10. Belajar Ikhlas
Bismillahirrahmanirrahiim...
•••
Author's pov
Sudah dua hari sejak Khansa memutuskan untuk pergi.
Dua hari itu pula, Ustadz Fuad seperti kehilangan separuh jiwanya.
Selama dua hari ini, keluarganya dibuat bingung dengan sikap ustad Fuad yang menolak bertemu siapa-siapa, jarang sekali berbicara, apalagi bercanda. Makanpun seadanya.
Terlebih lagi, beliau mulai enggan memimpin shalat jamaah di masjid. Kahfi yang kini mengimami jamaah, sedang sang ayah di shaf belakangnya sebagai makmum.
Sebagian besar jamaah bertanya-tanya, apa yang salah dengan ustadz mereka. Tapi keluarganya yang tahu pasti, seberapa besar beliau bersedih hati memikirkan sang putri.
Dimana sekarang ia berada?
Amankah tempat yang dipijaknya?
Bersama siapa dia?
Saat memikirkan itu, ustadz Fuad benar-benar tak kuasa membendung rasa sedihnya. Setiap waktu makan, dengan makanan-makanan lezar yang tersaji di meja makan membuat beliau kembali teringat Khansa, "Apa dia sudah makan?"
Di tempat tidur pun, sebelum beliau terlelap atau setelah terbangunnya, Khansa tak luput dari benaknya. "Apakah dia tidur dengan nyaman?"
"Abati, kakak kangen deh sama suasana Madinah..." suara Khansa kembali terngiang di indra pendengarannya.
"Semua yang pernah ke Madinah juga kangen sama Madinah, Kak"
"Bukan, Ba.. Bukan kangen begitu. Kangennya seperti... Kakak mau balik lagi tinggal disana deh..."
"Kenapa, Kak? Ada masalah?"
"Nggak kok, Ba."
"Biasanya kakak kalau bilang mau balik ke Madinah pasti lagi sedih..."
Khansa terdiam. Abati memang selalu mengerti dirinya. Tanpa perlu menceritakan gundah hatinya, Abati sudah lebih dulu mengetahuinya.
"Sayang... Adakalanya sesuatu perlu diikhlaskan agar dapat diterima oleh hati dengan penuh kedamaian.
Madinah mungkin menyenangkan, tapi takdir kita tidak disana, Nak. Kita ditugaskan disini, menjalankan amanah disini, medan juang kita disini. Menolak hal itu hanya akan menambah sesak di dada. Lebih baik ikhlas, agar lapang dada, agar tenang jiwa, agar segalanya tidak sia-sia."
Khansa mengangkat kepalanya dari antara kedua kakinya yang tertekuk dalam rengkuhan kedua tangannya. Nasihat dari ayahnya dulu sekali setiap kali ia mengadukan rasa lelah saat sesuatu tak sesuai keinginannya itu kembali terdengar di telinganya entah untuk ke berapa kali, membuat tubuhnya menggigil kedinginan ditambah dinginnya lantai ruangan tempat ia duduk termenung saat ini.
"Apa sekarang? Beginikah akhirnya aku harus menjalani sisa umurku? Menghabiskan waktu tanpa benar-benar bisa ditemukan lagi di tempat asing bernama penjara ini?"
Khansa membatin, sembari sekali lagi menatap sekeliling kemudian menyeka cairan hangat yang kembali hadir di ujung matanya.
"Mungkin aku hanya kurang ikhlas. Aku yang kurang puas. Mungkin aku yang tidak mengindahkan apa yang Allah anugerahkan. Mungkin memang aku salah....ya... Ini salah, aku salah. Ya Allah. Aku salah.."
Seiring lafazh istighfar yang dituturkannya, suara sang ayah terdengar lagi.
"Ingat itu, Kak.
Bahwa seringkali Allah mencegah darimu sesuatu yang kamu inginkan untuk memberimu sesuatu yang kamu butuhkan."
Bahkan sang ayah sering sekali mengingatkan soal ini, tapi mengapa tidak satupun yang Khansa ingat saat sebelum memutuskan langkah besar yang kemudian membawanya terkurung dalam sel tahanan kini?
Begitu besar keinginan Khansa saat ini untuk bersimpuh di kaki sang ayah. Memeluknya, memohon maaf darinya. Meski ia sepenuhnya sadar, bahwa tidak ada harapan yang tersisa untuk hal itu kecuali sedikit saja, jika pihak travel berhasil mengeluarkannya dari tempat ini. Jika Allah masih memberi kesempatan.
Tak pernah terpikirkan oleh Khansa dirinya akan menjadi tahanan yang benar-benar terkurung dalam sel seperti ini di negara tempat ia melangitkan mimpi. Meski saat mobil yang membawanya ke tempat ini masih melaju, bayangan akan penjara yang akan ia huni begitu menyeramkan dan menjijikkan ternyata sepenuhnya berbeda. Ruang sel yang luas dan terang, lengkap dengan tempat tidur nyaman serta pendingin ruangan yang lebih pantas disebut sebagai hotel dibandingkan tempat menjalani hukuman. Bahkan dengan makanan tiga kali sehari yang sajiannya lebih dari layak untuk disuguhkan pada seorang tahanan, serta polisi-polisi wanita penjaga yang sangat ramah.
Begitupula dengan rekan satu selnya yang baik hati.
Seorang ibu paruh baya, seorang wanita yang masih nampak muda dengan wajah Asia, dan satu orang ibu muda bersama bayinya. Khansa mulai akrab dan bertukar cerita dengan mereka.
Selama dua hari ini, Khansa betah disana. Karena sebenarnya tidak ada yang menakutkan disini kecuali namanya yang tidak berubah. Penjara.
Nyatanya, pada setiap malam yang sepi. Dalam kesendiriannya, rasa kesedihan mengiris hatinya lebih perih dari sebelumnya.
Disinilah Khansa sekarang.
Menyesali dirinya, menangisi kebodohannya.
Diantara bulir air mata yang mengalir deras membasahi jilbab yang belum pernah ia ganti sejak hari pertama, berulang kali bibirnya melantunkan doa Nabi Yunus di dalam perut ikan paus ketika menyadari kelalaian beliau meninggalkan kaumnya yang durhaka dalam keadaan marah.
"Tidak ada Tuhan selain Engkau, Yaa Allah. Maha suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang merugi"
Mudah bagi Allah menghukum siapapun yang lalai kepadaNya. Bahkan seorang Nabi yang ditegur Allah hanya karena kesalahan kecil saja, akan memohon ampunan sebesar-besarnya. Beliau bersujud menghamba, bertaubat hingga kering airmata, meski beliau tahu bahwa Allah Maha Pengampun.
Seharusnya Khansa bisa memperhitungkan hal itu.
Seharusnya Khansa lebih awal bisa menyadari, bahwa dirinya tidak memiliki kekuatan apapun untuk menentang keputusan Sang Perancang takdirnya.
Allah Maha Besar, Sang Pemilik segala.
Dan manusia, hanya sebutir buih di lautan jika dibandingkan dengan kebesaranNya.
"Sabarlah, Ukhti. Berdoalah pada Allah. Tidak ada apapun yang terjadi tanpa alasan. Dan alasan ukhti berada disini, mungkin akan ukhti ketahui tidak lama lagi"
Khansa mengangguk, ketika pundaknya disentuh oleh teman satu sel nya yang memperkenalkan diri dengan mana Fitri. Gadis itu mencoba meringankan sedih hatinya. Gadis asal Indonesia yang hendak memperbaiki keadaan ekonomi keluarganya dengan menjadi tenaga kerja wanita di tanah arab ini. Malangnya, tanpa berkas yang lengkap ia justru mendekam di sel yang sama dengan Khansa sejak delapan bulan yang lalu.
"Saya sama seperti ukhti saat pertama kali tiba disini. Seolah dunia telah berakhir saat itu juga. Ternyata, tidak. Allah masih menjamin hidup saya sampai sekarang. Memang sedih kalau ingat keluarga di kampung... Tapi berharap bebas pun, sejak awal sampai delapan bulan ini tidak ada tanda-tanda kepastian, membuat saya mulai mengikhlaskan keadaan." Gadis itu mengusap matanya yang ikut basah.
"Selama masih di bumi Allah, insyaAllah Dia masih menjamin hidup kita. Selama kita masih percaya kepadaNya, atas kehendaknya kita bisa mendapat berkah dimanapun kita berada."
Dalam hati Khansa merasa malu. Ini pertama kalinya seseorang mengobrol dengannya dengan kata-kata yang benar-benar dibutuhkannya. Sebuah nasihat yang tidak menghakimi, tanpa menyalahkan, tidak memojokkan. Nasihat tulus yang dibagi dari hati ke hati bahkan ketika Fitri tidak mengenal siapa Khansa dan bagaimana ceritanya hingga ia bergabung dengannya di tempat ini.
"Bagaimana caranya kakak bisa seikhlas itu?"
"Tidak sulit, tapi juga tidak mudah."
Fitri tersenyum tenang. "Ikhlas itu bukan memberi, tapi menerima. Apa yang Allah beri, terima dengan ikhlas. Dari keikhlasan itu kita belajar mencintai apa yang kita jalani saat ini." tutur Fitri.
"Lihat ibu itu, dia sudah sepuluh tahun berada disini. Mungkin keluarganya di Afrika sana mengira dia sudah meninggal. Tapi beliau masih bisa tersenyum lebar dan menghibur kita semua disini, menyayangi kita seperti seorang ibu.
Dan wanita itu, dia melahirkan disini. Dia orang Asia, yang dinikahi lelaki Arab hanya untuk mendapatkan keturunan. Dan dia dipenjarakan oleh suaminya agar dia tidak bisa lari dengan membawa anaknya juga.
Melihat mereka saja membuat saya merasa begitu bersyukur. Masih banyak yang ujiannya lebih berat dibandingkan ujian yang Allah berikan pada saya."
Seperti membuka sebuah kue keberuntungan. Apa yang dikatakan Fitri benar-benar menyadarkan Khansa dari kekeliruannya selama ini.
Yang Khansa pahami, ikhlas adalah memberi, melepaskan dari genggaman.
Melepaskan masa lalu untuk mulai membuka lembaran yang baru, itu berat baginya. Itu yang selama ini menjadi masalah, sebab masa lalunya terlalu indah.
Ternyata, Khansa salah.
Ikhlas tidak seberat itu.
Ikhlas hanya berdamai. Hanya perlu menerima ketentuan Allah baginya untuk mengindahkan hidupnya saat ini seindah hidupnya di masa lalu.
Dan yang terpenting adalah, ikhlas itu memupuk cinta dan kepercayaan kepada Allah.
Ya Allah....
Aku salah.
Aku terlalu jauh melangkah.
Aku terlalu keras kepala dan pembangkang.
Kembalikan aku seperti diriku yang dulu...
Yang mencintai-Mu.
Yang patuh pada-Mu.
••••••
To be continued
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro