Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3. Pertemuan Pertama

Hari Minggu kali ini menjadi berbeda bagi None. Sore nanti calon suami akan datang untuk berkenalan. None merasa wajib tampil maksimal di hadapan Eros Hanafi. Maka sejak pagi dia sudah berencana untuk ke salon. Sudah lama sekali dia tak melakukan perawatan diri. Ya minimal facial dan creambath lah, biar wajah agak glowing dan rambut terasa lebih segar walaupun tertutup hijab.

"Mau ke mana, Non? Pagi-pagi udah cakep aja." Yessi kepo.

"Mau ke salon," jawab None sekenanya.

"Tumben."

"Kan nanti sore mau ketemu calon suami. Bang Eros ganteng, lho. Kakak jangan nyesel ya kalau kami nanti hidup bahagia." None sedikit menyentil kakaknya. Dengan Yessi dia masih menyimpan sedikit rasa kesal dalam hati.

"Cieee. Yang kemarin ogah ogah, sekarang semangat tampil maksimal."

"Biarin. Niat None kan baik, demi membahagiakan ibu." Jleb! Yessi bungkam. Kalau sudah bawa-bawa kebahagiaan ibu, dia bisa mengajukan argumen apa lagi?

"Perlu dianter nggak, Non?"

"Nggak usah repot-repot, udah sama Kak Anet, kok. Tuh, udah ditungguin di luar." None menunjuk ke arah teras dengan dagunya, bersamaan suara klakson mobil memanggilnya.

"Kok nggak bilang-bilang sih, aku kan pengen ikut juga." Tak ada respon. None sudah keburu kabur menyambut panggilan kakak sulungnya.

"Assalamualaikum," teriaknya sambil membuka pintu, lalu menghilang tanpa menutupnya kembali.

Di mobil gantian Netty yang memberi nasihat pra perkawinan. Dimulai dari tips menjalani perkenalan. "Kamu kudu rada jaim dikit, Non, biar kelihatan dewasa. Jangan kelihatan kalau anak mama."

"Dih, aku kan anak ibu. Bang Eros tuh yang anak mama."

"Hih, kamu nih ya, dibilangin malah becanda."

"None malas begitu-begitu, Kak. None mau abang menerima None apa adanya. Daripada udah jaim, udah kelihatan dewasa, eh pas udah hidup bareng ternyata None masih aja manja. Nanti si abang malah merasa ketipu, gimana coba?"

"Ya udah deh, Non, terserah kamu aja."

***

Jarum pendek jam dinding mendekati angka lima. None sudah sejak tadi menanti si calon suami. Penampilannya terlihat cantik meski sederhana. Wajahnya pun makin terlihat segar dengan polesan make up natural oleh Netty. Mengenakan pleats skirt hitam bermotif bunga dipadu blus kuning muda dan jilbab hitam polos, None siap menyambut Eros Hanafi. Namun hingga adzan maghrib terdengar, yang ditunggu tak juga tiba.

None mulai resah, apalagi tak ada kabar sedikit pun dari Eros. Berbagai prasangka menyusupi kepala. Dari dugaan Eros berubah pikiran, sampai Eros kecelakaan.

"Astaghfirullah hal adzim, kenapa mikirnya begini sih, Non." Dia menegur dirinya sendiri, lalu mencari ibunya agar menanyakan pada calon mama mertua.

Ibu yang baru selesai salat maghrib tersenyum-senyum mendengar aduan None. "Erosnya udah berangkat dari jam empat tadi, Non. Mamanya tadi ngabarin mama. Mungkin macet, atau beli bunga dulu buat calon istri." Bu Yusni menenangkan. Kalimat yang terakhir membuat None nyengir.

"Salat dulu sana, nanti biar di-make up lagi sama Netty," kata ibunya lagi.

"None lagi haid, Bu. Ya udah, None tunggu di kamar ya, Bu. Nanti kalau abang sudah datang, tolong kabari None." Ibunya mengiyakan. Mengingatkan None bahwa tempat pertemuan mereka nanti adalah di teras belakang.

"Eh, nanti None sama abang cuma berdua gitu ya, Bu?"

Ada yang menghangat di hati None membayangkan dia akan duduk berdua saja dengan si abang. Dia sendiri heran. Ini bukan kali pertama dia akan berhadapan dengan laki-laki, tapi entah kenapa yang sekarang ini groginya terasa berlipat kali. Mungkin karena yang ini berstatus calon suami.

"Iya, ndak apa. Nanti ibu sama ayah di ruang tengah. Bisa ngawasin tanpa dengar obrolan kalian."

Teras belakang rumah None terlihat dari ruang keluarga sekaligus perpustakaan. Ada kaca super besar yang menjadi pembatasnya. Lagi-lagi pikiran None berkelana. Dia dan Eros mengobrol, sedangkan ayah dan ibunya mengamati dari ruang tengah. Duh, malu banget lah ya, batinnya.

"Nanti Ibu sama ayah ngawasin None sama abang macam ngelihatin aquarium, gitu ya, Bu? Malu, ih."

Ibunya tergelak. "Ya ndak macam tu, Non. Maksud ibu tu, tanpa ditemani pun kalau ada potensi dilihat orang lain, kalian juga pasti ndak akan ngapa-ngapain, sekalipun ditinggal berdua saja. Gitu lho." Ditowelnya hidung None dengan gemas.

"Dih, Ibu. Lagian, mau ngapain memangnya? Orang kenal juga baru ini nanti." Ibu dan anak gadisnya tertawa.

Dari luar terdengar derum mobil. Hanya sebentar, lalu mesinnya mati. Suara Pak Karim terdengar kemudian, mengucapkan salam, disusul suara lain yang juga mengucapkan salam. None dan ibunya saling pandang. Belum sempat mengucap apa yang ada di pikiran, Pak Karim sudah berada di hadapan keduanya.

"Tadi ayah ketemu Eros di masjid, jadi kami pulang bersama. Nampaknya Eros ni sudah berniat betul sama None, buktinya dia bisa mengenali calon mertua saat jumpa di masjid." Ucapan ayahnya membuat None tersipu-sipu. Malu sekaligus bahagia.

Jantung None memompa darah lebih cepat. Rasanya mendadak tidak siap, tapi harus siap. Duh, gini amat mau ketemu calon suami, ia kembali membatin.

"None siap-siap di teras belakang aja ya, Bu?" pinta None.

"Iya. Biar ayah sama ibu dulu yang menemui Eros," jawab ibunya.

Ketiganya berpisah. Kedua orang tua None menuju ruang tamu. None ke teras belakang, duduk di ujung sofa panjang, menghadap meja yang di atasnya telah siap dengan minuman hangat dan kudapan. Tak sampai sepuluh menit kemudian, dari kaca pembatas None melihat seorang pria tampan berkulit bersih menuju ke arahnya. None deg-degan.

"Hai. Assalamualaikum," sapa pria itu setelah berdiri di hadapan None. None ikut berdiri, sedikit mendongak agar mata mereka dapat saling menatap.

"W-waalaikumussalam." Duh, pakai gugup segala, rutuk None dalam hati.

"Emm..., None, ya?" Pria berlabel Eros Hanafi itu rupanya tak kenal basa-basi.

"Bukan, saya Yessi." None terkikik dalam hati. Mendadak muncul ide untuk mengerjai laki-laki yang menjulang di hadapannya.

"Tapi kata Om Karim dan Tante Yusni, None nunggu aku di belakang."

"Oh, ayah ibu bilang gitu ya? Ya udah, kalau gitu saya None." Satu cengiran None persembahkan.

"Wait. Jadi kamu None apa Yessi? Aku ke dalam dulu deh, mastiin ke Tante Yusni."

"Eh, Bang, nggak gitu. Kan saya cuma becanda."

Sayang sekali, Eros sudah melangkah ke arah ruang tamu, tak menggubris penjelasan None. Sengaja. Dia tahu persis None hanya bercanda, dia pula sudah melihat dan merekam baik-baik wajah imut None pada beberapa foto yang ditunjukkan oleh mamanya. None jadi kesal sendiri, sama sekali tak menyangka laki-laki yang disebut calon suami itu kakunya bukan main. Dia memilih melipir, kabur ke kamarnya di lantai atas.

Eros yang kembali ke teras belakang bersama ayah dan ibu None tak menemukan gadis itu di sana. Ibunya agak panik, baru pertemuan pertama None sudah bercanda seenggak lucu ini.

"Tunggu ya, Eros. Biar tante panggil dulu. Anak ini memang agak suka bercanda. Maaf, ya."

"Tidak apa-apa, Tante. Saya juga suka bercanda, kok," timpal Eros sambil tersenyum.

Bu Yusni bergegas ke lantai atas, kemudian turun bersama kedua anak gadisnya. Ketiga perempuan itu berhenti di bawah tangga, di depan Eros dan Pak Karim yang masih berdiri tak jauh dari mereka. None cemberut, sedang Yessi menahan tawa, sudah menduga bahwa adiknya yang membuat ulah.

"Ini Yessi, anak tante yang nomor dua." Bu Yusni menunjuk pada Yessi. "Dan ini None, yang bungsu. Jadi yang Eros temui di belakang tadi yg mana?"

Eros menatap None dengan senyum meledek. Menunjuk gadis itu seraya berkata, "Yang ini tante, yang cemberut."

Tawa kembali terdengar di ruangan itu. Satu-satunya yang tidak menyumbang tawa hanya None. Keyakinannya bahkan mulai goyah. Belum apa-apa si abang ini sudah bikin kesal.

Tepukan lembut mendarat di bahu None, ayahnya memberi tanda untuk kembali ke teras belakang bersama Eros. Sedangkan keluarga yang lain menyingkir ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Lebih tepatnya memberi kesempatan None dan Eros supaya lebih leluasa berbicara.

"Abang nih nggak bisa diajak becanda ya. Nyesel saya." None membuka percakapan dengan gerutuan. Sama sekali tak ada niat untuk jaim. Selain memang tak ingin, dia juga telanjur sebal pada laki-laki berstatus calon suami, yang sedang menatapnya sambil menahan geli.

Lho, aku udah bener, dong. Aku kan harus memastikan kalau aku berhadapan dengan orang yang benar. Kita itu mau menikah, bukan mau syuting Midun dan Halimah."

"Iiih, Abang. Tampilan aja serius, kalau bicara nggak serius." None masih kesal.

"Di sebelah mana aku bicara nggak serius, None? Lihat deh, aku saja dari tadi nggak ketawa sama sekali, nggak menunjukkan gesture kalau aku bercanda."

Kenyataannya wajah Eros memang tak menunjukkan ekspresi sedang bercanda, tapi tidak dalam hatinya, dia menahan tawa melihat kekesalan gadis muda yang dua bulan ke depan —mungkin— akan menjadi istrinya.

"Iya, aku minta maaf. Jangan marah ya, Non." None mengangguk cepat. Panggilan Eros barusan membuat None merasa lebih akrab.

“Gimana, Non? Kamu udah siap?” Sama seperti None, Eros juga tak berusaha untuk jaim. Buat apa? Mereka kan menuju menikah, justru yang harus ditunjukkan adalah sifat aslinya. Dan dia menemukan itu pada bahasa tubuh None. Apa adanya.

"Siap apa?" Wajah None memohon penjelasan.

"Siap menjalani kehidupan pernikahan dengan aku."

"Iya, insya Allah siap."

"Kamu udah pernah pacaran?" Pertanyaan Eros kali ini membuat None mengerutkan dahi.

"Penting, ya? Kan kita mau menjalani kehidupan pernikahan, mau merangkai masa depan, bukan mau mengenang masa silam."

"Iya, deh. Bolehlah. Jawabanmu bagus." Eros tersenyum, lalu melanjutkan dengan pertanyaan berikutnya. "Skill?"

"Skill apa yang Abang maksud?"

"Skill yang sudah kamu kuasai untuk menjalani kehidupan berumah tangga."

"Kita kan kenalan dalam rangka menuju pernikahan, Bang. Kenapa pertanyaannya kayak interview buat ngisi lowongan pekerjaan, sih?" None mulai sewot. Eros tetap tenang.

"Karena memang dalam hidup berumah tangga juga ada pekerjaan yang harus dijalankan, Non."

Deg! Pekerjaan apa, nih? Jangan-jangan bener kata Kak Yessi, aku cuma akan disuruh mengerjakan urusan domestik dan ngurusin dia di rumah aja. Duh. Hati None mendadak riuh.

"Pekerjaan apa, nih, Bang? Nyuci, ngepel, nyeterika, masak?" Emosi None naik satu level.

"Bukan yang seperti itu, Non. Itu sih aku cari asisten rumah tangga, bukan partner buat hidup berumah tangga."

"Terus pekerjaan apa, dong?"

"Pekerjaan suami dan istri, Non. Pekerjaanmu nanti sebagai istri adalah memenuhi semua keperluanku, sedangkan pekerjaanku sebagai suami adalah memenuhi semua kebutuhan kita."

Aish. None jadi meleleh mendengar jawaban dari pria bermuka serius yang duduk manis di hadapannya.

"Hemm, semacam kewajiban gitu ya, Bang?"

"Ya. Kurang lebih begitu." None manggut-manggut.

"Terus katanya..., Abang itu pekerjaannya udah mapan, gajinya juga mestinya banyak. Apa nanti keluarga saya waktu melamar juga harus bawa uang japuik yang banyak buat abang?" Wajah None sedikit meredup.

Eros menggeleng. Setahunya tidak semua pernikahan dengan adat Minang menggunakan tradisi uang japuik atau uang jemput, di mana pihak perempuan harus memenuhi permintaan dari pihak laki-laki untuk bisa menikahkan anak perempuannya dengan laki-laki tersebut. Seingat Eros, hanya di daerah Pariaman saja yang masih memegang adat istiadat tersebut, tentunya dengan sejarah yang juga baik.

Kedua orang tua Eros berasal dari Bukittinggi, pun semua keluarga besarnya, dan seingatnya tradisi itu belum pernah Eros temui di keluarganya.

"Nggak ada, Non. Nggak usah terlalu risau dengan adat yang sekiranya berat. Apalagi keluarga kita sama-sama lama di perantauan. Kamu malah dari lahir udah di Jakarta, dan aku..., besar di Jakarta."

"Memangnya Abang lahir di mana?"

“Rumah sakit.”

"Hih, Abang nggak lucu!" Lagi-lagi None merasa si abang ini menyebalkan. Apalagi Eros hanya tersenyum, yang itupun tak mirip dengan senyuman, lebih terlihat sekadar menarik ujung bibir ke kanan kiri dengan derajat lengkung yang tak seberapa.

"Emm…, kalau Abang, pernah pacaran?"

Pertanyaan itu meluncur begitu saja, dan sungguh, None menyesalinya. Dia sendiri tak mau menjawab pertanyaan serupa, kenapa malah balik mengajukan pertanyaan semacam itu kepada lawan bicara?

“Nggak pernah." Eros menjawab penuh percaya diri.

"Yakin?"

Mana None percaya? Wajah Eros tampan, pekerjaannya mapan, otaknya pun masuk kategori brilian, keluarganya berlimpah kekayaan, soal kesalehan juga tampaknya tak perlu diragukan, tapi nggak pernah pacaran. Hmm, sungguh pernyataan yang sangat meragukan.

"Yakin, lah. Aku paham betul dengan diriku sendiri, Non." Jawaban Eros membuat None merasa malu. Dia pernah punya pacar, dua kali malah.

"Dekat sama perempuan?" None kepo.

"Pernah, tapi nggak pernah melibatkan perasaan. Entah dari pihak mereka, itu bukan urusanku, kan?"

"Naksir perempuan?" None makin kepo.

"Seingatku belum pernah juga. Entah kalau aku nggak ingat."

"Ih, Abang gimana, sih?" None cemberut. Eros malah tersenyum, yang kali ini betul bisa disebut sebagai senyum. Dia mulai suka kepada None yang apa adanya.

"Kalau saya pernah punya pacar, apa Abang masih tetap mau menikah sama saya?"

"Why not? Seperti katamu tadi, kita mau merangkai masa depan, bukan mau mengenang masa silam. Malah kalau boleh...." Eros menggantung kalimatnya. Ditatapnya mata None yang sedang menunggunya melanjutkan bicara. Sengaja, dia ingin melihat reaksi None.

"Emm..., kalau boleh apa, Bang?" Umpan Eros berhasil, None terpancing juga.

"Kalau boleh aku ingin pernikahan kita dipercepat saja, Non."

“Ehk!” None tersedak ludahnya sendiri.

Eros mengajukan alasannya, agar waktu mereka untuk saling mengenal lebih panjang, sebelum keduanya berangkat menuju kehidupan di perantauan.

“Menurutmu gimana, Non?”

"S-saya…, emm..., s-saya…, saya ik-ikut abang aja."

***

Cieee, si None grogi denger nikahnya dipercepat aja :)

Hai teman-teman. Setelah melewati agak galau-galau, akhirnya aku memutuskan utk membawa cerita Abang-None ini ke sini, ke Wattpad.
Tapi.... Postingnya nanti ya agak selow, gitu. Sepekan sekali aja.

InsyaAllah teman-teman yg udah mendukung di Karyakarsa juga tetap ikhlas dan gembira yess. Tenaaang, yg di KK akan kuselesaikan segera.

Baiklah, segini dulu aja. Kelamaan rehat bikin aku rada kagok pas muncul lagi. *halah 😆

Next part kita simak persiapan pernikahan mereka yg penuh drama yaaa.

See you :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro