Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5. Ujian Pra Pernikahan (2)

Part sebelumnya:

"Setelah akad nikah, masih ada tradisi pasca pernikahan yang akan kita lalui, Non." Hati-hati Eros berbicara. Dia melihat wajah None sudah tak keruan ekspresinya. Gadis itu seperti bingung, kesal, sedih, malas, dan semacamnya.

"Itu sudah panjang banget, Bang. None kayaknya nggak akan sanggup kalau masih ada adat istiadat macam-macam lagi sesudah kita sah jadi suami istri. Baru ngebayangin aja None udah capek, Bang." Mata None berkaca-kaca. Pikirnya, berat sekali mau membahagiakan orang tua.

"Bang...," panggil None ragu.

"Iya, Non?"

"Emm..., None mengundurkan diri aja boleh ya, Bang?"

***

"Tolong kamu panggil Tante Yusni atau Om Karim. Aku mau minta izin, kita ngobrol di luar." Eros tahu ke mana arah pembicaraan None, dan ini harus diselesaikan secepatnya.

"Tapi, Bang...." None hampir menangis. Baru membahas persiapan pernikahan saja rasanya sudah sesulit ini, bagaimana memasuki dunia pernikahannya nanti?

Eros menarik dan menyodorkan sehelai tisu dari atas meja ruang tamu. "Jangan nangis, Non. Ini bisa dibicarakan baik-baik. Kutunggu sampai perasaanmu lega, setelah itu tolong panggil ibu atau ayahmu. Oke?"

None mengangguk pasrah, langsung beranjak mencari salah satu atau kedua orang tuanya. Dia memilih menuruti kemauan Eros untuk menyelesaikan permasalahan dengan segera.

Kepada calon mertua Eros memohon supaya diizinkan pergi berdua. Tak ada alasan yang dicari-cari, dia mengatakan apa adanya, bahwa ada masalah yang harus diselesaikan dan bicara berdua di luar menurutnya akan jauh lebih nyaman. Perizinan turun. SUV putih melaju meninggalkan kediaman keluarga Karim.

"Silakan kalau mau nangis, Non," kata Eros setelah mobil meninggalkan rumah None.

Tanpa malu None mengeluarkan semua air matanya. Tersedu-sedu seakan Eros baru saja melakukan kesalahan besar yang begitu menyakiti hatinya. Eros mendiamkan saja. Sesekali melirik keheranan sambil menahan keinginan untuk tertawa.

"Mungkin saya masih terlalu muda buat menikah, Bang. Baru begini saja udah berasa capek dan berat banget mikirnya. Gimana ngejalanin kehidupan setelah menikahnya nanti? Udahlah, Bang, lebih baik saya mengundurkan diri aja. Abang pantas dapat istri yang lebih baik dari saya. Dan Abang pasti bisa dengan mudah mencari yang lebih segalanya dari saya." Masih sambil menangis None bicara.

"Non, nggak begitu caranya. Kita udah melangkah sejauh ini, lho."

"Sejauh apa, Bang? Kita bahkan baru kenal satu minggu. Dan saya nggak yakin kita bisa ngejalanin kehidupan rumah tangga bareng."

"Kamu bilang begitu karena kamu sedang emosi, Non. Diamlah dulu. Tenang,  tunggu emosimu mereda. Nangis aja sepuasmu, nggak usah mikir apa-apa dulu."

"Abang bilang begitu kan karena Abang yang lebih punya kepentingan dengan pernikahan ini. Abang nggak mau kehilangan kesempatan buat karir Abang, kan? Abang nggak mikirin gimana saya nanti, mampu apa nggak? Bisa apa nggak? Malah maunya dipercepat. Udah gitu pakai adat yang apalah apalah itu banyaknya minta ampun. Saya pusing, Bang. Belum apa-apa saya udah capek duluan. Abang tuh egois!"

None masih terus merepet. Sayangnya sama sekali tak membuat Eros berubah pikiran. Waktunya tak tersisa banyak. Lagipula dia sudah menyukai None sejak pertemuan mereka yang pertama, saat gadis itu cemberut karena mau mengerjai Eros tetapi malah balik dikerjain.

Beberapa kali None memandangi Eros. Yang dilihat malah cuek saja, hanya fokus pada jalanan di hadapannya. None makin meradang.

"Abang kok cuek aja sih? Saya ngomel sampai capek gini malah nggak didengerin. Antar saya pulang aja kalau gitu." Mulut None mengerucut. Dia melengos, membuang pandangan ke sebelah kiri. Tangannya bersedekap. Napasnya memburu, sengaja ingin menampakkan kekesalannya. Lalu None diam. Setelah tadi ngomel tiada jeda, kali ini berganti mogok bicara.

"Sudah ngomelnya?" Setelah hampir lima menit tak terdengar sepatah pun kata, barulah Eros angkat suara.

"Aku, kalau bisa menentukan sendiri, emm..., maksudku menentukan berdua saja sama kamu, aku akan memilih hal yang sama dengan kamu, Non. Akad nikah di rumah, pesta pernikahan yang sederhana, selesai. Kita bisa lebih fokus buat kehidupan kita setelah menikah nanti. Apalagi kita nggak akan tinggal di sini, jadi jauh lebih baik kalau waktu untuk urusan adat kita gunakan untuk persiapan hidup di rantau nanti.

"Tapi, Non,  pernikahan bukan cuma tentang aku dan kamu, melainkan keluarga besar dengan segala kemauan, keinginan, kepentingan yang sebisa mungkin harus kita akomodir semua. Sulit memang, tapi.. ya begitulah. Sebab kehidupan pernikahan nantinya memang nggak akan semulus wajahmu, Non. Riak-riak pasti ada."

"Ya tapi nggak usah ngerayu juga kali, Bang." Eros tergelak. Kenyataannya wajah None memang mulus seperti bayi. Tak terlihat satu pun jerawat, bekas jerawat, bahkan lubang pori-porinya pun teramat samar.

"Tapi dalam tradisi suku kita kan pernikahan itu menjadi hajat bagi keluarga perempuan, Bang. Sedangkan dalam pernikahan kita ini, keluarga Abang malah yang lebih banyak mengatur daripada keluarga saya sendiri." None menunduk dalam. Ada rasa bersalah yang meremas hatinya. Dia tak enak hati pada Eros karena membawa-bawa keluarganya dalam konteks yang kurang baik, setidaknya dalam urusan ini.

"Itu juga aku sudah menduga, Non. Bahkan kekhawatiranmu kalau nanti keluargaku terlalu intervensi rumah tangga kita, aku juga tahu itu. Tapi aku berani menjamin kalau itu tidak akan terjadi, Non." None bungkam seribu bahasa. Malu, karena apa yang ada di benaknya mudah sekali terbaca.

"Kita itu terlahir dari manusia, Non. Bukan seperti unta Nabi Saleh yang keluar dari batu. So..., adalah wajar ketika orang tua mengajukan pula egonya dalam urusan anak-anaknya. Bukankah dalam hidup kita akan selalu dihadapkan pada tantangan-tantangan untuk diselesaikan? Dihadapkan dengan banyak ego untuk dihadapi? Dan wajar sekali kalau itu datang pertama kali dari orang dekat kita, Non, karena dengan merekalah kita paling banyak berinteraksi." None manggut-manggut, mencoba mencerna perkataan sang calon suami.

"So..., jangan berubah pikiran ya, Non. Aku cuma maunya sama kamu."

"Ehk..., ng-nggak janji, Bang. Kan None harus mikir lagi." None tersipu mendengar ucapan Eros. Cuma mau sama dia? Hemm.

"Udah sih, Non, iya aja. Nggak usah kebanyakan mikir. Sekarang kita ke rumahku, ketemu keluargaku. Biar kamu kenal lebih dekat sama semuanya."

“Abang jangan becanda, ih.” None kembali cemberut.

Awak ndak bagarah, Non.”
(Aku nggak bercanda, Non.)

"Ehk, t-tapi, Bang..., s-saya belum siap."

Eros cuek saja. Diambilnya gawai, lalu menelpon ayah None untuk meminta izin membawa anak gadisnya bertemu orang tua dan keluarganya. Tentu saja perizinan kembali didapat dengan mudah. Dan beberapa puluh menit kemudian mereka sudah tiba di depan sebuah rumah yang —menurut None— megah.

"Yuk, masuk. Mama pasti seneng banget ketemu kamu."

Eros membukakan pintu mobil untuk None. Bukan. Bukan karena romantis, tapi karena None tak juga mau keluar dari dalam sana.

"Tapi, Bang...."

"Kamu tahu nggak? Kamu itu satu-satunya perempuan yang kuajak ke rumah. Kenapa? Ya karena kamu calon istriku, Non. You are very special to me. So..., ayolah."

Eros menatap None dengan tatapan nan lembut. Mata mereka saling beradu. None ingin menangis, tapi yang dilakukannya justru mengangguk. Mata Eros yang berkesan teduh membuatnya luluh. Ditambah lagi Eros mengulurkan tangannya, menawarkan genggaman tanpa kata-kata. Malu-malu None menyambutnya. Ada yang berdesir-desir manakala sang calon suami meremas tangannya, seakan mengatakan bahwa segala sesuatunya akan baik-baik saja.

Seorang perempuan muda membukakan pintu, menyambut Eros dengan kerlingan menggoda, lengkap dengan menaikturunkan kedua alisnya.

"Ini Imelda, Non. Calon adik iparmu. Satu-satunya perempuan di keluarga ini yang bisa baca maps dengan baik." Gadis itu —Imelda— terkekeh. Kemudian menjabat tangan None dengan hangat dan mengajak None untuk duduk. Bukan di ruang tamu, tapi di dalam, di ruang keluarga yang sedang ramai. Ferly, kakak sulung Eros, beserta keluarganya sedang berada di sana.

"Masya Allah, anak cantik," sambut mama Eros begitu melihat siapa yang dibawa pulang anaknya. Dipeluknya None erat, lalu menepuk lembut pipi si calon menantu. None tersipu-sipu.

Alah izin alun ko, Han? Baok nak gadih urang, ndak buliah sambarang sin.
(Sudah izin belum kamu, Han? Bawa anak gadis orang, nggak boleh sembarangan saja.)

"Sudah, Ma. Han sudah izin Om Karim tadi di jalan. Memang nggak ada rencana sih ke sininya, tapi waktu mau ajak None keluar, Han juga sudah izin dulu sama Om Karim dan Tante Yusni."

Keluarga Eros menunjukkan penerimaan yang hangat dan menyenangkan atas kehadiran None. Sepertinya mereka semua sudah menunggu kehadiran seseorang yang spesial di samping si anak emas keluarga Jefri Armahdi —nama papa Eros.

None senang sekaligus kesal. Dia sama sekali tak ada persiapan menghadapi keluarga calon suaminya. Mana tak ada briefing ataupun penjelasan singkat dari Eros tentang keluarganya. None benar-benar buta, hingga mau bicara pun dia ragu-ragu, takut salah bicara, takut kalau bicara malah tak sesuai kebiasaan di sana, takut membuat malu ayah ibunya, dan semacamnya. Gadis itu memilih untuk lebih banyak diam dan melempar senyum saja. Tak bicara kalau tidak ditanya.

Hanya satu jam di sana, Eros yang melihat None seperti kurang nyaman segera mengajaknya untuk berpamitan.

"Gimana keluargaku, Non?" tanya Eros begitu mobil melintasi pagar rumahnya. Keluarganya bahkan masih melambaikan tangan untuk None.

"Baik," jawab None singkat.

"Kamu merasa diterima, kan?"

"Iya."

"Terus, kenapa wajahmu kayak kurang nyaman begitu?"

"Ehk. Kelihatan ya, Bang?" Wajah None meredup seketika. Rasa bersalah dan tak enak hati manyusup perlahan dalam dirinya. Keluarga Eros sudah menyambutnya dengan penuh keakraban, dia malah mempelihatkan ketidaknyamanan.

"Nggak sih, Non. Kelihatannya cuma aku yang merasakan itu. Mungkin karena kamu nggak nyamannya sama aku. Iya?"

None malah menangis sesenggukan. Eros diam saja, menunggu sampai None kembali tenang.

"Kalau saya nggak nyaman, itu semua karena salah Abang. Harusnya Abang tuh kasih tahu saya dulu siapa-siapa dan bagaimana keluarga Abang, jadi saya nggak buta sama sekali. Kalau kayak tadi, Abang tiba-tiba ngajakin ke rumah tanpa kasih tahu saya apapun, saya kan jadi bingung mau ngomong apa, mau bersikap gimana? Saya tuh takut salah, Bang. Takut menjatuhkan nama baik ayah ibu, takut keluarga Abang ngecap buruk sama saya. Saya tuh..., huhuhu." Bukannya mereda, tangis None justru makin keras.

"Non, itu semua bukan masalah. Mama senang sekali mau punya menantu kamu. Keluargaku menerima kamu apa adanya. Aku pun demikian, menerima kamu apa adanya. Aku suka dan aku siap, walaupun mungkin harus sering menghadapi kelabilanmu macam ini. Seumur hidup, setiap hari."

"Kok Abang bilang gitu, sih? Kan tadi saya udah bilang kalau saya mau mengundurkan diri aja. Abang bisa dapat yang lebih baik dari saya, nggak perlu menghadapi kelabilan saya. Nggak perlu dibahas-bahas gitu juga kelabilan saya. Abang menyebalkan!"

Sisa perjalanan dilalui dengan diam-diaman sampai di depan rumah None.

“Abang nggak usah turun, saya bisa sendiri!" seru None ketus.

"Nggak begitu, Non. Aku ngajak kamu keluar dengan baik-baik. Aku harus mengembalikan kamu dengan baik-baik juga."

"Jadi, Abang mau ngembaliin saya? Saya beneran boleh mengundurkan diri, Bang?" Mata None mengerjap penuh harap.

Tak ada jawaban. Eros berjalan memutar melewati bagian depan mobil, lalu membukakan pintu untuk None yang —lagi-lagi— tak bersegera turun.

Eros bukan tipe orang yang suka basa-basi atau berbelit-belit. Kepada calon mertua dia katakan apa adanya, bahwa ada sedikit masalah diantara mereka berdua.

None bahkan sudah berada di kamarnya. Eros juga yang tadi memintakan izin supaya None boleh tidak mengikuti obrolan mereka. Kedua orang tua None bisa memahami, tentu saja dengan sedikit kekhawatiran Eros akan berubah pikiran.

“Insya Allah semuanya baik-baik saja, Om, Tante. Rencana akan tetap berjalan seperti yang sudah disepakati kita semua. Tapi saya mohon maaf dan mohon izin, kalau boleh, saya minta tolong Om dan Tante untuk sementara ini tidak menanyai dan membahas permasalahan ini dengan None. Biar kami usahakan untuk menyelesaikannya berdua dulu.”

Eros tak menyebutkan detail apa masalahnya. Pembawaan Eros yang matang membuat kedua orang tua None merasa tenang. Dalam benak keduanya sama sekali tak terbesit niat untuk bertanya apapun kepada anak gadisnya, sesuai permintaan sang calon menantu. Pak Karim dan Bu Yusni percaya, permasalahan Eros dan anak mereka tidak membutuhkan bantuan penyelesaian dari mereka.

Eros berpamitan dan bergegas pulang. Di belokan pertama setelah rumah None, Eros menepikan mobilnya dan berhenti. Diambilnya gawai dan mengirimkan pesan kepada sang calon istri.

Eros: Non, Aku pulang dulu.

Eros: Aku sama sekali tdk berubah pikiran, harusnya kamu jg demikian.

Tak ada balasan.

***

Sepekan ternyata cepet banget yaaa. Hihi... Tapi kayaknya belum rame nih lapaknya Abang dan None. Tapi nggak pa-pa juga sih, memang Wattpad juga makin ke sini kayaknya makin sepi. Eh, atau mungkin lapakku aja. Wkwk..

Ya udah, gitu aja ya.
See you :)

Semarang, 07022023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro