Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9. Sepenggal Episode Masa Lalu


Bismillahirrahmanirrahiim....

Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama, tokoh, karakter, tempat dan kejadian merupakan sebuah kebetulan semata dan tanpa ada unsur kesengajaan.

Enjoy the story!

••••••

Khansa's pov

Aku pernah mendengar cerita tentang Asy Syahid Sayyid Quthb. Sang penulis tafsir fii zilalil qur'an ketika dipenjara 15 tahun dan kemudian wafat dieksekusi di tiang gantung.

Cerita cintanya, yang kemudian menyadarkan diriku sebagai seorang perempuan bahwa selain menjaga diri, penting juga untuk menjaga hati. Seperti yang diceritakan beberapa sumber tentang Sayyid Quthb yang memilih untuk tidak menikahi wanita yang dicintainya karena wanita itu sudah tidak lagi perawan hatinya.

Sejak dulu aku bertanya-tanya. Bagaimana hati yang perawan itu?

Katanya, sebuah hati yang belum pernah tersentuh oleh seseorang yang kemudian mencuri hati itu dan menciptakan angan untuk menyatu.

Sebuah hati yang tidak terjamah oleh seseorang yang kemudian menetap dan enggan beranjak dari sana, meski tanpa kepastian berjodohkah atau tidak.

Aku tumbuh mendewasa dengan menjaga hati seperti itu.

Ah... Aku jadi ingat saat adikku Khaula diperingatkan soal 'perawan hati' ketika ia mulai gemar memandangi wajah-wajah tampan idola dari Negeri Ginseng sana. Dengan polosnya ia menjawab, "Yaudah, nanti berdoa biar sekalian Allah jodohin aku sama Sehun. Karena hatiku udah terlanjur cinta sama Sehun"
Dan jawabannya itu berakhir dengan getukan di kepalanya dariku, dan dari Kahfi yang paling keras hingga membuat Khaula memekik kencang.

Persis seperti aku di masa lalu, ketika selalu terlantun pinta pada Allah, jika suatu hari aku jatuh hati. Aku hanya ingin hatiku jatuh pada seseorang yang benar-benar akan mendampingiku sampai akhir usia, membimbingku hingga ke surga.

Maka ketika banyak dari lelaki yang mulai mencoba peruntungan untuk mengambil hatiku, tak satupun dari mereka yang berhasil. Sebab, hatiku terkunci rapat dan takkan ada yang bisa membukanya.

Aku bercanda. Kedengarannya seperti aku terlalu besar kepala, bukan?

Meski tidak sepenuhnya salah, karena memang begitu adanya. Tapi bisa aku katakan kalau keberhasilanku menjaga hati saat itu bukan disebabkan karena hatiku yang teramat tangguh, tapi karena persoalan waktu.

Nyatanya, aku tidak cukup cerdas memanajemen hati.

Hingga saat ini. Saat aku pergi mengasingkan diri. Segalanya diawali karena persoalan hati.

Ketika di masa lalu, pertahananku runtuh oleh seorang asing yang lantas menjelma saling.

Namanya Farhan. Pemuda keturunan Jawa yang memang datang dari sebuah daerah di Jawa. Datang bersama adikku yang diperkenalkan sebagai kakak kelasnya yang akan menjalankan tugas pengabdian di pesantren kami untuk mengajar selama satu tahun sebagai amanah yang harus ditunaikan sebelum menerima ijazah kelulusan dari pondoknya.

Tidak ada yang spesial dari pemuda itu. Bahkan pertama kali melihatnya sekilas, sama sekali tidak ada percikan yang terasa dalam hati.

Bahkan ketika liburan panjang dan Kahfi pulang ke kampung halaman, ia beberapa kali mengajak Farhan menginap di rumah kami, berinteraksi bersama keluarga kami. Tak juga aku merasa ada yang aneh, sampai Kahfi dengan wajah seriusnya menyampaikan pesan dari seniornya itu.

"Kak, ada salam nih."

"Halah, basi." jawabku cepat.

"Huuu. Yang banyak fans mah, sombooong" kurespon dia dengan kekehan.

"Ini salamnya spesial, Kak. Dari..."

"Pake telor?" selaku sambil tertawa.

Memang seperti itu aku jika dengan Kahfi. Apapun dijadikan bahan tertawaan. Tapi, entah kenapa Kahfi tidak ikut tertawa kali ini.

"Dengerin dulu!" suaranya sedikit meninggi. Tapi masih hanya bisa didengar oleh kami berdua karena memang kami sedang di kamarku.

"Oke. Apa?" kupilih untuk mendengarkan dia terlebih dahulu. Toh, pastinya akan sama seperti kemarin-kemarin, dia yang selalu menyampaikan salam dari teman-temannya untukku. Seperti aku yang juga akan menggodanya ketika salah seorang santri putri tertangkap basah menyimpan fotonya.
Tanpa niat apa-apa, hanya untuk bercanda saja.
Menertawai virus merah jambu yang mulai menjangkiti para remaja, tapi kami tidak. Entah kenapa.

"Kak Farhan. Titip salam. Katanya, sebentar lagi dia pulang. Sebelum telat, Kak Farhan mau bilang kalau dia suka kakak."

Meski tersentak, sebisa mungkin aku mengontrol perasaan dan berusaha mencari jejak gurauan di wajah Kahfi. Nihil.
Tidak ada tanda-tanda bercanda di sana. Bahkan ini pertama kalinya kulihat Kahfi seserius itu diluar perkara belajar atau menghapal alquran.

"Terus kenapa? Suka, suka aja. Gak usah bilang juga..." jawabku acuh.

"Bukan gitu. Kata Kak Farhan, dia ngerasa kakak juga sama."

"Dih, kocak! Ngarang. Ge er!" kali ini aku benar-benar tertawa. Tapi Kahfi malah menepuk mulutku.

"Belum selesai!" omelnya. Aku bahkan kaget karena tiba-tiba dia menjadi segalak itu.

"Katanya. Kalau kakak emang juga suka, tungguin Kak Farhan 5 atau 6 tahun lagi. Setelah dia ke Madinah. Mau?"

Kesepakatan macam apa ini?

Astaghfirullahaladzim...

"Istighfar, Fi. Bilang tuh sama temen kamu. Istighfar! Karena hatinya sekarang ini pasti gak bersih. Hatinya lagi dipenuhi nafsu."

"Kakak marah? Kakak gak suka?"

"Gak sih. Tapi, dengan cara dia yang gak sehat begini bikin kakak yakin kalau dia gak sebaik itu untuk kakak tunggu 5 atau 6 tahun lagi. Bye!"

Begitulah, sampai akhirnya Farhan benar-benar pergi dari sekitar kami. Tak pernah lagi terdengar namanya, hanya jejaknya yang tertinggal di setiap sudut pesantren kami yang entah mengapa semakin jelas dan semakin nyata membayangi pelupuk mataku.

Apa ini?

Apakah dia meninggalkan sesuatu disini?

Ataukah ia pergi dengan membawa sesuatu dari sini?

Saat itu kusadari, hatiku diam-diam telah beranjak. Separuh jiwaku pergi tanpa permisi, bersamanya yang menukar hatinya dengan hatiku.

Aku terjerat.
Dalam jurang cinta nafsu.
Dengan bumbu pemanis dari sang pembuat skenario sesat, aku menikmati bunga-bunga yang bersemi indah semakin hari. Dan tanpa keraguan ataupun ketakutan, sebab seperti doaku disetiap luruhku bersimpuh... Bahwa hatiku takkan kubagi pada seseorang yang tak akan menjadi imamku.

Aku mempercayai, bahwa dia memang adalah orangnya. Jawaban dari doaku. Orang yang tepat yang juga akan mematahkan tradisi pernikahan dengan sesama keluarga. Aku ingin menikah dengan orang asing yang tidak ada hubungan keluarga.

Aku membuka hatiku selebar-lebarnya. Menjatuhkan diriku padanya sejatuh-jatuhnya. Dengan mengharapkan pernikahan pada akhirnya, aku tetap mengindahkan hubungan haram kami itu sebagai cinta suci atas nama Ilahi.

Dimulai dengan saling bertukar kabar, semakin mengenal hingga aktifitas saling membangunkan saat tahajud kami lakukan melalui pesan singkat yang dahulu dengan tegas kukatakan sesat. Aku bahkan memerangi para santri yang ketahuan menjalin hubungan diam-diam dengan santri putra melalui surat.

Lalu apa yang kulakukan sekarang? Tidak lebih baik dari mereka, namun seolah terasa sah-sah saja. Terlebih karena tak seorangpun yang mengingatkan.

Kemudian aku mulai memaklumi, bahwa ia tidak berhasil lulus menjadi mahasiswa di Universitas Islam Madinah. Dan kemudian merasa cukup hanya dengan dirinya yang mendaftar ke perguruan tinggi negeri di daerahnya. Impianku sejak awal mulai tergeser, dan aku merasa tidak apa-apa.

Lalu ketika kabar perjodohanku mulai terdengar. Duniaku seolah runtuh.
Harapan tentang Madinah dengan hiasan senyuman Farhan disana memudar layaknya sebuah lukisan yang tertetesi air hujan.
Pudar, perlahan hilang, lalu hancur melebur bersama genangan.

Meski sekuat tenaga menolak pernikahan, dayaku tak cukup untuk menggagalkan rencana yang telah disusun sedemikian rupa. Juga kesadaranku yang masih di batas normal. Aku serahkan saja segalanya pada Allah.

Dengan berbekal doa,

Allahummaj'al kulla qadha-in qadhaytahu lii khair...

Ya Allah, jadikanlah setiap keputusan yang Engkau putuskan kepadaku sebagai keputusan terbaik.

Aku berusaha yakin, bahwa apapun yang terjadi di masa depan, itu yang terbaik untukku menurut Allah.

Pada awalnya bayang-bayang Farhan benar-benar hilang, bahkan kabar tentang dirinya pun aku tak tahu sekarang. Aku memutuskan kontak tanpa sepatah kata. Meski aku tahu, dia pasti sudah tahu kabar pernikahanku dari Kahfi. Sudahlah.
Aku dan dirinya berakhir sampai disini.

Kemudian aku sempurna menikmati indahnya pernikahan dengan sosok yang kuindahkan sendiri.
Namun tidak bertahan lama. Ketika aku mendapati kenyataan yang berbeda dari yang kupikirkan.
Ketika jauh dari keluarga di tempat asing yang menakutkan. Stress berkepanjangan, mengantarku pada gerbang kenangan masa lalu yang mana disana kutemukan koin-koin bahagia yang tercecer dalam serpihan luka.

Kembali kutemukam tanpa sengaja akun sosial media milik Farhan.
Lalu ketika aku menelusurinya, kutemukan beberapa curahan hati yang sepertinya ditulis dengan perasaan remuk.

Aku cocokkan waktunya dengan tanggal kandasnya hubungan kami.

Air mataku mengalir tidak terbendung mendapati dirinya ternyata sama kacaunya dengan diriku.

Lalu terbersit kenangan di awal-awal hubungan kami dulu. Ketika kami saling bertukar syair-syair penggugah jiwa.

Dan syair Sayyid Quthb masih menjadi favoritku.

Ya Allah, jika aku jatuh cinta,
cintakanlah aku pada seseorang yang melabuhkan cintanya pada-Mu,
agar bertambah kekuatan ku untuk mencintai-Mu.
Ya Muhaimin, jika aku jatuh cinta,
jagalah cintaku padanya agar tidak melebihi cintaku pada-Mu

Ya Allah, jika aku jatuh hati,
izinkanlah aku menyentuh hati seseorang yang hatinya tertaut pada-Mu, agar tidak terjatuh aku dalam jurang cinta semu.

Ya Rabbana, jika aku jatuh hati,
jagalah hatiku padanya agar tidak berpaling pada hati-Mu.

Ia menuliskan itu pada salah satu statusnya.

"Ya Allah, jika dia benar untukku. Dekatkanlah hatinya dengan hatiku. Jika dia bukan milikku, damaikanlah hatiku dengan ketentuan-Mu"
Syair penggalan lagu ini yang pernah kukirimkan untuknya pun berada di status lainnya.

Semakin banyak yang kubaca, semakin memaksaku untuk mengenang kisah masa lalu dan semakin membuatku merasa terpuruk karena membandingkan bahagianya aku dahulu dengan keadaanku yang sekarang sangat menyedihkan.

Perlahan, harapan untuk bersamanya kembali merekah.
Aku mulai berlaku zhalim pada keadaan sekitar.
Dengan mengkambing hitamkan takdir dan keadaan. Aku ingin kembali menjadi diriku dengan harapanku yang dulu.

Untungnya, kegilaan itu tidak bertahan lama.

Allah tunjukkan siapa sebenarnya Farhan yang seharusnya memang bisa kusadari sejak awal ketika dia dengan berani mendatangiku bukan melalui ayahku.

Aku tidak lebih hanya sebagai permainan. Bahkan ia masih meresponku saat statusku sudah menjadi istri orang membuatku merasa malu ketika pada akhirnya aku mengetahui kebenarannya.

Ketika aku sedang berusaha mencari cara agar dapat kembali padanya, dia justru dengan tega, tanpa sepengetahuanku sedang menjalin hubungan dengan gadis lain yang tidak terikat hubungan apapun dengan seseorang.

Aku hancur.
Hatiku patah, untuk ke sekian kalinya.
Tapi siapa yang harus kusalahkan? Tidak ada.
Semuanya murni akibat kelalaianku sendiri.

Dan di titik ini. Ketika aku benar-benar kehilangan pegangan. Hapalanku quranku tidak tersisa kecuali sedikit saja. Ilmu-ilmu yang dulu memenuhi otakku kini terasa lenyap entah kemana.

Titik dimana aku akhirnya memutuskan untuk menjadi diriku sendiri. Menjalani hidupku sendiri, dan membangun serta mewujudkan impianku sendiri.
Aku mengibarkan bendera putih pada kata cinta.

Omong kosong, apa itu cinta.
Tidak lagi ada yang bisa kupercaya.

Mungkin sama seperti Sayyid Quthb. Cinta dan kebahagiaan menjalinnya tidak untuk diriku.
Maka aku ingin menambah wawasan saja. Menyelami lautan ilmu yang tak terbatas. Melupakan segala cinta dan remuk redam di sekelilingnya.

Aku pergi, untuk membenahi hati.

Menghilang, untuk kembali menjadi inspirasi.

Begitu, inginku.
Dan semoga begitu pula ingin Tuhanku.

•••••••

Author's Pov

Setelah sekitar 3 jam transit dan menjalani pemeriksaan di Bandara King Fahd di Riyadh, Khansa bisa bernapas lega karena sejauh ini perjalanannya lancar-lancar saja. Membuktikan bahwa perjalanannya saat ini benar-benar disertai ridha Allah.

Tinggal sedikit lagi ia akan bisa benar-benar tenang ketika kakinya sudah berhasil menapak di tanah Madinah.

"Khansa Nabila?"

"Iya" jawab Khansa dengan bahasa Arab yang memang ia kuasai.

Seorang petugas pemeriksaan di daerah perbatasan Mekkah, Arab Saudi membolak-balik berkas yang diserahkan Khansa tadi.
Matanya berganti menatap passport dan tanda pengenal Khansa kemudian kembali menatap Khansa dari ujung kepala hingga kaki.

Kemudian petugas itu berteriak memanggil salah seorang rekannya bergabung. Ini sudah sekitar satu jam sejak Khansa diperiksa. Seharusnya, sekarang ia sudah melanjutkan perjalanan menuju tanah haram.

Ia kembali ditanyai berbagai pertanyaan oleh petugas baru itu. Juga seorang petugas wanita yang mulai memeriksa bagian tubuhnya.

"Dengan siapa kesini?"

"Sendiri"

"Disini tertulis anda bersama mahram"

"Ah iya. Tapi, dia sudah lebih dulu berada di Madinah."

Petugas-petugas itu kembali merasa curiga.
Kesalahan Khansa adalah, saat kehilangan fokus dan melupakan rencana yang sudah disusun oleh pihak travel untuknya.
Dengan ceroboh ia katakan kedatangannya sebagai pelajar, sementara visa yang dikantunginya merupakan visa kerja. Dan ia bergabung bersama jamaah haji di musim haji yang pemeriksaan keamanannya ketat sekali.

"Siapa yang mengantar anda kemari?"

"Sendiri."

"Mustahil. Mana teman-teman anda?"

"Tidak. Saya sendiri."

"Kalau begitu, berikan nomor telepon wali atau mahram anda."

"S..s..saya tidak memilikinya." Khansa masih berusaha tetap tenang. Sekalipun bahasa Arabnya mulai kacau karena gugup.

Petugas itu mengambil lagi berkasi Khansa, dan menemukan nomor telepon Kahfi disana. Namun saat dihubungi berkali-kali, tidak ada jawaban dari Kahfi.
Iya jelas tidak terjawab, sebab di Indonesia saat ini sedang tengah malam. Kahfi pasti masih tidur. Dan itu menyulitkan Khansa.

Maka, setelah hampir tiga jam diinterogasi, Khansa pun ditetapkan sebagai jamaah ilegal meski berulang kali memberi penjelasan yang hanya menambah kecurigaan.

"Kamu gak apa-apa, Nak? Gak tau kenapa perasaan Abati gak enak sekali hari ini..."

Suara ayahnya terdengar begitu nyaring di telinga Khansa.

Tepat ketika ia digiring memasuki sebuah mobil besar berbentuk kotak yang semuanya serba tertutup.
Sendiri dalam sunyi. Di dalam kendaraan yang hanya ada ventilasi kecil dibagian atasnya.
Ia bahkan tak tahu hendak dibawa kemana, sebab sedikitpun tak ada yang bisa terlihat di luar sana.

Ia mulai menjerit sendiri, dengan bayangan-bayangan kejadian buruk yang mungkin akan menghampirinya sebentar lagi. Sementara tak seorangpun bisa menolongnya di negeri yang asing ini.

"Ya Allah... Ampuni aku... Tolong aku..."

Sebuah suara entah darimana terdengar menghujat tepat di gendang telinganya
.
"Ini salahmu. Bukankah ini maumu? Bukankah kau yang meminta ini?
Kau yang ingin menghilang. Melenyapkan diri tanpa pernah lagi dicari. Here you are. Kau benar-benar akan menghilang... Selamanya."

Khansa mulai menjerit ketakutan.

Tidak.

Tidak.

Bukan seperti ini yang kumau.
Aku tidak pernah menginginkan ini.
Aku tidak pernah membayangkan hal semacam ini.

Ia benar-benar ketakutan.

Sebagian dirinya membenarkan bahwa saat ini mungkin ia sedang di adzab. Sebagian lain masih memegang teguh keyakinan, bahwa ini hanyalah sebuah proses menuju ketenangan dan kedamaian. Meski mungkin akan menyiksa, tetapi bertahan sebentar akan mengantarnya pada cahaya terang.

Tapi apa?

Untuk saat ini segalanya benar-benar buntu. Terkurung dalam kotak persegi yang terus melaju, entah kemana ia menuju.

"Abati, tolong aku... Aku sedang tidak baik-baik saja..."

•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

To be continued.

Double up untuk mengejar ketertinggalan.

Selamat membaca.

Jangan lupa jejak dan supportnya yaaa..

Asyik deh mulai ada titik terang.

Ayo, kira2 khansa dibawa kemana yaaaa?

Penjara?
Dijual?
Atau ke pelaminan? Wkwkwkk

Vote and comment juseyooo...

Saranghamnida 💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro