14. Kembali
Bismillahirrahmanirrahiim...
"Jangan lihat kecil besarnya maksiat yang kamu perbuat, tapi lihatlah besarnya Dzat yang kamu durhakai" - Bilal Bin Sa'ad
Author's pov
Keluarga Ustadz Fuad akhirnya berangkat ke Jakarta. Setelah mengurus tiket penerbangan yang dijadwalkan ulang, juga mengurus berkas-berkas yang Kahfi butuhkan untuk berangkat ke negerinya Raja Salman demi membebaskan kakaknya yang tertahan disana. Sebab, setibanya mereka di bandar udara Soekarno-Hatta, Kahfi akan segera berpindah terminal menuju terminal keberangkatan luar negeri.
Awalnya abati menolak untuk ikut serta, sekalipun tiketnya memang ada. Abati cukup mengutus adiknya untuk pergi bersama Kahfi beserta umminya. Namun dengan berbagai bujukan dan juga pertimbangan, dan Abati juga ada jadwal undangan ceramah di Jakarta, abati akhirnya setuju untuk berangkat.
Khaula yang tidak bisa mengontrol rasa gembiranya begitu abati menyetujui untuk ikut pergi. Itu artinya, Khaula yang awalnya ditugaskan untuk menemani abati di rumah pun akhirnya juga dapat ikut bersama rombongan ke ibukota. Ini keuntungan besar bagi Khaula, sebab dalam waktu dekat ini boygroup idolanya juga akan datang ke Indonesia dalam rangka tour konser dan temu penggemar.
Sudah sejak lama Khaula mengumpulkan uang untuk acara yang sangat ditunggu-tunggunya itu. Apalagi begitu tahu kalau kedatangan idola-idola kebanggaannya itu tepat saat dirinya akan berada di Jakarta selama beberapa hari.
Makanya, Khaula yang paling gencar membujuk abati saat menolak pergi. Ini berbahaya bagi rencana Khaula yang sudah disusunnya dengan rapi sejak jauh-jauh hari. Dan ketika abati akhirnya menyanggupi, ini seperti kejatuhan durian runtuh bagi Khaula. Pasalnya, ini kali pertamanya ia akan benar-benar bisa menonton konser idolanya, setelah sekian lama hanya menjadi penggemar dari layar kaca karena tempat tinggalnya yang jauh dari pusat ibukota negara dan menonton konser bukan sesuatu yang diperbolehkan dalam agama, menurut pemahaman keluarga mereka. Ini benar-benar akan menjadi pengalaman pertamanya. Khaula sudah terlalu senang bahkas sebelum ia mendapatkan cara bagaimana ia akan meminta izin abati dan ummi nanti agar diperbolehkan pergi.
"Ah gampang itu. Kalo jodoh, semua halangannya pasti minggir." serunya dalam hati sembari tersenyum menahan geli. "EXO oppadeuuuuulll! Annyeoooonggg!!!!" pekiknya penuh girang sepanjang perjalanan. Tentu saja hanya dalam hati.
Penerbangan dari Makassar ke Jakarta ditempuh dalam waktu sekitar 2 jam 25 menit. Keluarga ustadz Fuad berangkat dengan pesawat pertama, pagi-pagi sekali.
Saat ini pesawat mereka hampir mendarat, Bang Odi yang sudah dikabari lebih dulu ternyata telah siap menyambut mereka di pintu keluar bandara.
Laki-laki itu dengan lapang dada mengabaikan permasalahan yang sedang terjadi dan tetap menjalankan kewajibannya sebagai menantu dari orangtua istrinya yang pergi meninggalkannya. Suasana cepat menjadi cair setelah ketegangan dan kecanggungan dari rasa malu yang tidak dapat disembunyikan oleh abati sekeluarga. Namun seolah tak terjadi apa-apa, Bang Odi justru masih bisa bercanda seperti biasanya sepanjang perjalanan menuju rumah mereka.
Rumah mereka. Rumah Odi dan Khansa.
Rumah yang baru saja selesai pembangunannya. Rumah yang memang telah direncanakan akan mereka huni dalam waktu dekat ini. Dan memang benar, sekarang rumah itu benar-benar dihuni. Diresmikan oleh segenap keluarga, namun tak ada kehadiran Khansa di sana.
Kedua orangtua Khansa merasa semakin malu melihat pemandangan yang menyambutnya di rumah baru ini. Rumah mewah yang nyaman, lengkap dengan perabotan yang sudah tertata di setiap sudutnya. Malu rasanya membayangkan betapa seriusnya menantu mereka merencanakan kehidupan rumah tangganya, sementara putri mereka justru berlepas diri tanpa pertanggung jawaban.
Tak berapa lama setelah mereka tiba di rumah, Kahfi menelepon dari bandara. Mengabarkan dirinya sebentar lagi akan naik ke pesawat yang akan mengantarkannya menuju Jeddah bersama Ammu Hasan.
Abati memberi pesan untuk tidak lupa berdoa sebelum berangkat, berdzikir sepanjang perjalanan dan juga mengucap salam setiap kali tiba di tempat baru. Memohon pada Allah agar dilindungi dan diberi kebaikan dimanapun ia berada dan dijauhkan pula dari keburukan tempat itu.
Ini bukan kali pertama Kahfi akan menuju tanah suci negeri para nabi itu. Sebab dahulu mereka sekeluarga memang pernah menetap disana selama beberapa tahun. Dia pun pernah sekali menunaikan umrah sebagai hadiah khatam hapalan qur'annya dulu.
Tapi perjalanannya kali ini berbeda. Biasanya siapapun yang menuju ke tanah suci pasti berangkat dengan suasana hati berbunga-bunga bercampur haru yang tak terhingga. Berkesempatan menjadi satu dari sekian banyak orang-orang yang diundang Allah ke rumah-Nya, tentu adalah hal yang paling indah. Bahkan semakin dekat ia dengan baitullah, semakin kencang pula debaran di dadanya.
Namun debaran jantung Kahfi saat ini tidak sama. Debarannya diliputi kecemasan. Sebab niat keberangkatannya tidak untuk menjadi tamu Allah, melainkan dalam misi yang sebenarnya tidak diinginkannya.
*****
Khansa's Pov
"Khansa Nabila!" teriak petugas penjaga. Polisi wanita dengan pakaian serba hitam yang terjulur longgar menutupi seluruh tubuhnya.
Ia mendekati sel tempatku dan perlahan membuka kuncinya lalu mempersilahkanku keluar. Ragu-ragu aku melangkah keluar dari jeruji besi yang terpasang membentuk persegi sebagai tempat tinggal kami para tahanan.
Aku bertanya-tanya kesalahan apa yang kuperbuat hingga membuatku harus berurusan dengan petugas?
Seingatku tidak ada. Selama kurang lebih tujuh hari disini, kurasa tidak pernah aku menimbulkan masalah. Karena memang, aku berusaha menjaga hubunganku dengan orang-orang yang bersamaku saat ini, sebab aku tidak tahu akan berapa lama aku berada disini, kemungkinan terburuknya adalah selamanya. Dan aku akan dalam masalah besar jika hubunganku kurang baik dengan siapapun yang berada disini.
"Kamu boleh keluar, hari ini kamu bebas" ucap petugas wanita itu. Aku terdiam selama beberapa detik. Entah karena tak percaya atau karena terlalu bahagia. Kemudian kujatuhkan diriku menyungkur dan bersujud tepat di tempatku berdiri.
"Alhamdulillah ya Allah... Terima kasih, Allah..." kulafazhkan dengan disertai airmata haru tanpa memikirkan bagaimana aku bisa bebas dan siapa yang membebaskanku. Aku sangat menikmati kegembiraanku yang juga turut dirasakan oleh teman-teman yang beberapa waktu belakangan ini mengisi hari-hariku. Kusalami mereka satu persatu, berpamitan syahdu. Sebagian dari mereka menciumi pipiku sebagai ungkapan kasih sayang kebiasaan orang timur tengah. Tak lupa kusemangati mereka setelah berterima kasih atas semua kebaikan mereka selama ini, khususnya Kak Fitri yang banyak sekali berjasa padaku selama disini, termasuk dalam hal menjadi tempatku mencurahkan isi hati. Kudekap kak Fitri lama. Lalu berjanji untuk tetap saling mengabari jika suatu hari kak Fitri pun akhirnya berhasil keluar dari sini.
Hari itu akhirnya tiba.
Ketika aku benar-benar rindu.
Rindu pada semuanya. Rindu dengan kehidupanku yang dulu. Rindu pada keluargaku.
Setiap kali aku berdoa, aku memohon pada Allah untuk mengirimkan seseorang yang bisa membebaskanku dan mengembalikanku pada keluargaku.
Allah mengijabah doaku hari ini. Bahkan lebih dari yang kuminta saat kedua mataku menangkap sosok yang kukenal sebagai adik lelakiku berdiri di ujung pintu keluar menyambutku bersama Ammu Hasan dan agen travel yang membawaku hingga tiba di tempat ini.
M
ereka menyerahkan barang-barangku sekaligus meminta maaf atas ketidaknyamanan yang kurasakan. Aku memaklumi, dan akupun minta maaf pada mereka.
Rasa tidak percaya namun segalanya terasa begitu nyata membuat bahagiaku semakin membuncah. Kupeluk Kahfi seerat-eratnya, begitu pula dengan pamanku 'ammu Hasan yang menemaninya. Kubiarkan airmataku mengalir semaunya, seperti kata maaf yang terus terulang dari bibirku yang bergetar bersama isakan.
Aku tidak berbohong saat kukatakan aku benar-benar merasa bersalah. Bahkan hingga kami tiba di hotel yang sudah dipesan Kahfi untuk kami menginap pun aku masih terus saja meminta maaf.
Tapi sekalipun aku mengakui kesalahanku, bukan berarti aku menyerah lalu menyetujui untuk kembali menjadi istri saat aku pulang nanti.
Tidak.
Aku masih dalam tekadku, aku akan kembali tapi tidak untuk menjadi bagian darinya lagi.
Abati pernah memberitahuku perkataan seorang tabiin tentang maksiat pada Allah.
"Jangan lihat kecil besarnya maksiat yang kamu perbuat. Tapi lihatlah seberapa besar Dzat yang kamu durhakai"
Seperti kata kak Fitri, mungkin memang aku telah durhaka. Mendurhakai orangtua, membuat Allah murka. Tapi... Meneruskan pernikahan ini justru akan semakin banyak kedurhakaan yang akan tercipta.
Aku hanya ingin menghindari hal itu, dan mulai memperbaiki kesalahan yang kulakukan kali ini.
"Kak, ummi nih. Mau ngomong." Kahfi mengangsurkan ponselnya padaku. Seperti ada beban berat yang jatuh di organ bagian dalam tubuhku. Rasanya aku tidak bisa berbicara dengan ummiku. Tidak untuk sekarang. Belum berani lebih tepatnya.
S
etelah melihatku menggeleng pelan, Kahfi menarik kembali ponselnya dan mulai berbicara pada ummi lagi. Sekarang, Ammu Hasan yang mendekatiku dengan menarik sebuah kursi kemudian beliau duduk di sebelahku dan mulai berbicara serius.
"Khansa, apa rencanamu?" tanya Ammu Hasan serius.
"Aku mau disini, Ammu. Aku gak mau pulang." Jawabku mantap.
"kamu kenapa? Dengan semua yang kamu lakukan sejauh ini, apa yang kamu coba sampaikan?" ujar Ammu Hasan pelan tapi penuh penekanan. Membuatku segera menelan ludah yang terasa besar sekali mengganjal di kerongkongan.
"Ammu... Aku, aku gak bisa... Aku gabisa begini terus, aku gak kuat."
Ammu Hasan menggeleng. Sama seperti ummi dan abati mu, ammu tau, kamu gak lemah. Kamu tangguh! Ammu tau itu."
Aku yang kemudian menggeleng lebih keras, kali ini tangisku kembali pecah. Sementara Kahfi entah ada dimana.
"Nggak, Ammu. Aku gak sekuat itu. Kalau takdirku gak salah seperti ini, mungkin aku juga gak akan jadi begini"
"Khansa! Kamu jangan mau dikuasai setan!" Ammu Hasan mulai semakin tegas. Ucapannya yang tidak terlalu keras itu cukup untuk menyentak tubuhku.
"Ammu... Aku mau aktif lagi seperti dulu... Aku cuma mau belajar lagi. Kondisiku gawat sekarang, Am... Aku darurat! Aku kehilangan hampir semua yang pernah aku ketahui. Aku takut, Ammu." tersendat-sendat aku merintih, mencoba membuat Ammu Hasan mengerti sekalian kuceritakan juga segala pegolakan batin yang kurasa selama pernikahanku ini hingga membuatku merencanakan hal sejauh ini.
Lengan besar Ammu Hasan menyentuh bahuku. Kurasa beliau mulai iba padaku.
"Istighfar, Nak. Jangan beri celah untuk setan semakin membumbui amarahmu."
Aku semakin tersedu. Bahkan untuk menyalahkan setan pun aku merasa malu, sebab nyatanya saat ini mungkin akulah yang menjelma menjadi makhluk pembangkang terlaknat itu.
"Kan kamu tau, Nak... Ilmu ada tiga tahapan. Jika seorang memasuki tahapan pertama, ia akan sombong. Jika ia memasuki tahapan kedua ia akan tawadhu'. Dan jika ia memasuki tahapan ketiga ia akan merasa dirinya tidak ada apa-apanya. Tidak perlu ammu perjelas kamu sekarang ada di tingkatan mana, tapi memang seperti itu orang-orang berilmu itu. Semakin banyak ilmunya, semakin ia merasa tidak tau apa-apa."
"Makanya itu, Ammu! Aku kosong sekarang. Benar-benar kosong! Aku butuh diisi. Jadi biarkan aku tetap disini, ya?"
"Khansa... Kalau boleh jujur, kok Ammu rasanya agak gak sreg sama tekad kamu itu?" ucap Ammu Hasan tiba-tiba setelah membiarkan jeda mengambil alih waktu kami.
"Maksudnya?"
"Maksudnya, apa itu tidak terdengar seperti hanya ambisimu saja? Selama ini-- dari apa yang kamu ceritakan tadi, ammu menangkap kamu cuma berusaha memberitahu penderitaan kamu aja. Tapi ammu rasa kamu tidak se menderita itu."
Alisku masih mengkerut. Butuh waktu lama untuk aku mencerna kalimat ammu Hasan.
Ah.
Ammu Hasan pun jelas menyalahkanku.
"Ammu gak ngerti apa yang aku rasain." jawabku pelan. Kulihat Ammu Hasan menggeleng mantap.
"Tidak, sayang. Ammu tau. Ammu mengerti rasanya. Yang kamu lakukan ini cuma usaha agar hatimu menang. Dan entah sesuatu apa yang ada di hatimu itu yang berusaha kamu menangkan."
Sepintas, samar-samar bayangan kak Farhan terlintas.
Apa ini?
Kenapa tiba-tiba dia yang terbayang?
Apakah ini pertanda bahwa sesuatu yang berusaha kumenangkan dalam hatiku adalah kak Farhan?
Ammu Hasan, memiliki kekuatan supranatural yang bisa membaca pikiran orang? Atau jangan-jangan, ammu memang tau sesuatu tentangku dan kak Farhan?
Aku tentu tidak terima.
Lantas segera membela diri, bahwa selama ini yang kuusahakan adalah untuk kehidupanku yang lebih baik. Karena kehidupan pernikahan yang kujalani membuatku bahkan lupa siapa diriku sendiri.
Tapi disisi lain, aku benar-benar merasa tersindir.
Bukan karena aku membenarkan ucapan Ammu. tapi karena aku baru saja tersadarkan tentang apa yang selama ini berusaha kuperjuangkan.
Bahkan setelah sejauh ini aku melangkah pergi, dengan mengatas namakan pencarian jati diri dan arti kebahagiaan sejati.
Kenyataannya, semua itu hanya alibi untuk menutupi targetku yang sesungguhnya, adalah untuk mengganti takdirku dengan yang kupikir sempurna.
Meski dahulu, memang pada lelaki itu kucurahkan segenap cinta, namun bagaimana ia menyerah terhadapku membuatku sadar bahwa dia tidak cukup layak untuk menjadi sebab aku pertaruhkan kehormatan seekstrim ini.
Masih perih terasa luka yang pernah ia torehkan. Dan serumit itu gemuruh badai didalam diriku yang berusaha mencari siapa yang salah, lalu kupusatkan segalanya pada dia yang datang bukan pada waktunya.
Dia yang datang menawari sejuta cinta, tapi kutolak dengan taburan kebencian pada lukaku yang masih menganga.
Membencinya, membenci segala yang ada pada dirinya. Tanpa alasan.
Apa benar yang dikatakan Ammu itu?
Semua ini hanyalah karena ambisiku yang belum sepenuhnya mampu menghapus kak Farhan dari hatiku?
Tidak.
Tidak.
Bahkan jika aku berpisah dari Bang Odi kupastikan bahwa kak Farhan bukan orang yang akan menempati singgahsana hatiku lagi.
"Nggak, Ammu. Aku gak merasa mengejar sesuatu yang seperti yang Ammu maksud. Aku bener-bener cuma mau berpisah karena tidak cocok saja. Karena visi pernikahan kita berbeda dan aku tidak bisa terus diam tanpa melakukan apa-apa sementara dulunya aku aktif berkegiatan. Memangnya salah, ya?"
"Syukurlah kalau gak begitu. Memang perceraian itu sesuatu yang halal kan? Tapi Allah gak suka. Ammu yakin kamu tau hal itu."
Pukulan telak. Aku tertohok. Meski aku sudah tahu bahwa dengan keputusanku ini akan ada banyak orang yang berkomentar seperti itu, tapi kenapa benar-benar mendengarnya justru tidak enak di telingaku?
Memang benar. Aku memang sedang berusaha melakukan apa yang tidak diridhai Allah. Tapi, ini hanya karena aku takut akan melakukan banyak hal lain yang mengundang murka-Nya jika aku harus melanjutkan pernikahan ini. Tidak adakah seorangpun yang mengerti?
"Ah. Gerah banget yaaa musim haji begini... Ammu mau mandi dulu." Ammu berdiri dari tempat duduknya sambil mengipas-kipaskan kemeja di bagian lehernya. "Ammu minta maaf, ya. Dah jangan nangis. Jangan diambil hati. Tapi coba pikirin lagi... Sambil kita pulang dulu. Nanti kita bicarain lagi sama semuanya, kalau memungkinkan kita turutin maunya Khansa, kita antar kamu kesini lagi"
Belum sempat aku jawab, Ammu hasan yang sebelumnya sudah membalikkan badan kembali menghadap ke arahku lagi.
"Khansa"
"Kenapa, Ammu?"
"Cobalah untuk melihat sesuatu dengan kacamata yang berbeda. Mungkin yang terlihat buram di kacamatamu justru terang dan jelas di kacamata yang lain."
Sejujurnya, aku tidak mengerti kalimat Ammu ini. Tapi kuanggukkan saja kepalaku karena lelah pun rasanya tak lagi mau menunggu kapan obrolanku dengan Ammu selesai. Tubuhku serta merta memaksaku untuk sejenak merebahkan diri di kasur.
Semoga memang benar yang Ammu Hasan bilang tadi.
Keluargaku akan menyetujui keinginanku dan mengantarkan aku kembali kesini.
Kalau memang benar begitu, aku dengan senang hati bersedia untuk kembali dulu.
Kembali untuk datang lagi.
*****
To be continued
Assalamualaikum guys!
Semangat senin. Asik asik. Hihi.
Untuk mengejar ketertinggalan, sebenarnya hari ini ku udah prepare utk double up.
Tapi masa satu part hilang dong. Innalillaaaah 😭😭😭😭
Mau nangis bener bener nangis kejeeeerrr. Karena walaupun ada back up pasti pas ditulis kesini bakalan gak sama.
Padahal udah ngetik semalaman, jam 2 an udah hampir 3k words tiba2 eror dan hilang.
Udah ketik ulang, malah jadi hilang seluruhnya.
Aku minta maaf ya gaeeeeezzzz 😭😭😭😭😭😭
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro