11. Fangirl
Bismillahirrahirrahmanirrahiim...
••••••
Author's pov
"Tidak ada dosa besar jika dihapus dengan istighfar, dan tidak ada dosa kecil jika dilakukan terus menerus" - HR. Dailami, Nashaihul Ibad
Dulu, Khaula tidak sama seperti Khansa yang tidak terlalu mengambil pusing ucapan orang-orang tentang dirinya.
Khaula selalu terbawa perasaan jika mendengar orang lain berkomentar buruk tentangnya.
Khaula memang tidak sama, tapi dia tidak suka dibanding-bandingkan dengan Khansa yang pintar dan Kahfi yang penurut.
Bagaimana cara Khaula berekspresi dengan jiwa khas anak-anak yang sedang akan bertransformasi menjadi remaja memang sering menimbulkan keributan. Beberapa orang mungkin terganggu dengan hal itu, beberapa orang menganggap sifat Khaula tidak wajar sebagai seorang anak ustadz. Dan sisanya, orang-orang yang menyebut dirinya teman Khaula, terlihat mendukung dan senang bermain bersamanya namun ternyata mereka hanya berlindung dibawah nama Khaula yang adalah putri pimpinan pondok mereka. Hukuman tidak berlaku untuknya, dan jika dihukum pun pastinya tidak mendapatkan hukuman yang berat.
Khaula sering mengadukan hal itu pada kakaknya. Tapi Khansa tertawa saja.
"Selamat datang di kehidupan liar" begitu kata Khansa suatu hari. Seolah Khansa sudah tahu sekali kesedihan Khaula itu. Karena memang begitu, Khansa mengerti, karena Khansa pun mengalami tapi dia mampu mengatasi.
Tidak puas dengan jawaban Khansa, Khaula beranjak ke umminya. Jawabannya pun sama, "Sabarin aja. Orang-orang itu transfer pahala ke adek, masa dikasih pahala malah sedih..." terang ummi dengan senyum lembutnya.
"Kenapa semua orang tidak mengerti?" pekiknya dalam hati.
"Kenapa anak ustadz harus jaga sikap? Kenapa rasanya susah sekali ngapa-ngapain sesuai maunya Khaula? Kenapa sih orang selalu ngatain, anak ustadz kok begitu? Emangnya anak ustadz harus baik terus?"
Ditengah kegundahan hatinya, selalu ada abati yang meredakannya dengan sabar.
"Bukan cuma anak ustadz yang harus baik, dong. Semua manusia juga." jawab abati.
"Tapi, kenapa kalau anak ustadz bikin salah kayanya jadi dosa banget, Ba? Kalau orang lain malah gak apa-apa. Emangnya kita gak boleh salah gitu? Emang kita harus baik terus? Kita kan bukan malaikat..." cerocos Khaula tanpa henti.
Abati menyela, "Khaula, coba Aba tanya..." Khaula tiba-tiba mengarahkan fokus matanya pada wajah abati.
"Khaula sholehah karena Allah atau karena Khaula itu anaknya abati?"
Pertanyaan abati itu tentu sanggup dijawab Khaula tanpa perlu berpikir, "Ya karena Allah, Ba."
"Ya sudah kalau begitu..." belum selesai abati menerangkan, Khaula lebih dulu melanjutkan, "tapi.... Karena Khaula anak Abati, cucunya Jaddi, terus juga cucunya Puang Nenek, jadi Khaula harus baik. Harus solehah biar gak bikin malu." lanjut Khaula pelan-pelan membuat abati tertawa sejenak.
"Bukan begitu, Sayang. Kalau Khaula baik karena ingin dianggap baik, karena keluarganya baik... Berarti baiknya Khaula itu tandanya belum karena Allah.
Itu masih baik karena manusia, yang baiknya di depan orang, biar dinilai baik. Kalau sendirian, berubah lagi.
Nah, kalau baik karena Allah, ada atau tidak ada yang lihat tetap beramal shalih karena tau Allah selalu menyaksikan.
Itu secara umum."
Khaula menunduk. Ingin menginterupsi lagi, tapi bibirnya seakan terkunci.
"Tidak penting Khaula anak siapa, cucunya siapa atau temannya siapa. Yang penting adalah Khaula itu siapa. Siapa Khaula?" lanjut Abati.
Khaula terlihat sejenak berpikir, lalu menjawab ragu-ragu "Khaula... makhluknya Allah."
"Pinter! Khaula itu makhluk Allah. Manusia ciptaan Allah. Khaula tau kan tujuan diciptakannya hiasan-hiasan dan hiburan di dunia?"
Khaula geleng-geleng kepala. Memang dia tidak tahu yang satu itu.
"Kan Khaula baca ayatnya tiap malam jumat... Surah Al Kahfi ayat tujuh, apa ayo?"
Khaula terlihat memutar-mutar matanya. Berusaha mengingat-ingat ayat mana yang abati maksudkan. Mendadak ia ingin meminjam otak Khansa yang menyimpan dengan baik memori hapalan alquran lengkap dengan nomor ayat dan letak ayatnya. Ditanyai pertanyaan seperti itu, bisa dijawabnya dengan hitungan detik. Sedang Khaula tidak.
Abati tertawa kecil seraya menjawab sendiri pertanyaannya barusan. "Dijadikan-Nya hiasan-hiasan di dunia ini untuk menguji manusia, mana diantara mereka yang paling baik amalannya."
Hening sejenak. Sebelum kemudian abati menghela napas dan kembali menjelaskan
"Jadi, kita berbuat baik bukan untuk dinilai orang. Tapi karena memang berbuat baik, beramal shalih itu adalah tugas kita.
"Nah, ada satu lagi tugas manusia di bumi. Tau gak?"
"Ibadah?" jawab Khaula dengan polosnya.
"Selain itu..."
"Mmmm...."
"Berdakwah, Sayang." jawab abati membuat Khansa membentuk bibirnya sebulat huruf O.
"Jangan jadi penumpang gelap di gerbong dakwah. Bukan cuma abati yang bertugas menyampaikan dakwah. Tapi itu tugas kita semua. Kalau belum bisa berdakwah dengan lisan, berdakwahlah dengan berbuat baik kepada sesama. Perbuatan baik yang bisa dicontohkan orang lain itu pahalanya jadi double, kan? Sama seperti perbuatan buruk, kalau diikuti orang lain dosanya juga double. Sampai sini, Khaula paham?"
Khaula mengangguk-angguk saja. Entah mengerti atau agar pelajaran mendadak ini cepat selesai.
Abati tersenyum puas, kemudian lagi-lagi melanjutkan.
"Terus ada lagi tugas yang lain. Ini tugasnya Abati yang tidak kalah pentingnya dengan dakwah. Apa?"
Sekali lagi, Khaula dilemparkan pertanyaan yang tidak diduganya membuatnya otomatis menggeleng tanpa mencerna terlebih dahulu.
"Menjaga keluarga Abati dari api neraka. Itu yang lebih penting, sebelum mendakwahi orang lain, mendakwahi keluarga itu lebih utama. Karena Abati harus pastikan kalau Khaula, Kak Kahfi, Kak Khansa, Ummi dan Abati sendiri tidak jadi bahan bakarnya api neraka. Amal shalih adalah salah satu caranya terbebas dari api neraka. Jadi, mau bantu Abati jadi anak shalihah yang baik dan taat sama Allah?"
•••
Sebenarnya, percakapan dengan abati itu masih sering hinggap di telinga Khaula setiap kali dihadapkan dengan dilema antara berusaha menahan diri dari perbuatan buruk atau tetap menuruti keinginan hatinya saja.
Tapi dasarnya Khaula yang sering salah memahami, meski setelah beranjak dewasa ia telah mempelajari dan mendengar banyak hal, yang tertanam dalam benaknya hanyalah yang dipahaminya saja. Atau apa yang disanggupinya saja.
Contohnya seperti bergelut dengan hobinya sebagai fangirl, penggemar berat bintang-bintang asal negeri ginseng yang sering menampilkan bakatnya di layar televisi dengan berakting dalam drama, atau bermain musik diatas panggung dengan suara merdu dan tariannya yang mengagumkan, ditambah pesona wajah yang memukau yang memang beberapa tahun belakangan sedang menjamur di kalangan remaja seluruh dunia dengan nama K-Pop atau Hallyu Wave.
Karena kesukaannya itu, Khaula pun semangat mempelajari segala tentang Korea, termasuk bahasa dan budayanya. Negara Korea seketika menjadi negara impiannya, alih-alih ke Madinah seperti kakaknya. Bahkan, kecintaannya itu mulai membuatnya lupa waktu jika sudah terlalu asyik dengan sajian-sajian acara menarik yang ditontonnya.
Tetapi Khaula tetap santai dan menikmati saja, sebab menurutnya menjadi fangirl tidaklah melanggar.Tugasnya hanya melakukan kebaikan, dan fangirl bukan keburukan jika tidak keterlaluan.Apalagi, Khaula merasa dirinya banyak mendapat pelajaran dari drama dan idol-idol Kpop yang sering ditontonnya. Bukankah itu sebuah kebaikan?
Masalahnya... Khaula sendiri tanpa sadar telah terjerumus terlalu dalam, meski awalnya hanya coba-coba, pada akhirnya sulit baginya untuk berhenti dan tak jarang mulai menimbulkan halusinasi tak berkesudahan.
"Dek, hati-hati loh sama yang namanya zina hati." begitu suatu hari umminya pernah mengingatkan.
Tapi dalam hati Khaula justru terjadi tawar-menawar. "Ah nggak kok, kan aku tau... Aku sadar, nggak mungkin juga bisa ketemu mereka, apalagi jodohan. Gak ngebayangin berlebihan, gak sampe ngarep juga." kata sisi sebelah hatinya.
"Tapi kan kamu jadi tergila-gila begitu." timpal belahan lain hatinya.
"Aku gak tergila-gila. Cuma suka aja. Kan jadi terjaga, gak suka sama yang deket-deket. Karena gak ada yang setampan Oppa." belanya lagi.
"Apa bedanya?"
"Ya jelas beda, sesuatu yang tidak tergapai sama yang dekat, potensi memercikkan api cinta nafsu lebih besar kalau sukanya sama yang dekat dan nyata."
Sebelah hatinya mengakui kesalahannya, tapi sebagian lain berusaha membenarkan dirinya.
Bahwa apa yang digemarinya ini sah-sah saja selama tidak ketahuan orang lain dan membuat malu abati.
Seperti itu kini, problem terbesar seorang Khaula. Adu argumen dengan hatinya sendiri, bahkan juga dengan orang-orang sekitarnya. Kahfi khususnya.
"Kan tidak ada dosa besar dengan istighfar"
"Tapi gak ada dosa kecil kalo dikerjain terus. Menggunung! Tau gak! Kamu jangan main potong hadis seenak jidat aja." Khaula merengut melihat Kahfi mencak-mencak. Kahfi saja sudah gemas sekali sama adiknya yang selalu berusaha mencari pembenaran itu.
"Gini nih kalo dengerin ceramah cuma denger awalnya doang, tengahnya gosip akhirannya tidur."
"Apaan sih kak! Nuduh-nuduh aja. Kata siapa coba"
"Emang bener kan? Tadi aja waktu kakak isi kajian subuh, kamu molor di baris paling belakang. Tau kakak mah. Kakak liat sendiri"
Sampai disini, Khaula masih sanggup menahan emosi.
"Kamu kalo jajan cilok makanya tusukannya jangan dibuang. Pake tuh buat korek kuping, biar gak budeg pas kajian. Nih, kakak kasih tau ya! Nanti di akhirat, setiap orang bakalan disatuin sama yang dia cintai. Kamu cinta sama orang kafir begitu, mau kamu....."
"Iyaaa tau! Aku tau itu! Udah diem ish!"
Khaula tahu hal itu. Bahkan Khaula sangat bersedih saat pertama mendengar hadits itu ditambah dengan vonis dari alquran bahwa siapapun yang tidak percaya dan bersaksi bahwa hanya Allah Tuhan satu-satunya yang wajib disembah, dan Muhammad adalah utusan-Nya, mereka adalah kafir. Dan orang-orang kafir akan kekal di neraka.
Khaula menangis semalaman membayangkan idolanya yang menawan itu hangus dalam kobaran api neraka. Dan, dirinya pun bisa saja ikut terpanggang disana.
Membayangkan betapa ngerinya hal itu, Khaula berusaha mencari cara untuk menyelamatkan biasnya.
Maka ketika Kahfi mengangkat hal itu lagi, Khaula sudah siap dengan senjata pamungkasnya.
"AKU TAU!" tegasnya dengan suara tinggi.
"Makanya aku tiap tahajjud selalu berdoa biar Oppa dapat hidayah. Biar masuk islam, jadi orang beriman. Jadi nanti masuk surga deh, ketemu deh kita. Mmmmmmm amiiiin ya Allaaaahhhh"
Jawaban Khaula itu tentu saja mendapat toyoran keras dari Kahfi di kepalanya berulang kali.
"Ini kepala isinya apa sih? Heran gue!" omel Kahfi penuh emosi.
Sedang Khaula tetaplah seorang Khaula yang selalu gagal paham.
"Ih apa sih! Aku salah apaaaaaa" rajuknya sambil menggosok-gosok kepalanya yang ditoyor Kahfi tadi.
"Susah ngomong sama orang yang doyan cemilin mie mentah pake mecin. IQ nya tengkurep!" Khaula merengut dengan bibir yang semakin maju.
"Nih ya, kakak bilangin. Ngapain kamu ikutan begitu-begitu? Apa untungnya? Ga ada kan?"
Kahfi tanpa putus asa berusaha mengembalikan sang adik ke jalan yang benar.
"Ada kok! Aku kan ikutan jualan marchandise, lightstick, tiket konser juga. Aku juga buka les bahasa Korea online jadi aku punya penghasilan sendiri. Emang gak banyak, tapi kan seenggaknya aku jajan gak minta abati lagi. Wleeee" kali ini Khaula menjawab penuh kemenangan dilengkapi juluran lidah pada kakaknya.
"Dih! Abati tau gak itu uangnya hasil apa?! Kamu ngerjain sesuatu tanpa ridho. Yakin halal?!"
"Ih kan tapi gak haram juga. Yeee! Ngiri bilang aja!"
"Sory ya. Kakak bisa lebih menghasilkan dengan sesuatu yang lebih diridhoi Allah"
Bukan Kahfi namanya kalau kalah soal sombong-sombongan.
"Pokoknya kamu gak ada untungnya begitu-begituan! Coba sih, IG tuh follow akun yang faedah. Jangan akun fanbase aja. Sekali-kali denger ceramah. Jangan ngotot kalo dapat tausiah, kecuali kalo kamu emang butuh diruqyah!"
"Ish! Apaan sih kak?! Aku kan gak ninggalin kewajiban." Sontak Kahfi menyembur minumannya setelah mendengar Khaula menjawab demikian.
"Ih joroooookkkk!!!" protes sang adik.
"Ya kamu, ngasal aja kalo ngomong."
"Emang bener kok. Aku kan tetep solat, aku tetep ngaji..." Khaula masih akan melanjutkan jika Kahfi tidak segera menimpali
"Ibadah kau gak bikin kamu jauh dari kemunkaran, artinya iman kamu dipertanyakan. Ibadah kamu cuma sebatas menjalankan kewajiban!"
Begitulah Khaula dan Kahfi akan selalu berselisih pendapat. Kahfi yang tanpa bisa dinegosiasi, keras menyalahkan semua aktifitas tak berguna adiknya itu. Sedang Khaula yang masih dalam fase mencari kebenaran, begitu sulit menerima ucapan Kahfi yang dirasa terlalu menyudutkannya tanpa tanggung-tanggung sekalipun Khaula tahu apa yang Kahfi sampaikan itu memang kebenaran yang sebenar-benarnya.
"Kakak belum rasain aja, karena kakak gak tau rasanya nikmatin hidup"
"Heh, anak kemaren sore! Aku ini udah nikmatin hidup duluan sebelum kamu lahir, ya! Gak usah belagu! Gini nih kalo udah diperbudak sama antek-antek dajjal. Gak bisa bedain mana yang salah, mana yang benar."
Selalu begitu, hingga berujung pada Khaula yang menangis sesenggukan dan Kahfi yang akan mendapat teguran dan perintah untuk meminta maaf duluan pada adik satu-satunya itu.
"Kakak gak tau aja susahnya berhenti pas lagi suka-sukanyaaaaa..." masih dalam isak tangisnya, Khaula berusaha menyampaikan kalimat pembelaannya meski terbata-bata, lalu menjerit di ujungnya.
"Iya. Iya! Tau... Tau. Udah, cup cup. Sana nonton lagi. Ngadu ke oppa kamu sana. Cengeng!"
"Tuuuh kaaaaaannnn!!!" Khaula menjerit lagi. Tapi segera Kahfi mendorong tubuhnya ke kamar, lalu Kahfi pun melangkah ke kamarnya sendiri.
Semasuknya Khaula ke kamar, saat melihat laptop milik abati tergeletak diatas kasurnya, senyumnya segera mengembang. Menghapus ingatan tentang tangisnya beberapa detik yang lalu, tentang kelalaiannya pada hallyu wave. Khaula merogoh sesuatu dari saku tas sekolahnya, sebuah flashdisk tempat ia menyimpan semua koleksi drama dan acara korea lainnya. Menyambungkannya kemudian pada laptop abati yang sejak tadi dipinjamnya. Ia mulai menyetel acara ragam yang menampilkan keseruan aktifitas idol grup favoritnya. Lalu ikut tertawa lepas seolah tidak pernah ada perdebatan panjang antara dirinya dan sang kakak tadi.
"Begini aja dulu. Nikmatin aja dulu. Nanti juga berhenti, kalau udah waktunya."
Dan Khaula, lagi-lagi menghabiskan malamnya bersama para oppa...
••••••••••
Tbc.
Afwaaan telat.
Semoga suka yaaaa...
Mohon maaf kepada teman-teman yang menunggu kelanjutan cerita ini, dan rekan-rekan SWP yang masih semangat terus menunaikan amanah.
Saya berusaha mengejar ketertinggalan, tapi karena satu dan lain hal, aktifitas dunia nyata masih membutuhkan fokus yang maksimal.
Mohon maaf dan pengertiannya 🙏🙏🙏🙏🙏🙏
Juga mohon doa semoga aku bisa selesaiin cerita ini tepat waktu!
Aaamiiinnn
Saranghamnida,
💕
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro