5. Misi Melenyapkan Diri
Bismillahirrahmanirrahiim...
Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama, tokoh, tempat dan kejadian merupakan kebetulan semata tanpa ada unsur kesengajaan.
Enjoy the story!
•••••••
Khansa's pov
Awalnya tidak begini.
Awalnya aku tidak semenyedihkan ini.
Aku mencoba mengerti, bahwa keluargaku pasti menginginkan yang terbaik untukku. Khususnya orangtuaku, tidak ada yang lebih kecewa dari mereka ketika mendapati seseorang yang kini menjadi menantu mereka ternyata berbanding terbalik dengan apa yang mereka bayangkan sebelumnya.
Aku merutuki nasibku sendiri. Mencari-cari, dimana sosok sempurna yang diceritakan keluargaku dulu.
Kata mereka, suamiku yang adalah kerabat kami sendiri pastilah sama dengan kami. Bahwa betapa beruntungnya aku dipinang oleh keluarga mereka yang membuat iri keluarga kami yang lain. Mereka adalah bangsawan kelas atas yang menetap di ibukota namun gaya hidup mereka sangat islami.
Lulusan pesantren dan sedang S2 di fakultas syariah, aku bahkan bisa langsung masuk kuliah tanpa tes terlebih dahulu dengan menggunakan rekomendasi darinya.
Dia muslim yang taat. Mungkin nanti aku akan disuruh berniqab dan jangan harap untuk bisa menonton tv atau mendengar lagu lagi. Baginya itu semua haram.
Lihat kan? Betapa harapanku tentangnya sudah melambung bahkan sebelum kami disatukan dengan kalimat akad. Aku menyiapkan diri dan mentalku untuk menjadi seorang istri dari sosok yang digambarkan sesempurna itu. Tidak ada ragu dan ketakutan yang membayangiku, sebab kukira hidupku nanti akan sama nyamannya dengan hidupku di zona nyamanku di pesantrenku ini.
Tetapi sosok yang kudapati sungguh jauh berbeda. Alih-alih seorang muslim yang fanatik. Sejak pernikahan kami, tak pernah sekalipun ia mengajakku shalat bersamanya, namun tidak juga ia shalat di masjid. Shalat dimana? Entah. Aku tak pernah melihatnya.
S2 fakultas syariah? Itu dulu. Sebelum dia mengundurkan diri saat menulis tesis lalu menjelma seorang pengusaha dengan kesibukan dan pergaulan bebas yang melingkarinya.
Tv dan musik haram? Bahkan ia memiliki studio sendiri yang berisi satu tv layar lebar dilengkapi speaker yang juga sama besarnya. Dipenuhi koleksi-koleksi dvd dan harddisk film, juga kaset-kaset musik favoritnya. Itu diluar kebiasaannya yang harus selalu ke bioskop setiap kali ada film baru yang tayang, atau ke toko musik untuk membeli kaset original bahkan membeli tiket yang tidak murah hanya untuk menonton konser grup band favoritnya. Itu cukup mencengangkan bagiku yang hanya menyukai lagu-lagu nasyid, sementara dia musik metal adalah yang terbaik.
Aku bertanya-tanya, kemana sisa jiwa santri nya. Masih ada, memang. Dia masih punya koleksi nasyid tapi terlalu bosan untuk mendengarkan. Di perpustakaan bukunya pun masih berjejer rapi buku-buku tebal dengan arab gundul didalamnya, tapi tak lagi dia berminat untuk sekedar membukanya. Kecuali hanya komik-komik yang setiap pekan bertambah edisi barunya.
Kesehariannya, selain bekerja, ia menghabiskan waktu denganku? Mustahil. Kegiatan akhir pekannya sudah ia rencanakan jauh-jauh hari. Anggota klub motor yang akan touring tiap pekan, atau hanya sekedar kopi darat, bercampur baur lelaki-wanita entah mengobrolkan apa.
Bukan aku tidak diajaknya bergabung. Dia mengajakku. Aku yang menolak. Sebab bagiku, hal asing semacam itu masih terlalu tabu dan merupakan sebuah kebathilan yang nyata. Aku tidak terbiasa. Aku terlalu takut. Sebab sejak kecil setiap gerakku selalu terjaga dari hal-hal yang mengandung mudharat.
Ingat kan bagaimana aku berusaha ingin menjadi wanita shalihah yang buta, tuli juga bisu dari segala yang haram dan dimurkai.
Kebiasaanku jauh berbeda dengan kebiasaannya.
Mungkin karena selama ini aku terlalu nyaman hidup dalam ruang lingkup keluarga yang sejak kecil terbiasa dengan ibadah. Pikirku, hidup memang begitu adanya, dan akan terus berlangsung demikian hingga akhir masa. Tak pernah kutahu bahwa lingkunganku itu hanya sebagian kecil dari luasnya dunia dengan beragam kehidupan di luar sana. Hingga saat aku keluar dari zona nyamanku sendiri, perlahan aku kehilangan pegangan dan kepercayaan.
Dan pernikahan bukan hanya menikah dengan satu orang saja, tetapi menikah dengan keluarganya juga.
Aku bertemu dengan adik-adiknya yang berusia jauh lebih tua dariku. Juga ibu mertua yang lagi-lagi tidak seperti impianku.
Aku akhirnya menyadari, tugasku menikah dengan suamiku bukan karena dia memang ingin, tetapi karena keluarganya ingin seseorang mengurusinya. Mungkin karena mereka sudah lelah dengannya. Pakaiannya berserakan, kamarnya tak berbentuk, sempurna berantakan seperti lelaki tanpa sentuhan wanita. Dan disinilah aku yang dituntut untuk membereskan semuanya. Menjadi istri yang sempurna, dan akan mendapatkan cibiran jika tak mampu menjalankan tugas. Apalagi saat ini aku masih tinggal bersama mertua dan beberapa iparku sebab rumah suamiku masih dalam tahap pembangunan.
Aku bisa apa?
Sedari kecil hidupku dimanja. Sepanjang hidup aku hanya sibuk dengan belajar dan berprestasi. Tahu apa aku tentang mengurus rumah? Bahkan mencuci, memasak dan membereskan kamar baru aku lakukan ketika menjadi santri. Jika kembali ke rumah, aku kembali menjadi putri yang tangannya halus bahkan tak boleh menyentuh dapur. Semuanya dikerjakan oleh orang lain, aku terbiasa dengan itu. Aku memang berhasil menghapus perlakuan spesial di asrama pondokku, tapi tidak di rumahku. Tidak heran jika aku bisa meraih prestasi tanpa banyak kendala. Bahkan setelah lulus SMA pun aku sibuk berkegiatan di sekolah, bukan menjadi upik abu dirumah. Aku diperlakukan layaknya permata, putri kesayangan seorang ayah. Apapun yang kulakukan akan mendapatkan pujian.
Namun disini, segalanya berbanding terbalik. Entahlah, orang-orang disini tidak terbiasa mengapresiasi orang lain. Semuanya sibuk sendiri-sendiri, seolah saling berkompetisi menjadi siapa yang terbaik, melakukan tugas rumah tangga dengan sempurna, lalu saling mencibir ketika menemukan kesalahan dari salah satu diantara kami. Hal itu membuat jiwaku terguncang.
Sejak kehadiranku, aku lah yang sering berbuat salah. Aku ingat, bagaimana mereka saat aku sedang keluar, memotret keadaan kamarku yang tidak cukup rapi menurut mereka. Lalu menunjukkannya pada suamiku sepulang kerjanya dan berlanjut aku ditegurnya agar tidak terlalu berleha-leha. Atau saat aku diminta membuat masakan di dapur, sementara aku tak tahu harus melakukan apa disana.
Gelar tuan putri pun ternobatkan untukku. Tanpa sekalipun mereka pernah berpikir bahwa aku tidak seperti mereka, aku tidak terbiasa hidup seperti mereka. Walau aku berusaha membantu sesanggupku, tak juga sebanding dengan keahlian mereka, karena meskipun aku tahu bagaimana harus bersikap, aku masih terlalu malu untuk beradaptasi dengan mereka. Dan sekalipun aku ingin belajar, mereka tidak melakukan aktifitasnya untuk mencontohkan padaku tetapi membuatku semakin terpojok tanpa tahu apa yang harus kulakukan.
Semua itu sangat menyiksa. Aku sendirian. Aku ketakutan. Aku orang asing ditengah canda tawa mereka. Suamiku memang sedikit mengerti, dia tidak menuntutku untuk mengurusinya dengan baik. Dia memaklumi aku tak bisa mencuci, dia mengirim pakaian kotor kami ke laundry. Aku tak bisa memasak, tiga kali sehari kami keluar mencari makan, atau sepulang kerja dia membawakanku makanan. Dia sadar, dengan penghasilan buah dari usahanya sendiri, dia wajib memberiku makan dengan uangnya sendiri sebagai bentuk tanggungjawabnya layaknya seorang suami. Maka jika tidak terpaksa, kami tidak makan di meja utama. Tapi itu membuat risih ibunya. Menurutnya, hasil usaha suamiku seharusnya tidak dihamburkan untuk hal yang tidak perlu, seperti laundry atau makan diluar setiap hari.
Memang lucu mereka berkeluarga. Terkadang akrab, namun terkadang seperti orang asing di dalam satu rumah.
Itu membuatku semakin rindu keluargaku yang sangat kekeluargaan. Aku ingin pulang.
Namun semakin besar rasa rinduku, semakin besar pula rasa benci yang tumbuh di hatiku.
Pada keluarga macam apa mereka menitipkanku sekarang ini? Tidakkah mereka mengkhawatirkan keadaanku?
Entah siapa yang menipu atau tertipu, namun akad telah terucap, janji telah tertancap, takdir telah ditetapkan, dan yang menjalaninya cukup bertawakkal saja. Begitu sempurnanya mereka mempercayai segala ketetapan Allah akan berakhir baik bagi hamba-Nya.
Bukan aku tidak percaya seperti mereka, bahkan aku pun tahu pasti hal itu.
Sebelum menikah pun sudah kupersiapkan segalanya dengan matang. Kupelajari Ilmu-ilmu rumah tangga, tentang bagaimana seorang istri akan mengabdi pada suami. Kutanamkan tekad untuk mencontohi para istri-istri nabi, dalil-dalil dari alquran dan hadits pun kuhapalkan diluar kepala. Tetapi lagi-lagi, teori apapun akan kalah saat mempraktikkannya. Terlebih jika kenyataannya berbeda jauh dari harapan.
Aku pun bertanya-tanya, mengapa sebenarnya suamiku dan keluarganya menjatuhkan pilihan padaku untuk dijadikan istri jika pada akhirnya mereka memperlakukanku seburuk ini. Entahlah... Mungkin mereka hanya memandangku karena keluargaku saja, atau prestasi akademik dan hapalan quranku yang diperjual-belikan. Padahal sebenarnya, aku tak sesempurna itu. Dan prestasi saja tidak cukup untuk mengurus sebuah rumah tangga. Sedang hapalan quran, untuk mempertahankannya pun butuh perjuangan besar.
Setahun berlalu sejak aku menjadi tanggung jawab seorang lelaki yang hingga saat ini masih terasa asing bagiku. Hari-hariku semakin suram, tidak ada bahagia yang kujumpa. Semua harapan yang diiming-imingkan untukku sebelum pernikahan pun tak kunjung diwujudkan.
Apa ini? Aku ditipu oleh keluargaku sendiri.
Hingga titik ini aku merasa seolah terbuang. Sebab jika suatu waktu aku hendak menjelaskan tentang suamiku sekarang, satupun dari mereka tak ada yang percaya. Hanya menyarankan untuk lebih bersabar, tawakkal dan berbaik sangka.
"Kau hanya tidak mengerti, suamimu itu orang berilmu. Orang berilmu yang beriman jauh lebih ditakuti syaitan ketimbang ahli ibadah yang tidak berilmu."
Ingin rasanya kuteriakkan pada mereka, "BUKAN KALIAN YANG MENGALAMINYA. AKU! AKU YANG MERASAKANNYA. AKU YANG MENDERITA!"
Tapi terdengar kurang ajar, bukan?
Lalu siapa yang akan bertanggung jawab dengan penderitaan ku saat ini?
Aku tidak mencari siapa yang bersalah atas semua ini. Aku menyalahkan semuanya. Bahkan menyalahkan diriku sendiri yang begitu mudahnya percaya bahwa impianku akan segera tercapai dengan menuruti keinginan keluargaku meski bercurah airmata.
Aku yang terlalu percaya diri, bahwa setelah menikah takkan ada yang berubah kecuali statusku saja. Aku tetap akan disini menjadi pengajar sekaligus pengurus pesantren, sesuai perjanjian. Toh, aku dijodohkan dengan seseorang yang juga diharapkan akan bergabung dalam gerbong dakwah kami dengan latar belakang pendidikan agama yang mumpuni, dia dianggap layak untuk menjadikanku istri.
Kalaupun aku harus keluar dari rumah orang tuaku ini, aku hanya akan pergi lalu memulai tahap selanjutnya dari jenjang pendidikanku. Karena seperti yang disepakati di awal, aku dinikahkan agar bisa kuliah ditemani seorang mahram.
Nyatanya, semua itu hanya bualan.
Seperti anak kecil yang akan menurut ketika diberi permen. Aku, remaja labil yang sedang mencari jati diri, dijanjikan sebuah omong kosong hanya agar aku diam tertanda setuju untuk menikah.
Dulu, setiap kali membicarakan tentang cita-cita dengan sahabat-sahabatku. Mereka antusias menyebutkan akan menjadi apa mereka di masa depan. Hanya aku menjawab apatis, "tanpa bercita-cita pun aku sudah mewujudkan cita-citaku menjadi guru. Disini, di pesantren ini, tempat kelahiranku dan tempat aku akan menghabiskan sisa umurku, mengajar, mendidik, mengabdi pada Allah dengan memanfaatkan ilmu yang dikaruniakanNya".
Mengingat itu, hatiku sakit. Fakta bahwa aku tidak lagi berada disana, semakin membuat luka di hatiku menganga. Sebab saat ini, bahkan untuk kembali kesana, sekedar untuk bersilaturrahim pun, ada saja ujiannya.
Aku lelah, hidupku seolah di penjara. Sesuatu dalam hatiku mencoba meronta. Meyakinkanku bahwa aku bisa mengubah segalanya, seperti sebelum-sebelumnya.
Kepercayaan diriku memang setinggi itu. Sebab sejak dulu, mudah bagiku untuk mengajukan protes jika aku tak menyukai sesuatu dan terwujudlah keinginanku itu. Seperti saat aku menghapuskan perlakuan spesial untukku di pesantren, atau membuat aturan baru untuk para santri, dan sebagainya. Aku merasa sanggup untuk mengubah keadaanku saat ini seperti apa yang kuinginkan.
Yang tidak aku tahu adalah bahwa tidak semua hal bisa diubah sesuai kehendak kita. Terkadang untuk menenangkan hati, kita hanya perlu menerima apa adanya dan memaklumi sembari mengoreksi diri.
Aku tidak mampu mengubah suamiku, sebab kutahu dirinya memang lebih paham agama dibandingkan diriku. Hanya saja, cara dia beragama terlalu santai, mungkin karena dia tahu hukumnya. Begitu caraku berhusnuzhan dengannya.
Maka setahun berlalu, tidak ada yang berubah dalam rumah tanggaku. Aku hanya seorang istri yang dinafkahinya lahir batin, namun tidak pada jiwa.
Hari-hariku berlalu begitu saja, tanpa ada yang berarti. Semua begitu membosankan dan menyedihkan. Aku seperti dipaksa futur oleh keadaan.
Tak usah tanyakan mana janji aku akan dikuliahkan, hingga kini aku masih tidak berkegiatan.
Itu membuatku merasa aneh. Dari aktif menjadi tak melakukan apa-apa. Aku merasa lumpuh.
Aku tidak terbiasa untuk keluar dari rumah sendiri, karena sejak dulu aku tidak dibiarkan keluar rumah sendiri. Aku akan diantarkan kemana saja. Sedang suamiku dan keluarganya memaksaku untuk melakukan apapun sendiri, termasuk ke pasar yang membuatku ketakutan sekaligus kebingungan harus apa ditengah kerumunan orang banyak.
"Kenapa harus diantar sih? Kalau bisa pergi sendiri ya pergi aja sendiri. Kaya apaan aja diantar-antar segala." begitu katanya.
Disinilah aku mencari hiburanku sendiri dari smartphone yang difasilitasi suamiku untukku mengusir kesepian.
Aku menutup mata, telinga dan hatiku pada semua orang di sekelilingku. Aku melakukan apapun semauku. Sulit bagiku untuk memulai hubungan baik pada orang-orang yang sejak awal tidak menyambutku dengan baik.
Memang begitulah sifat burukku. Ketika aku membenci seseorang, maka aku akan susah untuk menyukainya. Katakanlah aku angkuh. Memang orang menganggapku begitu, sebab jika tidak terlalu akrab, aku takkan memulai obrolan. Tapi jika sudah kenal dekat, aku akan sangat menyenangkan.
Sementara rasa benci semakin mengakar didalam diri. Aku mulai membenci keadaan, membenci keluargaku, hingga tiap kali mereka menelepon, tak berniat aku menjawabnya. Biar saja. Ini memang salah mereka. Mereka membuangku, untuk apa mereka menanyakan kabarku lagi?
Perlahan aku tidak mengenal diriku sendiri. Kebiasaan-kebiasaanku lambat laun berganti dengan kebiasaan baru yang sebenarnya memuakkan namun hanya itu yang bisa kulakukan disetiap harinya.
Dan suamiku?
Menjadi sasaran terbesar kebencianku.
Aku benci semua tentang dirinya.
Aku benci semua yang ada padanya.
Sebab semua yang tidak kusukai memang ada padanya.
Dengkurannya, sifat manjanya, cara berpakaiannya, suaranya, kebiasaan buruknya.
Ingin sekali aku melenyapkannya! Sungguh!
Sedikitpun aku tak berniat untuk melihat sisi baik dari dirinya. Semua tertutupi oleh rasa benci yang semakin menjadi-jadi.
Kujalankan kewajibanku sepatutnya. Kuberikan segalanya yang kupunya kepada dia.
Tapi tidak hatiku.
Aku berinteraksi dengannya tanpa cinta. Dan itu membuat hatiku menjadi mati. Kosong dan hampa.
Suatu hari, ketika berita duka datang. Mengabari bahwa Jaddahku -- ibu dari Abati, meninggal dunia. Sementara aku tidak bisa pulang karena suamiku tidak bisa meninggalkan pekerjaannya di luar kota. Aku murka. Amarahku memuncak. Aku meraung sendiri dalam keheningan.
Sampai seperti ini mereka tega membuatku tidak bertemu Jaddah untuk terakhir kalinya.
Lambat laun ku mulai mempertanyakan takdir. Mungkin takdirku salah. Jika nenek tidak menikahkanku dengan orang seperti dia, aku tidak akan menjalani kehidupan sesuram ini.
Setelah peristiwa itu, aku mengurung diri.
Tak berminat untuk apapun, bahkan makan dan minum.
"Makan dulu, yuk?" ajak suamiku.
Aku menggeleng dan menutup diriku dengan selimut.
"Eh ayo. Nanti sakit." paksanya.
"Biarin aja! Biar mati sekalian! Gak ada yang peduli juga." pekikku penuh emosi.
Ucapanku itu ternyata membuatnya murka.
Dia menyibak selimut yang menutupi tubuhku, menyeretku turun dari tempat tidur. Matanya melotot mengerikan, "Ngomong apa kamu, hah?! Selama ini gue sabar sama kamu ya! Diajarin apa sih sama orangtuamu sampe kasar begini? Diajak makan doang ngelunjak."
Tidak kusangka dia akan mengatakan hal seperti itu. Membawa-bawa orang tuaku yang selama ini ku muliakan.
"IYA! AKU GAK BENER! TAPI JANGAN BAWA-BAWA ORANG TUAKU!!"
"NGOMONG LAGI KAMU? NGOMONG SEKALI LAGI, GUE PUKUL!"
"PUKUL AJA SAMPE GUE MATIIIIII!!!!"
PLAK!
Perih. Perih sekali rasanya. Bahkan segala rasa perih yang telah kutanggung selama ini tak sepadan dengan perih dari telapak tangannya yang mendarat di pipiku saat ini.
"Jangan minta-minta mati kalo emang belom siap mati. Kalo belum takdirnya mati juga gak akan mati." Dia keluar kamar, meninggalkanku yang masih berurai airmata seusai mengucapkan kalimat itu.
"Sehebat apa kamu dibandingkan kekuasaan Tuhanmu sampe sok mengatur takdir yang sebenarnya telah disempurnakan untukmu beribu-ribu tahun sebelum kau lahir?" lanjutnya.
Aku terpekur dalam kesendirian.
Tidak. Cukup sampai disini aku bisa bertahan.
Aku tidak kuat lagi.
Aku harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan diriku.
Samar-samar aku mendengar sepenggal ceramah seorang ustadz di ponselku.
"Berpasrah dan memaksa itu dua hal yang jelas berbeda. Jika berpasrah adalah ikhtiar disertai doa, maka ikhtiar, berdoa tetapi menggugat Allah ketika takdir yang menghampiri tak sesuai dengan harapan adalah memaksa."
Mungkin memang benar.
Saat ini, aku sedang memaksa, mencari takdir yang lebih membahagiakan.
Aku mulai menyalah gunakan ponsel pintar di tanganku. Sosial media menjadi sarana curhatku. Disana kutemukan teman-teman yang kurasa mengerti diriku.
Status-status yang awalnya hanya berbau dakwah kini berubah menjadi rintihan pilu dari isi hatiku.
Tanpa kusadari, beberapa orang sedang bertanya-tanya, mengapa putri ustadz Fuad menjadi seperti ini?
Aku mulai tidak peduli. Aku menutup mata pada siapapun yang menentang tindakanku. Aku menolak apapun yang memperingati bahwa aku salah jalan saat ini.
Aku mulai nyaman dengan orang-orang asing yang kuanggap teman, mereka mendukungku dan merasa iba padaku ketika kuceritakan tentang kondisiku.
Puncaknya, aku bertemu seseorang yang menyarankan untuk pergi dan memulai segalanya dari awal lagi.
Akupun tanpa sengaja menemukan seseorang yang dulu pernah mengisi hatiku.
Disinilah setan berperan dengan sangat baik. Mengindahkan setiap tindakan buruk yang muncul dalam benakku.
Mungkin memang benar, pernikahan itu menyempurnakan separuh agama, dan membelenggu 50 persen setan yang bertugas menghasut. Namun 50 persen sisanya adalah yang lebih dahsyat pengaruhnya dibandingkan sebagian yang terbelenggu. Mereka akan memasuki celah-celah kecil dalam rumah tangga dan mulai menyalakan api disana.
Dan aku, mantap dengan keputusanku untuk pergi. Tanpa peduli pada keluargaku, sebab mereka memang telah membuangku maka kemanapun aku pergi nanti, tidak akan berpengaruh pada mereka, itu menurutku.
Berbulan-bulan aku memikirkan aku akan kemana, bagaimana caranya, dan dengan apa aku kesana.
Sementara hubunganku dengan sosok dari masa laluku semakin akrab tanpa rasa takut bahwa yang kulakukan adalah mengundang fitnah yang besar. Sebuah marabahaya terbesar yang tak sanggup dihindari seorang wanita, hasrat cinta. Marabahaya yang pernah menjebloskan Yusuf ke dalam penjara agar terbebas dari jerat Zulaikha.
Aku tahu semuanya, tapi lagi-lagi aku menutup mata. Aku menjadi budak cinta yang mendamba bahagia.
Kusadari, aku semakin jauh menyimpang. Aku bukan lagi diriku yang hanya berfokus pada ridha Allah. Hari-hariku justru menuai murka dan laknat-Nya. Dan itu semakin meyakinkan diriku untuk berpisah saja. Toh, perceraian juga akan dimurkai Allah, tapi setelahnya aku akan menjalani hidup dengan normal seperti dulu daripada harus terkungkung dalam pernikahan yang penuh duka, berbalut dosa dan laknat yang semakin hari semakin kuanggap biasa.
Hingga, salah seorang teman di facebook menawarkan jasa travel ke tanah suci. Bertepatan dengan sebuah kabar di surelku bahwa aku lulus menjadi mahasiswi universitas di Madinah yang dulu pernah kudaftarkan diriku. Sementara untuk lulus ke sana sangat sulit, ini kuanggap sebuah titik terang dimana Allah menyetujui dan mempermudah rencanaku.
Saat itulah kuatur rencana, passpor ku yang memang masih aktif dan KTP yang masih berstatus pelajar memudahkan ku mengurus semua berkas diam-diam. Biaya dari rekening tabunganku ditambah dengan menjual perhiasan milikku sendiri cukup untuk membayar transportasi dan kebutuhan aku disana nanti, insyaAllah. Namun terkendala satu hal, surat mahram.
Mau tidak mau aku harus melampirkan keterangan mahram untuk bisa berangkat. Satu-satunya orang yang bisa membantu tanpa menimbulkan masalah ataupun keributan adalah adikku. Ya! Kahfi. Kahfi pasti akan menurutiku.
Maka segera kuhubungi dia.
••••••••
Author's pov
"KAKAK GILA!" sahut Kahfi dari seberang telepon.
"...."
"KAKAK KACAU BANGET, PARAH!" imbuhnya.
"Bantu kakak, please?" pinta Khansa.
"Gila ya kak! Dapet pikiran darimana coba kakak bisa nekat begini? Sadar kak! YaAllah kakak mau jadi apaaaaaa...." meredam emosi, Kahfi mencoba menyadarkan kakaknya.
"Ssst. Diam aja. Keputusan kakak udah bulat. Kamu mau bantu apa nggak? Ah, bukan! Kamu harus bantu kakak!"
"Kalo aku gak mau, gimana?"
"Kakak bilang ke Abati soal Natasha, mau?"
"ASTAGFIRULLAHALAZHIM... PUNYA KAKAK KEJAM BANGET YA ALLAAAHH...."
Tidak. Kahfi tidak punya pilihan.
"Gimana?"
"Grrrrrrr!!!!! Bunuh aku aja lah, Kak! Pilihannya dua-duanya bisa bikin aku mati ujung-ujungnya." pekik Kahfi seolah frustasi.
"Kamu cuma perlu tanda tangan, sama nomer telepon. Itung-itung kakak gak pergi sendiri karena ada kamu yang temenin. Kamu gak akan kakak bawa-bawa kalau ada masalah, asal kamu juga gak bilang siapa-siapa."
"Hzzzzzzz! Aku pikirin dulu!"
"Jangan lama-lama!"
"BAWEEEEELLL! Rahasiain soal Natasha sampe mati!"
"Jadi deal nih?"
"Ah Bodo!"
Bacot emang si Natasha! Kalo bukan dia yang bocorin, kakak gak bakal tau dan ngancem gue segala kaya gini. - Kahfi
••••••
To be continued.
Btw, ku mau bilang makasih buat teman-teman yang masih setia membaca story ini sampai detik ini.. Kalian sangat berarti buatku, guys :""))
Sejauh (yg belum jauh jauh amat) ini, kasih tau dong gimana kesan kalian sama kisah 3 bersaudara iniii..
Masih membingungkan? Atau mulai menemukan titik terang?
Upsss... Ada apa dengan Kahfi?
Siapakah Natasha?
Gimana kelanjutan nasib Khansa?
Pantengin terus story ini untuk tau jawabannya yaaaa 😙😙😙
Tinggalkan jejak, jangan lupa!
Jangan lupa juga baca story yang lain yaaaa. Kapan lagi coba bisa dapat ilmu gratis dengan cara yang asyik. Yuhuuuu.
Muslimah gemar baca kisah islami! Allahu Akbar! 😂😂😂😂
Saranghamnidaaa 💕
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro