Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

27. Bersabar dan Tingkatkan Kesabaran

Bismillahirrahmanirrahiim...

Author's Pov

Beberapa hari pasca bencana gempa bumi dan tsunami yang meluluh lantakkan tanah Sulawesi Tengah, berbagai relawan mulai bertandang dengan membawa bantuan bermacam-macam yang pasti dibutuhkan.

Posko-posko pengungsian telah banyak didirikan, terhitung sejak jaringan seluler kembali bisa menembus lokasi termasuk akses kendaraan dari jalur darat dan udara kembali bisa beroperasi.

Ada banyak korban berjatuhan, tidak terhitung berapa banyak kerugian akibat rumah-rumah yang menjadi reruntuhan. Bahkan masih banyak warga yang dilaporkan hilang.

Kahfi dan Bang Odi bersama tim penggalangan dana pesantren bersiap untuk ikut berangkat menjadi relawan disana, sekaligus mencari sendiri dimana keberadaan Abati.

Ummi, Khaula, Natasha dan Khansa yang kondisinya sudah mulai pulih mengantar mereka dengan lafalan doa-doa tanpa henti. Semoga mereka tetap aman dan selamat sampai mereka kembali setelah menemukan Abati.
Pasalnya, gempa susulan masih sering terjadi, yang ditakutkan jika gempa datang lagi, mereka yang datang sebagai relawan pun akan turut menjadi korban.

Seperginya Kahfi dan Bang Odi, Ummi banyak bercerita pada Khaula, Khansa dan Natasha tentang kenangan-kenangan sepanjang pernikahan dengan Abati.
Sebagai suami, Abati sosok yang romantis, itu sudah pasti Khansa dan Khaula ketahui. Sebagai kepala keluarga, Abati sangat bertanggung jawab, itu juga mereka yakini karena mereka merasakan sendiri bagaimana Abati berusaha menjamin kebahagiaan mereka.
Dan sebagai pimpinan pesantren dan muballigh, Abati selalu bisa diandalkan dalam menyelesaikan berbagai masalah umat, itupun Khaula dan Khansa setujui.

Yang mereka tak pernah tahu adalah, Abati dengan segenap kekurangan diri karena Ummi yang pandai menyembunyikan dan memaklumi.

"Abati itu dulu persis seperti kamu, Kak..." ujar Ummi dengan seulas senyum mengenang Abati di masa lalu.

"Keras kepala, tidak suka dipaksa."

"Masa sih?!" Khaula dan Khansa melotot tak percaya. Selama ini mereka melihat sosok ayah mereka sebagai sosok paling sempurna, superhero terhebat sepanjang masa. Benarkah Abati juga pernah salah?

"Pastinya. Persis seperti kalian-kalian. Malah lebih parah, Abati sering sekali membangkang. Termasuk waktu mau dijodohkan sama Ummi, Abati pernah pergi gak pulang-pulang."

Ini cerita yang tak pernah Khansa dan Khaula dengarkan. Mungkin sekarang Ummi bisa ceritakan karena mereka yang mulai dewasa dan memikirkan bahwa hidup memang tak seindah yang dalam khayalan.

"Terus terus, Mi?" Khaula tertarik mendengarkan sambil sesekali menertawakan Abati berdasarkan cerita Ummi.

"Kahfi tuh masih bagus, ketahuan coba-coba ngerorok dipukul rotan langsung kapok. Abati dulu, Ummi diceritain sama Jaddah, katanya sampe dihukum gimana macemnya juga masih aja ngerokok."

"Ya Allah Abatiiii"

"Baru sampe nanti pas kakak lahir, Abati bener-bener berhenti ngerokok. Abati bilang pas nikah udah berhenti sih, tapi Ummi tau Abati masih suka ngumpet-ngumpet."

"Hahaha Abati kocak"

"Tapi Ummi sama Abati nikah karena saling cinta kan?" Kali ini Natasha yang angkat suara. Memang dari dulu dia penasaran akan hal ini.

"Boro-boro. Mana bisa saling cinta kalo ketemunya pas waktu akad nikah aja. Jadi kalian itu jangan suka ngerasa paling menderita, karena Ummi juga dulu pernah mengalaminya."

"Hah? Jadi gimana tuh, Mi? Gimana ceritanya sampe Ummi sama Abati jadi kaya Habibie Ainun gitu, cinta kita seeejaatiiii.." Khaula semakin semangat dengan menyanyikan penggalan lagu film yang pernah ditontonnya sekeluarga di ruang tengah.

"Yah... Berproses aja... Persis seperti Kahfi sekarang, Abati dulu cuek secuek-cueknya. Baju kotor dilempar dimana-mana. Kalo liat ummi gak pernah bagus mukanya. Sampe ummi tuh suka nangis, kenapa ya anak ustad kok begitu banget sifatnya... Bang Odi itu masih mending, peduli banget sama Khansa, Abati dulu.. Mungkin karena kita juga sama-sama masih berproses menuju dewasa"

"Ya Allah Ummi kasian banget..."

"Ya Alhamdulillah... Ummi gak pernah capek berdoa, mengadu ke Allah. Kalo Allah yang kasih ummi begini, berarti ummi bisa minta Allah buat jadiin dia lebih baik lagi. Memang butuh waktu.. Tapi setelah ummi coba ikhlaskan semuanya dan merasa cukup dengan Allah satu-satunya, ummi jadi gak nyadar kapan tepatnya Abati benar-benar berubah setotal-totalnya. Sampe mau ceramah loh, padahal dulu imam di mesjid aja ogah... Emang bener yang Abati selalu bilang, yang paling sering melakukan keburukan, bisa jadi orang yang paling gigih menyuarakan kebenaran." Tutup ummi dengan senyum dan wajah berbinar.

"Masya Allah..." Khaula, Khansa dan Natasha kompak memuji Allah.

Dalam hati Khansa merasa malu sekaligus bersalah. Ia tak pernah menduga bahwa Abati yang dibanggakannya juga pernah menjadi suami yang menyebalkan bagi Umminya.

Mungkin memang benar, seorang anak perempuan pasti akan selalu mengharapkan jodoh sesempurna ayahnya. Tanpa pernah tahu berapa banyak airmata yang tumpah dari mata ibunya selama mendampingi suaminya.

Khansa lalu teringat Bang Odi. Sebagaimana ia membenci suaminya itu dulu, mungkin di masa depan dia justru akan dinobatkan menjadi ayah terhebat dalam hati anak-anaknya kelak.
Satu lagi bulir air mata lolos dari kelopak mata Khansa, sembari tangannya mengusap lembut perutnya yang sedang dihuni makhluk yang masih berupa segumpal darah namun berhasil menumbuhkan cinta.

Lagi-lagi ia mengerti, mungkin begini Abati akhirnya mencintai Umminya. Berkat hadirnya dia dalam rahim sang bunda.

Dalam hati ia bersyukur besar sekali. Berterima kasih pada Allah yang masih memberinya kesempatan untuk menyadari dan memperbaiki diri...

*******

Seminggu sudah kepergian Kahfi dan Bang Odi menjadi relawan korban gempa dan tsunami.
Tapi keberadaan Abati belum juga diketahui.

Ummi dan keluarga besar mulai membesarkan hati bahwa Abati memang sudah tiada lagi.
Namun Kahfi bersikeras untuk terus mencari, setidaknya andai Abati memang sudah pergi, jasadnya harus ia lihat sebagai bukti dan juga agar mereka bisa mengantar kepergian dengan serangkaian prosesi memandikan dan menyalati.

Doa-doa anak dan istri Abati kini mereka ganti, jika awalnya mereka berharap Abati pulang dalam keadaan sehat wal afiyat, setelah seminggu tiada kabar dan melihat situasi pasca bencana di sana, mereka akhirnya berpasrah, tidak mengapa jika yang pulang hanya jasad Abati saja.

Andai bukan permintaan Ummi yang menyuruh Kahfi pulang, mungkin Kahfi takkan mau berhenti mencari Abati. Tidak sampai dia benar-benar menemukannya, kemanapun Kahfi akan terus mencari.

"Sedikit lagi, Bang! Aku punya firasat Abati ada disekitar sini."

Hanya itu yang selalu dikatakannya jika Bang Odi mengajaknya pulang. Meski berkali-kali firasatnya hanya berupa harapan tak berarti.

Bukan menyerah, Kahfi kembali hanya demi menuruti permintaan Ummi dengan tekad ia akan segera ke Palu lagi.

Rombongan relawan yang pergi bersama Kahfi tiba di lapangan pesantren saat lewat tengah malam. Kahfi dan Bang Odi segera menuju rumah tanpa bersuara sampai terdengar suara Bang Odi yang lebih dulu pamit ke kamarnya bersama Khansa.

"Assalamualaikum, istriku..." bisiknya saat mendapati Khansa sudah lelap dalam tidurnya. Baru saja bibirnya akan mendarat di kening Khansa, istrinya itu terlanjur membuka mata karena mendengar bisik-bisiknya.

"Abang udah nyampe? Udah makan?"

"Ssst.. Udah, gausah gerak. Abang udah makan. Tidur lagi aja, yuk. Abang juga ngantuk. Eeehh anak Abi, apa kabaar? Katanya bikin Ummi muntah-muntah yaa?" Bang Odi tiba-tiba menyeruduk perut Khansa dan mulai bermonolog, memberi salam pada sesuatu yang berhasil ia titipkan didalam sana.

"Ih, Bang! Cuci-cuci dulu sana, bauuu!"

"Males ah... Capek... Emang bau banget ya? Masa sih?" Bang Odi duduk di samping Khansa dan berlagak mengendus bau badannya sendiri yang sontak membuat Khansa tidak bisa menahan rasa mualnya dan terburu-buru memuntahkan isi perutnya ke kamar mandi untuk kesekian kali.

Sementara itu di ruang tengah, Kahfi terduduk lemas dengan kepala merunduk. Bahunya yang terguncang-guncang memastikan bahwa dirinya kini sedang terisak lagi.

Dibawah cahaya lampu temaram, Kahfi memperhatikan sekeliling rumah. Rumah tempat Abatinya berjuang. Matanya berpindah dari satu sudut ke sudut lainnya, sudut ruangan tempat rak-rak buku Abati berderet panjang. Tempat dimana Abati biasa menerima tamu. Di ruang makan, tempat dimana Abati biasa duduk saat makan.
Berat baginya mempercayai bahwa Abati kini pergi dan tak kembali.
Belum saatnya, Kahfi merasa ini terlalu cepat.
Apa yang akan terjadi dengan semua ini jika Abati benar-benar pergi?

Siapa yang akan menjadi tumpuan mereka lagi? Siapa yang akan memimpin mereka? Siapa yang memberi solusi dari setiap permasalahan?
Sementara, Kahfi adalah anak lelaki satu-satunya, apakah tugas kepemimpinan kini akan beralih ke pundaknya?

Memikirkan itu, Kahfi tak bisa jika tidak meneteskan airmata bahkan suara tangisnya yang terdengar sampai ke kamar Khaula, dimana Natasha memang terjaga menunggunya, membuat gadis itu serta merta keluar dari kamar karena mengkhawatirkannya.

Natasha menangkap presensi Kahfi dengan posisi yang masih sama. Duduk pada sebuah bangku dengan kepalanya yang ditumpukan pada meja di depannya.
Natasha menghampiri dengan membawa segelas air minum dan piring kecil yang menjadi alasnya. Kahfi tidak menghentikan tangisnya meski merasakan ada seseorang yang datang dan meletakkan sesuatu di meja bersisian dengan tangannya yang ia jadikan bantalan kepalanya.

Terenyuh Natasha memerhatikan Kahfi yang seolah kehilangan seluruh hidupnya. Tangannya bergerak hendak mengelus kepala Kahfi, namun ia urungkan mengingat status mereka yang belum jelas ke-sah-annya. Tangannya ia tarik kembali lalu bergegas membalikkan diri namun tertahan karena tangannya tersangkut pada sesuatu yang tiba-tiba menggenggamnya.

Natasha tersentak lalu dengan takut-takut ia menolehkan kepala.
Wajah Kahfi yang merah bercucuran air mata tiba-tiba memenuhi pandangannya.
Pekikannya tertahan di kerongkongan ketika lengan besar Kahfi merengkuh tubuh mungilnya dari belakang dan menumpukan diri padanya.

Sekuat tenaga Natasha mengontrol debaran jantungnya yang seperti genderang perang. Namun Kahfi sepertinya merasa nyaman menangis di pundaknya.
Tanpa mengucap apa-apa.
Hanya deru napas dan isakan saja.

"Ya Allah, untuk saat ini saja. Halalkan aku menopangnya. Dia sedang terluka, ya Allah... Maafkan kami" batin Natasha yang kemudian membiarkan Kahfi menumpahkan semua kesedihan padanya selama beberapa lama. Natasha mengerti, Kahfi yang sebenarnya paling membutuhkan seseorang sebagai sandaran saat yang lainnya kini menumpukan harapan padanya.

Denting jam di ruang tengah yang berbunyi setiap kali jarum panjangnya mengarah pada angka dua belas mengagetkan Kahfi yang sempat tertidur saat menyandarkan kepala di bahu Natasha. Serta merta lelaki jangkung itu melepas pelukannya lalu meneguk cepat-cepat air minum yang gelasnya kebetulan tertangkap oleh lensanya.

Setelah benerapa saat melewati kecanggungan yang sangat tidak nyaman, Kahfi mencoba bersuara,
"maaf.. Ehm.. Makasih.. Eh, maaf."
Natasha hanya tersenyum grogi. Dan lagi-lagi kalimatnya hanya berhasil sampai di tenggorokan saja tanpa bisa ia suarakan.

"Kamu kenapa belum tidur?"

Dan kalimat Kahfi lagi-lagi membuat Natasha kebingungan hendak menjawabnya dengan apa. Mengatakan kalau dirinya belum tidur karena menunggu Kahfi pulang pasti akan terdengar menggelikan, sekalipun memang itu adanya.

"Gak bisa tidur, he he" jawabnya.

Sama halnya dengan Natasha, Kahfi pun sebenarnya ingin mengatakan sesuatu perihal yang Abati katakan waktu itu. Tapi, bagaimana Kahfi harus memulainya?

"Kamu pasti lelah, istirahat dulu.." usul Natasha saat Kahfi terdiam memikirkan apa yang harus ia katakan.

"Ayolah. Ini bukan pernyataan cinta. Ini cuma klarifikasi saja." gumam Kahfi.

"Atau mau aku buatkan teh hangat?"
Kahfi mengulas senyuman mendengar tawaran Natasha dan kemudian mengangguk.

"Bikin dua, sekalian buat kamu. Aku mau ngobrolin sesuatu."

Setelah itu, terangkailah obrolan-obrolan yang mulai mencairkan suasana. Berawal dari Natasha yang menanyakan bagaimana perjalanan Kahfi selama menjadi relawan dan mencari Abati, seberapa berarti Abati bagi Kahfi, sesekali Natasha mengusap airmata mendengar Kahfi bercerita dengan getaran di suaranya, dan terakhir tanpa mereka sadari mereka sampai pada topik penting yang sejak tadi berat mereka ucapkan.

"Maafin aku, ya..." Ujar Natasha lirih seusai Kahfi menyampaikan apa yang Abati pesankan padanya.

"Itsoke. Udah terlanjur begini, mungkin emang udah jalannya begini."

"Kamu gak marah sama aku?"

"Menurut kamu gimana?"

"Kamu pasti marah banget, kan? Kirain kamu bakal bunuh aku kalo tau selama ini aku bohong soal aku hamil."

"Udah lewat, lagian kalo kamu udah nyesel dan berubah sebaik ini, ngapain aku marah?"

"Jadi kamu gak marah?" tanya Natasha bersemangat, bola matanya membesar penuh harap.

"Ya marah lah. Enak aja. Yang kamu lakuin ke aku itu penipuan!" Natasha kembali melemas, memang terlalu cepat menyangka dirinya termaafkan tanpa alasan.

"Tapi aku capek sekarang, mau tidur dulu. Jadi marahnya nanti aja. Kamu juga istirahat sana"

Usai menandaskan teh hangat di cangkirnya,Kahfi berdiri dari tempat duduknya, Natasha mengikutinya dengan ekor mata.
Laki-laki itu menoleh kembali setelah beberapa langkah, "Ayo..." ajaknya.

"Oh? Duluan aja. Aku beresin cangkir dulu ke belakang"

Sempat terbersit kebingungan dari kalimat ajakan Kahfi. Memangnya Kahfi mengajaknya kemana? Bahkan tidurpun mereka di kamar yang terpisah.
Tak mau ambil pusing, Natasha justru khawatir akan nasibnya besok pagi saat Kahfi sudah segar kembali, katanya dia akan marah lagi.

Dalam lamunannya, Natasha melangkah gontai dan nyaris menjerit mendapati Kahfi yang ternyata menunggunya tepat di depan kamar Khaula.
Saat melihat Natasha kembali dari dapur, Kahfi langsung mengambil langkah menuju kamarnya. Namun baru hanya selangkah saja, Kahfi kembali memutar badannya karena mendengar pintu kamar Khaula dibuka.

"Sha!" panggilnya saat Natasha hampir hilang dari balik pintu. Kembali Natasha mencondongkan kepalanya.

"Ngapain tidur situ? Ayo" sahutnya sambil memberi isyarat dengan kepala agar Natasha mengikutinya ke arah kamarnya.

Tapi Natasha tiba-tiba terdiam tanpa tahu harus bagaimana sebab terlalu terkejut atas ajakan Kahfi.

Seolah tak ingin membuang waktu, Kahfi kembali maju mendatangi Natasha yang masih terpaku dan meraih tangannya tanpa lagi malu-malu.
"mana ada suami istri tidurnya misah!" omelnya pelan sambil menggiring Natasha menuju kamarnya.

Dan seketika sesuatu yang hangat memerahkan puncak pipi Natasha, tapi kedua tangan dan kakinya mendingin bagai kutub utara.
Kenapa?
Kenapa Kahfi tiba-tiba berubah agresif dibandingkan sebelum-sebelumnya?

********

"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan,”Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk."
[al Baqarah/2:155-157]

Terhitung sepuluh hari sejak pencarian Abati sepakat dihentikan.

Sebagian besar orang meyakini Abati memang tidak selamat dalam peristiwa maha dahsyat tempo hari di Palu itu.
Meski sebagian yang lain masih berharap adanya keajaiban yang mungkin mengamankan Abati di suatu tempat dalam keadaan sehat tanpa kekurangan suatu apapun.

Hidup harus tetap berjalan, meski situasinya tak lagi sama.

Memang kesulitan akan dihadapi pada awalnya, namun akhirnya segalanya akan menjadi terbiasa.

Meski airmata belum kering menangisi kepergian Abati, tapi pesantren membutuhkan mereka yang masih berada disana untuk tidak terus menerus meratapi.

Perjuangan harus kembali ditapaki hingga mencapai puncak terindahnya.
Jika Abati memang ditakdirkan berhenti sampai disini, sudah menjadi tugas para penerusnya untuk melanjutkan apa yang sudah susah payah dimulai oleh pendahulu-pendahulunya.

Warisan terbesar yang mahal harganya.

Sebuah wadah penyebaran islam yang semoga besar ganjarannya di sisi Allah.

Yang harus mereka lakukan hanya bersabar dan meningkatkan kesabaran selagi memperkuat ketakwaan.
Dan yakin bahwa keberuntungan tidak lama lagi akan segera datang..

"Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung."
(Q.S. Ali 'Imran : 200)

****

Ehe. Aku lupa kalo masih ada part yg ketinggalan.
Hahahaha.

Gimana gengs? Masih berombakkah?

Kapal Kahfi-Natasha berlayaaaaarrrrr!!!
Puas kaliaaan?!

Oke. Ini beneran part terakhir. Serius ( part terakhir yg akan dipublish sebelum epilog)

Jadi, gak akan ada extra part atau macam-macamnya.
Tapi kalau misalnya ada yang pengen baca sequelnya, bisa kupertimbangkan untuk membuat cerita sendiri tentang Kahfi dan Natasha. Eaaakkk.
Itu juga kalo banyak yang minta ya. Kalo ga yaa, mending aku selesain ceritaku yg udah nunggu di akun ku saja. Hahaha
Gimana gimana?
Bikin tidaq yha?

Btw, soal Kahfi-Natasha, ya emang segitu aja ya. Jangan pada protes kenapa begini begitu, ini gak sah itu gak halal. Kan udah kujelasin di part sebelumnya hehehe.

Akhirul kalam, makasih banget buat semua yang setia dan ngeboom voment di cerita trio K dan abatinya ini. Semoga Allah membalas kebaikan kalian semua yang udah nyemangatin saat aku nyaris menyerah.

Kalian sangat berharga. Lebih spesial dari martabak yang telornya lima. Beneran deh.

Kayanya ngomong saranghamnida aja udah gak cukup buat ngungkapin secinta apa aku sama kalian, gaes...
Huhuhuuuuu.

Eh, makasih-makasihnya ntar lanjut di epilog ajadah. Huehehehehe.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro