Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10. Mertua dan Menantu

Subuh baru saja lewat, Eros yang baru pulang dari masjid sudah bicara tentang pekerjaan, bahwa hari itu dia terpaksa harus ke kantor pagi-pagi.

"Abang kan masih cuti, kenapa mau-maunya disuruh ke kantor? Cuti ya cuti aja." None protes keras.

"Ini salah satu risiko pekerjaanku yang kamu harus tahu, Non. Aku memang nggak banyak di rig, tapi aku bisa sewaktu-waktu dibutuhkan ke sana. Bisa juga sewaktu-waktu harus ikut meng-handle urusan walau dari jauh. Pekerjaanku berhubungan dengan orang lain, Non, termasuk dengan klien yang tidak semuanya orang Indonesia atau Asia Tenggara, tapi juga Europe, Middle East, bahkan Amerika. Jadi seringkali harus menyesuaikan jam kerja mereka."

"Tapi kan Abang statusnya masih cuti. Aku juga baru di rumah sini. Nanti kalau Abang tinggalin aku sendiri, aku gimana?"

"Ya nggak gimana-gimana. Ini kan rumahmu juga. Mamaku ya mamamu, papaku papamu, kakak, dan adikku ya kakak adikmu juga. Jadi, masalahnya di mana?"

"Masalahnya Abang masih cuti tapi berangkat. Terus aku baru hari pertama di sini udah Abang lepas sendiri." Ulang None.

"Non, yang pertama, aku memang cuti, tapi aku juga on call, harus siap dipanggil sewaktu-waktu. Alhamdulillah dipanggilnya pas udah hari terakhir cutiku, dan Insya Allah nggak lama aku di kantornya nanti. Yang kedua, kamu istriku, bagian dari rumah ini. Nantinya juga kamu akan sering berinteraksi dengan keluargaku, sekalipun kita sudah tinggal di negara yang berbeda. Justru karena masih di sini, kamu manfaatkan waktu untuk bisa mengenal lebih dekat sama mereka.

"Dari awal aku udah jelaskan tentang pekerjaanku dan risikonya, Non. Udah pakai penekanan segala malah. Anggaplah ini ujian pertama, yang paling ringan. So, usahakan untuk bisa menerima. Oke?" None mengangguk saja, sudah malas melanjutkan debat.

"Okay. I love you, anak daroku." Eros mengecup kening None, None diam saja, kemudian melepas kepergian suaminya dengan berat hati. Tanpa pelukan, tanpa ciuman. Hanya hati yang dipenuhi kekesalan.

Baru saja Eros berlalu, mamanya menghampiri None yang masih berdiri termangu di teras. Yang pertama dilakukan adalah mengulang apa yang dikatakan Eros tentang waktu kerja dan risiko pekerjaannya tadi. Dilanjutkan dengan sedikit cerita tentang bagaimana Eros memulai karirnya di perusahaan yang sama.

"Han itu betah sekali kerja di sana, Non. Sekalipun orang bilang di sana itu tenaga dan pikiran benar-benar terkuras, boleh dibilang kerja keras bagai quda, lebih parah lagi ada yang mengatakan seperti sapi perahan, tapi Han menikmati semuanya. Bagi dia, menghabiskan waktu untuk pekerjaan jauh lebih menyenangkan daripada menghabiskan waktu tanpa kegiatan. Lagipula, gajinya memang banyak."

Noted, batin None. Dia mengangguk-angguk sambil mencoba tersenyum.

Mama melanjutkan lagi, kali ini tentang makanan yang biasa dipilih Eros. None jadi tahu kesukaan dan kebiasaan suaminya. Eros menyukai gulai. Oh, bukan menyukai, tapi sangat menyukai. Ya, gulai apapun dia suka. Mau daging merah, daging ayam, gulai ikan, bahkan gulai daun-daunan pun Eros suka.

"Han agak rewel kalau soal gulai. Kekentalan kuahnya harus pas. Beda bahan beda pula kekentalan kuahnya. Tapi ndak apa, None pasti akan mudah bikinnya. Belajar sebentar juga pasti bisa." Mama membesarkan hati menantunya. None menelan ludah dengan susah payah.

"Satu yang agak merepotkan dari Han soal makanan. Dia tu ndak suko padeh."

"Eh, maksudnya abang nggak suka masakan yang pedas, gitu, Ma?" None agak kaget.

"Iya."  Mama Eros tertawa. None ikut terkikik, ternyata ada orang berdarah Minang yang tak suka pedas. Padahal kuliner khas Minang atau yang lebih dikenal sebagai masakan Padang identik dengan rasa pedas. Bahkan di keluarga besarnya, None belum pernah menjumpai yang tak suka pedas.

"Kalau Han sedang di rumah, sepekan tiga kali mama masak menu gulai buat Han, Non. Ndak harus yang susah-susah, gulai daun singkong pun dia pasti lahap. Pokoknya nothing but gulai, lah."

"Terus, gimana kalau yang lain suka pedas, tapi abang nggak suka, Ma?"

"Ya itu tadi yang mama kecek repot. Masaknya harus masing-masing. Mano lah lamak makan gulai pakai sambal? Rang awak tu, padeh ya harus di kuahnyo, ndak di sambalado."

Lah, ribet dong. Kalau masak kudu dua kali. None mencatat baik-baik dalam hati.

"None suko padeh ndak?" tanya mama mertua.

"Suka, Ma. Suka banget. Makanya agak kaget waktu tadi Mama bilang kalau abang nggak suka pedas. Di keluarga besar None kayaknya belum ketemu yang nggak suka pedas, Ma," jawab None.

Di diam sejenak, tampak sedang berpikir. Lalu....

"Oh, pantesan. Kemarin waktu di rumah, tiap habis makan, nggak lama kemudian pasti abang ke toilet dan lamaaa banget baru keluar. Terus abang kalau makan sedikit. Abang juga suka ngajakin keluar pas mendekati waktu makan, dan di luar pasti beli salad sayur atau salad buah, dan makan saladnya tuh lahap banget, Ma.

"Berarti karena di rumah hampir nggak nemu masakan yang nggak pedas, gitu kali ya, Ma? Terus di toilet lama karena sakit perut. Tapi abang nggak mau bilang karena nggak mau menyinggung orang rumah. Ya Allah, abang. Kasihan banget." Ekspresi None mendadak sedih.

"Hanafi memang begitu, Non. Dia kalau dengan orang tua sangat menjaga perasaan. Mungkin begitu pula kepada Yusni dan Pak Karim. Mau menyampaikan ndak enak, dia pilih menanggung sakit sebentar. Tapi ndak apa, Han ndak akan melakukan sesuatu kalau dia sadar dia ndak mampu. Kalau masih mau makan pedas sedikit, berarti dia masih kuat menahan sakit perutnya. Ndak apa, ndak usah terlalu dipikirkan."

Dari soal pekerjaan dan makanan, mama melanjutkan ceritanya tentang Eros. Dari masa kecilnya di Bukittinggi, SMP kelas dua pindah ke Jakarta, kuliah di Bandung, sampai negara mana saja yang sudah Eros datangi. Mamanya hafal di luar kepala. Lengkap. Disertai pula dengan opini tentang Eros. Sudah mirip penyuluhan saja.

Sesekali mama sambil melakukan aktivitas lain. Mengurus vendor dekorasi dan katering kemarin, mengecek bibi yang sedang memasak gulai daging sapi, mengajak None ke taman belakang dan menunjukkan beragam Portulaca yang tersusun rapi dengan warna warni yang sungguh eye catching.

None mengikuti ke sana kemari sambil memberi bantuan jika diperlukan. Tiga jam lebih mereka ngobrol dengan banyak selingan kegiatan.

"Oh iya, Non, Han itu paling suka masakan rumahan alias bikinan sendiri. None bisa sedia bumbu dasar biar nggak terlalu repot giling bumbu tiap mau masak. Nanti deh mama bagi resep bumbu bikinan mama, karena Han udah paling cocok sama masakan mama." Mama tertawa, topik yang diangkat kembali lagi ke masak memasak. None ikut tertawa, kali ini agak terpaksa.

Pembicaran tentang dapur dan makanan membuat None kembali merasa tertekan. Dapur bukan tempat yang dia sukai, eh, ini malah menikah dengan laki-laki yang menyukai masakan hasil olahan dapur rumah. None jadi membayangkan, hari-harinya nanti akan berkutat di dapur, sedangkan selama ini dia cuma tahu makannya saja.

Membedakan lengkuas dengan jahe saja dia payah, padahal kata kakaknya, beda lengkuas dengan jahe itu bagai sabang sampai merauke alias jauh banget. None juga bingung mana sawi mana pokcoy. Jenis-jenis cabe dia tak hafal. Bahkan merica dan ketumbar saja masih sering tertukar.

Pertanyaan yang menyesakkan bagi None akhirnya terucap juga dari mama mertua. "Kalau None paling jago masak apa?"

Mampus! None mengumpat dalam hati, ditujukan untuk dirinya sendiri.

Ditelannya ludah sembari mencoba mencari jawaban yang pas. Nggak mungkin kan dia jawab paling jago masak mi instan. Nyatanya bikin mi goreng saja selalu kematangan sampai mi-nya terlalu lembek dan tak enak dimakan.

"None suka masak, kan? Biasanya perempuan keturunan Minang itu suka di dapur, masak. Karena dari kecil memang sudah dibiasakan seperti itu. Apalagi Yusni, pandai betul dia memasak, anak-anaknya juga pasti sama, ya? Masya Allah. Beruntung banget Han punya istri kamu."

Hati None semakin ciut. Belum juga dia menjawab, kesimpulan dari mama sudah lebih dulu keluar. Mana pakai pujian segala. Andai saja keahlian memasak bisa diturunkan secara genetis, tapi kan tidak mungkin. None menjadi tegang. Berkali-kali ia menelan ludah. Perasaannya begitu cemas, bagaimana kalau mama mertua tahu bahwa dia sama sekali tak mengerti urusan dapur? Apa beliau akan kecewa? Apa beliau bisa menerima dan bersikap sama seperti sebelumnya? Duh.

"I-iya, Ma. Tapi None nggak jago masak makanan kesukaan Abang. Tolong nanti None diajari cara bikinnya ya, Ma. Dikasih tahu resepnya juga ya, Ma, biar None catat semuanya, dan biar abang nggak kangen masakan mama, karena masakan None berasal dari resep yang sama." None merasa lega dengan jawaban yang ia rangkai baru saja.

"Ya kalau itu tetap akan ada bedanya, Non. Resep yang sama di tangan yang berbeda itu taste-nya tetap akan berbeda. Tapi mama yakin, setelah kalian di KL nanti, masakan mama pasti akan kalah sama masakan kamu, di lidah dan... di hati Hanafi."

Wajah mama mendadak muram. Ada genangan di kedua mata. None jadi canggung, tak tahu kenapa mama mertuanya berubah tiba-tiba. Mama lalu meraih dan menggenggam tangannya.

"Maafkan mama ya, None. Akhir-akhir ini mama suka agak melow kalau ingat akan melepas Hanafi ke tempat yang jauh. Selama ini dia sudah melanglang buana. Prancis, Jerman, Jepang, UEA, Iran, Maroko, Mesir, Australia, US, dan banyak lagi. Dan sejauh apapun dia pergi, pulangnya tetaplah ke pelukan mama. Tapi setelah ini..., semuanya akan berbeda. Pelukan None tentu akan menjadi yang paling dia cari."

Ah, rupanya mama mertua bersedih karena akan melepas anak laki-laki yang selama 28 tahun selalu pulang ke pelukannya. Bukan jauh secara jarak yang membuat sedih, jauh secara rasa adakalanya sungguh lebih menyiksa.

"Insya Allah abang nggak begitu, Ma. None memang belum lama kenal sama abang, tapi None tahu kalau abang sayang banget sama mama. Sayaaang banget. Serius, Ma. I swear."

None mengangkat tangan kanannya, dengan telunjuk dan jari tengah membentuk huruf V. Mama terkekeh, memeluk None dengan mata yang basah. Sementara None sendiri sedang terkagum-kagum pada jawaban serta sikapnya yang ternyata bisa menghibur hati mama mertua. Padahal kalau di rumah, mendengar yang serupa itu saja dia bisa baper karena merasa disalahkan, merasa dituduh merebut Eros dari pelukan mamanya, dan bla bla bla lainnya.

"Titip Hanafi ya, None. Terimalah segala kelebihan dan kekurangannya. Bersabarlah menghadapi sifat-sifatnya. Doa mama selalu untuk kalian. Insya Allah menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Selalu dilimpahi keberkahan dan selalu dalam lindungan Allah subhanahu wa ta'ala."

None mengamini. Membalas erat dekapan mama mertua. Kemudian matanya berserobok dengan sorot menyejukkan yang sedang tersenyum memandang ke arahnya dan mama.

Eros sudah pulang.

Mama menyambut kepulangan Eros dengan sukacita. Menceritakan obrolan yang baru saja dilakukan dengan menantu barunya. Tak lupa puji-pujian meluncur untuk None, termasuk pujian soal kepandaian None dalam memasak, yang merupakan kesimpulan sepihak dari sang mama. Tentu saja Eros senang sekali. Hatinya merasa lega dan bangga. None yang ditinggal dalam keadaan agak ngambek, ternyata tetap bisa bersikap baik di depan mamanya.

Eros lalu meminta izin untuk ke kamar, menaruh tas punggung dan mengganti baju. Diajaknya None serta. Mama mengangguk, senang melihat pasangan pengantin baru itu saling mendukung satu sama lain. Tapi baru saja Eros menutup pintu, None sudah menangis tersedu-sedu.

"Lah, kamu kenapa, Non? Ada sesuatu yang dikatakan mama dan menyinggung perasaanmu? Kalau betul begitu, aku mewakili mama meminta maaf padamu."

None menggeleng. "Nggak ada, Bang. Cuma...."

Kedua mata Eros memandangi None lekat-lekat, menunggunya melanjutkan kalimat.

"Aku tadi nggak bilang sepatah kata pun ke mama kalau aku pandai memasak, Bang. Mama yang menyimpulkan sendiri karena tahu kalau ibu pintar memasak. Ibu pintar masak kan bukan berarti aku juga pintar masak, Bang. Aku itu nggak bisa masak. Aku bego kalau urusan dapur. Aku bahkan nggak suka ke dapur.

"Iya, nanti aku pasti akan belajar, tapi aku nggak suka kalau dituntut untuk pintar masak dan selalu bisa masakin yang enak-enak sesuai seleranya Abang. Aku kan bukan mama. Aku juga bukan ibu. Aku itu payah, Bang. Aku nggak suka dituntut begini begitu. Aku...."

Eros tak berkata apa-apa, hanya mendekat dan meraih None dalam pelukan. Membiarkannya menangis di sana, sampai None merasa lega.

"Ternyata jadi dewasa itu susah ya, Bang?" Begitu yang pertama diucapkan None setelah tangisnya mereda.

"Memangnya siapa yang menuntut kamu jadi dewasa?" Eros balik bertanya.

"Ya nggak ada, sih. Tapi kalau udah menikah kan harus dewasa, Bang."

"Nah, iya. Siapa yang mengharuskan?"

"Ya nggak ada juga, sih, Bang. Tapi itu salah satu yang Kak Yessi jadikan alasan biar aku saja yang menikah sama Abang. Dan ayah ibu menyetujui itu. Berarti kan aku memang dianggap belum dewasa, terus diharapkan bisa dewasa dengan menikah."

“Makanya, menikah itu niatnya yang benar. Niatkanlah buat ibadah, bukan cuma biar dibilang dewasa.” Dengan telunjuknya, Eros mendorong pelan kening None. Gemas.

“Tapi Abang nikah sama aku juga niatnya buat karir, kan? Cuma biar dibolehin mama pindah tugas ke Malaysia, kan?” None tak terima.

“Heh, sembarangan aja kalau bicara.” Eros terkekeh dengan jawaban istrinya.

"Ya sudah, begini aja. Kamu menikah sama aku, jadi kamu ikutlah pendapatku. Aku nggak pernah dan nggak akan pernah menuntut kamu jadi dewasa, Non. Yang paling penting bagiku, kamu bisa menempatkan diri kapan harus bersikap begini, di mana boleh berbuat begitu, bagaimana menghadapi sesuatu, dan semacamnya. Intinya bisa menempatkan diri. Itu saja."

"Bukannya sama aja ya, Bang? Jadi dewasa apa nggak yang begitu-begitu itu?" None menatap Eros dengan sayu.

"Ya, entah. Di sini aku bukan ahli bahasa yang harus mendefinisikan arti suatu kata. Aku suamimu, yang mencoba mendefinisikan harapanku tentang kamu. Itu saja. Oke?" None manggut-manggut. Kadang dia butuh waktu untuk mencerna perkataan suaminya, yang penting iyain dulu aja.

"Tapi kita tetap tinggal di sini sampai weekend habis ya, Non."

"Iya, Bang. Di mana aja asal sama Abang."

"Eh, kamu mau ngegombalin aku, Non?" Baru begitu saja Eros sudah kaget.

"Ya habis, berharap Abang yang ngegombalin aku kayaknya kok jauh panggang dari api. Jadi biar aku aja yang ngegombalin Abang."

None tahu, Eros tak pandai merayu. Gombalan yang sudah-sudah juga bukan disengaja, pun selalu diucapkan dengan ekspresi yang serius, atau minimal datar saja.

Eros menelan ludah. Bagaimana mau ngegombalin istri? Menjalin hubungan dengan perempuan saja dia tak pernah.

“Kamu suka dirayu ya, Non? Eh, maksudku..., digombalin gitu? Mainstream banget.” Mulut None mengerucut. Kesal. 

"Maaf ya, Non. Jangan tersinggung. Itu cuma ungkapan keminderanku sebagai suami yang nggak jago merayu atau ngegombalin istri. Tapi tenang aja, Non, nanti aku akan belajar cara ngegombalin istri. Di google pasti ada, kan?"

"Google ya? Di medsos juga banyak kali, Bang. Meme-meme, gitu."

Eros tertawa dalam hati. None terlihat berharap sekali untuk sering-sering digombalin, padahal tahu Eros tak mahir soal yang satu itu. None lupa, kalau dia sendiri tak mau dituntut untuk cepat-cepat bisa memasak.

"Iya deh, kalau begitu nanti aku belajar main medsos."

"Maksudnya..., Abang nggak main medsos? Nggak punya akun instagram, facebook, twitter, dan semacamnya itu, gitu?" Eros mengangguk. None terbengong. Baru tahu ada makhluk secanggih suaminya. Yang sudah melanglang buana, tapi akun medsos saja tak punya.

"Terus kalau Abang jalan-jalan ke luar negeri fotonya disimpan di mana?"

"Yang jelas bukan disimpan di medsos, Non. Dan aku ke luar negeri itu urusan pekerjaan, bukan jalan-jalan."

Ih, terserah Abang aja deh! None menjawab lagi, cuma dalam hati.

***

Gemes nggak sih sama interaksi mereka? Haha...

Eros tuh ya gitu. Dewasa, tapi kadang suka apa adanya dan seada-adanya aja. *gimana coba maksudnya? Wkwk

Oke deh. Terima kasih udah baca ya. Dan maafkan utk segala kekurangan.

See you :)

Semarang, 14032023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro