Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13. Menjemput Khansa

Bismillahirrahmanirrahiim....

Author's Pov

Sajian di meja makan hanya berkurang sedikit saja ketika abati memutuskan untuk berdiri dari tempat duduknya. Memberi isyarat Kahfi untuk menyusul beliau berjalan menjauhi ruang makan, sedang ummi dan Khaula masih duduk tercengang tanpa sepatah kata.

Suasana semakin tegang ketika terdengar suara abati yang meninggi, membentak Kahfi dari ruang tengah yang kedengaran hingga ke ruang makan. Ummi dan Khaula saling berpelukan ketakutan. Pasalnya, ini jarang terjadi. Abati tak pernah semarah ini.
Diam-diam ummi menyesali mengapa Kahfi harus mengaku disaat-saat seperti ini.

"TELEPON LAGI! TERUS SAMPAI DIJAWAB!"

Kahfi sudah berusaha menjelaskan bahwa dia benar-benar kehilangan kontak dengan Khansa setelah pesan terakhir yang kakaknya kirimkan waktu itu. Tapi, fakta bahwa Kahfi yang membantu kakaknya kabur dan menyembunyikan hal itu dari keluarga meski dia menyaksikan sendiri betapa kacaunya keluarga mereka beberapa hari belakangan karena kepergian Khansa membuat abati tidak lagi bermurah hati dan mempercayai penjelasan Kahfi kali ini.
Tidak.
Pun ketika Kahfi mulai mengalirkan cairan hangat yang jarang sekali keluar dari matanya. Abati tidak menyurutkan amarah dan terus memaksa Kahfi menghubungi Khansa ke nomor yang hanya diketahui oleh Kahfi.

"Gak bisa, Ba." lirih Kahfi. Kepalanya menggeleng berat, dan airmata benar-benar tidak mendengar perintah dari dirinya yang berusaha membendung luapan di dadanya dan membuat nafasnya tercekat.

"Bohong! Telepon lagi! Mana nomor lain lagi!"
"Kahfi gak bohong, Ba! Kahfi juga bingung...." kini sedu tangis Kahfi terdengar di akhir kalimatnya. Persis seperti dulu waktu kecil ketika dia sering disidang abati karena bermain layang-layang seharian jauh dari rumah hingga diantar jamaah abati pulang saat matahari sudah terbenam. Dulu, Kahfi akan selalu menangis tersedu seperti ini jika mulai merasa abati marah. Ternyata, hingga sebesar ini, ketika dia mulai mampu menggantikan abati memimpin shalat jamaah, Kahfi masih Kahfi kecil dulu, yang masih takut jika suara abati meninggi. Membuat Khaula terkikik-kikik di ujung ruangan, menertawai keangkuhan sang kakak yang selalu berlagak keren dimana-mana, nyatanya tangisnya saat ini hampir saja direkam Khaula dan mengambil keuntungan darinya suatu hari nanti. Untungnya, Khaula sedang diliputi malaikat saat ini. Niatnya untuk merekam adegan memalukan sang kakak itu akhirnya tidak direalisasikan, melainkan ikut bergabung ke ruang tengah bersama umminya yang mulai menenangkan abati.

"Ba, tenang dulu, Ba." bujuk ummi sembari mengulurkan segelas air minum yang dialasi piring kecil.
Abati menghembuskan napas keras kemudian duduk pada salah satu sofa lalu meneguk air minumnya. Sesaat setelahnya, ponsel Kahfi berdering memecah keheningan.
Nomor tidak dikenal tertera disana. Kahfi mengedarkan pandangan ke arah adik dan kedua orangtua yang sejak tadi menatapnya.

Dengar ragu-ragu Kahfi menjawab telepon tersebut, khawatir jika yang menelepon adalah teror Natasha dengan nomor baru lagi, tapi Kahfi pun tak bisa mengabaikan telepon itu sebab orangtuanya seolah menunggunya menjawab.

"Assalamualaikum..."

"Waalaikumsalam, dengan saudara Kahfi Fathullah?" terdengar suara seorang laki-laki dari telepon.

"Iya betul, dengan siapa saya bicara?" Kahfi menjawab dengan tatapan mata mengarah ke wajah kedua orang tuanya yang memandangnya penuh harap.

"Kami dari agen perjalanan haji dan umrah." Kahfi boleh bernapas lega untuk sekarang sebab tahu bahwa bukan Natasha si penelepon itu. Keberuntungan masih berpihak padanya.

"Saat ini kami berada di Mekkah, tapi salah seorang jamaah kami mengalami masalah dengan datanya, sehingga ia harus dibawa aparat ke rumah tahanan sebelum berhasil masuk ke wilayah Mekkah." Sejenak Kahfi bermasa bodoh. Untuk apa agen perjalanan menghubunginya jika salah seorang jamaahnya bermasalah? Toh Kahfi bukan pemilik travel ataupun seorang yang punya kuasa atas hal-hal semacam ini.
Tapi segera setelah ia mengingat sang kakak yang tidak jelas keberadaannya kini, Kahfi mulai dilanda kepanikan. Matanya membulat. Seperti sudah tahu kelanjutan kabar yang akan disampaikan agen perjalanan itu.

Mencoba tenang agar keluarganya tidak ikut panik. Kahfi mengubah mode teleponnya dengan tidak lagi mengaktifkan pengeras suaranya. Selanjutnya ia menempelkan ponsel ke telinganya. Abati hampir marah, tapi memilih menunggu sampai Kahfi selesai bicara.

"Apa benar anda mengenal saudari Khansa Nabila?"

Benarkan?
Memang kakaknya yang sedang bermasalah itu.

"Iya. Saya adiknya. Kakak saya kenapa?"

"Sekarang anda berada dimana?"

"Di rumah" jawab Kahfi singkat.

"Boleh minta alamat anda? Sepertinya lebih baik kita bertemu langsung agar bisa menyelesaikan masalah secepatnya. Anda di Madinah kan?"

"Madinah?" alis Kahfi mengernyit. "Sejak kapan rumah gue di Madinah?" Batinnya.

"Dari data yang disertakan saudari anda, tertulis disini anda menetap di Madinah sebagai pelajar, benar?"

Gelagapan, Kahfi mencoba mencari-cari alasan, sembari dalam hati mengutuk kakaknya yang menyebabkan kekacauan sekacau ini.

"Oh iya, mmm... Kelas saya hampir dimulai, nanti saya hubungi lagi ya. Bisa kan?"

Kahfi segera mematikan sambungan teleponnya. Dia butuh mengatur strategi dan juga merundingkan masalah ini dengan sang ayah. Kahfi tidak mau melakukan kesalahan yang kedua kali dengan berbohong dan akhirnya harus berbohong lagi dan lagi.

"Abati..." ujar Kahfi seusai menyusupkan ponselnya ke dalam saku.

"Kakak..."

"Mm, Kenapa kakak?"

"Itu, tadi orang travel yang telepon. Kayanya kakak lagi ada masalah disana"

"Masalah apa?"

"Kahfi belum tau persisnya, tapi tadi dikasih taunya kakak lagi ditahan karena data-data yang nggak valid"

"Innalillah..." seru Abati, diiringi jeritan Ummi yang mulai menangis.

"Terus gimana? Kita harus apa? Gimana caranya bawa kakak kamu pulang, Fi?" disela tangisnya, Ummi mulai mencari-cari cara untuk keluar dari masalah ini. Seperti biasanya, ummi tidak akan tinggal berdiam diri sambil meratapi.

"Kahfi diminta kesana sama orang travel, Mi. Karena kakak terlanjur pake nama Kahfi jadi mahramnya, katanya Kahfi lagi kuliah disana. Jadi orang travel juga nyangkanya Kahfi ada disana, gimana dong?"

Abati mendesah berat. "Bagus sekali rencana kalian, ya! Allahu robbiii...."

"Abati... Tolong Khansa, Ba." Ummi memelas.
"Buat apa? Ini kan yang dia mau? Biar saja dia disana sampai dia menyadari kesalahannya."

Semua menghening. Tidak ada lagi yang bisa membantah ucapan sang ayah. Tidak umminya, tidak Kahfi, apalagi Khaula yang sudah mematung sejak tadi.

Abati beranjak menuju kamarnya dalam diam. Meninggalkan anak istrinya bersama kekalutan yang semakin menghebat.

Ummi menangis semakin deras. Memikirkan apa kata dunia jika kabar ini tersebar.
Putri ustadz Fuad yang sudah menikah melarikan diri jauh ke Arab Saudi lalu dipenjara disana.
Adakah yang lebih memalukan dari kabar ini?
"Fi. Fi, sana. Cepet kamu bujuk abati. Ummi yakin abati gak bener-bener mau biarin kakak mu begitu." perintah ummi pada Kahfi.

"Sama telepon Bang Odi, kabarin kakak udah ketemu. Siapa tau dia ada cara buat bantu bebasin kakak."

"Malu lah, Mi. Ummi aja yang telepon Bang Odi. Kahfi malu. Malu karena kakak"
Jawab Kahfi sinis lalu pergi menyusul abati.

Benar saja. Di dalam kamar, abati terduduk merenung. Meski abati tak mengatakannya, Kahfi tahu betul perasaan abati yang paling hancur saat ini. Raut sedih bercampur khawatir dan juga amarah itu sangat jelas tergambar di wajah abati.

"Kahfi, telepon lagi orang travel itu. Tanyakan berkas-berkas apa yang diperlukan, terus kamu berangkat secepatnya, pastikan kamu pulang sama kakak"

"Sekarang, Ba? Kahfi aja atau Abati juga?"

"Cari tiket dulu ke Jakarta, ajak ummi aja. Sampaikan salam dan permintaan maaf abati ke suami kakak dan keluarganya."

"Apa gak sebaiknya Abati ikut?" Ummi muncul di ambang pintu. Bersama Khaula yang terlihat sedang berpikir keras.

"Tunggu deh, apa ini gak kedengaran seperti penipuan?" celetuk Khaula kemudian yang membuat kakak dan kedua orangtuanya mau tidak mau menghentikan percakapan dan serentak mengalihkan pandangan menghadapnya.

"Maksud kamu?" tanya Kahfi.

"Ya, gitu. Kan sering ada yang telepon bilang kecelakaan, udah ada di rs, atau lagi di kantor polisi, suruh kirim uang... Ternyata cuma penipu."

"Bener juga tuh, Fi." Ummi menimpali. Kahfi hanya menaikkan alisnya sebelah, "tumben kamu pinter." Sindirnya. Tidak menunggu lama setelah mendengar sindiran itu, Khaula langsung membalas kakaknya dengan cubitan pedas pada lengannya.

"Sshhh!" keluh Kahfi dengan memelototi Khaula sambil mengusap-usap lengannya yang memerah. Jika saja tidak ada ummi dan abati di hadapan mereka, mungkin perang saudara akan terjadi lagi.

"Tapi gak sepinter itu sih, yang ada malah su'uzon." cibir Kahfi sekali lagi, sambil berusaha menahan hasrat ingin membalas cubitan adiknya dengan yang lebih menyakitkan.

"Su'uzon gimana maksudnya?" tanya Ummi yang ikut bingung.

"Su'uzon, negatif thinking sama orang. Orang baik-baik kasih kabar kakak, malah dibilang penipu." gerutu Kahfi yang seketika disela oleh Khaula. "Tapi kan bisa aja! Mana ada sih penipu yang mau ngaku?"

"Ya mana adaaa penipu yang bukannya minta kirim uang, malah minta kita samperin? Mikir!"
Lagi-lagi, Khaula harus merengut karena terkalahkan.

Abati meninggalkan keributan itu sejak tadi menuju kamar mandi, bersuci lalu segera menunaikan shalat dhuha sebelum matahari semakin meninggi.

Diam-diam Kahfi membenarkan ucapan adiknya tadi, maka segera setelah perdebatan itu usai, Kahfi langsung menelepon ulang agen yang meneleponnya beberapa saat lalu. Sekedar memastikan kalau memang orang itu bukanlah penipu, kemudian mulai mempersiapkan apa saja yang ia butuhkan untuk berangkat menjemput sang kakak.

******

"Ba, jadi mau pesan tiket berapa?" tanya Kahfi pada Abati sepulangnya mereka dari masjid ba'da zhuhur.

"Berapa? Kamu, Ammu Hasan, sama Ummi." jawab Abati singkat.

"Abati nggak?"

Tak menjawab, Abati justru berjalan mendahului Kahfi untuk tiba di rumah lebih dulu.
Kebetulan, adik dari ustadz Fuad yang dipanggil Kahfi dengan sebutan 'Ammu Hasan juga baru keluar dari masjid dan langsung menuju ke rumah kakaknya karena sudah dihubungi sebelumnya.

"Loh, kan kemarin-kemarin sudah pesan tiket untuk berangkat rame-rame pas acara syukuran rumah barunya Odi sama Khansa? Kenapa nggak pakai tiket itu aja?" terang ammu Hasan saat mereka mulai membincangkan rencana menjemput Khansa. Membuat semuanya terkejut karena nyaris melupakan hal itu.

"Tapi acara itu masih dua minggu lagi. Itu juga kalau Khansa begini, mungkin gak jadi." Suara ummi melemas di ujung kalimatnya.

Memang. Seharusnya akan menjadi sangat menggembirakan rencana mereka mengunjungi Khansa dalam beberapa waktu kedepan. Siapa sangka, Khansa justru memberi kejutan yang nyaris membuat jantungan.

"Kan bisa di re-schedule tiketnya." Jelas Ammu Hasan lagi. "Cuma masalahnya, Kahfi gak ada tiketnya karena waktu pesan, Kahfi masih di Jakarta. Kamu ngapain pulang sih, Fi?" lanjutnya dengan tambahan bergurau pada Kahfi.
Sayangnya Kahfi tidak menyambut itu sebagai gurauan melainkan sentilan keras yang mengingatkannya pada Natasha.

Seketika dirinya diliputi ketakutan begitu menyadari bahwa berangkat ke Jakarta saat-saat sekarang ini seolah menggali kuburnya sendiri. Mengingat bahwa Natasha akan lebih mudah menemukan Kahfi jika dia berada dekat dengan tempat tinggal Natasha. Sekalipun ia bersembunyi, tetap saja Natasha bisa memperoleh keuntungan jika mengetahui hal ini.

"Gak. Gak papa. Begitu nyampe Jakarta, aku langsung ke Jeddah. Natasha gak akan tau."
Begitu Kahfi menghibur dirinya sendiri.

*****


To be continued.

Assalamualaikum, teman-teman.

Mohon maaf atas keterlambatan progress kisah ini ya. Maaaf sekalii. Karena satu alasan yg mengharuskan saya utk fokus disana, jadinya harus izin dulu disini.
But, for now on, insyaAllah I'm back!

Gimana kabarnyaaaaa?

Masih adakah yang menunggu kelanjutan ceritanyaaaaa?

Makasih banget buat yang masih setia support dan menanti, semoga Allah membalas dengan kebaikan dan keberkahan.

Makasih juga buat kakak2 member swp_writingproject yg baik2 banget ngasih kelonggaran.

Minta doanya smg bisa mengejar ketertinggalan dan selesai tepat waktu yaaa.. Amiiin.

Saranghamnida.

zulfariesha 💕💕💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro