Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15. Pernikahan Impian

Bismillahirrahmanirrahiim...

Khansa's Pov

Aku pulang.
Meski setengah hati, namun bujukan keluargaku yang menjamin diriku boleh kembali lagi ke Madinah untuk mengejar impianku terasa begitu meyakinkan.
Kutegaskan pada mereka bahwa aku hanya ingin pulang jika keinginanku dipenuhi. Aku, bagaimanapun caranya harus berpisah dari suamiku karena bukan bersamanya aku merasa rumah tangga seperti surga.

Sesederhana itu.
Memang...
Impianku menikah dengan seseorang yang bersamanya rumahku menjadi surga, dan surgaku semakin dekat dan dipenuhi cinta.
Dan itu bukan dengannya, sebab sejauh ini semakin aku bertahan, semakin aku tersiksa.

Kak Fitri bilang ikhlas adalah solusinya.
Mungkin benar.
Tapi, bolehkah aku memilih mengikhlaskan hubungan yang kandas demi mendapatkan keridhaan yang lain di masa depan?

Untuk saat ini, keluargaku menyetujui itu. Setidaknya aku pulang dulu, katanya. Selebihnya, apapun mauku, terserah padaku.

Aku pulang.
Saat ini aku, ammu Hasan dan Kahfi sudah tiba di terminal kedatangan. Di pintu keluar, samar-samar kulihat ummi dan abati menunggu disana.
Ada haru yang menyeruak memenuhi rongga dadaku saat binar mata mereka bertemu dengan manik milikku. Buncahan rindu dan juga tumpahan malu menyatu membentuk riak kecil di mataku. Aku berlari kecil ke arah mereka, mengacuhkan keadaan bandara yang tengah padat.

Ummiku, nampak jelas wajah itu hendak mengatakan banyak hal, namun hanya air mata yang bisa diutarakannya. Wajahnya memerah, begitu pula matanya. Membuatku tak menunggu lama untuk segera menghambur ke arahnya. Bersimpuh di kedua kakinya, dan kubiarkan emosiku meluap sehebat-hebatnya karena terlalu lelah kutahan selama ini.

Setelah ummi, mataku beralih pada abati yang juga duduk di sebelah ummi. Wajahnya berusaha tenang, meski kutahu sorot mata itu yang meyakinkan padaku bahwa abati sedang kecewa, tapi juga penuh rasa bersalah. Terbukti ketika kudekap tubuh gagahnya, yang terucap dari bibirnya adalah "Maafkan Abati, Nak" kemudian mengecup puncak kepalaku.
Menitik air mataku tanpa komando.
Seolah mencerca diriku atas perbuatanku yang membuat beliau terluka namun justru beliau yang lebih dulu meminta maaf.

Bibirku bergetar mengucap kata maaf dan semakin mengeratkan lingkaran tanganku yang menjepit tubuh abati. Namun perlahan abati melepaskannya dan mengajakku mengalihkan fokusku pada sosok di sampingnya yang sejak tadi berusaha kuhindari. Seseorang yang tadi sedang bercengkrama penuh tawa dengan orangtuaku kini terdiam membeku layaknya bongkahan es, hanya matanya yang fokus pada layar ponsel di tangannya. Suamiku.
Calon mantan, tepatnya.

Abati memberi isyarat padaku untuk meraih tangannya, menyalaminya.
Oh... Bagaimana cara ku menolak? Baiklah. Untuk saat ini kuturuti saja. Hanya bersalaman saja, apa susahnya?
Kudengar abati memanggilnya dan dia menoleh ke arahku, mengulurkan tangannya dengan ekspresi yang sulit kuterka. Jelas tidak ada wajah penuh canda yang sering membuatku kesal saat melihatnya, awalnya kupastikan dia sedang marah besar karena sama sekali ia tidak menyapa ataupun menegur sapa, tapi hanya sedetik setelah menarik tangannya yang kusentuhkan di keningku, ia justru kembali tertawa menyambut Kahfi dan Ammu Hasan di belakangku. Ah mungkin dia hanya marah padaku. Tapi apa peduliku? Kupalingkan diriku darinya menuju Khaula yang paling heboh menyambutku.

"Kaaaak. Kakak. Makasih banget kakak pulang hari ini jam segini. Pas banget sama jadwal datangnya oppa oppa dari Korea. Huaaaa. Aku gaboleh lewatin kesempatan" pekiknya girang, dengan volume rendah yang hanya bisa didengar olehku saja.

"Oh. Pantesan bandara rame banget sama anak-anak gadis pemuja oppa." jawabku sedikit kecewa. Kukira dia bereaksi berlebihan karena terlalu senang melihatku datang, ternyata tidak.

"Apaan sih, Kak. Namanya juga usaha bisa liat oppa langsung, siapa tau jodoh. Wkwkwk" kekehnya. Aku tau dia bercanda, Khaula memang seperti itu jika denganku.
Kubalas dia dengan sesuatu yang sontak membelalakkan matanya.

"Padahal tadi kakak satu pesawat loh sama mereka."

"Seriusan, Kak?! Kakak liat Sehun gak?! YaAllah gimana mukanya Sehun kak? Mulus banget kan?!"
Ya salam... Kenapa Khaula beneran percaya?
Aku tertawa dalam hati. Adik kecilku itu masih terlalu polos... Semoga masa depannya ia tak perlu melewati peliknya percintaan seperti yang kualami saat ini.

"Mm, ada Sehun, Siwon, Onyu sama siapa lagi tuh... Song Jongki? Iya. JongKi."

"Hah?! Emang Super Junior juga dateng, ya? Bukannya EXO doang? Shinee juga? Loh Song Joong Ki ngapain?"
kubiarkan Khaula merapal mantra yang entah apa maksudnya itu. Sampai akhirnya dia terdiam sendiri setelah lama berpikir dengan otak polosnya. Aku yang tak kuasa menahan tawa akhirnya membuat dia menyadari aku hanya bercanda.

"Kakak kan dari Jeddah. Mana ada bisa satu pesawat sama idol. Huuuuuuu"

"Makanya kalo denger nama oppa itu jangan langsung gelepar geleper kaya ikan kehabisan air." Khaula bersungut-sungut mendengarnya, kubalas dengan senyum dan mengajaknya menuju mobil mengikuti yang lain.

Perjalanan dari bandara ke rumah cukup lama. Padahal jaraknya dekat, tapi jalanan yang dipenuhi kendaraan membuat laju mobil kami tersendat-sendat. Ibukota dan segala kemacetannya, mungkin sudah menjadi hal yang tak bisa dipisahkan.
Tidak banyak yang kami bincangkan sepanjang perjalanan. Aku, tepatnya yang tidak banyak bicara, sedangkan yang lain saling melempar canda. Hanya Khaula yang sesekali membisikkan keluhan karena kemacetan, dan kekesalan karena tidak sempat melihat grup band idolanya di bandara tadi, tapi mencoba menghibur diri karena besok dia akan menonton konser dan menghadiri fansign nya. Saat kutanya bagaimana dia bisa memiliki tiket untuk kesana, dia hanya menyengir sambil menjawab "Ada deh, kakak aja bisa pergi ke Madinah gak bilang siapa-siapa, aku yang cuma beli tiket konser aja, kenapa gak bisa?"

Oke. Aku tarik ucapanku soal Khaula yang masih polos. Ternyata dia tidak sepolos itu. Dia sudah tumbuh menjadi gadis yang cerdik dan banyak akal yang bisa membuatku tertohok hanya dengan satu kalimat.

Selang beberapa menit kemudian, mobil kami akhirnya memasuki kawasan perumahan. Perumahan yang kutahu didalamnya sedang dibangun rumah kami. Ah tidak, rumah suamiku. Bukan. Sebentar lagi dia bukan suamiku lagi, jadi dengan apa aku harus menyebutnya? Menantu orang tuaku?
Terdengar cukup bagus.

Aku melihat dari jendela mobil, rumah tinggi dengan konsep minimalis itu rupanya sudah rampung. Rumah yang sejak awal dibangun tak pernah memunculkan bayangan masa depanku disana. Tidak, karena aku menolaknya. Aku menolak jika diajak meninjau sejauh mana perkembangan bangunan itu, aku pun enggan terlibat dalam pemilihan warna, dan dekorasinya. Kubiarkan Bang Odi mengurusnya sendiri, karena pikirku aku takkan ada di rumah itu bersamanya nanti.

Tetapi aku disini. Berdiri di depan pintu utama rumah ini.

Nyatanya, sejauh mana kita lari, rezeki yang akan menarik kita untuk tetap disini.

Aku tenang, sebab hari ini aku hanya menumpang. Sebentar saja, sampai waktuku pulang. Itu sebabnya akupun menolak menempati kamar utama jika Bang Odi juga disana. Akhirnya Bang Odi yang mengalah, dia yang pindah ke kamar tamu bersama Kahfi. Dan aku ditemani Khaula di kamar utama.

Pagi-pagi sekali, aku dibangunkan ummi memintaku untuk mengantarkannya ke pasar. Orang lain akan mengira kami benar-benar akan ke pasar. Tapi aku tidak.
Cukup aneh jika orangtuaku dengan senang hati menuruti keinginanku tanpa pertimbangan dan tanpa persidangan. Aku yakin ini saatnya ummi sedang berusaha mencari cara untuk membujukku memikirkan kembali tekadku ingin berpisah dari Bang Odi.

Benar saja. Sebelum tiba di pasar, ummi nemintaku meminggirkan mobil dan berhenti di sebuah taman yang masih cukup sepi.

Dalam hati aku berjanji, jika ummi mulai berusaha membuatku berubah pikiran, aku harus lebih kuat bertahan.

"Kak... Kamu kenapa?"

"Aku kenapa?" jawabku.

"Ummi tau ini bukan kakak... Kakak yang ummi tau gak begini. Kakak, anaknya ummi yang tangguh, sabar, solehah..."

Ummi. Selalu. Tahu. Kelemahanku.

Air mataku menitik lebih dulu.

"Seseorang bisa berubah karena sesuatu yang tidak bisa diatasinya. Sesuatu yang terlalu keras menyiksa."

"Masalah apa, Kak? Coba cerita... Semua ada jalan keluarnya."

"Kalo ummi lagi cari cara biar aku berubah pikiran, gak akan bisa."

"Kak! Istighfar! Jangan biarkan setan menguasaimu."

"Gak bisa, Ummi... Aku gak bisa lagi menderita. Ummi sama abati cukup ridhai aku aja."

"Ya Allah, Khansa... Apa yang kamu derita? Itu yang ummi mau tau, Kak! Ummi juga gak bisa tiba-tiba nurutin kamu tapi kepala ummi penuh tanda tanya. Sebesar apa kamu merasa menderita? Sementara kamu tau Allah selalu mampu membalut setiap luka."

"Aku cuma mau pisah! Tolong mengerti, Ummi... Bukan pernikahan seperti ini yang aku impikan. Kalau dipaksakan, tidak akan ada untungnya. Aku bisa gila!"

"Khansa! Ummi gak tau apa yang berusaha kamu wujudkan, tapi kamu sekarang ini sudah keterlaluan. Liat Bang Odi, segitu sayangnya dia sama kamu, Kak..."

"Itu cuma depan ummi doang."

"Khansa... Kamu tahu kan? Perempuan baik-baik hanya untuk laki-laki yang baik pula. Bukan tugasmu menentukan baik buruknya seseorang."

"Ummi gak tau aja gimana Bang Odi sama aku! Aku gak suka!"

"Jodoh itu cerminan diri, kalau menurutmu dia tidak cukup baik untukmu, mungkin menurutnya kamupun tak sebaik itu. Tentukan standar jodohmu, tapi jangan angkuh. Jangan malas memperbagus diri, tapi berharap jodoh dengan kesempurnaan pribadi."

"Makanya itu, perjodohan ini salah! Karena aku dan Bang Odi gak sama. Kita jauh berbeda. Karena aku bukan jodohnya!"

"Ya Allah... Sejak kapan kamu bisa jawab semua yang ummi bilang?"

"Kenapa aku harus nurut terus sama semua yang ummi bilang yang akhirnya menghancurkan aku sehancur-hancurnya tapi ummi juga gak bisa lagi benerinnya?"

"Khansa... Jangan begitu, Kak... Apa masalahmu sebenarnya?"

"Kenapa menikah itu harus dijodoh-jodohkan?!"

"Innalillah, Kak. Kenapa kamu jadi keras begitu? Fatimah aja dijodohkan sama Ali tanpa pemberontakan."

"Itu karena Fatimah emang jatuh cinta sama Ali sebelumnya!"

"Khansa?! Jangan-jangan kamu emang lagi suka sama orang lain?"

Jleb.

Tidak kusangka ummi akan menebak hal itu. Bahkan akupun tak lagi memikirkan sesuatu selain perpisahan ini. Namun sejenak usai ummi mengatakan hal itu, bayangan Kak Farhan kembali menyambangi membuatku bingung atas perasaanku sendiri.

"Nggak! Tentu aja nggak. Aku gak kaya gitu, Mi." kilahku secepatnya.

"Ummi cuma mau Khansa menjaga kehormatan. Khansa tau, kan? Jaminan surga untuk orangtua yang mendidik, membesarkan, mengasuh dan menikahkan 3 putrinya tanpa fitnah.
Ummi cuma punya dua, sulit untuk ummi membiarkan putri ummi melakukan hal yang Allah murkai, sayang. Belum lagi gimana kata orang?"

Aku terdiam. Mengunci mulutku rapat-rapat. Menuju ke mobil masih tanpa suara, dan mulai melajukan mobil hingga ke rumah pun tanpa sepatah kata. Otakku serasa menjadi benang kusut yang tak bisa kuluruskan meski sudah berusaha.
Antara ingin memeluk ummi dan memohon ridha dan maafnya, tapi juga mempertahankan tekad karena firasat perjuanganku hampir selesai dan impianku selangkah lagi untuk bisa kuwujudkan.

****

Khaula's pov

Akhirnyaaaaaa, hari yang kutunggu-tunggu datang jugaaaa.


Hari yang sudah mengorek habis tabunganku, dan karenanya kupertaruhkan jiwa ragaku.

Oh sehun, oppa! Gak nyangka kita bener-bener bisa ketemu hari ini!
Eh tunggu, venue nya kan agak jauh dari sini, gimana aku bisa kesana ya?

Minta kak Khansa anter? Pasti gak mau apalagi dia baru nyampe. Minta Kahfi oppa? Apalagi. Minta bang Odi? Ah aku malu. Janjian sama temen aja apa ya?

"Khaulaaaaa"

Kaya suara ummi manggil-manggil aku. Kenapa ya?

"Iya mi..."

Aku buru-buru nyamperin ummi.

"temenin ummi ke tempat abati isi kajian ya?"

What?!

Aduh... Aku lupa kalo hari ini abati juga ada jadwal ceramah di.... I dont know where.

Terus kenapa harus aku yang ikut?

"Kakak emang gabisa, Mi?"

"Emang kalo kamu, kenapa?"

"Itu, mmm... Anu... Nggg.... Ah yaudah iya. Aku siap-siap dulu, cuma sampe siang kan?"

Biarin deh, aku ikut ummi dulu. Konsernya kan baru mulai sore, masih bisa ke kajian dulu trus langsung ke venue. Gak mungkin juga kalo aku bilang ummi aku mau kemana. Gak bakal diizinin.

Author's pov

Abati sedang bersiap menuju tempat kajian yang mengundangnya menjadi penceramah. Ditemani ummi, Khaula dan Khansa, juga Kahfi yang mengemudikan mobil mereka.

Khansa masih tetap pada pendiriannya, meski ummi pun tidak membahas apa-apa soal kepergian mereka dari rumah tadi pagi. Apalagi memang mereka benar-benar membawa pulang barang belanjaan dari pasar.
Khaula yang sejak tadi kehilangan semangat menghabiskan harinya. Padahal sejak bangun pagi tadi, ia bisa merasakan aura positif yang membuat hari ini menjadi hari yang paling dia sukai. Ternyata tidak.

Begitu pula dengan Kahfi yang masih terjebak dalam jetlag usai perjalanan panjang dari Indonesia ke Madinah, lalu kembali lagi ke Indonesia dalam waktu singkat. Andai Bang Odi tidak bekerja hari ini, Kahfi bisa tidur sepuasnya dirumah saja. Dan Bang Odi yang mengantar abati pergi.

*****

Khaula's pov

Abatiiiiiiii....

Kenapa abati harus ceramah kaya gitu sih?

Yaampun.

Kan jadi ngerasa bersalah kalau ntar mau ke konser. Huhuhuuuu gimana dong...

Mau nekat aja? Tapi kenapa ceramah abati serem banget sih...?

Gimana kalo nanti pas aku disana, lagi loncat-loncat kesenengan nyanyi-nyanyi minta dinotice oppa, malah malaikat izroil yang notice!

Gini-gini kan aku juga mau matinya husnul khotimah.. Hiks...

Oke fix. Aku nyesel banget ikutan kesini hari ini, pagi ini.

Abati tuh sengaja ya ceramahnya emang buat ceramahin aku?
Pake acara nakut-nakutin lagi, kalo ajalku datang pas lagi di venue, dan aku berakhir dengan kekonyolan tanpa sempat mengucap nama Allah, malah cuma teriakin nama Oppa yang sama sekali gak bisa nolongin aku.

Ya salaaammmm...

Ini gimana dong tiketnya iniiiiii?
Masa dibeli mahal-mahal malah bataaal?

"Langsung pulang aja, Ba?" Kak Kahfi tanya abati pas kita semua udah naik lagi ke mobil.

"Iya langsung pulang aja." jawab Abati.

"Oke bhay! Musnah sudah harapanku...Gagal totaaaal rencana meet up sama pangeranku huaaaaaaa"

Kak Khansa senyum-senyum usil di dekatku. Kubalas dia pake mata melotot yang gak lebih serem dari matanya kak Khansa yang emang belo.

Seneng banget liat adeknya emosi jiwa.

Akhirnya aku beneran nyampe ke rumah dengan hati yang porak-poranda.

Bahkan semesta rasanya sepakat mendukungku berduka. Dengan dikirimkannya awan-awan yang menjatuhkan rintik hujan. Deru petir menyambar-nyambar. Gelap, padahal ini baru aja adzan ashar.

Udah... Pupus sudah harapan. Oppa-oppa sekarang ini pasti udah mulai menyapa para penggemar dengan senyuman mautnya yang memancar ceria.

Oh, mungkin juga nggak. Karena salah satunya lagi kebingungan nyari pujaan hatinya yang gak jadi datang.

Oh Sehun, pasti juga lagi sedih sekarang.

Hahahahahahahahalusinasi.

YaAllah. Di hujan yang lebat ini, kabulkanlah doaku.

Jodohkan aku dengan Oh Sehun yang beriman, agar hidupku bahagia tanpa halusinasi.

Amin.
To be continued
Amin.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro