatnya dalam wujud Rex Lapis, lalu memberi petunjuk pada mereka. Lelaki itu bahkan hafal tanggal setiap kapal berlabuh maupun meninggalkan pelabuhan Liyue.
Selama ribuan tahun pelabuhan Liyue terus berubah hingga menjadi kota yang makmur dengan campur tangan Morax. Kini Barbatos --yang memilih hidup sebagai Venti-- benar-benar tak habis pikir karena lelaki itu tiba-tiba melepaskan posisinya sebagai archon, meski dia tahu bahwa tak patut jika ia bertanya.
Dengan sebotol dandelion wine yang dimintanya --lebih tepatnya setengah memohon sambil merayu-- pada pemilik Angel's Share sebagai upah tampil di tavern semalam, ia memutuskan mengunjungi Morax. Sudah lama ia tak mengunjungi lelaki itu, lagipula ia perlu memastikannya dengan mata kepala sendiri soal berita yang didengarnya.
Melalui telepati, ia mengetahui keberadaan Morax, yang kini telah menjadi Zhongli. Lelaki itu tak berusaha menyembunyikan keberadaannya. Ia bisa melihat keberadaan lelaki itu di sebuah tempat yang bahkan membuatnya terkejut.
Bagaimana tidak? Lelaki itu kini tengah berdiri di tengah kerumunan, menghadap seorang perempuan muda berkulit gelap yang menekan-nekan senar yang terpasang di benda yang panjangnya lebih dari setengah tubuh perempuan itu. Yang lebih mengherankan, tak jauh dari tempat perempuan itu konser, terdapat tulisan 'Wangsheng Funeral Parlor'.
Barbatos tak bisa percaya dengan apa yang dilihatnya. Tanpa berpikir dua kali, ia segera berteleportasi ke tempat itu dan menyembunyikan dirinya sendiri. Terdengar suara keras serta dentuman musik serta perempuan yang terlihat begitu bersemangat. Bahkan terdapat api yang menyala-nyala di sekitar panggung, barangkali berasal dari pyro vision yang dimiliki perempuan itu.
Ini benar-benar di luar dugaannya. Funeral parlor, bukankah tempat di mana jenazah disemayamkan untuk sementara sebelum dikremasi atau dikubur? Bagaimana bisa ada musik semacam ini? Dia pikir, lelaki keras kepala yang begitu ketat itu akan datang untuk membubarkan konser itu karena bertentangan dengan konsep rumah duka yang seharusnya. Namun lelaki itu malah berada di kerumunan, ikut menghentakkan kaki dan sesekali menggoyangkan kepala.
Barbatos merasa hal ini benar-benar menarik. Ia yakin lelaki itu pasti memiliki alasan tersendiri mengapa menikmati musik semacam ini dan membiarkan perempuan itu konser di rumah duka. Bagaikan batu besar yang perlahan akan terkikis jika terkena air terus menerus, ia menduga bahwa hal yang sama dialami oleh rekannya.
Meski demikian, jika Barbatos diminta mengurus pemakaman bagi siapapun, tentu saja ia tidak akan mengundang musisi seperti ini. Selama lebih dari dua ribu tahun, dunia tak melulu statis. Ia telah kehilangan begitu banyak kenalan yang telah meninggalkan dunia ini. Jika ia diharuskan mengadakan upacara pemakaman, tentu saja ia akan mengadakan upacara dengan lagu-lagu bernuansa requiem, bukan yang berapi-api begini.
Morax menoleh ke arahnya sekilas. Lelaki itu menunjukkan gesture bahwa ia sudah mengetahui keberadaan Barbatos, namun tak kunjung beranjak dari tempatnya berada. Ini benar-benar aneh, apakah musisi itu memiliki sejenis ilmu yang bahkan bisa menjerat sosok macam Morax untuk mengabaikan kekakuannya sejenak?
Morax mengirimkan telepati pada Barbatos, meminta lelaki itu menemuinya di luar pelabuhan Liyue yang tak begitu ramai. Lantas Venti memutuskan pergi terlebih dahulu menuju tempat yang disebutkan Morax, tempat di mana ia bisa menyaksikan kota dengan lampu-lampu berkilauan di malam hari tanpa harus mendekat.
Barbatos lantas teringat suatu hal, mengenai seorang lelaki pemiliki anemo vision yang terlihat hampir menggila untuk pertama sekaligus terakhir kali ia bersua. Ia menatap botol alkohol di tangannya, berniat meminumnya kalau saja tidak teringat bahwa ia masih harus menunggu Morax.
Rasa jenuh lantas membuatnya mengeluarkan lyre, lalu mulai memainkan melodi untuk menenangkan lelaki itu di manapun ia berada. Ia bersimpati pada lelaki yang masih terjebak dalam keabadian dan menanggung beban karma yang mengoyakkannya. Morax tak bisa melakukan apapun untuk memusnahkan penderitaan lelaki itu, begitupun dengannya. Satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah memainkan musik kalau ia berkunjung ke Liyue.
"Maaf membuatmu menunggu. Konsernya baru selesai," ujar Morax yang kini muncul di hadapan Venti.
Venti menghentikan permainannya, lantas pupil keemasan--ciri yang dipertahankan Morax dalam setiap perubahan wujudnya-- rekannya. Ia kemudian berucap, "Sepertinya, yaksha itu membaik dibanding kali terakhir aku memainkan musik untuknya."
"Karena orang itu. Kau pasti paham maksudku," jawab Morax seraya menatap sebotol wine yang masih berada di tangan Venti.
Menyadari arah tatapan Morax, Venti baru teringat bahwa ia masih memegang botol wine. Ia lalu mengeluarkan dua buah gelas yang dibawanya jauh-jauh dari Mondstadt. Ia mengisi gelas-gelas itu, lantas mengajak sang rekan bersulang.
Morax menatap gelas sederhana murahan yang berbeda dengan gelas yang biasa ia gunakan, yang merupakan tembikar kualitas terbaik. Ia hendak protes, namun aroma dandelion wine terlalu menggoda. Sudah lama ia tak menikmati alkohol itu, yang mengingatkannya akan perjumpaan pertama dengan Venti, lalu para archon The Seven lainnya yang kerap bersua dengannya di Liyue.
Kedua gelas murahan bersentuhan sesaat sebelum menyentuh bibir kedua kawan lama itu. Cairan memabukkan itu mengingatkan Morax akan masa lalu, rasa yang ia rindukan --walau ia emoh mengakuinya.
"Bukankah dunia ini dinamis?" Morax membuka percakapan usai menyesap seteguk dandelion wine.
Venti menganggukan kepala. Ia menyadari bahwa Morax pasti sudah menyadari hal ini berabad-abad lalu, namun ia terkejut mendengar pengakuan dari mulut lelaki itu sendiri.
"Tentu saja. Dunia terus berubah, mana ada yang tetap sama?" sahut Venti.
"Bahkan batu paling besar sekalipun perlahan akan terkikis seiring waktu berjalan," ujar Morax seraya menatap pelabuhan Liyue di kejauhan. Dulunya, pelabuhan Liyue bahkan belum ada. Berdirinya kota ini merupakan pertanda bahwa perang archon telah berakhir, sekaligus pengingat bahwa banyak hal yang telah hilang darinya, termasuk dewinya.
"Rasanya sulit percaya bahwa kau akhirnya memutuskan pensiun dan menikmati musik keras macam tadi di rumah duka. Tahun lalu, aku bahkan tak mengira hal ini akan terjadi," ujar Venti, setengah bergurau.
Morax meneguk cairan di gelas pinjamannya. Bahkan dirinya yang telah hidup lebih dari lima ribu tahun juga telah berubah. Sudut pandangnya dalam hal tertentu kini telah berubah dibanding kali pertama ia turun ke dunia ini.
Musik rock n' roll, aliran musik yang baru-baru ini berkembang di Liyue. Siapa yang mengira bahwa dirinya sungguhan menikmati musik semacam itu hingga menggeser tradisi dan mengundang sang musisi tampil di rumah duka? Ia bahkan masih mengingat raut wajah keheranan perempuan muda itu ketika pertama kali datang.
Mulanya, Morax berpikir kalau ia ingin memberikan kesempatan bagi perkembangan peradaban manusia melalui undangan bagi sang musisi untuk tampil di tempat kerjanya. Namun ia malah menikmati musik yang bahkan dianggap aneh bagi sebagian penduduk Liyue tersebut.
"Seekor burung yang terus diikat sayapnya selamanya tidak akan mampu mengepakkan sayapnya. Kalau suatu saat nanti tali pengikatnya putus, bisa-bisa burung itu akan ikut jatuh ke tanah," sahut Morax.
Barbatos menatap lelaki itu. Tatapan lelaki itu masih menyiratkan kepeduliannya terhadap kota yang dibangunnya sendiri selama ribuan tahun. Kali ini, lelaki itu menunjukkan kepeduliannya dengan cara yang tak lagi sama.
"Agar burung-burung bisa terbang di angkasa, mereka harus bebas," ujar Barbatos .
Tatapan Morax sedikit menerawang. Ia merasa senang menyadari bahwa lampu-lampu di pelabuhan Liyue masih bersinar tanpa keberadaan sang Geo Archon. Bagaikan seekor burung, pelabuhan Liyue telah berhasil mengepakkan sayap melintasi angkasa dengan bebas.
"Seekor burung perlu dibimbing agar mampu mengepakkan sayapnya sendiri. Tentu, durasi bimbingan bukan selamanya," ucap Morax sebelum menghabiskan isi gelasnya.
Barbatos mengisi gelas sang rekan sebelum memenuhi gelasnya sendiri. Sesungguhnya, satu botol sama sekali tidak cukup. Apa daya, ia hanya punya sebotol.
"Apa kau menikmati kehidupanmu, Zhongli?"
Barbatos dengan sengaja menyebut nama baru Morax. Entah kenapa, ia ingin melakukannya.
Morax terdiam. Apa dia menikmati kehidupannya yang kebetulan jauh lebih panjang bahkan dibandingkan para archon lainnya? Dalam dunia yang dinamis, segala mahluk hidup yang berada di sekitarnya datang dan pergi. Berapa kali dia kehilangan? Dia bahkan tidak berniat menghitungnya secara pasti, karena menyakitkan.
Dalam ribuan tahun hidupnya, apa saja yang sudah ia lakukan? Apa yang masih tersisa dan telah musnah? Guili Plains sudah musnah, Khaenri'ah, negeri tanpa archon yang termahsyur itu, juga sudah musnah di tangannya.
"Bagaimana denganmu?"
Barbatos menyadari bahwa Morax membalik pertanyaan dengan sengaja. Ia menyahut, "Aku menikmati apa yang bisa dinikmati, termasuk sebotol dandelion wine ini."
Morax masih tergugu. Bibirnya terkatup, ia bahkan tak yakin dengan jawaban atas Pertanyaan sederhana itu. Lantas ia berucap, "Hidupku lebih tenang akhir-akhir ini."
Tanpa telepati, tanpa berucap, Venti tahu bahwa lelaki itu lebih bahagia saat ini. Kalau tidak, mana mungkin lelaki itu melepaskan hubungannya dengan Celestia melalui Gnosis? Lelaki itu sudah terbebas dari beban mengikuti segala perintah Celestia, meski mungkin bertentangan dengan prinsip dan nurani pribadi.
Sejujurnya, Barbatos pun sama. Ketika perempuan fatui harbinger itu mencuri gnosisnya, ia terkejut. Namun di sisi lain, ia yang telah terbebas dari belengu Celestia malah merasa lebih bahagia dan lebih bebas. Maka ia tak memberontak, sebaliknya malah berterimakasih pada Tsaritsa, si archon Cryo baru.
"Menurutmu ...," jeda sejenak sebelum Morax melanjutkan ucapannya dan mengembuskan napas, "Apa tugas kita sudah selesai?"
Barbatos tersenyum seraya berucap, "Pertanyaan semacam ini hanya kau sendiri yang bisa menjawabnya. Kalau kau bertanya padaku, kupikir aku sudah memberikan kebebasan yang mereka inginkan. Kalau aku masih mengatur mereka, namanya bukan kebebasan, dong?"
Morax tak menyahut. Pertanyaan ini ... hanya ia yang mampu menjawabnya. Meski ia telah menyelesaikan kontrak yang mengakhiri segala kontrak, para Qixing mampu bekerja sama dengan adeptus ketika dibutuhkan dan menjalankan pemerintahan tanpa dirinya. Dia melatih seekor burung terbang selama ribuan tahun dan burung itu telah berhasil mengepakkan sayapnya menembus angkasa, bukankah tugasnya sudah selesai?
Isi botol dandelion wine hanya tersisa seperempat dan ia mengisi setengahnya ke gelasnya sendiri, lalu setengah sisanya ke gelas Barbatos . Rasa dan aroma dandelion wine kebanggan Mondstadt yang selalu dibawakan Barbatos masih tetap sama dibandingkan dua ribu tahun lalu. Yang berbeda, hanya soal siapa yang menikmati cairan memabukkan dan sedikit manis itu bersamanya.
Dia tak mampu menghindari takdirnya sebagai mahluk fana, begitupun dengan sang rekan. Suatu saat nanti, entah siapa yang lebih dulu, baik dirinya maupun Barbatos akan pergi, lalu menghilang. Tidak bereinkarnasi, tidak pula mengembara sebagai jiwa tanpa raga.
Meski demikian, mengetahui bahwa tugasnya telah usai sebelum ia pergi membuatnya merasa lega. Dengan demikian, ia bisa pergi tanpa kekhawatiran. Hal-hal yang sebelumnya terabaikan olehnya karena kurang relevan dengan pekerjaannya kini tampak lebih jelas. Entah sejak kapan ia menyadari bahwa kucing-kucing di pelabuhan Liyue maupun anjing yang menggoyangkan ekornya ketika ia melintas terlihat begitu menggemaskan.
Satu hal yang dia pahami lebih dari siapapun, waktu yang telah usai tak akan kembali. Siapapun yang telah pergi juga tak akan kembali.
Maka ia menenggak habis alkohol di gelasnya sendiri. Tatapannya tertuju pada Venti, lalu berkata, "Lain kali, datanglah berkunjung lagi. Aku ingin minum dandelion wine kebanggaanmu."
Barbatos terdiam, hampir tersedak cairan alkohol kalau saja ia tidak buru-buru meneguknya. Ribuan tahun mereka mengenal, namun baru kali ini hal semacam itu diutarakan Morax padanya.
"O-oh. Tentu saja. Kalau kau mau berkunjung ke tempatku juga boleh. Kau tahu, Angel Share punya banyak minuman enak di sana. Ada musik juga, mungkin agak berbeda dengan musik di tempatmu. Kau juga bisa menonton pertunjukanku di sana kadang-kadang," ujar Venti panjang lebar.
Morac memperlihatkan seulas senyum simpul. Tak hanya dirinya, Barbatos pun sudah berubah. Kini lelaki itu juga memiliki pekerjaan layaknya manusia fana, tidak sekedar mengembara dan menikmati hari tanpa tujuan.
"Kau ... bekerja, hm?" tanya Morax dengan rasa penasaran yang memenuhi benaknya.
"Tentu saja. Dulu aku minum di tempat lelaki berambut merah itu dan tidak bisa bayar. Lalu dia menawarkanku pekerjaan dengan upah minuman. Ya kuterima saja. Lumayan, minum gratis," jelas Barbatos panjang lebar.
Morax mendengkus. Sejak dulu, ia merasa Barbatos adalah sosok yang begitu seenaknya. Keberadaan lelaki itu sebagai salah satu Archon yang bertahan paling lama sungguh di luar dugaan.
Bagi Morax, Barbatos adalah archon yang menyedihkan. Lelaki itu adalah pecandu alkohol. Bahkan suatu ketika, entah berapa abad yang lalu, Barbatos pernah mabuk dan menuangkan wine ke atas kepalanya.
"Ck ... Bagaimana bisa kau bekerja demi alkohol?" sahut Morax seraya berdecak dengan wajah masam. Barbatos masih tak berubah dibanding pertama kali mereka bersua.
"Bukankah wajar kalau archon sekalipun memiliki apa yang disukai? Aku suka alkohol, dan kau ... musik apa itu? Yang di tempat kerjamu tadi?" tanya Barbatos seraya mengangkat gelasnya, berniat menghabiskan alkohol yang tersisa di gelasnya.
"Musik rock," ujar Morax.
Barbatos segera menjawab, "Nah! Aku tidak pernah menduga kau akan menyukai musik semacam itu. Maksudku, ini mengejutkan, lho. Musik semacam itu sepertinya belum ada saat kali terakhir aku berkunjung ke tempatmu."
Morax terpaksa membuka mulutnya dan membuat pengakuan. Sebetulnya ia juga tidak menyangka akan menyukai musik semacam itu. Semula, ia hanya penasaran karena mendengar kabar kalau perempuan berkulit gelap itu membawakan musik aliran baru bernama rock dan terdapat gambar api di posternya. Memangnya musik macam apa yang konsernya sampai membuat milleith resah?
"Aku melihat poster iklannya. Kupikir itu semacam musik jenis baru dengan api dan batu, lalu aku mengundang musisinya tampil di tempat kerjaku. Begitu mendengar musiknya, aku ingin menyuruhnya berhenti kalau bukan karena kontrak mengenai durasi tampil. Akhirnya aku sampai harus berurusan dengan milleith," jelas Morax seraya memperlihatkan wajah masam yang tak mampu disembunyikan.
Barbatos tak tahan untuk tidak tertawa. Ribuan tahun telah usai. Morax yang dikenalnya saat ini juga sudah berbeda ketimbang Morax yang ditemuinya satu millenium yang lalu.
"Kau juga sudah berubah, Morax," ucap Barbatos seraya tersenyum ketika tawanya tak lagi berderai.
Morax mengangguk tanpa ragu. Ia tak memiliki alasan untuk menyembunyikan hal ini. Namun salah satu alasan ia merelakan gnosisnya, juga karena perubahan pada dirinya. Sebagai archon, ia pun tak terkecual dari korosi.
"Aku pun tak terkecuali dari perubahan," sahut Morax dengan raut wajah serius, begitupun intonasi suaranya.
"Tentu. Karena itu, kurasa kita perlu lebih menghargai saat ini, menikmati segala hal yang masih ada dan bersiap menyongsong apapun di depan," ucap Barbatos. Sebenarnya ia masih ingin menikmati alkohol, namun ia sudah tak memiliki persediaan lagi.
Morax tak langsung bereaksi. Pupil sewarna Cor Lapis miliknya berpendar sekeliling, menatap lampu-lampu kota yang padam satu per satu. Kursi-kursi kayu tempat pengunjung duduk seraya menikmati makanan dan opera telah berada di atas meja. Satu per satu penghuni kota Liyue mulai kembali ke peraduan mereka, meninggalkan jalanan yang kian sepi.
Ucapan Barbatos sungguh tepat. Selama enam milenium hidupnya, begitu banyak mahluk yang datang dan pergi dalam hidup Morax. Bahkan beberapa archon maupun yaksha yang dulu dikenalnya, kini telah mangkat. Berapa banyak kenalan di masa lalu yang masih tersisa? Kalau ia harus menghitung, sepertinya sepuluh jarinya masih cukup.
Terkadang, ia sedikit penasaran. Di antara dirinya dan Barbatos, siapa yang akan mangkat terlebih dulu? Apakah ia lagi-lagi akan ditinggalkan? Atau sebaliknya, meninggalkan sungguhan pada akhirnya?
Apapun yang terjadi, Morax tetap harus mempersiapkan dirinya jika hari itu tiba. Bahkan ia pun tak mampu sepenuhnya memprediksi apa yang akan terjadi padanya maupun penduduk Liyue. Bagaimanapun juga, ia masihlah seorang dewa. Selemah apapun, pasti berdampak pada lingkungan sekitarnya secara fisik.
"Kau dan aku ...," jeda sesaat sebelum Morax melanjutkan ucapannya, "kita juga perlu bersiap."
Atmosfer seolah berubah sesaat. Morax melemparkannya pada realita yang sesungguhnya tak pernah terlupakan sama sekali. Mereka berdua cukup memahami satu sama lain, ia paham apa yang dimaksud dengan bersiap.
Seulas senyum terukir di wajah Barbatos. Bukan senyum bahagia, melainkan ironi berbalut kebahagiaan semu. Andai Morax pergi, dirinya akan kehilangan anggota The Seven formasi awal terakhir yang juga berbagi kenangan bersamanya, pun sebaliknya. Bahkan dewa pun tak luput dari duka akibat perpisahan.
"Kalau badai angin sampai ke tempatmu, jangan lupa persiapkan tiga botol osmanthus wine, ya? Jangan pelit, dong," ucap Barbatos seraya tersenyum.
Morax menahan diri untuk tidak bertanya. Sebetulnya ia penasaran, mengapa harus tiga botol? Mengapa tidak lima, atau bahkan lima puluh sekalian? Namun kali ini ia memutuskan membiarkan hal itu luput. Bila itu metode yang disyaratkan untuk mengenangnya, maka Morax tak akan mempertanyakan hal itu.
"Aku pun ingin mengajukan syarat agar kontrak ini setara untuk kita berdua," sahut Morax.
Barbatos mendesah. Bagaimanapun juga, Morax masih terbawa kebiasaannya sebagai dewa kontrak.
"Apa syaratmu?" tanya Barbatos seraya menatap dengan cemas.
"Kalau hujan batu sampai ke tempatmu, persiapkan dua botol dandelion wine. Satu untuk kau tuangkan ke kepalamu, satu lagi untuk diminum dalam rangka mengenangku," sahut Morax seraya mengakhiri ucapannya dengan raut wajah serius.
Pupil emasnya berpendar, memancarkan kilauan yang menyiratkan maksud jahil pemiliknya. Barbatos tergugu sesaat, tidak mengira si kepala batu itu tak lagi sekaku dulu. Apa keberadaan si petualang dari dunia lain serta mahluk misterius yang menyertainya telah mempengaruhi Morax?
Barbatos segera mengajukan protes. "Apa alasanmu mengajukan syarat semacam itu? Bukankah kontrak harus adil? Kalau begitu kau harus menuangkan ke kepalamu juga."
"Adil itu relatif. Sepakat, atau tidak sama sekali?" balas Morax.
"Baik, baik. Aku sepakat. Tidak perlu perjanjian tertulis antar sesama teman, kan?" sahut Barbatos dengan pasrah.
Morax mengangguk, lalu menyahut, "Tentu. Kalau begitu kita sepakat."
Sesungguhnya, Morax lebih berharap jika terjadi hujan batu di Mondstadt saja. Dengan begitu, barangkali ia bisa menyaksikan Venti menuangkan alkohol pada dirinya sendiri, mungkin sambil mengoceh karena menyia-nyiakan alkohol yang berharga. Alasan lainnya, meski seharusnya hatinya sudah kebal, namun ia tak ingin merasakan rasa sakit yang pasti akan menyeruak di hatinya jika Barbatos mangkat terlebih dulu.
Namun jika ia sungguh bisa memilih, ia ingin mangkat begitu saja tanpa menyebabkan fenomena apapun layaknya manusia fana. Dengan begitu, ia tak akan menyebabkan bencana bagi siapapun.
Tampaknya hal itu mustahil. Tak ada yang bisa ia lakukan mengenai hal ini. Yang bisa ia lakukan hanyalah menikmati segala hal yang masih bisa dinikmati, menyiapkan tiga botol osmanthus wine, lalu menyiapkan hatinya jika Barbatos meninggalkannya terlebih dulu.
-Tamat-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro