Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

19. Gemuruh rasa

Bismillahirrahmanirrahiim..

Author's Pov

Badai menyambar-nyambar, kilatan petir menggelepar dalam dada Abati sedetik setelah mendengar uraian polisi tadi.

Oh Nabi dituntut atas penipuan sejumlah uang yang cukup membuat mata terbelalak.

Benar. Itu Oh Nabi, Abati tahu sekali nama itu milik siapa. Milik putrinya, Khaula Nabiha.

Andai demi menyelamatkan ego dan rasa malunya, Abati tentu akan berbohong saja dan membiarkan dua polisi tadi pergi tanpa membawa apa-apa. Bukankah seperti itu biasanya seorang ayah melindungi putrinya? Menutupi kesalahannya atau justru rela menanggungnya.

Sayangnya, Abati bukan ayah biasa. Abati adalah ayah yang tahu hukumnya dan paham syariatnya.
Andai hanya maksiat saja, taubat pada Allah dengan sungguh-sungguh bisa menghapus dosanya. Itupun jika Allah mengampuninya. Namun kasus ini juga menyangkut sesama manusia yang akan menyulitkan di pengadilan Maha Besar kelak di akhirat jika tak diselesaikan di dunia.

Ini kriminal, pelakunya akan mendapat hukuman seberat-beratnya.

Membayangkan itu, Abati rasanya ingin bumi menelannya saja.

Tapi lagi-lagi Abati bukan ayah biasa.

Dia seseorang yang dibebankan amanah syiar di pundaknya.

Seperti Nabi Ibrahim yang diperintahkan meninggalkan anak istrinya di padang pasir tanpa sanak keluarga ataupun perbekalan yang dibawa serta, lalu setelah bertahun lamanya, saat pertemuan yang baru sebentar saja, diperintah pula agar menyembelih putranya.
Nabi ibrahim menyanggupi tanpa tapi, bahkan putranya pun dengan serta merta merelakan diri. 

Lalu apakah Abati harus menyerah bahkan jika seorang kekasih Allah pun ujiannya penuh derita?

"Oh Nabi anak saya, Pak. Putri saya yang bungsu. Nama aslinya Khaula Nabiha.. Maaf atas ketidak nyamanannya. Saya izin panggil dia dulu"

Bahkan pak polisi pun kehilangan kata-kata ketika dengan besar hati ustaz Fuad menyerahkan putrinya tanpa perlawanan.
Saat ia mulai melangkah hendak memasuki pintu rumahnya, polisi yang malah menjadi tak tega, meminta maaf lalu menyarankan agar investigasi dilangsungkan di rumah saja. Mungkin hanya kesalah pahaman atau tuduhan tak berdasar semata.

*****

Khansa's pov

Aku merebahkan tubuh di kamar seusai shalat zhuhur yang kutunaikan disela-sela kesibukan hari tasyrik yang penuh dengan daging-daging sembelihan.
Dapur umum pesantren yang selalu beralih fungsi sebagai tempat pembagian daging kurban setiap idul adha dipenuhi ibu-ibu jamaah dan guru yang turut membantu memotong dan mengiris daging setelah disembelih dan dikuliti oleh bapak-bapak di lapangan bagian luar dapur.
Aku, Khaula, Ummi dan Natasha bergabung disana, lebih sibuk karena harus menyediakan makan siang untuk semua yang ada.

Belum lama aku merebahkan diri, ummi datang menghampiri.

"Sudah shalat, Kak?"

"Udah, Mi, tapi istirahat dulu sebentar hehe"

"Bang Odi gak pernah telepon?"

Aku sangat tidak suka setiap kali ummi memulai percakapan selalu menanyakan Bang Odi dulu. Maksudku, apa peduliku? Bagus jika dia tidak menelepon, tapi kenapa ummi selalu menanyakan itu?

"Udah, tadi."

Biar gampang kujawab saja asal. Kataku sudah, padahal tidak. Ponselku saja entah dimana. Aku tidak punya ketertarikan dengan ponsel lagi sejak smartphone ku disita dan digantikan dengan handphone yang dipenuhi digit digit angka, yang kata Khaula ponselnya bagus untuk melempar buah mangga dari pohonnya.

"Kak... Adek ada yang lamar..." tanpa ba bi bu, ummi mengungkapkan isi hatinya yang kutahu itu adalah resah.

"Hah? Siapa? Kahfi?"

"Hhhh... Kahfi Kahfi. Jangan sebut-sebut Kahfi nikah. Ummi belum hilang sedihnya."

"Ya kan adiknya Khansa ada dua, Mi..."

"Iya, Khaula."

"Haahhh?! Sama siapa?" aku membenarkan posisiku yang mendadak kehilangan niat untuk isturahat.

"Itu, cucunya teman baik Tetta"

Yah. Lagu lama. Perjodohan lagi-lagi akan memakan korban.

"Ummi sih belum sreg, tapi Tetta Nenek udah suka. Gimana dong? Apa ummi terima aja? Habis ummi juga khawatir sama adik kamu yang lagi ngefans berat sama idola idola itu"

Ya Allah. Ingin mengatakan mereka primitif tapi keluarga sendiri. Tahan. Jangan durhaka.

"Jadi ummi mau berlepas tangan lagi? Mau bilang terserah dan berakhir jadi seperti aku lagi?"

"Maksud kamu apa?"

"Liat aku, Mi! Cukup aku aja yang menjadi korban demi kepuasan hati tetua tetua kita. Cukup aku aja yang menyerah sama impian dan masa depan yang hancur begitu akad nikah terlaksana. Adikku gak boleh begitu juga!"

"Khansa kenapa begitu ngomongnya? Siapa yang kamu bilang hancur?"

Aku sungguh-sungguh sedang terbakar emosi saat ini. Siapa yang hancur? Tidak bisakah ummi melihatnya? 

"Lagi ngomongin apa nih? Serius banget kayanya" Bibiku, adik dari ummi muncul meredakan perdebatan ummi dan aku untuk sementara.

"ini loh Pung Ina, Khansa bilang cukup dia aja yang menderita karena dipaksa nikah." tukas ummi sambil menunjukku dengan mengedikkan kepalanya.

"Jiaaaah, nanti juga nyesel kalo udah punya banyak anak. Nyesel kenapa dulu sok jual mahal."

Caranya menggodaku itu membuatku mulai mual dan ingin segera pergi saja. Aku membereskan alat solatku lalu beranjak pergi. Sebelum pergi, kutekankan sesuatu pada ummi

"Cukup aku saja yang dikorbankan, Mi! Adek punya masa depan cerah, soal gimana dia sekarang di masa remajanya, bukannya bisa dikomunikasiin aja? Pokoknya, perjodohan bukan solusinya!" pungkasku lalu memutar badanku ke arah pintu.

Abati muncul dari luar bersamaan dengan aku yang hendak keluar.

"Mana adek"

Sahut abati dengan nada yang terdengar menahan marah.

Belum sempat aku jawab, Abati sudah selesai memindai seluruh kamar dan tidak mendapatkan presensi Khaula disana beliau segera pergi lagi meninggalkan kebingungan pada bibi dan ummi.

Aku menyusul abati keluar, kudengar Abati meneriakkan nama Khaula berulang-ulang.
Dan baru berhenti ketika matanya menangkap sosok Khaula yang rupanya sedang tertidur pulas di kamarnya, lengkap dengan headphone di kepalanya.

Disana amarah abati meluap. Disentaknya Khaula yang sontak terbangun karena suara Abati yang terdengar tidak ramah.

"Bangun! Bangun!"

"Kenapa ba? Aduh, aw.. A.. Sakit.." Khaula mengaduh karena cengkraman tangan Abati yang cukup kuat di lengannya dan kakinya yang terantuk ranjang.

Lalu ketika Abati mendengar suara lagu yang didengarkan Khaula dari headphone nya, dibantingnya benda itu dengan kencang ke lantai yang mematahkannya dalam sekali hentakan.

"Ini nih. Ini yang merusak kamu selama ini!" Abati pun meraih ponsel Khaula yang masih tersambung dengan headphone dan juga melemparnya ke lantai. Khaula memekik dan mulai melayangkan protes.

"Abatiiii... Abati kenapaaaa? Hape akuuuu, huwaaaaa headphone akuuuu edisi khusus ulang tahun exoooo"

Aku pun terkejut bercampur kebingungan. Abati tidak akan marah sebesar ini jika persoalannya sepele.
Pertanyaanya adalah, apa masalahnya?

"Ba.. Sabar ba.. Tenang dulu, ba.. Kenapa?" aku coba menenangkan abati yang mengunci tatapannya pada Khaula yang mulai meraung meratapi benda-benda kesayangannya yang dikumpulkannya sejak lama dihancurkan Abati dalam sekejap.

"Keluar! Keluarin semua barang-barang gak berguna itu, Kak! Mana lagi, ambil semuanya. Yang dilemari! Buang semua!"

Suara abati meninggi, mengundang ummi dan yang lainnya datang dan mencari tahu apa yang terjadi.

"Jangan, jangaaaaan!!! Abatiiiiiii, kenapaaaa? Khaula salah apaaaa?"

"Salah apa? Salah apa kamu tanya?!!! Keluarin semua, kak! Abis itu bakar!"

"Aaaaaa! Nggaaaaa! Jangaaaan! Itu udah aku kumpulin susah-susah dari dulu pake uang tabungan..." Khaula meraung semakin hebat.

"Uang tabungan atau uang nipu orang?! Siapa yang ngajarin kamu nipu orang?!!!"

Astagfirullahalazhim...
Apalagi ini yaAllah?

Nipu orang? Menipu? Khaula menipu? Tidak. Tidak mungkin.
Adikku walau prilakunya sering menyimpang tapi masih dalam tahap wajar. Ia masih lugu, tak mungkin melakukan perbuatan kriminal semacam itu.

"Siapa yang nipuuuuu?!"

"Ngaku!"

"Aku gak nipuuuu!"

"Di depan ada polisi, nyari OH NABI. Mau ditahan karena menipu orang 10juta. Gak mau ngaku kamu, iya?! Biar tinggal aja di penjara! Abati menarik tangan Khaula paksa, meski bungsunya itu masih meraung sekencangnya.

"Aku gak nipuuuuuu!" pekiknya. "Kamu apain uang 10 jutanya orang?! Buat apa?!!""

"Aku ga nipu, Ba! Aku gatauuuu..."

"Jelasin di kantor polisi!"

"Itu tapi barang-barang aku jangan dibuang"

"Bakar kak, semuanya!"

"Jangaaaaaaan! Huwaaaaaaaa!!!"

****
Author's Pov

Pekikan Khaula terdengar dari luar, mengagetkan semua orang yang sedang berkumpul di dapur umum yang memang berdampingan dengan rumah abati dan sekitarnya.

"Ada apa tuh?"

"Ada masalah apa? Siapa itu yang teriak?"

"Sepertinya Khaula. YaAllah kenapa itu?

Bisik-bisik mulai terdengar. Natasha yang masih berada ditengah ibu-ibu pun penasaran dengan yang terjadi di rumah mertuanya namun berusaha tenang dan tetap melanjutkan pekerjaannya memotong daging sapi. Berkat fokusnya yang teralihkan oleh jerit histeris Khaula, pisau besar yang digunakannya membelah tulang iga sapi ternyata melukai jarinya hingga darahnya bercecer kemana-mana.
Alangkah terkejutnya ibu-ibu yang berada disana, mereka serentak meminta tolong dan meneriakkan luka Natasha yang jarinya terbelah dua dengan hiperbola.

Kahfi yang baru saja memarkir motornya usai mengantar pembagian daging kurban pun kebingungan karena tiba-tiba disuruh ummi ikut bersama Khaula dan abati ke kantor polisi. Namun lebih bingung lagi pada dirinya sendiri ketika disaat yang bersamaan seseorang memapah Natasha dengan tangannya yang berdarah-darah minta segera dibawa ke klinik, Kahfi tak pernah khawatir sebesar itu pada seseorang, dan Natasha yang darah dari tangannya masih mengucur  serta wajah mungilnya yang menahan sakit itu berhasil membuatnya sekhawatir itu lalu tanpa berpikir panjang kembali menstarter motornya dan mengajak Natasha duduk di belakangnya.

Ini membingungkan. Padahal seharusnya, Kahfi takkan mau peduli, sama seperti sebelum-sebelumnya.

Sepersekian detik Kahfi merasa dunia berhenti, orang-orang hanya menatapnya dengan bergeming, Natasha pun tak bergerak sama sekali. Ia lalu mencoba menjernihkan pikirannya.

"Oke salah. Natasha luka, gak bisa dibonceng." gumamnya seraya mencegat seorang santri yang lewat untuk menolongnya meminta kunci mobil di rumahnya.

Baru setelah di dalam mobil usai Natasha ditangani, Kahfi memikirkan kesalahan bukan pada membonceng Natasha padahal dia terluka, tetapi bersentuhan dengannya padahal hubungan mereka hanya status belaka.
Kemudian ia merutuki dirinya, mengapa saat melihat Natasha bersimbah darah, pikirannya menjadi kacau seketika.

*****

Sementara itu, Khaula sedang diinterogasi di ruang tamu rumah Abati.
Atas saran dari polisi yang bersimpati melihat betapa histeris Khaula tadi, dan permohonan ummi yang tentu saja ikut mengisak membuahkan kesepakatan Khaula tidak perlu memberi keterangan di kantor polisi meski Abati sempat berkeras untuk membiarkan Khaula pergi.

Tidak begitu lama Khaula ditanyai, hingga polisi sampai pada jawaban kasus yang ternyata bukan tanggung jawab Khaula sendiri.
Kesimpulannya, Khaula memang terlibat tapi bukan dia yang menipu secara langsung, karena dirinya pun tertipu.

Khaula menjelaskan sedetail-detailnya, ia mempromosikan sebuah akun penjualan tiket konser atau temu penggemar dan marchandise artis artis Korea yang hendak menyambangi indonesia. Tidak ada masalah sejauh ini, semua uang yang masuk ke rekeningnya dikirimkan lagi ke rekening penjual tiketnya dengan mendapatkan sedikit komisi dari kenaikan harga yang telah disepakati, lalu mereka yang memesan tiket akan mendapatkan pesanannya paling lambat tujuh hari setelah pembayaran dilunasi.

Namun transaksi terakhir ini memang bermasalah, sejak beberapa hari lalu Khaula memang sering dihubungi oleh pelanggan yang membeli tiket melaluinya, mereka mempertanyakan tiket dan pernak pernik yang sudah dibayar sama sekali tidak sampai pada mereka bahkan setelah konser artis mereka selesai.
Khaula tidak tahu menahu, sebab uangnya sudah ia serahkan kepada penjual selaku pihak pertama, namun saat Khaula mencoba mencari tahu, Khaula kehilangan kontak dengannya karena nomor teleponnya tidak aktif dan akun sosial media yang biasa digunakan penjual itu lenyap entah kemana.

Khaula memang sangat ketakutan, puncaknya ketika pelanggannya mulai tidak terima alasan Khaula dan menuduhnya sebagai penipu. Empat orang yang merasa dirugikan karena telah membayar mahal namun pesanannya tak kunjung datang pun sepakat membawa kasus ini ke polisi. Dan kedatangan polisi kerumahnya hari ini memang sudah dibayangkannya sejak jauh jauh hari.

Atas keterangan itu, polisi tidak mempunyai wewenang untuk menahan Khaula. Namun meski begitu, Abati merasa bertanggung jawab dan bersedia mengganti kerugian yang melibatkan putrinya, meski jumlahnya tak sedikit, abati berupaya menyanggupi.

*****
Kahfi's Pov

Gila!
Mau copot rasanya jantung gue denger orang teriak-teriak Natasha kepotong jarinya.
Apalagi pas lihat tangannya emang penuh darah. Trus mukanya yang keliatan udah kekurangan darah.
Auto lemes lutut gue.

Buru-buru lariin dia ke klinik, padahal ternyata lukanya gak parah, cuma kuku di jari jempolnya yang ilang separuh. Ya ngeri aja kan anak orang kehabisan darah sampe putih banget begitu mukanya.

Eh Natasha emang putih banget sih ya?
Belakangan ini sering bikin mata gue silau itu kenapa ya?

Gue lagi jalan pulang dari klinik, Natasha lagi tiduran di kursi samping gue, barusan gue lirik bentar tadi.

Natasha tuh kenapa pas pake kerudungan begini jadi cakep sih?
Parah!
Mata gue jadi lost kontrol suka tiba-tiba pengen lirik.

Kenapa juga belakangan ini gue suka ada yang sakit di dada kalo ngeliat Natasha ya?

Gak sehat nih!
Kenapa tadi gue ga sekalian berobat ya?

Woy sadar Fi, sadar!

Astagfirullah. Jaga pandangan, Fi.

Natasha bukan siapa-siapa lo. Dan gak pernah bakal jadi apa-apa buat lo.

Tapi kan Natasha istri gue?

Doh! Kenapa keribetan gak pernah lepas dari gue?

"Gimana Khaula? Ga ada kabar dari rumah?"

Astagfirullah, suara Natasha hampir aja bikin gue nabrak anak kucing yang lagi nyebrang.

Gue noleh sebentar ke dia yang ternyata juga lagi liat ke arah gue.

Salting.

"Lain kali hati-hati." kata gue sambil liat ke tangannya yang diperban.

Wooooy hubungannya apa wooooy.

Bodo amat kalo ga ada hubungannya. Bodo amat juga Khaula kenapa. Gue lagi sibuk mikirin kenapa gue jadi sebego ini dan kenapa Natasha mulai jadi martabak telornya lima. Spesial.

Liat aja tuh senyumnya tersipu-sipu padahal gue cuma suruh dia hati-hati.

Ya Allah. Ini gak sehat buat hati gue.

Gue gak bodoh-bodoh amat sampe gak nyadar kalo gue jatuh cinta, ya.

Cuma ini urusannya complicated.
Karena perasaan gue tumbuh gak seharusnya. Dan seharusnya emang rasa itu gak ada.

Kalo aja....
Kalo aja gue sama dia beneran sah...

Malah jadi ngawur gini pikirannya sih?
Kayanya gue emang butuh berobat juga.

*****
Natasha's Pov
(special)

Aku kaget mendengar Khaula teriak besar sekali.
Ini pertama kalinya aku dengar ada yang bersuara keras di lingkungan ini. Padahal yang kutahu dulu, orang Makassar itu terkenal kasar dan kalau bicara seperti orang bertengkar. Ternyata keluarga baruku ini sama sekali berbeda. Bahkan berbicara pun ada adabnya.
Aku kagum sekali.

Tapi, ada apa Khaula jadi seperti itu?
Aku ingin melihatnya, tapi tidak enak sama ibu-ibu yang masih bekerja. Jadi kulanjutkan saja pekerjaanku juga, tinggal sedikit lagi. Pikirku.

Ouch! Sakit sekali saat dua jariku tersayat mata pisau dan segera mengucurkan banyak darah.

Ini gawat!

Aku pobia darah.

Aku ketakutan setengah mati.

Rasanya ingin menjatuhkan diri, tapi saat kudengar orang-orang memanggil nama Kahfi entah mengapa kekuatanku datang dengan sendirinya.

Walaupun sebenarnya aku berusaha sekuat tenaga agar tidak tumbang, kelakuan Kahfi bisa saja membuatku tertawa waktu dia mengajakku naik ke atas motornya lalu membatalkan niat dan membawaku ke klinik dengan mobil abati.

Belum lagi saat di klinik. Seperti orang yang membawa pasien gawat darurat, Kahfi heboh menyuruh orang-orang untuk minggir agar jalan kami terbuka.

Aku tersipu malu dibuatnya, tapi tiba-tiba jantungku seperti berhenti detaknya saat tangan Kahfi meraih pergelangan tangan kananku yang tidak luka.
"Buruan" sahutnya sambil berlari kecil dan mengencangkan pegangan tangannya padaku.

Jujur, hatiku porak poranda mendapat perlakuan dari Kahfi seperti itu.
Namun kusadari itu salah, maka aku berusaha melepaskan tangannya.

Beruntung kami tiba di ruang pemeriksaan segera.

"Pelan-pelan aja, Dok."

Aku tidak mengerti kenapa Kahfi harus mengatakan itu pada dokter padahal dokter hanya membersihkan darah yang tersisa di tanganku agar diketahui lukanya di bagian mana.

"Aduh, sayang banget sama istrinya ya?" aku terkikik dalam hati mendengar respon dokter yang langsung mengubah ekspresi wajah Kahfi.

Tapi Kahfi memang selalu bisa mempermainkan suasana hati. Saat dokter selesai membebat lukaku, Kahfi menanyakan soal obat yang harus kukonsumsi.

"Dok, kalau bisa obatnya yang aman buat ibu hamil ya." katanya.
Aku terharu.
Bahkan aku lupa tentang kehamilanku tapi dia ingat dan mengantisipasi obat yang berbahaya untukku dan janinku.

"Obat? Buat siapa?" tanya dokternya.

"Dia" jawab Kahfi singkat. Menunjukku tentu saja.

"Oh hamil yaaa? Oke gapapa, ini lukanya gak perlu obat, cukup diperban aja."

Ketika kami hendak pamit, dokter berkata "Selamat ya, menanti anak pertama. Ayahnya yang kuat ya! Siap-siap liat istrinya kesakitan nanti pas lahiran."

Ingin ku tertawa selebar-lebarnya melihat wajah Kahfi yang melongo sempurna.

Tapi dalam hati rasa tidak enak pun menggelora, pasalnya masih ada hal yang kurahasiakan padanya.

Sepanjang jalan menuju rumah, aku terhanyut dalam mempertimbangkan untuk mengakui atau tetap menyimpan dalam hati apa yang selama ini kusembunyikan sendiri. Sampai aku teringat tentang Khaula tadi, samar-samar kudengar dia berurusan dengan polisi, kucoba tanyakan pada Kahfi.

"Gimana Khaula? Ga ada kabar dari rumah?"

Kahfi malah mengerem tiba-tiba. Entah apa yang dipikirkannya,

"Lain kali hati-hati" jawabnya kemudian kembali pada kemudinya. Hanya tulang rahangnya yang tegas terpampang nyata dari tempatku duduk di sampingnya.

Entah mengapa bahagia menyusupi rongga dadaku.
Walau kalimatnya terdengar datar, aku tau kepeduliannya besar. Menegaskan bahwa dia tak ingin aku terluka, karena itu membuatnya khawatir.

Dan senyumku pun merekah tanpa sadar.

To be continued.

Ramaikaaaan guys!

Kalo rame, double up. InsyaAllah! 😁

Padahal mah emang harus double up biar selesai sesuai target 😅

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro