Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7. Usaha Meyakinkan

Hampir sepekan berlalu dari blind date yang berakhir manis. None masih sering tersenyum-senyum sendiri. Ada malu, bahagia, sekaligus rasa berdosa. Malu setiap kali ingat dia refleks memeluk dan menangis di dada Eros. Bahagia mengingat bagaimana perlakuan Eros menghadapi segala sikap kekanakannya. Juga merasa berdosa menyadari bahwa semua yang seharusnya dipikul berdua malah dia timpakan seluruhnya pada calon suaminya.

Setelah tiga hari yang lalu keluarga None —yang diwakili oleh mamak-mamaknya— mendatangi keluarga Eros untuk maresek, malam ini keluarga dari pihak None akan datang kembali ke rumah Eros untuk batimbang tando atau bertukar tanda sebagai bagian daei prosesi meminang. Dalam tradisi Minang, pihak calon pengantin perempuanlah yang meminang calon mempelai laki-laki.

Pada tahapan ini, keluarga None datang kepada keluarga Eros dengan membawa hantaran seperti kue-kue dan buah-buahan, tetapi tidak ada sirih sebagaimana tradisi aslinya. Acara dilanjutkan dengan bertukar tanda, yaitu saling menukar benda-benda pusaka seperti kain adat. Barulah kedua pihak membicarakan tentang penentuan tanggal.

Sebab kedua keluarga sudah lama tinggal di perantauan, sebagian acara dilaksanakan hanya untuk memenuhi tradisi saja. Pembicaraan tentang detail rencana pernikahan sudah selesai beberapa waktu sebelumnya, tinggal pelaksanaan, yang itupun sudah dibuat lebih sederhana.

Di kamarnya, None sedang menunggu kabar dari Eros. Sedari tadi menimang handphone dengan gelisah, lalu memutuskan untuk mengirim pesan.

None: Bang, lamaranku diterima, kan?

Balasan datang dua puluh menit kemudian melalui panggilan.

"Assalamualaikum, Abang."

"Waalaikumussalam. Kamu itu tanya apa sih, Non? Kalau nggak kuterima terus gimana nasibku coba?" kata Eros tanpa basa-basi.

"Alhamdulillah. Siapa tahu Abang berubah pikiran."

"Tadinya mau berubah pikiran, Non, pengin nikahnya pekan depan aja. Sayangnya nggak segampang itu mengganti acara." Ganti None yang tergelak-gelak gembira.

"Kita mau ketemuan lagi apa sekalian pas akad nikah nanti, Non?"

"None terserah Abang aja. Tapi...."

"Tapi apa, Non?"

"Akad nikah masih tiga minggu lho, Bang. Abang nggak akan kangen sama None, gitu?" Setelah mengucapkan pertanyaan itu, None merutuki dirinya sendiri. Menurutnya apa yang dia tanyakan tadi sungguh memalukan.

"Kenapa? Kamu pengin dikangenin sama aku, ya? Ya udah, nanti aku akan kangen sama kamu deh, terus kita ketemuan. Deal?"

Tut tut tut.

None mengakhiri panggilan sepihak. Kesal. Pada dirinya sendiri, juga pada jawaban Eros yang tidak sesuai harapannya.

Di seberang sana Eros tertawa geli. Belum juga membahas tentang acara yang baru saja usai, None sudah keburu ngambek. Eros pula tak paham apa penyebab ngambeknya. Dia pikir besok pagi semuanya akan kembali normal, tapi Eros salah besar.

Hingga keesokan pagi, None sama sekali tak menghubungi juga tak bisa dihubungi. None bahkan menutup semua akses komunikasi dengan Eros.

Sehari, dua hari, tiga hari....

Dan di hari keempat Eros mengambil keputusan untuk meminta tolong sekali lagi pada sang kakak tingkat.

Untung saja Jonhar masih di darat. Hubungannya dengan Eros memang cukup dekat. Jadi, meski lama tak berkontak, begitu kembali berjumpa, pertemanan mereka justru semakin erat. Dan lagi-lagi, Jonhar dan Netty yang tampil menjadi penyelamat. Abang ipar dan kakak None itu kembali membuat skenario untuk mempertemukan None dengan Eros. Dimulai dari Eros yang menelepon ibu None pagi itu.

Bu Yusniar buru-buru memanggil None. Begitu None muncul, smartphone ibu tersodor di depan mukanya plus bonus omelan, "Makanya jangan main HP terus, Eros mau nelpon kamu nggak nyambung-nyambung jadinya." None tak berkutik, telepon dari Eros kali ini terpaksa diterima.

"Assalamualaikum, Bang."

"Waalaikumussalam. Kita harus ketemu, Non. Aku ke rumah sekarang." Lalu suara tut tut tut terdengar.

"Ada apa, Non?" Ibunya penasaran.

"Eh, ng-nggak tahu, Bu. Putus gitu aja." None mengembalikan handphone ibunya bersamaan Netty dan Jonhar datang,  meminta izin kepada ibu untuk jalan-jalan.

"Kak Anet mau ke mana?" tanya None.

"Muter-muter dekat sini aja, sih. Bang Jon pengin makan nasi padang langganan."

Sebuah ide mendadak terlintas di kepala None. Dia akan ikut kakaknya pergi supaya bisa menghindar dari Eros. Entah kenapa, makin mendekati hari H dia merasa makin labil, terutama menghadapi Eros. Bukannya bertambah rasa sayang, yang ada malah gampang marah. Kata Netty itu biasa bagi pasangan yang sedang menghitung hari menuju pernikahan. Itulah kenapa None merasa cocok curhat kepada kakak sulungnya.

"Ikut boleh nggak, Kak? None juga pengin makan nasi padang langganan Abang." Alasan yang jelas sekali dibuat-buat.

Netty menatap Jonhar seakan meminta persetujuan. Suaminya mengangguk tanda setuju. None yang melihat kode-kodean itu bersorak dalam hati. Dia hanya tak tahu kalau sudah masuk jebakan kakak-kakaknya.

None segera melesat ke kamar. Mengganti baju dan menyambar slingbag. Wajahnya dibiarkan polos, hanya sunscreen dan lipbalm yang menempel di sana. Raut mukanya begitu ceria, seperti burung yang terbebas dari sangkar emas. Senyumnya tak pernah lepas, bahkan ketika mobil sudah berjalan hampir lima belas menit meninggalkan rumah.

Handphone Jonhar berdering. Letaknya yang terpasang di atas dashboard membuat None bisa ikut membaca nama pemanggilnya. TM Eros Hanafi

Jonhar mengetuk ikon loudspeaker, sambil menyetir dia bicara dengan calon ipar di seberang sana. None melengos, pura-pura cuek padahal menajamkan pendengaran. Senyumnya sudah hilang entah ke mana.

"Gimana, Ros?" sambut Jonhar.

"Aku barusan dari rumah Om Karim, Bang. Cuma ada Yessi, tapi dia nggak tahu ke mana yang lain pergi. Abang tahu None ke mana?"

None mencubit bahu abangnya, berkasak kusuk meminta agar Jonhar menyembunyikan keberadaannya.

"None ya? Tuh, di belakang. Susul aja ke sini."

"Abang jahat, ih!" None merajuk. Mulutnya mengerucut. Matanya berkaca-kaca.

"Harinya makin dekat, Non. Kamu nggak bisa menghindar terus dari Eros. Dia on the way ke sini. Kita tunggu Eros, kalian bicaralah berdua. Kakak sama abang sekalian pulang ke rumah kami. Oke?"

Tak ada pilihan, mau tak mau None harus berpindah ke mobil Eros. Eros mengucapkan terima kasih beberapa kali pada Jonhar dan Netty, kemudian memohon diri untuk pergi berdua dengan si calon istri.

"Aku nggak suka sama Abang. Aku kan nggak mau ketemu, kenapa Abang maksa-maksa aku gini?"

Panggilan saya sudah beralih menjadi aku. Eros makin yakin kalau None sebenarnya sudah merasa nyaman bersamanya.

"Iya, maaf. Aku yang salah. Harusnya waktu itu aku jawab kalau aku pasti akan kangen sama kamu."

"Iiih, siapa juga yang bahas itu. Aku nggak peduli Abang mau kangen aku apa nggak? Abang kan memang mau menikah sama aku karena terpaksa. Demi karir Abang. Demi mama Abang. Abang tuh nggak ada rasa sayang sama aku. Abang nggak cinta sama aku. Iya, kan? Ngaku aja!" None merepet mengeluarkan semua uneg-unegnya.

"Kalau gitu aku gantian tanya, apa kamu sudah cinta sama aku, Non?"

"Ehk!" None mati kutu. Mau menjawab iya, dia sendiri tak yakin bisa secepat itu. Mau menjawab tidak, kenyataannya dia sudah merasa nyaman dan menikmati keberadaan Eros di hari-harinya. Dia bahkan tak sungkan untuk menunjukkan sikap kekanakannya di hadapan Eros.

"Aku nggak tahu!" sahut None akhirnya.

"Kalau aku..., aku tahu pasti jawabanku untuk pertanyaan tentang cinta, Non. Kalau kamu tanya, apa aku cinta sama kamu? Jawabanku absolutely yes. Aku cinta sama kamu."

"M-mana mungkin secepat itu? Memangnya aku percaya? Nggak!"

"Dari mana kamu bisa menilai seperti itu, Non? Sampai bisa menarik kesimpulan segala untuk nggak percaya sama aku? Memangnya cinta itu apa sih, Non?"

"Ehk..., Abang kalau nanya nggak usah yang susah-susah bisa nggak, sih?"

Eros terkekeh. Ditepikan mobilnya dan berhenti di depan sebuah taman. Dia menghadapkan tubuhnya pada None, menatap mata gadis itu lekat-lekat. None tak kuat. Dia salah tingkah. Jantungnya berdetak tak beraturan.

"Tahu nggak, Non? Aku belum pernah merasakan sesuatu yang sama seperti yang kurasakan sama kamu gini, Non. Aku nggak pernah mau tahu kalau ada perempuan merajuk, ngambek, dan semacamnya karena sesuatu yang sebenarnya tak perlu dijadikan alasan untuk itu. Tapi dengan kamu beda, Non. Kalau kamu merajuk atau ngambek, aku selalu berusaha mencari cara biar kamu baikan lagi sama aku. Mungkin karena dari awal tujuan kita sudah jelas, menikah. Aku akan menghabiskan seumur hidupku di sampingmu, demikian pula dengan kamu.

"Selama ini aku nggak pernah tertarik untuk menjalin hubungan kalau belum jelas tujuannya. That's why aku nggak pernah pacaran, apalagi hanya untuk penjajakan. Non sense! Pacaran itu cuma menghabiskan waktu untuk sesuatu yang belum tentu menjadi masa depanmu. So…, percayalah, Non. Percayalah kalau aku mencintaimu, entah seperti apa bentuknya sekarang ini, yang pasti aku mencintaimu, Non. I love you."

Sesuatu yang mancung dan hangat menyentuh pipi None. Eros menciumnya. Cuma beberapa detik, tapi sudah cukup membuat None terpaku. Dia sama sekali tak berani menoleh ke arah Eros, bahkan melirik pun tidak. Jantungnya berdegup cepat, jemarinya bergetar hebat.

"B-Bang. In-ini ng-nggak boleh."

None mengusap pipi kanannya. Matanya berkaca-kaca. Perasaannya campur aduk. Malu, takut, kaget, kesal, merasa berdosa, tapi juga senang dan bahagia.

"Iya, maafkan aku, Non. Aku salah. Aku kebablasan. Kita pulang ya, biar nanti aku antar kamu bertiga dengan Imelda."

"Ehk, Im-Imelda?"

"Iya, kita pulang ke rumahku."

"T-tapi, Bang...."

"Nggak apa-apa. Ada mama dan Imelda. Kamu ngobrollah sama mereka. Tanya-tanyalah tentang aku, biar kamu nggak buta-buta amat setelah jadi istriku nanti."

"Aku belum izin ayah sama ibu."

"Itu kewajibanku, kan aku yang ngajakin kamu."

Eros meraih gawainya, menyodorkan pada None yang menerima dengan kebingungan.

"Tolong kamu yang hubungkan, nanti aku yang bicara," pinta Eros. None mengangguk dan segera melaksanakan permintaan si calon suami.

"Passwordnya, Bang?" Disodorkannya gawai kepada Eros.

"Dua belas sebelas." Eros tak mengambil handphone-nya, hanya menyebutkan angka-angka untuk membuka kuncinya.

None menelan ludah. Menekan angka-angka tersebut sembari menghalau ge-er yang mendadak datang. Itu tanggal lahirnya.

"Password kan rahasia, Bang." None sok mengingatkan.

"Nanti kalau kita udah nikah, passwordnya aku ganti pakai tanggal pernikahan kita." Kali ini None tersenyum geli. Tak menyangka Eros bisa lebay juga.

"Memangnya password yang sekarang tanggal apa, Bang?" None serasa dapat kesempatan untuk menuntaskan kege-eran.

"Tanggal lahir."

"Abang?"

"Bukan. Mama."

"Oh." None malu pada dirinya sendiri. Sudah gede rasa, ternyata bukan tentang dia.

"Mamanya anak-anak kita nanti," ujar Eros lagi.

"Ehk." None melengos. Membuang pandang ke luar jendela. Susah payah menyembunyikan senyum yang mengandung banyak bumbu bahagia.

Eros melirik, lalu ikut tersenyum. "Kenapa harus disembunyikan, Non? Aku bilang begitu tadi, salah satunya karena pengin lihat senyum kamu yang malu-malu itu."

None malah menutup muka dengan kedua tangannya. Eros tertawa. Sesuatu yang lebih sering dia lakukan sejak mengenal seorang Novrida Nedia. Selama ini Eros dikenal serius dan agak kaku, jarang bercanda, apalagi tertawa yang sampai menimbulkan suara.

Sisa perjalanan diisi Eros dengan membicarakan kembali soal pekerjaannya. Bagi Eros Hanafi, profesinya saat ini adalah satu hal yang sangat dia syukuri dan nikmati. Dan Eros berharap, None nanti akan bersikap sama saat menghadapi dirinya dengan pekerjaannya.

"Ya, Bang. Insya Allah aku akan mencoba dan berusaha. Tapi kalau di awal-awal banyak kurangnya, Abang jangan menuntut aku untuk cepat bisa sempurna."

"Nggak lah, Non. Di dunia ini yang sempurna cuma lagunya Andra and The Backbone saja."

None tertawa. Di balik sikap Eros yang berkesan serius, ternyata laki-laki tinggi menjulang itu bisa mengeluarkan candaan juga, ya walaupun agak-agak maksa dan sulit dicari letak kelucuannya.

Tiba di rumah keluarga Eros, None segera bergabung dengan calon mama mertua dan calon adik ipar yang umurnya lebih tua daripada dia. Eros sendiri hanya bersama mereka sebentar saja, kemudian menghilang entah ke mana. Untung saja None pernah protes sebelumnya, jadi Eros sudah memberi tahu beberapa hal tentang mama dan adiknya untuk bekal None bergaul sebagai calon anggota keluarga.

None sendiri merasa senang dan lekas akrab dengan mama dan adik Eros. Mereka membahas soal persiapan pernikahan dan semacamnya. Dari warna baju yang akan dikenakan None, make up, perhiasan kepala, seragam keluarga, dilanjutkan dengan melihat foto-foto dan video baralek pernikahan di keluarga besar Eros, juga melihat beberapa chanel yang menayangkan perhelatan nikah dengan tradisi Minang.

Mama dan adik Eros juga bercerita cukup banyak tentang Eros, terutama tentang pekerjaannya —lagi.

Perempuan kalau sudah bertemu dan klop dengan kawan bicara serta topik pembicaraan, waktu dua jam bisa berlalu tanpa terasa. Sepanjang itu pula Eros tak sedetik pun menampakkan batang hidungnya. None mulai gelisah.

"Kangen Bang Han ya, Kak?" tanya Imelda dengan sorot mata meledek.

"Eh, ng-nggak kok. Jangan panggil Kak juga kali, Mel." Umur None hanya terpaut satu tahun di bawah Imelda. Dari sejak awal pula Eros sudah menyuruh None memanggil nama saja pada adiknya. Sebaliknya, Eros meminta Imelda memanggil Kak pada None.

"Bang Han yang suruh, Kak. Lagian sebentar lagi juga jadi kakak aku, kan. Hehe."

Imelda mengajak None memeriksa Eros di kamarnya. None tak mau, tapi Imelda memaksanya, sedangkan mama Eros hanya tersenyum-senyum saja.

"Curigaku abang lagi ngurusin kerjaan deh, Kak. Abang tuh kalau udah urusan kerja suka lupa sekeliling. Libur juga kadang masih direcokin urusan kerjaan, dan herannya,  dia enjoy aja," cerocos Imelda dari ruang tengah sampai kamar Eros di lantai dua.

"Ssstt...." Imelda memberi isyarat dengan mengacungkan telunjuk di depan bibir dan hidungnya.

Dari pintu kamar yang sedikit terbuka, None mengikuti Imelda mengintip ke dalamnya. Eros sedang berbicara dalam bahasa Inggris, mungkin dengan klien perusahaan, atau dengan rekan seprofesi di belahan bumi yang berbeda. Mereka berdua memutuskan untuk menunggu di sofa yang terletak persis di depan kamar Eros.

Begitu Eros mengakhiri percakapan, Imelda langsung masuk ke dalam.

"Abang gimana sih, nggak tanggung jawab banget. Bawa anak gadis orang malah ditinggal ngurus kerjaan. Kak None udah pulang tuh, bete karena Abang sibuk sendiri."

"Astaghfirullah hal adzim," pekik Eros. Detik berikutnya dia sudah melesat meninggalkan Imelda. Lalu....

"Eh, Non. Kamu...." Eros buru-buru mengerem langkah melihat None ada di depan kamarnya.

Dari dalam kamar Imelda terpingkal-pingkal. Baru kali ini dia melihat abangnya sepanik itu, urusan perempuan pula.

"Udah selesai kerjaannya, Bang? Kalau udah, tolong antar aku pulang. Nggak enak kalau kelamaan di sini. Belum sah. Atau kalau Abang masih sibuk, biar aku pulang sendiri aja nggak apa-apa ."

"Nggak gitu, Non. Aku minta maaf. Nanti aku jelasin. Kamu tunggu di bawah sama Imelda, ya. Aku siap-siap sebentar."

"Nggak usah, Bang. Kalau belum selesai, silakan Abang selesaikan dulu aja urusan Abang." None mencoba memaklumi, meski ada rasa dongkol di hati.

"Mel, tolong temani None di bawah." Wajah Eros super serius, itu berarti Imelda tak bisa melanjutkan candaannya tadi. Yang harus dia lakukan hanya mengajak None turun, dan menemaninya sampai si abang siap.

"Maaf ya, Kak. Kayaknya abang marah sama aku, deh. Tapi dia nggak pernah sepanik itu lho. Kayaknya Kak None udah jadi seseorang yang berarti banget buat Bang Han."

Perkataan Imelda membuat None merasa sedikit bersalah. Ya tapi mau bagaimana lagi, dia memang merasa tak nyaman berlama-lama di rumah yang dia sendiri belum resmi menjadi bagian dari penghuninya.

Tak sampai tiga menit Eros sudah berdiri di hadapan mereka. Meminta Imelda memanggilkan mama untuk berpamitan. Mama kembali tersenyum-senyum kepada None.

"Weekend depan ke sini lagi ya, None. Kita masak gulai kesukaan Han dan makan bareng-bareng."

"Ma, baralek tinggal dua pekan lagi. Mana sempat masak-masak bersama segala."

Mamanya tergelak, memeluk calon menantu, dan menepuk lembut salah satu pipinya. None sendiri tak tahu kenapa, tapi dia merasa calon mama mertuanya itu suka sekali menepuk pipinya. Setiap kali bertemu, pipi None tak pernah luput dari tepukan sang mama.

SUV putih meninggalkan halaman rumah keluarga Jefri Armahdi. Eros membuka pembicaraan dengan permintaan maaf atas apa yang dilakukannya tadi.

"Besok mulai pekerjaan di Saudi, Non. Riyadh. Aku cuma memastikan lagi semua sudah sesuai. Di sana weekend bukan Sabtu Minggu seperti di sini, tapi Jum'at Sabtu. Makanya hari Minggu pun kadang aku masih harus ngurus pekerjaan. Seperti yang sudah berkali-kali kusampaikan, aku memohon pengertian dan kesabaranmu kalau itu berurusan dengan pekerjaan."

"Apa Abang mau menikah sama aku juga alasannya karena karir Abang?"

"Aku nggak bisa bilang apa-apa kalau soal itu, Non. Kenyataannya jodohku datang dari momentum itu. Aku sih cuma merasa bahwa ini adalah cara Allah menolong hamba-Nya. Kalau menunggu aku meluangkan waktu buat cari pacar, kayaknya aku nggak akan mau buang-buang waktu untuk melakukannya. Sedangkan umurku nggak akan berhenti di angka ideal untuk menikah, terus argonya baru jalan lagi setelah aku ketemu jodoh. Nggak begitu, kan?

"Soal pekerjaan, itu lain lagi, Non. Di perusahaan, kinerjaku bukan dilihat dari ada atau tidaknya istri. Jadi sebenarnya, aku nggak menikah sekarang ini pun nggak ada pengaruhnya dengan karirku."

"Berarti Abang mau menikah sama aku karena paksaan mama?"

"Kalau paksaan ya nggak juga sih, Non. Mama hanya memanfaatkan keadaan untuk memaksaku menikah. Jadi paksaannya untuk menikahnya, Non, bukan dengan siapanya. Nggak harus dengan kamu juga. Sekali lagi, ini karena kemahabaikan Allah. Aku dikasih jalan yang relatif mudah untuk bertemu jodoh. Mama langsung ketemu mamamu, kemudian kasih aku profilmu. Alhamdulillah, kamu bersedia untuk menikah sama aku.

"Itulah kenapa aku nggak mikir dua kali untuk menerima calon yang diajukan mama. Profilmu baik, dari keluarga baik-baik, keturunan Minang menjadi nilai tambah tersendiri bagiku.

"Menurutku, menikah bukan bagaimana kita sebelum dipersatukan dalam ikatan yang sah, tapi justru sesudahnya. Aku sudah yakin untuk menikahi kamu, Non. Aku sudah sangat yakin untuk hidup bersama kamu. Aku sudah yakin pada tekadku untuk selalu berusaha mengerti dan memahami kamu nanti, menerima segala lebih dan kurangnya kamu, mencari jalan keluar bersama kamu untuk setiap masalah yang harus kita hadapi nanti, mengingatkan dan bersabar atas kamu. Dan aku yakin, kamu juga sama seperti aku.

"Keyakinan-keyakinan itu sudah cukup buat bekalku menikahi kamu, Non. Karena kalau bicara bekal secara fisik atau materi, bukan sombong, tapi insya Allah aku sudah lebih dari mampu."

Eros berhenti bicara. Dipandanginya None yang sedang berusaha menahan air mata.

"So, sekalipun semua karena paksaan atau apapun itu, kamu siap menjadi istriku kan, Non? Dengan segala lebih dan kurangku. Dengan segala kesibukanku. Dengan segala---"

"Cukup, Bang. Semua yang Abang bilang sudah cukup buat meyakinkan aku. Nggak usah dilanjutin, aku orangnya gampang terharu." None menekan-nekan punggung tangannya bergantian di kedua mata.

Eros terkekeh. Ingin sekali menepikan mobilnya, lalu menempelkan kembali hidung mancungnya pada pipi None yang halus seperti kulit bayi. Tapi Eros tahu itu salah.

"Weekend depan kita jalan lagi boleh nggak, Non?"

"Kan tadi Abang sendiri yang bilang mama kalau---"

"Pernyataanku yang itu akan segera kucabut di depan mama. Akan aku videoin dan aku kirim ke kamu secepatnya."

None tergelak. Dia bahagia sekali menemukan bibit-bibit kebucinan dalam diri seorang Eros Hanafi.

***

Cieee, calon-calon bucin nih Eros Hanafi. Wkwk...

Btw, Abang sama None nih update di sininya cuma sepekan sekali. Agak selow yaa. Hehe. Yg suka gak sabaran dan penasaranan, bisa baca di Karyakarsa. Di sana sudah sampai part 19.

Terima kasih sudah membaca.

See you :)

Semarang, 22022023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro